Sabtu, 26 November 2016

Tahun Keempat: Last but not the least!


Setelah tiga tulisan sebelumnya, kini tibalah saatnya saya memungkasi cerita seputar perjalanan studi doktoral di Belanda dari tahun ke tahun (simak kembali tulisan-tulisan saya lewat tautan berikut: Bagian1, Bagian 2 dan Bagian 3). Di tulisan ini, saya mengalirkan alur cerita menuju tahun keempat perjalanan waktu seorang kandidat doktor di universitas di Belanda. Tentu saja, banyak hal yang harus dilakukan di masa yang terbilang sulit dan kritis bagi kebanyakan calon doktor lulusan Belanda! 

Sebenarnya sulit bagi saya untuk menyebut tahun keempat ini sebagai tahun terakhir perjalanan studi seorang kandidat doktor di Belanda. Mungkin, lebih tepat bila disebut “Last, but not the least!” Dalam kurikulumnya, tahun keempat memang disebut sebagai tahun terakhir masa mahasiswa doktor di Belanda. Meski demikian, tidak sedikit kandidat yang harus menambah waktu beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, hingga akhirnya diwisuda dan secara resmi berhak menyandang predikat doktor. Alasannya bukan melulu karena si kandidat itu kurang cakap atau tidak punya kompetensi untuk menyelesaikan studinya. Namun, seringkali memang murni karena kurangnya waktu untuk menyelesaikan penelitian sekaligus buku disertasi, walaupun mahasiswa yang bersangkutan cukup serius dan tidak main-main dengan proyek penelitian yang dijalankannya.
Sumber gambar: http://www.phdcomics.com


Di tahun keempat, mau tidak mau, suka tidak suka, seorang kandidat doktor di universitas di Belanda hendaknya sudah harus mempersiapkan semua hasil penelitiannya yang diperoleh selama tiga tahun sebelumnya untuk dijadikan sebuah buku tesis atau disertasi. Ada beberapa catatan yang dapat saya rangkum dalam poin-poin berikut, tentang apa saja yang (mungkin) sebaiknya harus dilakukan oleh seorang kandidat doktor di sepanjang tahun keempat ini.

1. Mengikuti kuliah tentang tata cara mempersiapkan buku disertasi

Di negara manapun, buku tesis atau disertasi rasanya adalah syarat utama yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk lulus program doktornya. Buku ini diibaratkan sebagai sebuah masterpiece, sebuah kebanggaan dan bukti keahlian yang selama tiga atau empat tahun terakhir diasah oleh sang doktor baru. Oleh karenanya, buku tesis atau disertasi haruslah dipersiapkan dan disusun sebaik-baiknya. Tentu, banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi dan dijalani pada saat menyusunnya. Untuk membantu para mahasiswa doktoralnya, beberapa universitas di Belanda mempunyai program kuliah khusus  tentang penulisan disertasi. Sebagai contoh, sejak penataan kurikulum program doktoralnya di tahun 2012, TU Delft di Belanda menawarkan sebuah mata kuliah yang berjudul ‘Writing Dissertation’ kepada seluruh mahasiswa doktoralnya. Kuliah ini secara khusus diperuntukan bagi para mahasiswa yang sudah menapaki di tahun ketiganya. Harapannya, setelah sang kandidat sudah mengambil kuliah tersebut, ia tidak akan terlalu kerepotan dalam mempersiapkan naskah disertasinya di tahun keempat dan selesai sesegera mungkin di sekitar tahun tersebut. Memang, setiap detik di tahun keempat boleh jadi sangat berharga bagi para kandidat untuk menyelesaikan eksperimen yang sedang dilakukannya, mengingat waktu yang semakin terbatas. Akibatnya, mengikuti kuliah-kuliah umum di luar rangkaian agenda penelitian sering dirasa hanya membuang waktu saja. Namun, berinvestasi dengan meluangkan beberapa jam untuk mengikuti kuliah tersebut selama beberapa minggu saja rasanya tidak akan sia-sia, bahkan sangat membantu dalam menyelesaikan draft atau naskah buku tesis atau disertasi. 

Bagi saya, perkuliahan tentang menulis disertasi ini cukup menarik dan bermanfaat untuk diikuti. Sebagai gambaran, peserta diberikan kesempatan mengikuti tujuh kali pertemuan yang masing-masing berdurasi sekitar 3 jam. Dosen selalu memberikan pengantar tentang bagaimana menulis buku disertasi dengan gaya khas universitas di Belanda. Perlu untuk diketahui, buku disertasi ala universitas di Belanda selalu dipersiapkan layaknya sebuah buku teks, bukan seperti skripsi yang dicetak satu sisi saja dan dijilid di tempat fotokopian sebagaimana halnya di Indonesia. Buku disertasi di Belanda dibuat secantik mungkin dengan lay-out dan sampul yang menarik. Ada dua gaya yang dianut dalam merumuskan buku disertasi, yakni bentuk monograph dan bentuk kompilasi artikel ilmiah yang telah dipublikasikan atau masih dalam tahap di-review untuk publikasi dalam jurnal ilmiah internasional. Semua ini akan disampaikan saat kuliah. Oleh karenanya, bagi kandidat yang belum terbiasa dengan gaya penulisan disertasi seperti ini, wajib rasanya mengikuti kuliah seperti ini.

Selain memandu kuliah klasikal, dosen mata kuliah ini juga memberikan tugas agar para kandidat berlatih merumuskan dan menuliskan hasil-hasil penelitiannya ke dalam buku disertasi. Tugasnya boleh dibilang banyak dan menyita waktu, karena pekerjaan rumah selalu diberikan setiap kali pertemuan dan harus dikerjakan serta dikumpulkan sebagai bahan diskusi untuk pertemuan selanjutnya. Namun, semua tugas ini pada akhirnya memberikan keuntungan kembali pada mahasiswa yang bersangkutan, karena didasarkan pada bahan-bahan yang telah kita punyai dan selanjutnya akan disusun dalam buku disertasi. Di pertemuan selanjutnya, apa yang kita tuliskan selanjutnya akan dikomentari oleh dosen, sehingga cukup bermanfaat untuk mengasah sejauh mana kemampuan kita dalam menulis disertasi.

2. Mencari titik perhentian dari alur penelitian doktoral yang dilakukan

Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan orang Belanda, saya mendapat sebuah pemahaman baru. Kawan saya tadi bertanya kapan studi saya selesai. Setengah panjang lebar saya menjawab pertanyaan tadi. Saya jawab beberapa bulan lagi, setelah proyek penelitian saya tuntas karena saat ini (baca: tahun keempat) masih mengerjakan beberapa eksperimen. Spontan, kawan saya tadi menyanggah sambil tersenyum. Menurutnya, sampai kapanpun saya tidak akan bisa menyelesaikan proyek saya ini dengan tuntas bila di tahun keempat saja masih bermimpi mengerjakan ini-itu agar disertasi tampak sempurna. Ia mengoreksi ucapan saya, bahwa di tahun keempat itu semestinya saya sudah harus berfokus pada bagaimana mengakhiri proyek penelitian yang dijalankan, dengan catatan hasil-hasil penelitian selama tiga tahun sebelumnya sudah mencukupi untuk menulis sebuah buku disertasi. Pun sebenarnya tidak salah tetap mempunyai pemikiran ke sana kemari untuk menjadikan proyek penelitian kita tersebut sangat wow seperti mimpi kita di awal masa studi doktoral dulu. Namun, satu hal yang perlu diingat, pada akhirnya waktulah yang membatasi semuanya itu. Bila proyek penelitian kita tadi dikembangkan menjadi lebih detil dan detil lagi, tidak mustahil agenda penelitian tersebut akan meluas kemana-mana, karena kita menjadi semakin paham atas proyek penelitian tadi. Tetapi, ingat pula, bahwa dana beasiswa atau kucuran gaji ada batas waktunya, sesuai dengan kontrak masa studi kondidat doktor tersebut. Oleh karenanya, menetapkan dimana titik akhir dari proyek penelitian yang akan ditulis dalam buku disertasi rasanya adalah keharusan bagi seorang kandidat yang sudah menginjak masuk di tahun keempatnya.

3. Menyelesaikan agenda penelitian yang masih tersisa

Di tahun keempat, tidak ada jalan lain, agenda penelitian yang masih tersisa harus segera di-eksekusi. Memang adakalanya, seorang profesor atau pembimbing masih mempunyai dana cadangan, yang bisa dipergunakan untuk membiayai living cost atau penelitian mahasiswa yang bersangkutan seandainya batas waktu empat tahun harus dilampaui. Namun, kasus semacam ini tidak banyak, bahkan langka. Sehingga, tidak ada jalan lain selain berusaha segigih mungkin untuk menyelesaikan agenda-agenda penelitian yang masih tersisa. Kendala yang sering dihadapi oleh para kandidat doktor yang berasal dari negara lain, termasuk Indonesia, di universitas di Belanda adalah masalah dana dan izin tinggal yang juga akan berakhir (expired) begitu tahun keempat usai atau begitu tidak ada jaminan dana untuk tinggal di negeri tersebut. Akibatnya, banyak mahasiswa doktoral yang belum 100% selesai dan diwisuda yang akhirnya pulang ke Indonesia. Kondisi semacam ini tentunya tidak nyaman. Namun, bila hal ini harus terjadi, akan jauh lebih baik apabila segala macam aktivitas penelitian yang menuntut kerja di lapangan atau laboratorium sudah diselesaikan sebelum tahun keempat berakhir, atau sebelum pulang ke tanah air. Dengan demikian, di Indonesia, kita cukup ‘hanya’ disibukkan dengan agenda menyelesaikan tulisan untuk publikasi atau buku disertasi, sembari terus berkonsultasi dan berkomunikasi dengan pembimbing lewat dunia maya.

4. Mempersiapkan buku tesis atau disertasi

Buku tesis atau disertasi itu mustahil bisa diselesaikan dalam semalam! Walaupun kita sudah mempunyai beberapa naskah publikasi yang telah diterbitkan dan bisa dijadikan batang tubuh dari buku disertasi, pekerjaan menulis buku ini tidak serta merta mudah. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan, seperti bagaimana membuat bait-bait tulisan untuk membentuk keterkaitan antara publikasi satu dengan lainnya sehingga terbentuk sebuah jalan cerita yang menarik dalam buku disertasi. Pekerjaan menyusun buku tesis atau disertasi ini akan terasa lebih ringan bila sejak di awal tahun keempat sudah mulai di-eksekusi.

5. Memetakan karir untuk masa setelah studi doktoral

Banyak di antara para kandidat doktor yang tidak berprofesi sebagai peneliti atau dosen di suatu perguruan tinggi atau universitas di Indonesia. Tentu saja, di tahun keempat ini, mereka harus berpikir juga tentang apa yang akan mereka lakukan setelah masa studi doktoral mereka berakhir. Di Indonesia, harus diakui, menyandang gelar doktor tidak serta merta menjadikan gampang mendapatkan pekerjaan. Lapangan kerja bagi para penyandang gelar doktor tidak banyak seperti di negara-negara maju. Sebagai gambaran, di negara maju seperti di Eropa, seorang doktor bisa bekerja di industri mengingat peranan mereka yang begitu strategis dalam menyokong riset dan inovasi dalam industry tersebut. Hal yang berbeda terjadi di Indonesia. Justru potensi hebat para doktor ini tidak termanfaatkan di sektor industri karena masih minimnya perhatian dunia praktisi akan riset dan inovasi produk barang dan jasa yang diberikan. Berangkat dari kasus ini, ada baiknya memang para kandidat yang belum terikat akan kontrak kerja di suatu universitas di Indonesia mencari peluang untuk bekerja sesuai potensi dan kompetensinya di luar negeri, baik sebagai peneliti post-doctoral atau peneliti di industri. Pun, bagi mereka yang sudah bekerja sebagai dosen atau peneliti di universitas maupun lembaga penelitian di Indonesia, ada baiknya juga memikirkan bagaimana bekal pengalaman yang telah ditimba selama menempuh studi doktoral itu dapat dimanfaatkan, khususnya dalam dunia riset.  

Demikianlah, lima poin di atas menjadi pengisi catatan saya tentang tahun keempat dalam periode studi seorang kandidat doktor di universitas di Belanda. Seperti yang saya sebut di atas, tahun keempat memang tahun terakhir, namun tidak selalu berarti bahwa rangkaian aktivitas studi doktoral kita di Belanda sudah 100% selesai!

Rabu, 14 September 2016

Berat Hati

Yogyakarta, 22 Februari 2010. Selasar depan Bandara Internasional Adisutjipto. Saat itu, berat sekali rasanya kaki ini melangkah menuju pintu masuk bandara tersebut. Ada rasa mengganjal. Ada rasa campur aduk, yang berujung pada jatuhnya butiran air mata. Hari itu, saya mengawali perjalanan saya menuju Belanda, tepatnya menuju kota yang letaknya di ujung paling utara negeri itu: Groningen. Berat hati saya meninggalkan Jogja. Entah mengapa. Harusnya saya di hari itu adalah salah satu dari segelntir orang yang paling bahagia di dunia. Bukankah Groningen adalah jawaban atas doa-doa yang selalu saya panjatkan kehadiratNya selama beberapa tahun sebelum tiba hari itu? 


Meski akhirnya saya tak menuai happy-ending (simak ceritanya di sini), di Groningen itulah saya mengawali kehidupan saya secara penuh dalam suasana yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini ada di Jogja. Benar saja, sebagai lanjutan atas keberatan hati yang mendera saat itu, minggu-minggu pertama saya di Groningen rasanya sangat membosankan. Okelah, satu dua kali saya cukup senang karena bisa berfoto di sana-sini dengan latar belakang rumah-rumah khas Belanda. Tetapi, setiap kali terbangun dari tidur, ada rasa aneh yang serasa mencekik batin. Ada rindu pada kampung halaman, orang tua dan suasana di Jogja.

Beratnya hati menerima suasana yang baru membuat saya hampir-hampir tak pernah lepas dari layar monitor laptop yang berhias streaming siaran televisi atau radio di Indonesia. Tak jarang pula, menit-menit jelang sore di akhir pekan, hampir selalu kaki saya ini melangkah ke stasiun kereta di Groningen, sekedar melewatkan waktu melihat kereta yang berangkat menuju Schiphol airport. Entah setiap kali berada di stasiun itu, ada gejolak yang sangat kuat dalam hati, namun harus saya tahan agar tak meledak menjadi sebuah teriakan keras ingin pulang. Waktu terus berjalan, hingga tak terasa kesibukan mulai mengalihkan rasa berat hati yang cukup menyakitkan itu. Perlahan, saya pun mulai bisa menikmati dan terbiasa hidup di negeri yang baru itu. Manisnya kehidupan di Belanda lambat laun bisa dirasakan seiring dengan rutinitas yang ada.

Schiedam, 31 Agustus 2016. Kini penyakit berat hati itu kembali mendera, setelah begitu hebatnya terasa 6,5 tahun sebelumnya, saat Jogja harus ditinggalkan. Kini perasaan itu muncul untuk situasi yang sebaliknya. Ada rasa berat meninggalkan Belanda, khususnya kota Delft dan Schiedam yang selama 4 tahun terakhir menjadi stasiun perhentian kereta kehidupan saya. Sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi meninggalkan kedua kota tersebut, ada perasaan sedih dan gelisah yang bercampur aduk menjadi satu. Barangkali saya sudah terlalu merasa nyaman ada di sana, dengan segala kemudahan dan kesulitan yang ada. Dulu tiba di negeri itu dengan membawa hati yang berat, kini pergi melangkah meninggalkan negeri itu juga dengan menjinjing hati yang sungguh berat. Lengkap sudah. 

Orang bijak bilang, berpindah dari sebuah zona nyaman ke zona tidak nyaman itu tidak mudah, namun hal itu membuat kita terus belajar dan bergerak, bahkan merangkak ke atas. Dan, tidak bergerak mungkin akan berujung binasa. Ah, barangkali hidup memang seperti ini. Zona nyaman bukanlah sebuah harta yang harus selalu dimiliki. Barangkali dengan kepulangan ini, memang ada hak-hak orang-orang terdekat yang harus segera ditunaikan. Semua yang di bumi ini milikNya. Ia Yang Maha Mengatur dan lebih tahu tentang kisi-kisi kehidupan kita dan di balik segala peristiwa yang kita alami. Sekuat apapun, segigih apapun kita mengusahakan sesuatu, Ia jualah yang menentukan episode akhirnya. Barangkali seperti kisah sang mentari, yang begitu digdaya menyinari bumi. Namun, ia pun harus tunduk kepada KuasaNya, bergerak dari ufuk timur menuju ujung barat, agar malam dan siang hari itu selalu ada.

Jumat, 08 Juli 2016

Berburu Hikmah di Bulan Suci



Bagi setiap muslim, bulan Ramadhan adalah sebuah masa yang istimewa. Ia memang dihadirkan olehNya bukan hanya sebagai ruang yang ‘memaksa’ kita untuk tidak tunduk kepada hawa nafsu, melainkan juga momen yang baik untuk berburu hikmah dalam setiap relung kehidupan. Kapanpun dan dimanapun.

Disadari atau tidak, istilah ‘kebetulan’ seringkali terlontar dengan mudahnya saat kita mengomentari kejadian-kejadian yang tetiba hadir tanpa diduga sebelumnya. Padahal, sebenarnya tidak ada yang kebetulan. Yang Maha Kuasa telah menuliskan semuanya, hingga akhirnya kita sebut takdir setelah hal itu terjadi. Pun dengan apa yang berhasil saya ‘tangkap’ lewat lensa kamera handphone selama bulan Ramadhan 1437H lalu. Kejadian dan hikmahnya pastinya tidak dihadirkan olehNya sebagai sebuah kebetulan.

Dalam senyap.


Memang, adakalanya tak perlu banyak bertanya.
Tak usah jua banyak menuntut.
Kerjakan saja apapun yang memberi manfaat.
Sekalipun kecil nilainya bagi orang kebanyakan.
Sekalipun tak ada sorot mata yang memberi harga.
Sekalipun tidak ada yang mengangkat ceritanya di media.  

Foto ini diambil di suatu pagi, hari kedua Ramadhan, di selasar menuju tempat parkir Stasiun Delft, Belanda.

Bayangan.
Pun, acapkali bayangan kita lebih tinggi melampaui realitas yang ada, hingga angan-angan kita terlampau tinggi dan ketakutan kita berlebihan.


Foto diambil di suatu sore, hari keempat Ramadhan, di jalan depan Stasiun Delft, Belanda.

Hujan.
Suatu ketika, langkah kaki ini memang harus ditahan sejenak, hingga rintik hujan yang kelewat lebat itu mereda.


Foto diambil di suatu pagi, hari kesembilan Ramadhan, di sebuah kolong jembatan di Delft, Belanda.

Khusyuk.
Talk less, do more.


Foto diambil di suatu siang, hari ke-24 Ramadhan, di Masjid Al-Hikmah, Den Haag, Belanda.

Kata maaf di suatu pagi.
Sorot mentari di awal 1 Syawal tahun ini memang tak beda dengan hari biasanya.
Pun, maaf tak seharusnya diucap hanya pada hari raya saja.
Namun, tak ada salahnya membuat budaya baik ini lestari.


Foto diambil di suatu pagi, hari pertama Syawal, di Schiedam, Belanda.

*** 

Dan akhirnya, mohon maaf lahir batin. Selamat Idul Fitri 1437 H. Teriring doa, semoga amal dan ibadah kita di Bulan Ramadhan yang baru saja berlalu diterima dan diridhoi-Nya. Dan, semoga kita dipertemukan dengannya lagi tahun depan.