Senin, 26 Juni 2017

Bekas Tapi Orisinil

Jujur saja, mengandalkan buku literatur asli yang berbahasa asing untuk studi atau kuliah adalah satu hal yang masih teramat berat untuk dilakukan oleh para mahasiswa maupun dosen di Indonesia. Tak terkecuali saya. Bukan tidak mungkin, tetapi memang berat, terutama di ongkosnya. Harga buku-buku teks asing sangatlah mahal, apalagi karya para penulis kawakan yang telah masyhur di bidangnya.

Di masa kuliah S1 dulu, saya adalah penggemar berat buku Termodinamika karya Yunus Cengel, Mekanika Fluida karya Michael White, Elemen Mesin karya M.F. Spotts dan masih banyak lagi. Tulisan-tulisan mereka memang luar biasa, mudah dicerna dan diterapkan. Umumnya buku-buku tadi juga dicetak oleh penerbit yang sudah kenamaan, macam McGrawHill Book dan Prentice-Hall. Pertanyaannya, apakah semua buku tadi diperoleh dengan membeli?

Oo.. Tentu tidak. Semuanya dipinjam dari perpustakaan. Pun, buku pinjaman tadi tidaklah asli, melainkan buku fotokopian. Saking suka dan membutuhkannya, buku-buku tadi sempat saya fotokopi lagi, meski semuanya itu tidak lengkap dari halaman pertama sampai yang terakhir. Dengan cara inilah saya bisa belajar secara mandiri dan leluasa, sebagai penunjang kuliah tatap muka dengan dosen mata kuliah yang bersangkutan.

Tahun berganti, dekade bersalin. Meski telah berharap puluhan kali agar mampu membeli buku teks asli, harapan ini ternyata tidak serta merta mewujud. Harga buku teks tetap saja melangit, belum terjangkau oleh kocek gaji bulanan. Pun kalau ada sisihan receh, rasanya tetap sayang bila dibelikan sebuah buku teks, yang konsekuensinya harus mengorbankan kebutuhan hidup lain yang dirasa tetap lebih penting. Alhasil, buku teks asli berbahasa Inggris pun masih ada dalam angan-angan. Kalaupun pernah terbeli, adalah buku-buku teks terbitan India, yang memang miring harganya, sebab kualitas isi tulisan dan cetakannya yang selevel cukupan saja.

Perjalanan studi ke Delft di tahun 2012 lalu membawa peluang untuk mengakuisisi beberapa buku teks asli berbahasa Inggris, seperti yang diidamkan selama ini. Namun, tetap saja itu semua bukanlah buku baru. Cukup buku bekas saja, tetapi orisinil dan masih dalam keadaan baik. Buku-buku teks bekas ini dibeli dari para mahasiswa yang telah usai studinya menggunakan buku-buku tersebut. Mereka dijual secara online, dengan memanfaatkan grup Studentsale di Facebook. Harganya terjangkau, meski ada beberapa yang memang tetap mahal. Lumayan, beberapa buku yang saya anggap sebagai primbon, seperti Materials Science and Enginnering karya William Callister dan Mechanics of Materials karya R.C. Hibbeler berhasil saya boyong ke rumah. Kondisinya masih bagus, edisi cetakannya juga masih terhitung baru, serta harganya hanya 20an Euro saja; sekitar hampir sepertiga atau seperempat harga buku baru. 

Upaya memburu buku bekas tapi orisinil ternyata juga diwarnai kejutan. Adalah grup riset tempat saya bekerja di Delft melakukan cuci gudang dua tahun lalu. Buku-buku lama penghuni perpustakaan grup dibuang, ditaruh di kontainer sampah plastik kering berukuran besar. Oleh kawan teknisi dan penanggung jawab logistik di lab, saya dipersilakan mengambil apapun yang ada di kontainer sampah buku itu. 


Barangkali tidak ada salahnya dan tak perlu malu memunguti barang-barang bekas seperti ini. 'Buku-buku buangan'. Singkat cerita, sore ini menemukan tiga buah kotak sampah besar di pinggiran luar lab yang berisi 'sampah' buku-buku peninggalan para leluhur di kampus. Buku-buku itu dibuang lantaran reorganisasi ruang di lab. Meski isinya kebanyakan adalah prosiding seminar atau conference yang sudah berumur -dan tidak begitu penting lagi ketika ilmu yang baru sudah dibukukan-, kotak-kotak sampah tersebut ternyata juga menyimpan beberapa textbook yang sayang rasanya bila dibuang begitu saja. Tahun terbit buku-buku tadi memang sudah terpaut sekitar satu dasawarsa. Namun, bagi orang yang selama ini belum pernah dan belum mampu membeli textbook asli seperti saya ini, buku-buku tua tadi adalah harta karun. Hehehe... -Cerita suatu sore, 4 November 2015-

Seakan tak mau melepas dan menyiakan kesempatan emas ini, saya punguti buku apapun yang saya anggap relevan untuk pekerjaaan saya. Bahkan, saya temukan buku disertasi pembimbing saya di kampus tersebut. Sangat wow menemukannya, lantaran saya jadi tahu betapa hebatnya guru saya itu sejak ia muda dan sekolah di kampus yang sama. Walau akhirnya saya harus menyortir lagi buku-buku teks tadi, cukup banyak buku yang berhasil diangkut pulang. Kali ini gratis, tanpa sepeser uang yang dikeluarkan, meski bukunya tergolong tua, terbitan tahun 80an. Namun, bagi saya, ilmu di dalamnya masih saja relevan dan bisa dipakai di masa sekarang.

Itulah, sepenggal cerita, tentang buku bekas tapi orisinil. Setidaknya cara ini sebagai ikhtiar saya menghindari pembajakan buku teks dengan fotokopinya, yang semua itu berawal dari satu alasan karena harga buku teks asli yang selangit.

Ladang

Ladang amal itu sejatinya tak perlu jauh-jauh dicari.
Ia ada, terbentang dan mengitari.
Ia terhampar, meskipun hanya secuil petak kecil.
Ia pun terjuntai, dari ujung langit hingga kerikil tanah di balik telapak kaki.

Hanya, mungkin kita saja yang terlalu malas, untuk bergegas menghampirinya.
Kita saja yang enggan, untuk menggapainya dengan senyum keriangan.
Atau, kita saja yang merasa sedang tidak mood, hingga hadir seribu satu alasan untuk tidak mendatanginya.

Ah, mungkin kita ini terlalu sombong, melihat sepetak ladang amal itu hanya serupa tanah gersang. Ia tidak menarik, ia tidak seindah ladang di tempat lain yang sejatinya bukan untuk kita.

Kita mungkin terlalu angkuh, hingga seikat tanaman amal di ladang itu tampak ringkih dan tak berkelas di mata kita. Sementara itu, kita bermimpi, berharap akan tanaman yang lain, yang sejatinya bukan milik kita.

Atau mungkin kita memang benci mendatanginya, hanya karena satu kerikil tajam yang pernah melukai kaki kita. Hingga tersiakanlah ladang amal itu, kita lalui begitu saja.

Atau mungkin kita merasa suci, hingga tak sudi kaki ini melangkahi tanah kering yang berdebu dan kotor di ladang itu. Padahal di situlah, Yang Mencipta ladang itu menilai dan hendak membalas tiap benih kebaikan yang kita semai.

Atau jangan-jangan kita memang sedang diuji olehNya, Yang Maha membolak-balikkan hati, hingga tak sadar kita pun terlena dan abai saat melihat bongkahan amal yang tampak kecil di ladang gersang itu, padahal ialah bagian yang telah ditetapkan untuk kita olehNya.

Sekali lagi, ladang amal itu sebenarnya selalu ada, terbentang, terhampar dan terjuntai di sekitar kita. Tinggal kita sendiri. Berkehendak atau tidak. Mau atau tidak. Berniat atau tidak, untuk menggapai dan menggarapnya.

Mungkin, kita sudah terlalu lama, berlulur dengan jelaga hati, hingga cahaya penerang hati itu tak bisa menembusnya. Hingga kitapun tertipu, seolah melihat segala sesuatunya benar menurut kita, bukan menurutNya.

Mungkin, kita memang harus sejenak bersimpuh, bertanya kepada diri, bertutur kesah kepadaNya, bahkan mengurai tangis di hadapanNya. Semata berharap petunjuk dariNya, petunjuk ke jalan yang lurus.

Selasa, 06 Juni 2017

Segelas Teh Manis

Berjalan di selasar kampus terjumpai riuh mahasiswa. Beberapa di antaranya berpakaian rapi, tampaknya baru saja lulus ujian pendadaran. Menjadi calon sarjana. Sementara tergenggam oleh beberapa kawannya seikat bunga dan kamera maupun handphone untuk mengabadikan momen istimewa itu. Meriah, riuh dan pastinya membahagiakan berada bersama orang-orang terdekat merayakannya.

12 tahun lalu, 13 Juli, sore itu kampus tampak sepi. Ujian serupa telah usai. Bapak-bapak dosen penguji pun sudah berlalu melewati koridor dekat ruang ujian pendadaran. Tak ada mahasiswa yang lain. Tidak ramai, tidak riuh juga. Tak satupun kawan nampak batang hidungnya. Maklum, banyak dari mereka tersebar di desa-desa lokasi KKN. Ada pula yang mudik karena waktu itu memang masa libur perkuliahan.

Dalam sunyi sore itu, seorang bapak staf tata usaha yang bertugas membersihkan ruangan datang dan tetiba bertanya: kok sendiri saja mas? Terjawab oleh mulut ini dengan senyum dan kata 'inggih Pak'. Bapak tadi lalu menyodorkan segelas teh yang tersisa, karena seorang bapak dosen penguji tidak meminumnya. Ia lalu menemani sampai teguk teh terakhir, walau jam telah menunjuk pukul setengah lima. Jadilah, segelas teh itu penambah rasa syukur. Ternyata tetap membahagiakan. Tanpa bunga atau jepretan kamera, tetapi segelas teh manis bapak staf tata usaha yang baik hati tadi, sebelum melangkah pulang membawa berita istimewa untuk ibu dan bapak di rumah.