Senin, 02 Maret 2015

Memori Bersama Sang Guru

Namanya Bart Verkerke. Beliau seorang profesor di dua universitas di Belanda, yakni di University of Groningen dan University of Twente. Mengikuti kebiasaan orang Belanda, saya cukup memanggil nama depan beliau saja, Bart, tanpa embel-embel sebutan “Prof.” di depan namanya, walaupun ia seorang profesor dengan segudang karya tulis ilmiah dan produk di genggamannya. Saya mengenal Bart hampir sembilan tahun yang lalu, pada saat saya memulai program master atau S2. Bart mungkin adalah orang non-Indonesia pertama yang saya kenali dengan cukup akrab, setidaknya terbukti dari kontak saya dengannya hingga saat ini.

Medio tahun 2006, saya mengikuti pendidikan S2 di UGM. Program yang saya ikuti ini adalah pilot project, alias inisiasi dari sebuah proyek program distance learning (atau sebutan lainnya: e-learning) pada bidang studi yang relatif baru, khususnya di Indonesia, yakni biomedical engineering. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, biomedical engineering adalah teknik atau rekayasa biomedis. Apa dan bagaimana sih isi program ini? Saya tidak janji, namun akan mengusahakan untuk memaparkannya dalam tulisan tersendiri suatu saat nanti.

Singkatnya, program S2 jarak jauh yang dilabeli ‘internasional’ ini diikuti oleh enam universitas di Asia dan Eropa. Dari Asia ada tiga universitas, yakni UGM, ITB dan Indian Institute of Technology (IIT) (India). Sementara, dari Eropa juga diwakili oleh tiga universitas, yakni University of Groningen (Belanda), Gent University (Belgia) dan Leeds University (Inggris). Meski demikian, dari total 13 mahasiswa peserta program kuliah jarak jauh ini, delapan di antaranya dari Indonesia, tiga dari Belanda dan dua dari Belgia. Tidak ada mahasiswa dari Inggris dan India.

Sekitar April 2006, saya bersama dua orang kawan dari fakultas kedokteran dan kedokteran gigi UGM lolos seleksi sebagai pilot student atau mahasiswa angkatan pertama untuk menjalani program ini. Kami bertiga diharapkan dapat mensukseskan program distance learning dengan jarak super jauh ini. Selama dua tahun program ini berjalan, proses belajar mengajar dilakukan via internet oleh dosen-dosen dari enam universitas di Asia dan Eropa tersebut, selain kuliah lokal oleh dosen-dosen di universitas induk masing-masing.

Label lain yang cukup unik dari program ini adalah diversity, keberagaman. Bagaimana tidak? Perbedaan kultur, cara berkomunikasi dan metode belajar antara orang Indonesia dan Belanda-Belgia begitu terasa di sepanjang program ini. Ada pula perbedaan cara berpikir antara orang teknik (engineering) dan kedokteran (medicine) yang ternyata cukup mencolok. Namanya saja rekayasa biomedis. Orang teknik disatukan dengan orang medis. Orang teknik harus mengerti dan mampu bekerja sama dengan orang medis. Begitu pula sebaliknya. Unik bukan? Nah, Bart adalah dosen pengampu mata kuliah sekaligus salah satu koordinator program unik ini.

Bart adalah koordinator program baik di tingkat lokal di Eropa (Belanda) maupun di level Asia-Eropa. Saya hampir selalu melihat Bart cukup sibuk dengan hal-hal yang sifatnya koordinasi di setiap summerschool, atau pertemuan tahunan setiap musim panas, baik di Groningen (2006), Bandung (2007) dan Delhi (2008). Namun, Bart juga tetap konsisten melakoni tugasnya sebagai akademisi, yakni dengan mengajar kuliah. Sesuai keahliannya, materi yang diajarkan Bart adalah desain produk, implan biomedik dan biomekanika. Di akhir program S2, saya semakin intensif berkomunikasi dengan Bart, walaupun harus dilakukan via internet. Bart adalah salah satu dari dua pembimbing saya dalam mengerjakan tesis S2 saya. 

***

Rabu, 21 Januari lalu, di sebuah restoran di pinggir pantai Egmond aan Zee, Belanda, saya bertemu kembali dengan Bart. Bukan tanpa alasan saya datang malam-malam di restoran yang terletak di di dekat Alkmaar tersebut. Malam itu saya baru saja datang bersama kolega dan pembimbing saya di TU Delft saat ini untuk menghadiri sebuah seminar atau conference selama dua hari.

Sesaat setelah duduk di meja yang bersebelahan, Bart memberi kode kepada saya agar duduk satu meja dengannya. Perbincangan pun dimulai, diawali dengan Bart yang memperkenalkan saya kepada salah satu murid Ph.D.-nya yang kebetulan duduk bersamanya. Juga oleh Bart, saya diperkenalkan beberapa mahasiswanya yang sempat berlalu-lalang di sekitar meja tempat kami berbincang.

Dengan gaya bicaranya yang sengaja pelan agar mudah dimengerti, Bart bercerita kepada mahasiswanya bagaimana ia dulu bertemu dengan saya. Lalu, tentang program e-learning yang saya ikuti bersamanya. Dengan detil ia bercerita. Bahkan, tak jarang ia bercerita tentang bagaimana sulitnya menjalankan program kuliah jarak jauh itu kepada mahasiswanya.

Dari detil ceritanya, tampak bahwa Bart masih ingat betul bagaimana saya dan teman-teman Indonesia yang kelimpungan mengikuti program kuliah jarak jauh itu. Selain kendala bahasa –karena tidak semuanya mahir berbahasa Inggris, termasuk saya!- beratnya perkuliahan juga dikarenakan segudang tugas ala mahasiswa S2 di Belanda yang datang bertubi-tubi setiap minggunya serta keterbatasan koneksi maupun kemampuan internet di tanah air. Perbedaan waktu antara Belanda dan Indonesia (Yogyakarta dan Bandung) yang terpaut 5 jam di musim panas dan 6 jam di musim dingin juga membuat proses belajar dan output-nya kurang maksimal. Kami mempunyai program teleconference dengan dosen melalui dengan Skype atau Yahoo Messenger. Setelah dicapai kesepakatan, teleconference dilakukan setiap minggu di hari tertentu pukul 9 pagi waktu Belanda atau 2 siang waktu Indonesia bagian barat selama musim semi dan panas di Eropa. Bila musim gugur dan dingin tiba, maka jam tatap muka bagi mahasiswa Indonesia digeser satu jam menjadi pukul 3 sore. Bagi mahasiswa di Belanda dan Belgia, pukul 9 pagi adalah saat yang paling nyaman untuk mulai belajar; pikiran dan fisik masih segar. Sebaliknya, bagi mahasiswa Indonesia, berada di paruh waktu kedua dari sebuah harI adalah sebuah tantangan tersendiri. Lelah, setelah paginya juga mengikuti kuliah lokal di kampus masing-masing dan internet yang sangat amat lambat karena berada di jam orang sibuk bekerja.

Entah bermula dari apa, perbincangan saya dengan Bart malam itu akhirnya juga menyinggung salah satu materi kuliah saat S2 dulu, yakni kuliah methodical design, atau metode perancangan produk. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari kuliah yang dipandu oleh Bart dan koleganya ini: “Tidak ada satu solusi dalam desain”. Solusi haruslah banyak dan pergunakanlah kreativitas untuk mendapatkan solusi sebanyak-banyaknya. Ajaran ini ternyata cukup ampuh dan dapat diterapkan dalam banyak hal dalam kehidupan. Inilah yang mungkin membuat mata kuliah itu terasa penuh dengan tantangan dan memunculkan gagasan-gagasan yang seringkali tak terduga, berkat kreativitas yang sengaja ‘dipaksa’ untuk dipergunakan sepanjang kuliah.

Tak terasa momen berbincang-bincang dengan Bart selama acara welcome dinner itu harus segera diakhiri karena waktu yang telah habis. Para peserta conference satu per satu meninggalkan restoran itu. Saya pun berpisah dengan Bart, walaupun akhirnya kami bertemu kembali dalam social event setelah acara makan malam itu dan selama conference keesokan harinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar