Minggu, 30 Agustus 2015

Menyambangi Pasar Keju di Gouda

Bagi kebanyakan orang, Gouda mungkin bukanlah sebuah kota yang populer di Belanda. Tidak seperti Amsterdam, Den Haag atau Rotterdam yang selama ini menjadi kota tujuan wisata dan gampang ditemui di berbagai artikel, buku, maupun brosur wisata di Eropa. Gouda memang hanya kota kecil dan bukan pula kota pendidikan seperti Utrecht, Leiden, Delft maupun Groningen. Namun, Gouda ternyata memiliki ciri khas sendiri yang membuatnya berbeda dibandingkan kota-kota yang lain di Belanda. 

Gouda Kaasmarkt!
Adalah keju yang membuat Gouda terkenal. Keju, atau kaas dalam bahasa Belanda, menjadi objek yang diunggulkan oleh pemerintah Kota Gouda untuk menarik perhatian wisatawan yang sedang berkunjung ke Belanda. Meski kotanya kecil, Gouda dikenal sebagai penghasil keju di Belanda. Keju buatan orang Gouda dikenal dengan nama Goudse Kaas dan hampir selalu dapat ditemui di berbagai supermarket di Belanda. Untuk menjaga kelestarian tradisi membuat keju istimewa ini, pemerintah setempat mengadakan sebuah event khusus yang mereka sebut dengan Gouda Kaas Markt, atau pasar keju Gouda. 

Mas-mas dan mbak berpakaian tradisional Belanda turut meramaikan pasar unik ini.
Katanya, beginilah cara tawar menawar secara tradisional dalam transaksi jual-beli keju. Mirip seperti main hom-pim-pa, tapi telapak tangan dari penjual dan pembeli saling bertepuk satu sama lain sambil menawar harga keju. 
Pasar keju di Gouda diadakan setiap hari Kamis selama musim semi dan panas, tepatnya selama bulan April hingga Agustus, dengan mengambil tempat di pelataran centrum atau pusat Kota Gouda. Di tempat ini pula, berdiri megah gedung balai kota atau stadhuis, yang mempunyai arsitektur unik dan kini difungsikan sebagai museum. Di pasar ini, pengunjung akan menjumpai jejeran keju yang dipajang selama hampir setengah hari. Selain itu, beberapa orang sengaja berpakaian tradisional Belanda dan menunjukkan bagaimana proses bongkar-muat dan jual-beli keju di masa lalu terjadi di Belanda. Suasana tradisional semakin terasa ketika sepasang kuda datang menarik sebuah gerobak tradisional yang digunakan sebagai alat angkut keju di masa silam. Sementara itu, sepasang kuda yang lain datang menarik sebuah kereta yang bertuliskan ‘De Goudse Kaasexpress’ dan mengusung beberapa buah keju di atapnya. Atraksi unik ini dipandu oleh seorang MC yang menjelaskan jalannya acara dalam bahasa Belanda. Pengunjung juga dapat menyambangi museum keju bila ingin menyaksikan lebih detil segala sesuatunya tentang keju di Gouda. Letak museum ini berada persis di seberang pasar keju.
Sepasang kuda menarik kereta 'De Goudse Kaasexpress' dengan jejeran keju di atapnya. Di belakangnya berdiri sebuah museum tentang keju.
Pasar keju dengan latar belakang balai kota Gouda yang unik arsitekturnya.

Secara geografis, Gouda terletak di antara dua kota besar di Belanda, yakni Rotterdam dan Utrecht. Pembaca hanya perlu menyisihkan waktu 18 menit saja dengan kereta untuk pergi menuju Stasiun Gouda dari Stasiun Rotterdam Centraal, yang menjadi salah satu hub utama jaringan kereta di Belanda. Harga tiket kereta untuk rute ini dipatok 4,9 Euro sekali jalan. Sesampainya di stasiun kereta Gouda, pengunjung dapat berjalan kaki sekitar 10 menit menuju centrum kota tersebut. Bila musim semi atau panas tiba, pembaca sedang berada di Belanda dapat menyambangi pasar keju Kota Gouda ini sebagai tujuan wisata alternatif. Mengunjunginya juga membuat pembaca belajar bagaimana tradisi jual-beli keju di Belanda ini dilestarikan, hingga akhirnya negeri kincir angin ini juga dijuluki sebagai negeri penghasil keju di dunia.

Minggu, 16 Agustus 2015

Sehari di Liege


Liege, sebuah kota di Belgia yang berbatasan langsung dengan dua wilayah di dua negara: Maastricht di Belanda dan Aachen di Jerman. Ketiganya membentuk titik tiga negara di suatu tempat yang disebut Drielandenpunt dalam bahasa Belanda. Meski demikian, dibanding kedua kota tetangganya tersebut, sepertinya Liege kurang begitu populer. Di Belgia sendiri, Liege juga tidak setenar Brussels, Antwerp dan Brugge. Namun, ternyata kota di timur laut Belgia yang dibelah oleh Sungai Meuse ini tetap mempunyai keunikan tersendiri.

Liege (Sumber gambar: kids.britannica.com)
Perjalanan saya menuju Liege kali ini diawali dari stasun Rotterdam Centraal di Belanda. Perlu diketahui, stasiun ini merupakan salah satu hub utama jaringan kereta di Belanda. Dari Rotterdam, saya melanjutkan perjalanan dengan kereta menuju Maastricht, kota di Belanda yang berbatasan langsung dengan Liege. Perjalanan dari Rotterdam ke Maastricht ditempuh selama kurang lebih 2,5 jam melalui Stasiun Eindhoven untuk berganti kereta. Normalnya, tiket kereta Rottedam-Maastricht dapat dibeli dengan harga 24,7 Euro. Namun kali ini, saya menggunakan dagkaart, tiket murah seharga 13,99 Euro yang dijual selama periode tertentu di Kruidvat, sebuah jaringan toko kebutuhan sehari-hari di Belanda. Walaupun hanya bisa dipakai di hari Sabtu dan Minggu selama periode tertentu, tiket seperti ini dapat digunakan untuk bepergian kemanapun dengan kereta di dalam wilayah Belanda selama satu hari penuh.

Kiri: Kereta yang menghubungkan antara Maastricht dan Liege-Guillemins. Kanan: Tiket-tiket yang digunakan untuk perjalanan kereta menuju dan dari Liege.
Sampai di Maastricht, perjalanan dilanjutkan menuju Liege dengan kereta milik perusahaan kereta Belgia. Perjalanan menuju Stasiun Liege-Guillemins dari Maastricht ditempuh selama kurang lebih setengah jam saja. Tiket yang saya pakai seharga 6,2 Euro saja untuk pulang-pergi dan bisa dibeli di mesin tiket ataupun Stasiun Maastricht.
Stasiun Liege-Guillemins
Liege, atau dalam bahasa Belanda ditulis ‘Luik’, mempunyai daya tarik tersendiri. Kotanya beraroma budaya Prancis, termasuk bahasa sehari-hari yang dipakai penduduknya. Stasiun Liege-Guillemins sendiri mempunyai arsitektur yang unik, dibangun membentuk jaring-jaring struktur melengkung yang anggun dan berwarna putih. Dari stasiun ini, saya bersama keluarga dan kawan berangkat menuju beberapa titik kota utama yang memang sengaja sudah kami persiapkan sebelumnya, antara lain pusat kota, Palais des Princes Evêques dan bangunan tangga Montagne de Bueren. Meski sudah dipersiapkan sebaik mungkin, ternyata keadaan di lapangan selalu penuh dengan kejutan, termasuk tersesat di tengah kota dan hujan. Beruntung, seorang polisi yang sedang berpatroli di dekat area tersebut membantu menunjukkan arah tempat-tempat yang ingin kami tuju.

Palais des Princes Evêques
Tujuan kami di Palais des Princes Evêques akhirnya tercapai setelah ‘tersesat’ beberapa kali di dalam kota Liege. Istana besar tersebut konon merupakan tempat tinggal Prince Bishop di abad ke-10. Pemugaran dan penambahan bangunan di area istana ini dilakukan beberapa kali setelahnya. Saat ini, bangunan bersejarah ini digunakan untuk kepentingan pemerintah provinsi Liege. 

Pusat kota atau centre Liege
Dari Palais des Princes Evêques, perjalanan kami dilanjutkan menuju Montagne de Bueren, bangunan mendaki dengan 343 anak tangga menuju sebuah bukit di Liege. Dalam perjalanan menuju tempat tersebut, kami melalui pusat atau centre kota Liege, yang ukurannya sebenarnya tidaklah terlalu besar. Namun, tetap menarik untuk dikunjungi. Kurang lebih berjalan 15 menit dari Palais, sampailah kami di Montagne de Bueren. 

Montagne de Bueren
Pemandangan Kota Liege dengan Sungai Meuse-nya dari Montagne de Bueren
Konon, bangunan bersejarah ini dibangun untuk memudahkan pasukan Belgia yang berjaga di bukit tersebut untuk turun menuju pusat kota Liege. Di puncak bukit, pengunjung dapat menyaksikan indahnya pemandangan kota Liege dengan Sungai Meuse dan jembatan-jembatan besar yang membelahnya. Tidak jauh dari anak tangga terakhir di Montagne de Bueren terdapat sebuah monumen yang berkisah tentang para prajurit Belgia pada Perang Dunia I dan II.

Monumen di puncak bukit Montagne de Bueren
Area di puncak bukit Montagne de Bueren
Selama empat jam saya mengitari kota Liege sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Rotterdam. Rute kembali menuju Rotterdam ditempuh dengan jalur yang sama pada saat berangkat, yakni melalui Maastricht dan Eindhoven. Total waktu perjalanan dan berwisata ke Liege kali ini adalah sekitar 12 jam, cukup memuaskan untuk sekedar jalan-jalan dan menikmati kota seperti Liege.

Senin, 03 Agustus 2015

Gowes Rotterdam

Mau liburan yang super hemat tapi tetap memuaskan? 

Ada banyak alternatif jawaban dari pertanyaan di atas, karena budget terbatas hampir selalu membuat setiap orang lebih kreatif, termasuk dalam merencanakan kegiatan di kala liburan. Yang jelas, liburan di musim panas di Belanda (zommervakantie), sayang sekali bila dilewatkan begitu saja. Hanya saja, liburan musim panas tadi seringkali dibarengi dengan kondisi anggaran yang sudah tipis, yang mungkin hanya cukup untuk menopang hidup secara normal, tanpa agenda berlibur ke kota-kota lain baik di dalam maupun luar Belanda. Meski begitu, solusi tetap harus dihadirkan, karena momen liburan di bawah sorot mentari khas musim panas adalah kesempatan langka bagi saya di Belanda.

Musim panas tahun ini, saya dan istri mencoba satu hal baru di luar kebiasaan kami setiap liburan anak tiba selama satu tahun ini. Gowes. Atau, bersepeda ria. Menurut kami, inilah salah satu cara liburan yang tetap menyenangkan namun hemat. Pengalaman nggowes yang akan saya ceritakan berikut sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun selama perjalanan.

Gowes Rotterdam! Minggu, 2 Agustus, kami ‘berlibur’ ke Rotterdam dengan sepeda. Rumah sementara kami di Schiedam hanya terpaut beberapa ratus meter saja dari perbatasan dengan Rotterdam. Meski dekat dengan perbatasan, untuk mencapai pusat kota Rotterdam, kami masih harus bersepeda sekitar 6 km. Lumayan jauh bagi orang Indonesia jaman sekarang yang sebenarnya tidak terbiasa bersepeda. Walau demikian, niat awal kami bersepeda kali ini bukan untuk mencapai garis finish di suatu tempat di Rotterdam, melainkan untuk menikmati proses bersepedanya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bersepeda adalah bagian hidup orang Belanda. Karenanya, jalur sepeda memang sudah tertata dan terfasilitasi dengan baik, serta tentunya nyaman dan aman.

Tujuan gowes kami adalah Erasmusbrug, sebuah jembatan yang menjadi ikon Rotterdam. Jembatan berkawat ini menghubungkan sungai Nieuwe Mass yang membelah Rotterdam. Saking besarnya, Nieuwe Mass menjadi jalur lalu lalang kapal-kapal besar pengangkut kontainer barang. Aktivitas lalu lalang kapal di sungai ini mengingatkan saya tentang pelajaran geografi di sekolah dasar dan menengah dulu. Rotterdam adalah salah satu pelabuhan terbesar di Eropa, yang menjadi salah satu gerbang tersibuk di benua biru ini. Begitu katanya. Kami berangkat berbekal buku promo wisata beberapa kota Belanda kiriman gratis dari Nederlandse Spoorwegen (NS) -semacam PT KAI-nya Belanda. Dua buah sepeda menjadi kendaraan kami. Masing-masing sudah dilengkapi dengan boncengan untuk anak kami, sehingga ia leluasa memilih mau duduk bersama saya atau istri saya. 

Sepeda kami dengan latar belakang Erasmusbrug. Gambar ini diambil pada kunjungan pertama kami ke Erasmusbrug tahun 2014 lalu.

Dalam perjalanan menuju Erasmusbrug, kami sempat menyinggahi Rotterdam Centraal Station. Di depan stasiun kereta berarsitektur ‘tidak biasa’ ini kami beristirahat sebentar. Perjalanan ke Erasmusbrug kami lanjutkan melewati Coolsingel, jalan arteri yang terhubung dengan pusat kota Rotterdam. Di sisi jalan ini terdapat balai kota, atau stadhuis, yang megah berpadu dengan langit biru ketika kami melewatinya. Kami lewati pula Beurs, salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang pernah saya temui di Belanda. Sesampainya di ujung Coolsingel, tibalah kami di bibir Erasmusbrug. Kami putuskan untuk menyeberangi Nieuwe Maas melalui jembatan itu. Jembatan besar nan kokoh tadi ternyata cukup stabil saat mobil, bus dan tram berlalu lalang melaluinya. Jalur sepeda dan pejalan kaki pun disediakan dengan ukuran yang cukup lapang, sehingga pengguna jalur ini dapat merasakan desiran angin sambil menikmati pemandangan sungai besar ini. Perjalanan mengesankan di jembatan ini berakhir di turunan di daerah Wilhelminaplein.

Peta perjalanan kami dari Rotterdam Centraal Station menuju Erasmusbrug (Sumber gambar: googlemaps)

Rotterdam Centraal Station
Stadhuis, atau semacam balai kota Rotterdam 
Erasmusbrug
Kami sengaja tidak memperpanjang perjalanan kami sesampainya di Wilhelminaplein. Pulang ke rumah adalah tujuan kami berikutnya. Namun, kami memutuskan untuk melewati jalur yang berbeda untuk pulang, yakni melewati dua jembatan besar yang lain di sisi timur Erasmusbrug, yakni Koninginnebrug dan Willemsbrug. Dalam perjalanan menuju kedua jembatan tersebut, kami menemukan tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat sembari melihat Nieuwe Maas beserta segala aktivitas perkapalannya. Di tempat ini, kami buka bekal yang kami bawa. Sekali lagi, ini adalah liburan hemat, jadi bekal ini sengaja kami persiapkan dari rumah untuk dinikmati di tempat tujuan. Lumayan, mie goreng dan irisan mangga cukup mengenyangkan perut setelah bersepeda dalam waktu yang relatif lama. Hehehe…

Di sini tempat kami beristirahat sambil menikmati pemandangan Nieuwe Maas
Kenyang dengan bekal kami, perjalanan dilanjutkan menyasar kedua jembatan besar yang saya sebut tadi. Koninginnebrug adalah yang pertama kali kami lewati. Jembatan yang tampak terbuat dari rangka-rangka baja ini tidaklah panjang, dan bentuknya lebih sederhana dari Erasmusbrug maupun Willemsbrug. Di samping jembatan ini, kami saksikan De Hef, bangunan berwarna hijau yang konon adalah jembatan kereta. Namun saat ini tampaknya sudah tidak difungsikan lagi.

Koninginnebrug
De Hef
Turun dari Koninginnebrug, kami masuk ke tanjakan lagi menuju Willemsbrug. Jembatan dengan rangka merah ini mengingatkan saya akan jembatan Suramadu yang pernah saya lewati. Walau jauh lebih kecil dari Suramadu, Willemsbrug juga mempunyai dua kaki utama yang kokoh dan menjulang tinggi. Seperti di dua jembatan yang sudah kami lalui, jalur sepeda yang lapang juga tersedia, sehingga memudahkan bagi saya untuk mengambil beberapa foto di atas jembatan tadi. Tur di Willemsbrug berakhir di salah satu sudut Rotterdam yang terkenal, yakni Oudehaven, atau pelabuhan tua, dimana beberapa kapal tua diparkir berjejer di sebuah pelabuhan kecil. Di sekelilingnya berderet restoran ala negeri barat. 

Lajur sepeda berdampingan dengan lajur bus dan mobil di Willemsbrug 

Willemsbrug

Perjalanan pulang kami berlanjut melewati Rotterdam Blaak. Di tempat ini berdiri Markthal, sebuah kompleks pertokoan besar yang masih relatif baru di Rotterdam. Yang juga menarik adalah Kubuswoningen atau rumah kubus, yang juga menjadi ikon Rotterdam dan terletak di dekat Markhal. 

Oudehaven dengan latar belakang Kubuswoningen  
Markthal

Kubuswoningen
Kali ini, kami sengaja tidak mampir ke tempat-tempat tersebut, karena jarum jam sudah menunjuk angka setengah tujuh sore. Beberapa waktu sebelumnya, kami juga sudah mengunjunginya. Keluar dari Blaak, kami bertemu lagi dengan Rotterdam Centraal Station dan beranjak pulang menuju jalur sepeda ke Schiedam lagi.

Minggu, 02 Agustus 2015

Janjiku Padamu

Kamis, 31 Maret 2011. 

Dibarengi mendung dan rintik hujan yang membasahi landasan pacu Amsterdam Schipol Airport, saya berjanji dalam hati untuk membawa kembali anak saya melihat dan menghirup udara di sebuah kota yang sangat berarti baginya, Groningen. Tak berselang lama, pesawat Boeing 747 Malaysia Airlines membawa saya, istri dan anak saya kembali ke Indonesa. Groningen tidak lagi ada di depan mata kami.


“Akhirnya, kupenuhi janjiku padamu, Nak. Janjiku 4 tahun 4 bulan yang lalu untuk membawamu ke kota ini lagi. Kota tempatmu mengawali episode-episode kehidupanmu.”

Sabtu, 1 Agustus 2015. 

Setelah melalui perjalanan panjang dari Belanda selatan sampailah kami bertiga lagi di Groningen yang berada di ujung utara negeri itu. Ada sebuah kelegaan, ada sebuah kepuasan, ketika sebuah janji terpenuhi, terlebih janji untuk orang-orang yang ada di hati.