Namanya Bart Verkerke. Beliau seorang profesor
di dua universitas di Belanda, yakni di University of Groningen dan University
of Twente. Mengikuti kebiasaan orang Belanda, saya cukup memanggil nama depan beliau
saja, Bart, tanpa embel-embel sebutan “Prof.” di depan namanya, walaupun ia
seorang profesor dengan segudang karya tulis ilmiah dan produk di genggamannya.
Saya mengenal Bart hampir sembilan tahun yang lalu, pada saat saya memulai
program master atau S2. Bart mungkin adalah orang non-Indonesia pertama yang
saya kenali dengan cukup akrab, setidaknya terbukti dari kontak saya dengannya
hingga saat ini.
Medio tahun 2006, saya mengikuti pendidikan S2 di UGM. Program yang saya ikuti ini adalah pilot project, alias inisiasi dari sebuah
proyek program distance learning
(atau sebutan lainnya: e-learning)
pada bidang studi yang relatif baru, khususnya di Indonesia, yakni biomedical engineering. Bila diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, biomedical
engineering adalah teknik atau rekayasa biomedis. Apa dan bagaimana sih isi program ini? Saya tidak janji,
namun akan mengusahakan untuk memaparkannya dalam tulisan tersendiri suatu saat
nanti.
Singkatnya, program S2 jarak jauh yang dilabeli
‘internasional’ ini diikuti oleh enam universitas di Asia dan Eropa. Dari Asia
ada tiga universitas, yakni UGM, ITB dan Indian Institute of Technology (IIT) (India).
Sementara, dari Eropa juga diwakili oleh tiga universitas, yakni University of
Groningen (Belanda), Gent University (Belgia) dan Leeds University (Inggris). Meski
demikian, dari total 13 mahasiswa peserta program kuliah jarak jauh ini, delapan di
antaranya dari Indonesia, tiga dari Belanda dan dua dari Belgia. Tidak ada mahasiswa
dari Inggris dan India.
Sekitar April 2006, saya bersama dua orang
kawan dari fakultas kedokteran dan kedokteran gigi UGM lolos seleksi sebagai pilot student atau mahasiswa angkatan
pertama untuk menjalani program ini. Kami bertiga diharapkan dapat mensukseskan
program distance learning dengan
jarak super jauh ini. Selama dua tahun program ini berjalan, proses belajar
mengajar dilakukan via internet oleh
dosen-dosen dari enam universitas di Asia dan Eropa tersebut, selain kuliah
lokal oleh dosen-dosen di universitas induk masing-masing.
Label lain yang cukup unik dari program ini
adalah diversity, keberagaman.
Bagaimana tidak? Perbedaan kultur,
cara berkomunikasi dan metode belajar antara orang Indonesia dan Belanda-Belgia
begitu terasa di sepanjang program ini. Ada pula perbedaan cara berpikir antara
orang teknik (engineering) dan
kedokteran (medicine) yang ternyata
cukup mencolok. Namanya saja rekayasa biomedis. Orang teknik disatukan dengan
orang medis. Orang teknik harus mengerti dan mampu bekerja sama dengan orang
medis. Begitu pula sebaliknya. Unik bukan? Nah,
Bart adalah dosen pengampu mata kuliah sekaligus salah satu koordinator program
unik ini.
Bart adalah koordinator program baik di tingkat lokal di Eropa (Belanda)
maupun di level Asia-Eropa. Saya hampir selalu melihat Bart cukup sibuk dengan
hal-hal yang sifatnya koordinasi di setiap summerschool,
atau pertemuan tahunan setiap musim panas, baik di Groningen (2006), Bandung (2007) dan
Delhi (2008). Namun, Bart juga tetap konsisten melakoni tugasnya sebagai
akademisi, yakni dengan mengajar kuliah. Sesuai keahliannya, materi yang
diajarkan Bart adalah desain produk, implan biomedik dan biomekanika. Di akhir
program S2, saya semakin intensif berkomunikasi dengan Bart, walaupun harus
dilakukan via internet. Bart
adalah salah satu dari dua pembimbing saya dalam mengerjakan tesis S2 saya.
***
Rabu, 21 Januari lalu, di sebuah restoran di
pinggir pantai Egmond aan Zee, Belanda, saya bertemu kembali dengan Bart. Bukan
tanpa alasan saya datang malam-malam di restoran yang terletak di di dekat
Alkmaar tersebut. Malam itu saya baru saja datang bersama kolega dan pembimbing
saya di TU Delft saat ini untuk menghadiri sebuah seminar atau conference selama dua hari.
Sesaat setelah duduk di meja yang bersebelahan,
Bart memberi kode kepada saya agar duduk satu meja dengannya. Perbincangan pun
dimulai, diawali dengan Bart yang memperkenalkan saya kepada salah satu murid
Ph.D.-nya yang kebetulan duduk bersamanya. Juga oleh Bart, saya diperkenalkan
beberapa mahasiswanya yang sempat berlalu-lalang di sekitar meja tempat kami
berbincang.
Dengan gaya bicaranya yang sengaja pelan agar
mudah dimengerti, Bart bercerita kepada mahasiswanya bagaimana ia dulu bertemu
dengan saya. Lalu, tentang program e-learning
yang saya ikuti bersamanya. Dengan detil ia bercerita. Bahkan, tak jarang ia bercerita
tentang bagaimana sulitnya menjalankan program kuliah jarak jauh itu kepada
mahasiswanya.
Dari detil ceritanya, tampak bahwa Bart masih
ingat betul bagaimana saya dan teman-teman Indonesia yang kelimpungan mengikuti
program kuliah jarak jauh itu. Selain kendala bahasa –karena tidak semuanya
mahir berbahasa Inggris, termasuk saya!- beratnya perkuliahan juga dikarenakan segudang
tugas ala mahasiswa S2 di Belanda yang datang bertubi-tubi setiap minggunya serta
keterbatasan koneksi maupun kemampuan internet di tanah air. Perbedaan waktu
antara Belanda dan Indonesia (Yogyakarta dan Bandung) yang terpaut 5 jam di
musim panas dan 6 jam di musim dingin juga membuat proses belajar dan output-nya kurang maksimal. Kami
mempunyai program teleconference dengan
dosen melalui dengan Skype atau Yahoo Messenger. Setelah dicapai kesepakatan, teleconference dilakukan setiap minggu
di hari tertentu pukul 9 pagi waktu Belanda atau 2 siang waktu Indonesia bagian
barat selama musim semi dan panas di Eropa. Bila musim gugur dan dingin tiba,
maka jam tatap muka bagi mahasiswa Indonesia digeser satu jam menjadi pukul 3
sore. Bagi mahasiswa di Belanda dan Belgia, pukul 9 pagi adalah saat yang
paling nyaman untuk mulai belajar; pikiran dan fisik masih segar. Sebaliknya,
bagi mahasiswa Indonesia, berada di paruh waktu kedua dari sebuah harI adalah
sebuah tantangan tersendiri. Lelah, setelah paginya juga mengikuti kuliah lokal
di kampus masing-masing dan internet yang sangat amat lambat karena berada di
jam orang sibuk bekerja.
Entah bermula dari apa, perbincangan saya
dengan Bart malam itu akhirnya juga menyinggung salah satu materi kuliah saat
S2 dulu, yakni kuliah methodical design,
atau metode perancangan produk. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari
kuliah yang dipandu oleh Bart dan koleganya ini: “Tidak ada satu solusi dalam desain”.
Solusi haruslah banyak dan pergunakanlah kreativitas untuk mendapatkan solusi
sebanyak-banyaknya. Ajaran ini ternyata cukup ampuh dan dapat diterapkan dalam banyak hal dalam kehidupan. Inilah yang mungkin membuat mata kuliah itu terasa penuh dengan
tantangan dan memunculkan gagasan-gagasan yang seringkali tak terduga, berkat
kreativitas yang sengaja ‘dipaksa’ untuk dipergunakan sepanjang kuliah.
Tak terasa momen berbincang-bincang dengan Bart
selama acara welcome dinner itu harus
segera diakhiri karena waktu yang telah habis. Para peserta conference satu per satu meninggalkan
restoran itu. Saya pun berpisah dengan Bart, walaupun akhirnya kami bertemu
kembali dalam social event setelah
acara makan malam itu dan selama conference
keesokan harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar