Sabtu, 21 Maret 2020

Motuba


Motuba, alias Mobil Tua Bangka. 


Belakangan ini, banyak orang menyematkan panggilan tersebut pada mobil-mobil mereka yang telah berusia sepuh, berusia tua, setidaknya telah mengantongi angka 15 hingga 20 tahun. Namun begitu, mereka cukup bangga pada mobil-mobil tua mereka, lantaran seribu alasan, mulai dari bagaimana cara mereka memilikinya, memori dengan orang-orang terdekat atau family mereka, atau karena mobil itu adalah mobil impian masa kecil atau muda mereka. 

Di era yang penuh dengan serbuan gencar jenis-jenis mobil baru yang canggih, bertenaga ciamik, irit bahan bakar, bahkan banderol harga yang konon dikata terjangkau bin murah (misal mobil sejenis low cost green car atau LCGC), mempunyai mobil barangkali adalah godaan tersendiri bagi seseorang. Ditambah lagi, masyarakat di negeri kita ini memang menggantungkan salah satu simbol status sosialnya pada kepemilikan kendaraan beroda empat ini. Lihat saja, betapa banyak orang tua yang bangga, bercerita ke sana kemari tentang anaknya yang sudah lincah menyetir mobil, padahal -maaf seribu maaf- usia si anak belumlah layak secara hukum untuk mengendarai sebuah mobil. 


Kita pun tak menampik, ada banyak orang yang sebetulnya memang sudah layak memiliki dan menggunakan mobil sebagai alat transportasinya. Bisa jadi karena jarak mobilitas hariannya yang jauh, jumlah anak yang banyak dan telah beranjak besar, atau bahkan memang mobil adalah alat baginya untuk bekerja. Meski demikian, memiliki mobil baru hampir selalu menjadi impian semata, lantaran kondisi finansial yang tidak mendukung. Ia bukanlah prioritas, bahkan sejak di atas kertas.

Ya, mobil baru memang masih cukup mahal. Kan bisa kredit atau mencicil untuk membelinya? Bisa jadi, jawaban itu adalah solusi bagi sebagian orang. Namun, ada juga yang enggan mengambil solusi itu, dengan alasannya masing-masing. Dihadapkan dengan kenyataan ini, mungkin membeli mobil bekas, bahkan berusia tua, adalah solusinya. 

Mobil tua. Dua puluh hingga empat puluh tahun mungkin sebuah mobil yang kini tua renta harganya memang selangit. Namun, seiring dengan bertambahnya usianya, harga mobil-mobil tersebut turun. Ya, pastinya diiringi dengan berbagai kekurangan akibat umur: berbagai komponen yang mulai aus, cat yang mulai kusam dan mengelupas, korosi di beberapa bagian, bahkan kondisi mesin yang tak segarang mobil tersebut di masa mudanya. 

***

Honda City Type Z ini saya beli dalam keadaan sudah berusia menjelang tua. Dua puluh tahun usianya. Keputusan mengakuisisinya didahului oleh proses pemikiran panjang, dibumbui mimpi-mimpi masa kanak dan muda yang ternyata belum menguap terhempas zaman. Tentang harganya yang sesuai kantong, pastilah menjadi pertimbangan paling utama. Tentang bentuk dan performanya, ya… ia menjadi pilihan lantaran pernah singgah dalam mimpi-mimpi saya dua puluh tahun silam. Lalu, bagaimanakah dengan kondisinya? Akan ada banyak cerita setelah ini. Salah satunya adalah insiden knalpot yang patah gegara struktur fisiknya yang telah rapuh dan berkarat, seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya di sini. Selebihnya, saya akan mencoba mengulasnya satu per satu dalam postingan-postingan saya selanjutnya.

Selasa, 17 Maret 2020

Pandawa Lima

Suatu ketika ingatan saya melayang ke era tahun 1997. Masa di saat saya mulai terpapar alunan musik-musik band Indonesia. Ingatan saya tersentak lantaran mendengar lengkingan suara vokal Ari Lasso bersama Dewa 19 dalam konser reuni mereka yang baru-baru ini diunggah di channel Youtube. Kereen… membius.. hingga akhirnya saya memutar lagi beberapa lagu grup band yang populer di jaman saya masih duduk di bangku SMP tersebut.

Cover album Pandawa Lima (sumber gambar: https://www.last.fm/)
Dewa 19. Inilah grup band pertama yang membuat saya terkesima dengan lagu-lagu pop-rock Indonesia. Kereen.. Kala itu, Dewa 19 baru saja merilis album terbarunya: Pandawa Lima, tepatnya di tahun 1997. Di album ini, band asal Surabaya ini digawangi oleh Ahmad Dhani (keyboard dan vokal), Ari Lasso (vokal), Andra Ramadhan (gitar), Erwin Prasetya (bass) dan Wong Aksan (drum). Album ini jugalah yang menjadikan saya sebagai salah satu penggemar Dewa 19 waktu itu. Bahkan, bagi saya, album inilah yang terbaik dari Dewa 19, diikuti album mereka sebelumnya “Terbaik-terbaik” yang dirilis 1995. 

Kenapa Pandawa Lima adalah album terbaik menurut saya? Ada dua alasan. Pertama, album yang saat itu saya beli dalam kemasan pita kaset bersampul biru itu memang luar biasa alunan musiknya. Penampilan terbaik Dewa 19 mungkin ya ada di album ini. Saya memang bukan pengamat dan pemain musik. Tetapi, saya acungi jempol permainan mereka di album ini, meskipun ada suara-suara yang mencibir Dewa 19 terlalu nge-jazz di album Pandawa Lima. Gebukan drum Wong Aksan terasa cerdas, bisa menyesuaikan irama bass Erwin Prasetya yang super kreatif. Permainan gitar Andra Ramadhan tak arogan, tidak mendominasi, tetapi nyaman dan pas sekali menyesuaikan rasa lagunya. Lengkingan suara Ari Lasso terasa khas, bahkan tak tergantikan oleh vokalis manapun yang menyanyikan lagu-lagu di album tersebut hingga kini. Dan, tentunya sang maestro Ahmad Dhani; seperti banyak orang bilang, jenius sekali menyajikan musik-musik Dewa 19 kala itu.

Alasan kedua, album Pandawa Lima diisi oleh lagu-lagu yang sarat muatan kehidupan, kritik-kritik sosial, hingga politik yang lumayan pedas. Sesuatu yang tak terlalu lazim, bahkan hingga saat ini, dimana kebanyakan grup band selalu menyajikan nyanyian cinta yang cengeng. Tapi, lain dengan Dewa 19 dalam Pandawa Lima ini. Single lagu “Kirana” yang membuka album ini terasa magis alunan musiknya dan sarat makna tentang sisi buruk broken home bagi kehidupan seorang anak manusia. Bahkan, kalau melihat video klip single ini terasa sekali gambaran kelam kehidupan seorang manusia bersama narkoba. Lagu ini disambung dengan tembang “Satu Sisi”, “Cindi” dan “Sebelum Kau Terlelap” di album tersebut, yang masih saja bercerita tentang kelamnya kehidupan penuh narkoba dan prostitusi di masa itu.

Lagu bernuansa politik secara gamblang dikemas oleh Dewa 19 di album Pandawa Lima lewat tembang “Aspirasi Putih”. Tampak sekali dalam lagu ini kritik mereka kepada penguasa, yang di masa itu tengah mencapai titik klimaksnya. Kritik sosial juga ditujukan kepada kaum elit dan kaya raya dan curamnya perbedaan antara kaya dan miskin di negeri ini pada era ‘90an mereka abadikan lewat lagu “Selatan Jakarta”. Meski demikian terasa dominasi nuansa kelam di album ini, Dewa 19 juga menampilkan karyanya berjudul “Suara Alam” dan “Petuah Bijak”, yang keduanya menggugah kesadaran dan semangat agar manusia tak patut putus asa akan kehidupan kelamnya. 

Di akhir album, ada lagu legendaris yang senantiasa menjadi pungkasan dari setiap konser Dewa 19, “Kamulah Satu-satunya”. Sekilas lagu ini bertema cinta seperti layaknya lagu-lagu ciptaan grup band yang lain. Namun, di sinilah cerdasnya Dewa 19. Entah benar atau tidak, dengan mengubah persepsi kata “Kamu” dari yang semula sebagai kata ganti untuk seorang manusia menjadi Tuhan sebagai Kekasih, maka jadilah... dalam sekali makna lagu ini; bahwa manusia pastilah punya salah dan lupa, sedang tobat adalah satu-satunya jalan kembali kepadaNya.