Namanya Gerwin, seorang Belanda tulen yang dua
tahun lalu berhasil menyabet gelar doktor dari TU Delft di bidang prosthetic engineering. Sewaktu saya
datang untuk studi di universitas tersebut, saya ditempatkan di salah satu
sudut ruang kerja yang tidak jauh dari meja kerja Gerwin. Dari situlah, saya
mengenal Gerwin, bercakap-cakap dan saling bertanya tentang Indonesia maupun Belanda.
Awalnya saya menilai Gerwin sebagai seorang yang sangat serius hingga jarang
berbicara. Maklum, setiap kali datang ke kampus, Gerwin sudah asyik
dengan komputer dan pekerjaannya. Namun ternyata tebakan saya tidak sepenuhnya
benar. Gerwin memang serius, tetapi ia cukup menyenangkan bila diajak bicara,
apalagi berdiskusi yang agak-agak serius. Tentang Indonesia, ternyata Gerwin
tahu banyak. Ia tahu Presiden
Soekarno dan Presiden Soeharto hingga yang terakhir terpilihnya Presiden Joko
Widodo sebagai orang nomor satu di Indonesia Oktober tahun lalu. Kadangkala, di
sela-sela kesibukan kami masing-masing, Gerwin mengajak ngobrol tentang berita tentang
Indonesia yang ia tonton di televisi. Dua tahun yang lalu, setelah ujian
mempertahankan disertasinya, Gerwin memilih berlibur ke Indonesia, mengunjungi
Jakarta, Jogja, Bali dan sebagainya. Usut punya usut, Gerwin memang tertarik dengan
Indonesia, karena kakeknya dulu pernah bertugas di Indonesia semasa perang
kemerdekaan. Apa yang
dilakukan kakeknya di Indonesia saat perang tersebut, saya rasa tidak penting
untuk dibahas. Yang jelas, Gerwin adalah salah satu teman baik dari Belanda yang
pernah saya kenal.
Sehari sebelum Ramadhan tahun ini, saya sempat
berjumpa dengan Gerwin yang kini sudah berbeda ruang dengan saya. Hari
sudah mulai sore. Gerwin yang sekarang sedang post-doc di TU Delft sudah menggendong tas punggungnya untuk
pulang. Sementara, saya masih
harus membereskan pekerjaan sebelum akhirnya pulang juga. Seperti biasa, saya
dan Gerwin saling sapa. Have a good
evening. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan bertanya sesuatu kepada saya.
“Aku dengar besok mulai Ramadhan ya?” tanyanya. Saya pun menghentikan langkah
dan berbalik ke arahnya sambil menjawab iya. Pembicaraan pun mengalir, hingga
ia akhirnya menyalami saya, semoga sukses Ramadhan-mu yang mungkin terasa berat
karena ada di puncak musim panas. Waktu siang hari menjadi sangat panjang. Ada
rasa senang ketika seorang kawan seperti Gerwin ternyata cukup perhatian dengan
apa yang saya lakukan sebagai seorang muslim, termasuk menjalankan puasa Ramadhan.
Meski begitu, kami bisa saling bercerita tanpa menyentuh sisi akidah atau
keyakinan masing-masing. Kami bisa saling menghormati dengan apa yang kami
yakni masing-masing. Namun, lewat pembicaraan seperti tadi, kami saling
mengetahui sisi religi dan budaya dari negeri masing-masing. Dengan begitu,
hubungan interpersonal menjadi lebih baik, lingkungan kerja pun menjadi akrab
dan nyaman.
Ada Gerwin, ada pula Sander yang
juga asli Belanda. Sander adalah satu-satunya teknisi di grup riset tempat saya
menjalankan penelitian S3 saya di TU Delft. Sama seperti Gerwin, Sander ternyata
juga mempunyai ‘keterkaitan’ dengan Indonesia. Neneknya pernah tinggal di Indonesia dalam
kurun waktu yang lama, tepatnya di Belitung. Sander sering bercerita tentang
Indonesia. Ia kadang merasa malu ketika pembicaraan saya dengannya sedikit
menyinggung masa kelam era kolonialisme Belanda di Indonesia. Ia juga sering
berkelakar tentang bagaimana membuat sate ayam dan bumbunya, atau masakan
Indonesia lain yang tidak asing di mulut saya. Sander pun adalah salah satu
orang di kampus ini yang mengerti tentang ritual agama yang selalu saya lakukan.
Ia tahu kebiasaan saya mengambil break sekitar
jam 1 atau 2 siang atau sore hari untuk Sholat Dhuhur dan Ashar di sebuah
mushola kecil di fakultas sebelah. Di hari Jumat, ia tahu bahwa saya harus
mengerjakan Sholat Jumat, sehingga ia tidak akan mengagendakan suatu pekerjaan
di laboratorium bersama saya di waktu-waktu sholat tersebut.
Setelah Gerwin dan Sander, ada
pula Helene. Gadis asli Prancis ini juga telah menyabet gelar doktor dari TU
Delft sekitar setahun yang lalu di bidang instrumentasi medis. Sama seperti
Gerwin, saya mengenal Helene karena meja kerja saya yang tak jauh dari meja
kerjanya di masa awal studi di kampus ini. Suatu ketika, menjelang hari raya
Idul Adha di tahun 2013, Helene menyapa saya dan bercerita bahwa ia menemukan sebuah
artikel di salah satu surat kabar Prancis tentang perayaan hari raya ini.
Helene rupanya penasaran apa itu Idul Adha, lalu ibadah haji yang dikerjakan di
Mekkah di waktu yang bersamaan. Karena
waktu itu Helene adalah inisiator program internationalpresentation di departemen tempat saya studi, ia meminta saya untuk mencoba
bercerita di depan teman-teman lain tentang Idul Adha di acara tersebut. Saya
pun mengiyakan. Tentu, di sini saya tidak bercerita tentang agama yang saya
peluk ini secara mendalam. Saya hanya menunjukkan adalah apa yang dilakukan
oleh umat Islam dalam Idul Adha, seperti halnya menjelaskan ritual suatu budaya
tanpa menyinggung sisi-sisi keyakinan. Yang lebih penting lagi adalah menyampaikan
makna di balik perayaan hari raya Idul Adha maupun haji, sehingga orang-orang
seperti Helene, Gerwin dan Sander melihat sisi-sisi manusiawi dari Islam.
Alhamdulillah. Di hari kedua Ramadhan kali ini, saya teringat
pada mereka bertiga. Terima kasih atas perhatianmu, kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar