Senin, 25 Januari 2016

Malaysia Airlines dalam Rajutan Kenangan



Beberapa bulan yang lalu, tersiar kabar yang sempat mengusik perhatian saya. Maskapai penerbangan Malaysia Airlines yang melayani rute Kuala Lumpur (KUL) – Amsterdam (AMS) akan ditutup di awal tahun 2016. Pagi ini, saya terhanyut sejenak dalam sebuah nostalgia, gegara membaca sebuah artikel tentang penutupan jalur KUL-AMS maskapai dengan kode MH tersebut pada hari ini, 25 Januari 2016 (simak beritanya di sini). Saya memang tidak terkejut, namun bagi saya, maskapai negeri tetangga ini menorehkan banyak kenangan untuk saya, terutama saat harus terbang menuju benua biru.

Perjumpaan pertama saya dengan MH terjadi pada tanggal 23 November 2009, ketika saya hendak memenuhi undangan sebuah interview di University of Groningen (RuG), Belanda. Saya harus terbang ke Amsterdam. Meskipun biaya perjalanan saya ditanggung sepenuhnya oleh RuG, saya diberikan kebebasan memilih maskapai apa yang akan saya tumpangi menuju Belanda. Bingung juga, karena di masa itu saya hanya mempunyai pengalaman satu kali terbang ke Belanda. Itupun bisa dibilang saya hanya tinggal terbang saja, alias tidak mengurus sendiri tiket penerbangannya.

Yang terpancang kuat di kepala saya waktu itu adalah mencari maskapai yang menyediakan makanan halal selama penerbangannya. Hal ini berangkat dari pengalaman saya ketika terbang ke Belanda yang saya singgung di atas. Kala itu, saya menggunakan sebuah maskapai yang ternyata tidak menyediakan makanan halal selama penerbangannya dari Bangkok ke Amsterdam. Akibatnya, saya rela hanya mengkonsumsi snack ringan selama hampir 10 jam dalam pesawat. Singkat cerita, karena tidak ada maskapai lokal seperti Garuda Indonesia yang melayani jalur ini, terpilihlah Malaysia Airlines untuk mengantar saya ke Belanda kedua kalinya. Pilihan saya ini tidak mengecewakan. Selama penerbangan, bukan hanya fasilitas on-board entertainment yang bisa saya nikmati, melainkan juga hidangan nasi lemak yang bisa dilahap habis sebagai pengganjal perut saat penerbangan. Pun saat pulang menuju Jogja, saya masih setia dengan maskapai ini. 
 
Boeing 747 Malaysia Airlines yang terparkir di Schiphol International Airport, Amsterdam sebelum membawa saya pulang ke Yogyakarta pada 27 November 2009
Siang hari, 23 Februari 2010, cerita saya dengan Malaysia Airlines berulang, ketika perjalanan saya untuk melanjutkan studi di RuG dimulai. Kali ini perjalanan saya tidak seorang sendiri, melainkan berdua bersama istri. Perjalanan ini pun menempuh rute yang sama dengan perjalanan saya sebelumnya, yakni dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta, lalu transit di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), hingga akhirnya sampailah di Schiphol Amsterdam, Belanda keesokan harinya. “Mendaratnya sangat lembut.” begitu komentar istri saya setelah kami mendarat di Schiphol, Amsterdam. Memang benar, setelah beberapa kali naik pesawat lokal, saya bisa membandingkan dan menilai teknik pilot MH yang jempolan saat mendaratkan pesawat jumbo Boeing 747-nya. Sangat halus sehingga para penumpang tidak merasakan guncangan keras saat roda-roda pesawat menyentuh landasan.

Akhir Maret 2011, saya kembali ke Jogja setelah satu tahun tinggal di Belanda. Lagi-lagi, Malaysia Airlines menjadi pilihan saya dan istri untuk mengantar perjalanan kami pulang ke Indonesia. Kali ini, kami terbang bertiga, bersama anak kami yang masih berumur 5,5 bulan. Sebelum terbang, sempat terbayang di benak kami repotnya bepergian membawa bayi menempuh jarak super jauh dari Amsterdam ke Yogyakarta yang akan kami jalani waktu itu. Namun, ternyata praduga kami berlebihan. Selama perjalanan, justru kami mendapatkan berbagai kemudahan dan bantuan para kru di maskapai ini. Hingga sekarang, kami selalu ingat, seorang pramugari asal Bandung yang ramah menyambut kedatangan kami di kabin pesawat maskapai ini. Mungkin karena melihat kami bepergian dengan seorang bayi, sehingga ia selalu menawarkan bantuan selama berada dalam kabin. Begitu pula saat kami mendarat di Jogja. Kami sengaja keluar terakhir dari pesawat karena memerlukan sedikit waktu untuk mempersiapkan anak kami menghadapi cuaca yang jauh lebih panas dibandingkan saat di Belanda. Sebelum kami keluar, para pramugara dan pramugari mengajak kami berbincang sebentar, lalu ‘menyalami’ sambil melepas kami dengan senyuman. 

Kali terakhir saya bersua dengan Malaysia Airlines rute Kuala Lumpur – Amsterdam adalah saat berangkat lagi ke Belanda 3 September 2012 silam. Mungkin saya memang berjodoh dengan maskapai ini, karena tiket perjalanan sudah dipesankan oleh biro perjalanan rekanan pemberi beasiswa saya. Praktis, saya hanya menerima e-ticket-nya saja, lalu berangkat. Saya berangkat dengan MH dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, lalu transit di Kuala Lumpur sebelum akhirnya mendarat di Schiphol Amsterdam di hari berikutnya. 

Boleh dibilang, hingga detik ini, Malaysia Airlines adalah maskapai penerbangan yang paling sering saya tunggangi untuk pergi ke atau dari Amsterdam, Belanda. Oleh karenanya, sungguh sedih rasanya mendengar musibah pesawat Boeing 777-200ER milik Malaysia Airlines yang ditembak jatuh di daratan Ukraina pada 17 Juli 2014 lalu. Pesawat ini melayani rute Kuala Lumpur – Amsterdam. Dan kini rute tersebut telah ditiadakan. Namun, apapun itu, tetap ada rajutan kenangan yang tertinggal bersama maskapai penerbangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar