Beberapa bulan yang lalu, tersiar
kabar yang sempat mengusik perhatian saya. Maskapai penerbangan Malaysia Airlines yang melayani rute Kuala Lumpur (KUL)
– Amsterdam (AMS) akan ditutup di awal tahun 2016. Pagi ini, saya terhanyut sejenak
dalam sebuah nostalgia, gegara membaca sebuah artikel tentang penutupan jalur
KUL-AMS maskapai dengan kode MH tersebut pada hari ini, 25 Januari 2016 (simak
beritanya di sini). Saya memang tidak terkejut, namun bagi saya, maskapai
negeri tetangga ini menorehkan banyak kenangan untuk saya, terutama saat harus terbang
menuju benua biru.
Perjumpaan pertama saya dengan MH terjadi pada
tanggal 23 November 2009, ketika saya hendak memenuhi undangan sebuah interview di University of Groningen (RuG),
Belanda. Saya harus terbang ke Amsterdam. Meskipun biaya perjalanan saya
ditanggung sepenuhnya oleh RuG, saya diberikan kebebasan memilih maskapai apa
yang akan saya tumpangi menuju Belanda. Bingung juga, karena di masa itu saya
hanya mempunyai pengalaman satu kali terbang ke Belanda. Itupun bisa dibilang saya
hanya tinggal terbang saja, alias tidak mengurus sendiri tiket penerbangannya.
Yang terpancang kuat di kepala saya waktu itu adalah
mencari maskapai yang menyediakan makanan halal selama penerbangannya. Hal
ini berangkat dari pengalaman saya ketika terbang ke Belanda yang saya singgung
di atas. Kala itu, saya
menggunakan sebuah maskapai yang ternyata tidak menyediakan makanan halal
selama penerbangannya dari Bangkok ke Amsterdam. Akibatnya, saya rela hanya
mengkonsumsi snack ringan selama hampir
10 jam dalam pesawat. Singkat cerita, karena tidak ada maskapai lokal seperti Garuda
Indonesia yang melayani jalur ini, terpilihlah Malaysia Airlines untuk
mengantar saya ke Belanda kedua kalinya. Pilihan saya ini tidak mengecewakan.
Selama penerbangan, bukan hanya fasilitas on-board
entertainment yang bisa saya nikmati, melainkan juga hidangan nasi lemak
yang bisa dilahap habis sebagai pengganjal perut saat penerbangan. Pun saat
pulang menuju Jogja, saya masih setia dengan maskapai ini.
Boeing 747 Malaysia Airlines yang terparkir di Schiphol International Airport, Amsterdam sebelum membawa saya pulang ke Yogyakarta pada 27 November 2009 |
Siang hari, 23 Februari 2010, cerita saya dengan
Malaysia Airlines berulang, ketika perjalanan saya untuk melanjutkan studi di
RuG dimulai. Kali ini perjalanan saya tidak seorang sendiri, melainkan berdua bersama
istri. Perjalanan ini pun menempuh rute yang sama dengan perjalanan saya
sebelumnya, yakni dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta, lalu transit di Kuala
Lumpur International Airport (KLIA), hingga akhirnya sampailah di Schiphol Amsterdam,
Belanda keesokan harinya. “Mendaratnya sangat lembut.” begitu komentar istri
saya setelah kami mendarat di Schiphol, Amsterdam. Memang benar, setelah
beberapa kali naik pesawat lokal, saya bisa membandingkan dan menilai teknik
pilot MH yang jempolan saat mendaratkan pesawat jumbo Boeing 747-nya. Sangat
halus sehingga para penumpang tidak merasakan guncangan keras saat roda-roda
pesawat menyentuh landasan.
Akhir Maret 2011, saya kembali ke Jogja setelah
satu tahun tinggal di Belanda. Lagi-lagi, Malaysia Airlines menjadi pilihan
saya dan istri untuk mengantar perjalanan kami pulang ke Indonesia. Kali
ini, kami terbang bertiga, bersama anak kami yang masih berumur 5,5 bulan. Sebelum
terbang, sempat terbayang di benak kami repotnya bepergian membawa bayi
menempuh jarak super jauh dari Amsterdam ke Yogyakarta yang akan kami jalani
waktu itu. Namun, ternyata praduga kami berlebihan. Selama perjalanan, justru
kami mendapatkan berbagai kemudahan dan bantuan para kru di maskapai ini. Hingga
sekarang, kami selalu ingat, seorang pramugari asal Bandung yang ramah
menyambut kedatangan kami di kabin pesawat maskapai ini. Mungkin karena melihat
kami bepergian dengan seorang bayi, sehingga ia selalu menawarkan bantuan selama
berada dalam kabin. Begitu pula saat kami mendarat di Jogja. Kami sengaja
keluar terakhir dari pesawat karena memerlukan sedikit waktu untuk
mempersiapkan anak kami menghadapi cuaca yang jauh lebih panas dibandingkan
saat di Belanda. Sebelum kami keluar, para pramugara dan pramugari mengajak
kami berbincang sebentar, lalu ‘menyalami’ sambil melepas kami dengan senyuman.
Kali terakhir saya bersua dengan
Malaysia Airlines rute Kuala Lumpur – Amsterdam adalah saat berangkat lagi ke Belanda
3 September 2012 silam. Mungkin saya memang berjodoh dengan maskapai ini, karena
tiket perjalanan sudah dipesankan oleh biro perjalanan rekanan pemberi beasiswa
saya. Praktis, saya hanya menerima e-ticket-nya
saja, lalu berangkat. Saya berangkat dengan MH dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng,
lalu transit di Kuala Lumpur sebelum akhirnya mendarat di Schiphol Amsterdam di
hari berikutnya.
Boleh dibilang, hingga detik ini,
Malaysia Airlines adalah maskapai penerbangan yang paling sering saya tunggangi
untuk pergi ke atau dari Amsterdam, Belanda. Oleh karenanya, sungguh sedih rasanya
mendengar musibah pesawat Boeing 777-200ER milik Malaysia Airlines yang
ditembak jatuh di daratan Ukraina pada 17 Juli 2014 lalu. Pesawat ini melayani
rute Kuala Lumpur – Amsterdam. Dan kini rute tersebut telah ditiadakan. Namun,
apapun itu, tetap ada rajutan kenangan yang tertinggal bersama maskapai penerbangan
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar