Jumat, 19 Juni 2015

Refleksi Ramadhan (2): Terima kasih, Kawan.

Namanya Gerwin, seorang Belanda tulen yang dua tahun lalu berhasil menyabet gelar doktor dari TU Delft di bidang prosthetic engineering. Sewaktu saya datang untuk studi di universitas tersebut, saya ditempatkan di salah satu sudut ruang kerja yang tidak jauh dari meja kerja Gerwin. Dari situlah, saya mengenal Gerwin, bercakap-cakap dan saling bertanya tentang Indonesia maupun Belanda. Awalnya saya menilai Gerwin sebagai seorang yang sangat serius hingga jarang berbicara. Maklum, setiap kali datang ke kampus, Gerwin sudah asyik dengan komputer dan pekerjaannya. Namun ternyata tebakan saya tidak sepenuhnya benar. Gerwin memang serius, tetapi ia cukup menyenangkan bila diajak bicara, apalagi berdiskusi yang agak-agak serius. Tentang Indonesia, ternyata Gerwin tahu banyak. Ia tahu Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto hingga yang terakhir terpilihnya Presiden Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Indonesia Oktober tahun lalu. Kadangkala, di sela-sela kesibukan kami masing-masing, Gerwin mengajak ngobrol tentang berita tentang Indonesia yang ia tonton di televisi. Dua tahun yang lalu, setelah ujian mempertahankan disertasinya, Gerwin memilih berlibur ke Indonesia, mengunjungi Jakarta, Jogja, Bali dan sebagainya. Usut punya usut, Gerwin memang tertarik dengan Indonesia, karena kakeknya dulu pernah bertugas di Indonesia semasa perang kemerdekaan. Apa yang dilakukan kakeknya di Indonesia saat perang tersebut, saya rasa tidak penting untuk dibahas. Yang jelas, Gerwin adalah salah satu teman baik dari Belanda yang pernah saya kenal.
 
Sehari sebelum Ramadhan tahun ini, saya sempat berjumpa dengan Gerwin yang kini sudah berbeda ruang dengan saya. Hari sudah mulai sore. Gerwin yang sekarang sedang post-doc di TU Delft sudah menggendong tas punggungnya untuk pulang. Sementara, saya masih harus membereskan pekerjaan sebelum akhirnya pulang juga. Seperti biasa, saya dan Gerwin saling sapa. Have a good evening. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan bertanya sesuatu kepada saya. “Aku dengar besok mulai Ramadhan ya?” tanyanya. Saya pun menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya sambil menjawab iya. Pembicaraan pun mengalir, hingga ia akhirnya menyalami saya, semoga sukses Ramadhan-mu yang mungkin terasa berat karena ada di puncak musim panas. Waktu siang hari menjadi sangat panjang. Ada rasa senang ketika seorang kawan seperti Gerwin ternyata cukup perhatian dengan apa yang saya lakukan sebagai seorang muslim, termasuk menjalankan puasa Ramadhan. Meski begitu, kami bisa saling bercerita tanpa menyentuh sisi akidah atau keyakinan masing-masing. Kami bisa saling menghormati dengan apa yang kami yakni masing-masing. Namun, lewat pembicaraan seperti tadi, kami saling mengetahui sisi religi dan budaya dari negeri masing-masing. Dengan begitu, hubungan interpersonal menjadi lebih baik, lingkungan kerja pun menjadi akrab dan nyaman.

Ada Gerwin, ada pula Sander yang juga asli Belanda. Sander adalah satu-satunya teknisi di grup riset tempat saya menjalankan penelitian S3 saya di TU Delft. Sama seperti Gerwin, Sander ternyata juga mempunyai ‘keterkaitan’ dengan Indonesia. Neneknya pernah tinggal di Indonesia dalam kurun waktu yang lama, tepatnya di Belitung. Sander sering bercerita tentang Indonesia. Ia kadang merasa malu ketika pembicaraan saya dengannya sedikit menyinggung masa kelam era kolonialisme Belanda di Indonesia. Ia juga sering berkelakar tentang bagaimana membuat sate ayam dan bumbunya, atau masakan Indonesia lain yang tidak asing di mulut saya. Sander pun adalah salah satu orang di kampus ini yang mengerti tentang ritual agama yang selalu saya lakukan. Ia tahu kebiasaan saya mengambil break sekitar jam 1 atau 2 siang atau sore hari untuk Sholat Dhuhur dan Ashar di sebuah mushola kecil di fakultas sebelah. Di hari Jumat, ia tahu bahwa saya harus mengerjakan Sholat Jumat, sehingga ia tidak akan mengagendakan suatu pekerjaan di laboratorium bersama saya di waktu-waktu sholat tersebut. 

Setelah Gerwin dan Sander, ada pula Helene. Gadis asli Prancis ini juga telah menyabet gelar doktor dari TU Delft sekitar setahun yang lalu di bidang instrumentasi medis. Sama seperti Gerwin, saya mengenal Helene karena meja kerja saya yang tak jauh dari meja kerjanya di masa awal studi di kampus ini. Suatu ketika, menjelang hari raya Idul Adha di tahun 2013, Helene menyapa saya dan bercerita bahwa ia menemukan sebuah artikel di salah satu surat kabar Prancis tentang perayaan hari raya ini. Helene rupanya penasaran apa itu Idul Adha, lalu ibadah haji yang dikerjakan di Mekkah di waktu yang bersamaan. Karena waktu itu Helene adalah inisiator program internationalpresentation di departemen tempat saya studi, ia meminta saya untuk mencoba bercerita di depan teman-teman lain tentang Idul Adha di acara tersebut. Saya pun mengiyakan. Tentu, di sini saya tidak bercerita tentang agama yang saya peluk ini secara mendalam. Saya hanya menunjukkan adalah apa yang dilakukan oleh umat Islam dalam Idul Adha, seperti halnya menjelaskan ritual suatu budaya tanpa menyinggung sisi-sisi keyakinan. Yang lebih penting lagi adalah menyampaikan makna di balik perayaan hari raya Idul Adha maupun haji, sehingga orang-orang seperti Helene, Gerwin dan Sander melihat sisi-sisi manusiawi dari Islam. 

Alhamdulillah. Di hari kedua Ramadhan kali ini, saya teringat pada mereka bertiga. Terima kasih atas perhatianmu, kawan.

Kamis, 18 Juni 2015

Refleksi Ramadhan (1): Marhaban ya Ramadhan



Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang bulan Ramadhan, bulan suci yang menenangkan bagi orang-orang yang mampu meresapi makna kehadirannya. Seorang kawan beberapa jam yang lalu sempat berujar dalam status facebook-nya. Isinya kira-kira begini, Ramadhan tahun kemarin rasanya baru kemarin. Benar juga pendapat kawan saya tadi. Cepat sekali rasanya satu tahun berjalan. Setahun lalu, Ramadhan hadir di tengah hiruk pikuknya putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil, yang akhirnya dimenangkan oleh tim panser Jerman. Tak terasa, Maghrib kemarin adalah pertanda bulan suci ini kembali mengetuk pintu hidup kita di tahun ini. Tentu, ada rasa syukur yang terpanjatkan kepada Sang Pemilik Hidup yang telah mempertemukan kita, memberikan kesempatan kita untuk bernafas sambil membukakan pintu tadi dan menyambut kedatangan bulan suci ini.



Tahun ini, saya masih harus menjamu Ramadhan di Belanda. Tahun ini adalah yang keempat bagi saya, setelah tahun 2010 di Groningen, 2013 di Delft dan 2014 di Delft-Schiedam. Tentu saja ada yang berbeda dengan saat menjamu Ramadhan di tanah air. Yang jelas, rentang waktu berpuasa sangat berbeda. Bila di Jogja berpuasa cukup dengan 14 jam saja, maka berpuasa di Belanda di musim panas seperti sekarang ini harus dilakukan 5 jam lebih lama. Malam harinya harus dilalui sebentar saja. Berat? Secara manusiawi, iya. Namun, ya inilah salah satu yang diajarkan oleh sang tamu agung ini. Ikhlas, mungkin adalah kuncinya, sekalipun menjalaninya tidaklah semudah dan seringan mengatakannya. Berat mungkin akan menjadi ringan bila ikhlas menjalaninya. Selain itu, tidak ada jaminan akan lebih banyak pahala atau menjadi lebih hebat karena kita berpuasa lebih lama di Belanda atau Eropa seperti sekarang ini. Hanya ikhlas saja yang jelas akan menambah pahala maupun kemanfaatan dalam menjalani bulan suci ini. Dan, ikhlas itu bukanlah sesuatu yang dilontarkan, diucapkan atau dituliskan sebagai sebuah status di media sosial. 

Akhir kata, bagi pembaca yang menjalankannya, selamat berpuasa dan beribadah lainnya di bulan Ramadhan tahun ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang cerdas dan mampu mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari sang tamu agung yang hanya singgah selama sebulan ini.


Senin, 01 Juni 2015

Presentasi poster ilmiah

Presentasi poster ilmiah seringkali dianggap remeh oleh sebagian orang, bahkan termasuk di antaranya para peneliti itu sendiri. Dulu, saya pun ikut ‘terpancing’ meremehkan presentasi poster dalam sebuah forum konferensi atau seminar. Siapa yang memancing saya, itu tidak penting. Yang lebih penting, saat ini saya sudah sadar, bahwa presentasi poster itu sama berharganya dengan presentasi oral dalam sebuah seminar atau konferensi. 

Kapan saya sadar? Pertanyaan yang tidak penting juga. Namun tidak ada salahnya saya bercerita, wong saya juga manusia biasa yang tidak luput dari segala kesalahan, huhuhuuu… Saya sadar setelah akhirnya abstrak yang saya kirimkan untuk sebuah konferensi di Belanda hanya diterima untuk sebuah presentasi poster. Padahal, awalnya saya sangat optimis abstrak tersebut bisa diterima untuk presentasi oral. Ya, sudah. Jujur, mulanya saya kalut juga menerima keputusan dari panitia konferensi ini. Namun, seiring waktu berjalan, saya mulai menerimanya dan berjanji dalam hati tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik ini, walaupun maksud hati tidak tercapai. Hihihiii…
 
Poster saya untuk PhD day di Faculty of Mechanical, Maritime and Materials Engineering, TU Delft
Walaupun sebagian orang meremehkan, mempersiapkan dan melakukan presentasi poster itu sendiri sebenarnya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bila dalam presentasi oral, seorang presenter dituntut ringkas dalam presentasinya karena keterbatasan waktu, maka dalam presentasi poster, batasan itu berasal dari ruang yang tersedia pada kertas poster. Memang tersedia ukuran kertas yang lebar, utamanya A1 dan A0 yang biasa dipakai sebagai standar ukuran poster ilmiah. Namun, menyusun kata, gambar dan aliran presentasi hingga mengalun halus, ringkas, jelas dan atraktif bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan latihan beberapa kali hingga mampu merumuskan semuanya itu dengan baik pada kertas yang tersedia. 

Presentasi poster setidaknya sudah saya lakukan tiga kali selama menjadi mahasiswa S3 di TU Delft. Yang pertama adalah sebuah presentasi di Euro Powder Metallurgy 2013 Conference and Exhibition, di Gothenburg, Swedia. Sayang sekali, saya tidak dapat berangkat ke konferensi tersebut karena alasan keterbatasan finansial. Akhirnya, pembimbing saya yang mengambil alih tugas presentasi tersebut karena kebetulan beliau juga mendapat mandat sebagai salah satu reviewer dalam konferensi tersebut. Tak masalah, karena saya pun akhirnya kecipratan ‘berkah’ dengan mengikuti konferensi itu. Makalah saya dalam prosiding seminar tersebut diminta oleh sebuah penerbit untuk diterbitkan sebagai salah satu artikel ilmiah di salah satu jurnal yang diterbitkannya.

Presentasi poster kedua dilakukan di Belanda dalam The 5th Dutch Biomedical Engineering Conference. Lokasi seminar berada di ujung kota Alkmaar, tepatnya di Egmond aan Zee yang berada di tepi pantai barat Belanda. Kali ini saya full mempersiapkan dan melakukan presentasi itu sendiri. Seminar inilah yang saya sebut di atas telah mengajarkan saya untuk tidak meremehkan presentasi poster.

Yang terakhir adalah sebuah presentasi dalam acara PhD day di fakultas saya di TU Delft. Walaupun acaranya sebenarnya kurang berbau ilmiah, saya tidak ambil pusing. Saya ambil kesempatan ini untuk belajar mendesain poster lagi. Dan yang lebih penting, belajar dari kawan lain sesama peserta perihal bagaimana berkomunikasi dan menampilkan poster kita sebaik mungkin di hadapan audiens yang menghampiri poster kita.