Minggu, 03 Januari 2016

Amsterdam dan Kenangan Belajar Seorang Bocah

Amsterdam. Saya mengenal nama kota terbesar di Belanda ini bukan lewat hafalan pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) di bangku sekolah dasar seperempat dekade silam. Di masa itu, hafalan nama-nama ibukota atau kota besar di dunia menjadi salah satu dari isi kurikulum pokok pelajaran IPS siswa sekolah dasar (SD). Namun, Amsterdam ternyata saya kenal pertama kali bukan lewat pelajaran IPS yang mulai diajarkan sejak kelas 3 SD di masa itu. Saya tahu Amsterdam jauh hari sebelum saya masuk SD, apalagi mengenal mata pelajaran IPS. Saya mengenalnya lewat program prakiraan cuaca yang ditayangkan selama beberapa menit saja dalam siaran Dunia Dalam Berita di stasiun televisi pemerintah, TVRI. Sekedar informasi, TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi hingga penghujung era tahun 80an di Indonesia. 


Acara prakiraan cuaca itu ternyata cukup efektif menjadikan saya yang seumur jagung itu tahu nama-nama kota besar di dunia, mulai dari Jakarta, Bangkok, Hongkong, Tokyo, Paris, New York hingga Amsterdam. Imajinasi saya bergolak menyaksikan acara itu, lantaran saat nama-nama kota besar tadi disebut, muncul pula foto lansekap dan laporan kisaran temperaturnya di layar televisi. Sesekali saya bertanya kepada ibu di negara manakah kota yang disebut tadi. Dengan sabar ibu pun menjawab rasa ingin tahu saya itu. Ritual nonton acara prakiraan cuaca dunia tersebut selalu dilakukan hampir tiap hari menjelang saya tidur malam, meski jarum jam sudah menunjuk pukul setengah sepuluh malam. Sungguh momen ‘belajar’ yang menyenangkan dan indah untuk dikenang.

Dari sekian banyak kota yang disebut dalam program prakiraan cuaca dunia itu, Amsterdam adalah salah satu nama kota yang masih melekat dalam pikiran bawah sadar saya hingga detik ini. Saya masih ingat aksen pembawa berita yang dalam dan terkesan serius saat menyebut kata ‘Amsterdam’, khas penyiar suara berita di era itu. Hampir dua puluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 2006, saya menjejakkan kaki saya pertama kali di tanah Amsterdam. Sebuah cerita yang mirip dengan kisah Ikal dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, ‘kan? Berawal dari imajinasi pada sebuah gambar, berakhir pada petualangan di kota yang diimajinasikan. Bedanya, Ikal berimajinasi dengan gambar Menara Eifel di sebuah kotak pemberian gadis idamannya di masa kecil, sedangkan saya ‘cukup’ berimajinasi dengan gambar-gambar kota yang ditayangkan pada siaran prakiraan cuaca di televisi. Namun, bagi saya, ada pesan yang lebih penting dari sekedar imajinasi dan mimpi di masa kanak-kanak serta realisasinya di masa sekarang. Kisah seperti ini rasanya sudah banyak diceritakan oleh para pelajar Indonesia yang saat ini akhirnya bisa studi di luar negeri, entah memang karena mimpinya di masa kanak-kanak dulu atau karena terinsipirasi oleh karya-karya Andrea Hirata dalam buku tetralogi Laskar Pelangi.

Bagi saya, ajaran tentang Amsterdam dan kota-kota dunia yang lain dari siaran prakiraan cuaca mengandung sebuah pesan tentang bagaimana metode belajar seorang individu. Walaupun akhirnya saya bisa melaluinya, hafalan ternyata bukan cara efektif saya dalam belajar. Justru lewat siaran prakiraan cuaca di Dunia Dalam Berita tersebut, saya ‘belajar’ salah satu topik utama ilmu geografi dan mampu mengingatnya dengan baik di masa selanjutnya, tanpa harus bersusah payah menghafal deretan nama-nama kota di dunia dalam buku pintar. Lewat acara prakiraan cuaca itu, secara tidak sadar, otak saya sepenuhnya bekerja bersama hati yang gembira dan rasa ingin tahu yang besar. Seingat saya, pada saat nama-nama kota di dunia itu disebutkan, batin saya menyeruak, ingin tahu seperti apa kota itu, di negera mana kota itu berada, hingga berapa jauh dari Indonesia. Walaupun ibu tidak sepenuhnya bisa menjawab keingintahuan saya itu, curiosity semacam ini membuat pikiran saya semakin tertarik dengan ilmu geografi dan dunia. Saya pun lalu tertarik belajar tentang bola dunia atau globe di kelas tiga SD, hingga akhirnya dibelikan sebuah rautan pensil berujud miniatur bola dunia itu –karena miniatur yang sesungguhnya cukup mahal harganya. Kemudian, bapak saya juga membelikan sebuah peta besar yang menggambarkan kepulauan dan benua di dunia untuk ‘mengobati’ hausnya saya tentang geografi dunia waktu itu. Peta tersebut ditempel layaknya poster di dinding tripleks kamar tidur saya, sehingga mau tidak mau saya selalu menatapnya setiap malam. Dengan cara seperti inilah, belajar peta dunia menjadi menyenangkan bagi saya.

***

Akhir tahun 90an, saat saya duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), saya tertarik membaca sebuah buku yang mengiyakan cara saya belajar tadi. Buku tersebut bertitel Quantum Learning, karya Bobbi DePorter yang diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia oleh Mizan. Saya membacanya tepat pada saat saya mulai menemukan kejenuhan dalam belajar di SMA. Walaupun SMA saya ini dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan nasional, seringkali saya merasa ‘tidak nyaman’ dengan cara saya belajar di dalamnya. Dalam mengerjakan soal-soal dari guru, saya kalah cepat dibanding kawan-kawan saya di kelas, hingga nilai saya sering di bawah normal, hehehe… Namun, saya tetap berpendirian bahwa kelambanan saya dalam akademik ini bukan sepenuhnya berasal dari kecerdasan atau kegagalan belajar saya. Dari buku karya DePorter tadi, saya mendapatkan pencerahan bahwa metode belajar setiap orang itu berbeda-beda, karena memang dari sono-nya setiap anak dianugerahi bakat masing-masing. Saya lantas mengenal metode belajar visual, auditorial dan kinestetik. Lalu, yang paling penting, informasi atau segala sesuatu yang dipelajari akan terserap dengan baik dalam bentuk hafalan maupun pemahaman apabila kita senang atau gembira saat melalui proses belajar tadi. Dari sinilah, saya tarik sebuah benang penghubung antara pengalaman masa kecil saya dengan persoalan belajar yang saya alami di kala SMA itu. 

Saya pun mulai merekayasa cara belajar saya, dari yang sebelumnya tunduk patuh pada cara belajar konvensional –yang nyata-nyata sering membuat saya frustasi sendiri- menjadi sebuah cara yang saya usahakan menyenangkan bagi saya sendiri. Termasuk di dalamnya, saya berusaha menerapkan kombinasi teknik visual dan kinestetik yang ternyata merupakan teknik belajar yang paling efektif untuk saya. Hasilnya memang tidak lalu fantastis dan tidak serta-merta membuat saya cerdas dan unggul. Namun, saya merasa lebih bahagia ketika saya tahu teknik belajar yang paling sesuai dengan diri saya sendiri. Ketika rasa senang, gembira dan bahagia itu ada di kala belajar, saya yakin bahwa itulah esensi dari hidup dan belajar itu sendiri. Belajar itu untuk senang, belajar itu untuk gembira dan belajar itu untuk bahagia. Potret Amsterdam dalam program prakiraan cuaca di televisi hampir tiga puluh tahun silam mengajarkan saya tentang hal ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar