Selasa, 25 Februari 2014

Tahun Pertama: Masa Kritis Seorang Kandidat Ph.D. di Belanda

Belanda dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem edukasi yang paling baik di dunia, terbukti dari kemampuannya mencetak ilmuwan-ilmuwan berkualitas melalui program Ph.D. (Doctor of Philosophy) atau doktoralnya. Dibandingkan Inggris dan Jepang yang menjadi negara favorit untuk studi, Belanda mempunyai masa studi normal yang tergolong lama untuk program doktoralnya. Belanda menganut sistem empat tahun untuk menuntaskan program seorang promovendus –sebutan bagi kandidat doktor (Ph.D.) di negeri Orange ini, atau satu tahun lebih lama dibandingkan Jepang maupun Inggris. Pola kerja normal seorang promovendus di Belanda juga tergolong tidak sekeras kandidat doktor lain di Jepang, yang konon katanya harus sering lembur hingga larut malam di kampus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Justru di Belanda, jam kerja di kampus umumnya dibatasi, misalnya hingga jam 10 malam saja. Meski demikian, menjadi promovendus di Belanda tidak lantas mudah dan santai selamanya. Tetap ada perjuangan yang harus dilalui, termasuk menjalani masa kritis di tahun pertama.


Mengapa tahun pertama begitu kritis? Tahun pertama seorang promovendus adalah masa evaluasi untuk melihat kinerja yang bersangkutan dan prospeknya ke depan dalam sebuah proyek yang dijalankan. Jika si promovendus mempunyai kinerja yang baik, memiliki progress, serta hubungan yang baik dengan pembimbing maupun lingkungan sekitarnya pada masa ini, maka ia dapat melanjutkan proyek risetnya hingga tuntas masa studi doktoralnya. Sebaliknya, apabila kinerjanya buruk, atau dianggap buruk oleh pembimbing dan tidak mempunyai kemajuan yang signifikan, maka tidak mustahil ia akan diberhentikan dengan hormat di akhir tahun pertama, atau tepatnya setelah meeting untuk evaluasi tahun pertama dengan pembimbing dan promotor. Biasanya, evaluasi akhir tahun pertama ini selalu didahului oleh evaluasi kecil setiap periode tertentu, misalnya tiga bulan sekali, untuk memantau perkembangan kinerja si promovendus. Pihak universitas, yang dalam hal ini adalah promotor dan pembimbing, beralasan bahwa pemberhentian kontrak kerja sebagai kandidat Ph.D. akan memberikan kesempatan kepada si promovendus untuk mencari posisi yang lebih baik di tempat lain, daripada terus menerus bekerja dalam proyek namun tanpa kemajuan yang berarti dan tidak nyaman bekerja di bawah bimbingan mereka. Secara formal, pihak manajemen universitas akan menindaklanjuti hasil meeting ini dengan memberikan surat resmi pemberhentian kontrak kepada promovendus yang bersangkutan. Di beberapa universitas di Belanda, meeting untuk evaluasi tahun pertama ini disebut Go/No Go meeting.

Lalu, adakah strategi untuk lolos evaluasi tahun pertama atau Go/No Go meeting? Tidak ada strategi khusus, tetapi ada beberapa hal preventif seperti di bawah ini yang bisa dilakukan sejak awal program Ph.D. dimulai.

1. Tancap gas sejak awal
Sejak  proyek Ph.D. dimulai, hendaknya si promovendus langsung tancap gas, meskipun boleh dikata, tahun pertama adalah masa paling membingungkan dan menyita waktu bagi seorang promovendus, karena proyek yang dikerjakan tidak selalu jelas. Pembimbing biasanya hanya memberikan judul, topik atau kata-kata kunci saja tentang proyek yang harus dikerjakan, selebihnya si promovendus sendiri yang harus mengembangkannya sehingga menjadi sebuah alur riset untuk karirnya sebagai kandidat doktor. Namun, inilah tantangannya. Tidak hanya harus bekerja dengan cepat, tetapi juga berusaha seefektif mungkin untuk mencapai target utama tahun pertama, yakni alur riset yang jelas sebagai pedoman di tahun-tahun berikutnya. Untuk membuat alur riset, pergunakanlah masa ini untuk melakukan studi literatur secara intensif. Jika kita tidak cukup pintar atau terseok-seok dalam membuat alur riset, lakukanlah diskusi secara rutin dengan pembimbing untuk mendapatkan masukan-masukan yang bisa kita kembangkan untuk merumuskan alur riset tersebut. Bila harus bertemu dengan kebuntuan, sekali waktu singgahlah ke laboratorium atau lapangan untuk sekedar mencari inspirasi dengan melihat-lihat peralatan yang ada, berdiskusi dengan teknisi atau bahkan melakukan eksperimen-eksperimen kecil, sehingga muncul bayangan apa yang bisa dilakukan dengan resource yang ada di laboratorium atau workshop. Alur riset yang sudah siap sebelum tahun pertama berakhir akan membuat kita lebih percaya diri pada saat Go/No Go meeting. Tentunya, semakin baik lagi apabila kita sudah memulai eksperimen di tahun tersebut, sehingga beberapa hasil ujicoba dapat ditunjukkan saat evaluasi dengan promoter dan pembimbing walaupun masih berupa data sederhana.

2. Jaga hubungan baik dengan promotor dan pembimbing
Meskipun sistem pendidikan di Belanda menganut paham egaliter atau setara antara pembimbing dan mahasiswa Ph.D. bimbingannya, hubungan baik dengan promotor dan pembimbing tetap perlu dijaga. Tempatkan mereka sebagai orang-orang yang kita hargai, sebagaimana budaya timur kita menghargai seorang guru. Namun, memang tidak semua promotor atau pembimbing itu ‘baik’, beberapa di antaranya orang-orang yang susah diakrabi. Oleh karenanya, pastikan terlebih dahulu pada saat kita akan melamar proyek Ph.D. yang ditawarkan, apakah pembimbing yang akan dituju benar-benar sesuai dengan karakter kita? Proyek prestisius bukan satu-satunya jalan yang menentukan kesuksesan kita dalam menyelesaikan program doktor di Belanda dan di masa depan nantinya. Hubungan dan komunikasi dua arah yang baik antara pembimbing dan promovendus juga sangat menentukan kesuksesan selama studi dan setelahnya. Sementara itu, peran promotor (yang selalu bergelar hoogleraar atau guru besar) biasanya hanya sebatas formalitas dan administratif saja, kecuali sang promotor adalah si empunya proyek dan berkehendak untuk membimbing promovendus-nya secara langsung.

3. Pro-aktif dan tidak perlu merasa inferior
Belanda adalah negara yang memegang prinsip ‘terus terang’ dan apa adanya dalam berkomunikasi, termasuk dalam kehidupan akademiknya. Di tahun pertama, jika memang tidak tahu tentang sesuatu, tentang bagaimana mengoperasikan sebuah alat di laboratorium dan sebagainya, maka bertanyalah kepada orang-orang yang berkepentingan. Tidak perlu merasa inferior atau malu, justru umumnya mereka akan menghargai dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sikap pro-aktif untuk bertanya, mengambil inisiatif dan tidak merasa inferior ini akan memperlancar komunikasi kita sebagai promovendus dengan setiap orang yang terlibat dalam riset dan proyek yang dikerjakan.


Antara scholarship dan kontrak kerja

Dalam sistem pendidikan doktoral di Belanda, seorang promovendus dianggap sebagai pegawai kontrak (employee, medewerker) yang mendapatkan gaji bulanan. Gaji ini bersumber dari alokasi dana proyek yang dikerjakan atau dipimpin oleh pembimbing. Namun, terdapat pula promovendus yang mendapatkan tunjangan finansial dari sumber-sumber selain proyek. Mahasiswa doktoral seperti ini biasanya adalah mereka yang mendapatkan beasiswa dari institusi lain di luar universitas, misalnya pemerintah negara asal promovendus, lembaga dunia seperti Islamic Development Bank  dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang, apakah perbedaan skema tunjangan finansial di atas berpengaruh pada mudah tidaknya promovendus untuk lolos dalam evaluasi tahun pertama? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak.

Secara umum, perbedaan sumber tunjangan finansial mempengaruhi tanggung jawab yang harus diemban oleh promovendus. Berbeda dengan skema kontrak kerja, skema beasiswa tidak diatur secara baku oleh universitas di Belanda. Pertanggungjawaban finansial si promovendus lebih kepada institusi pemberi beasiswa, bukan universitas, pembimbing maupun industri yang terlibat dalam proyek risetnya. Bahkan, promovendus dengan skema beasiswa seperti ini seringkali harus membuat proyek sendiri begitu tiba di universitas tempat ia studi, karena sejatinya memang tidak ada proyek yang mengharuskan dia bekerja untuk sebuah riset Ph.D. di universitas tersebut. Tentu saja, perbedaan skema tunjangan finansial ini membawa implikasi pada fleksibilitas aturan dan beban kerja harian seorang promovendus, termasuk capaian yang harus disampaikan dalam Go/No Go meeting. Dengan kata lain, promovendus dengan skema beasiswa memang terkesan lebih fleksibel dan mudah untuk lolos dalam evaluasi tahun pertama.


Pendapat di atas memang benar, karena tidak ada tanggung jawab di pundak promotor maupun pembimbing akan kelancaran studi si promovendus yang bekerja dengan beasiswa. Tanggung jawab ada di pundak si promovendus sendiri, apakah ia mau menyelesaikan studi Ph.D.-nya tepat waktu atau harus molor. Jika harus molor, maka konsekuensi tidak ada lagi jaminan finansial harus ditanggung sendiri oleh promovendus. Namun, ternyata kasus seorang promovendus berbekal beasiswa yang diberhentikan karena tidak lolos evaluasi tahun pertama pun pernah terjadi. Oleh karenanya, tidak salah apabila ada ucapan: untuk meraih gelar Ph.D. yang sesungguhnya, hanya berani bermimpi saja tidaklah cukup, harus disertai kesiapan untuk melakoni kehidupan sebagai mahasiswa Ph.D. atau doktoral yang penuh  dengan liku-liku, termasuk menerobos masa-masa kritis di awal periodenya.

*Repost artikel Kompasiana, 26 Februari 2014

Sabtu, 15 Februari 2014

Pentingkah Angka Sitasi?

Foto: Wikipedia

Sekali waktu, cobalah membuka Google Scholar (www.googlescholar.com), kemudian ketik kata-kata kunci dalam topik riset yang sedang Anda minati. Dalam hitungan detik, mbah Google menampilkan judul-judul publikasi yang jumlahnya bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan. Perhatikan satu demi satu judul yang ada di depan Anda, cermati bahwa di situ pula Anda dapat menjumpai siapa penulis artikel atau buku yang dipublikasikan, tahun, nama jurnal serta penerbitnya. Di bawahnya, terdapat nukilan abstrak dari publikasi yang ditampilkan.  Sejurus di bawahnya lagi, ada beberapa kata yang menarik untuk disimak, yakni “Cited by …”, “Related articles”, “Version …”, “Cite” dan “Save”. Jika Anda ingin tahu apakah angka sitasi itu, lihatlah kata “Cited by”, kemudian angka di sebelahnya. Inilah angka sitasi yang saya maksud di atas. Inilah ukuran seberapa banyak sebuah publikasi, baik berupa artikel maupun buku, dijadikan rujukan bagi publikasi yang lain. Lalu, adakah relevansinya dengan kehidupan akademik dan riset yang kita jalani? Tentu saja ada. Gampangnya, semakin besar angka sitasi, semakin sering karya kita tersebut dirujuk dan tentunya semakin besar pula manfaat publikasi kita. Akhirnya, angka sitasi menunjukkan seberapa besar kontribusi kita pada dunia dan komunitas keilmuan yang kita geluti. Namun, tidak berarti bahwa sebuah publikasi yang kecil angka sitasinya selalu kecil nilai kemanfaatannya. Angka sitasi kecil bisa saja berarti artikel atau buku tersebut belum lama diterbitkan. Pendapat kawan saya pun boleh jadi benar. Jika seorang peneliti berhasil mempublikasikan artikelnya di jurnal yang top dan sangat bereputasi, tetapi angka sitasinya tidak banyak, kemungkinan isi dari artikel tersebut sangat ‘berat’, sehingga orang lain yang ingin mensitasinya harus ekstra hati-hati untuk menghindari kesalahan penafsiran isi tulisan. Anda pun dapat menelusuri siapa sajakah yang mensitasi tulisan Anda dengan meng-klik “Cited by …” pada Google Scholar.

Foto: Google Scholar

Bagi saya pribadi, ada kepuasan tersendiri ketika angka sitasi publikasi saya bertambah, meski seringkali peningkatan angkanya merangkak: selama berbulan-bulan hanya ada satu atau dua sitasi saja. Hingga awal 2014 ini, artikel saya di jurnal Materials Chemistry and Physics tahun 2011 masih merupakan yang paling banyak mendapatkan angka sitasi (32 sitasi) dibandingkan artikel-artikel saya yang lain (masih di bawah 10 sitasi). Pertanyaan selanjutnya, adakah strategi untuk menambah angka sitasi? Menurut saya, tidak ada strategi khusus selain kualitas isi artikel yang baik dan kelengkapan data yang disajikan dalamnya. Untuk yang terakhir, saya amati dari angka artikel-artikel yang pernah saya tulis. Tulisan di jurnal yang saya sebut di atas memuat data-data yang lebih lengkap dibandingkan artikel-artikel saya yang lain, sehingga sangat beralasan ketika banyak yang lebih memilih tulisan ini sebagai rujukan. Sebenarnya, bisa juga kita melakukan self-citation untuk meningkatkan angka sitasi. Self-citation dapat diartikan sebagai upaya mensitasi karya kita sendiri yang telah dipublikasi sebelumnya untuk tulisan-tulisan kita yang akan dipublikasikan selanjutnya. Meski cara demikian dihalalkan, menurut saya, self-citation hendaknya dibatasi, agar angka sitasi yang kita peroleh tidak bias. Jika memang terpaksa harus melakukan self-citation karena data dari publikasi peneliti lain tidak memadai, lakukanlah seperlunya saja. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, konon self-citation merupakan hal sensitif yang menyangkut etika menulis dan sebaiknya dihindari.


Bagi Anda yang tertarik masalah angka sitasi, Anda dapat pula merujuk pada search engine yang lain, misalnya Scopus atau Web of Science. Jika dibandingkan, Scopus dan Web of Science lebih selektif daripada Google Scholar. Maksud saya, bisa jadi angka sitasi kita sudah mencapai 50 kali di Google Scholar, tetapi jika dilihat dari Scopus dan Web of Science mungkin hanya 30an saja. Baik Scopus maupun Web of Science menghitung sitasi berdasarkan jumlah publikasi yang terindeks oleh keduanya, sementara Google Scholar sepertinya menerapkan aturan yang lebih longgar, sehingga sitasi dari artikel jurnal tak terindeks pun seringkali  tetap dihitung.

Minggu, 09 Februari 2014

Deadline!

Ide tulisan ini muncul terinspirasi oleh posting kawan saya di sebuah media sosial. Deadline! Sebuah kata yang akrab terdengar di telinga kita, terutama yang pernah atau sedang menjalani fase sebagai pelajar di kampus. Deadline serasa momok menakutkan, yang membuat jantung berdegup lebih kencang, tegang bahkan stres. Namun, seorang kawan saya yang lain merespon postingan tersebut dengan pandangan yang sedikit berbeda. Menyitir argumen pembimbingnya, kawan saya yang terakhir ini berpendapat bahwa deadline itu bermanfaat, khususnya pada saat menulis paper, laporan maupun tesis. Alasannya, karena berapa lamapun waktu untuk menulis paper, hasilnya tidak akan jauh berbeda.

Saya berpikir sebentar setelah membaca argumen kawan tersebut. Ternyata memang benar juga pendapat kawan saya itu. Jika saya coba petakan dimana pentingnya sebuah deadline, jadilah grafik seperti gambar berikut. Tentu saja, grafik ini hanya hasil rekaan saya dan pasti subjektif! Hehehe...


Grafik di atas memetakan produktivitas dan capaian sebagai fungsi waktu. Relasi antara capaian dan waktu dapat diplot dalam sebuah kurva yang bentuknya mirip seperti susunan anak tangga (warna biru), sedangkan produktivitas sebagai fungsi waktu digambarkan dengan kurva naik turun (warna merah). Setiap anak tangga pada grafik capaian berbentuk lengkung, dengan awalan yang naik curam dan berhenti pada fase jenuh. Kalau dibaca dari sisi kiri berarti capaian kita melesat cepat, seiring dengan produktivitas yang juga masih tinggi, di awal fase menulis sebuah paper maupun laporan. Cukup beralasan, karena saat itu kita masih segar bugar meski dihadapkan pada banyak bacaan atau data yang harus dibaca, dicerna, diolah dan ditulis. Seiring dengan berjalannya waktu, produktivitas menurun, hingga pada suatu titik, muncullah saturasi, kejenuhan, dimana capaian kita tidak lagi pesat, padahal capaian masih belum 100%. Pikiran kita mulai lamban, mengalami blocking, serta tidak lagi lancar menelurkan ide-ide brilian dalam tulisan. Tingkah polah kita di depan monitor lebih sering berupa aktivitas edit mengedit kata di sana sini, mengganti mana yang tidak tepat menjadi tepat. Tidak jarang malah kantuk menyerang dengan hebatnya, karena gairah menulis yang sudah menurun dan kebosanan yang melanda. Kalaupun tetap dipaksakan menulis, tidak lagi efektif dan hasilnya tidak signifikan. Nah, di sinilah kira-kira fungsi deadline yang dimaksud kawan saya tadi.

Deadline dalam grafik di atas hadir sebagai pemutus sebuah anak tangga dengan anak tangga yang lain. Tatkala kita merasa jenuh, bosan dengan aktivitas menulis kita, dan produktivitas seakan tidak mau naik lagi, deadline bisa menjadi solusinya. Adanya deadline, membuat kita sesegera mungkin memberikan kesempatan pada supervisor atau pembimbing melihat tulisan kita, mengkoreksi dan selanjutnya memberikan feedback atau umpan balik. Kita pun bisa beristirahat sementara waktu untuk menyegarkan pikiran setelah draft paper, laporan atau tesis kita serahkan kepada supervisor. Setelah feedback diperoleh dan pikiran segar kembali, produktivitas kita pun naik lagi, membawa kita naik satu tingkat atau satu anak tangga yang lebih tinggi lagi. Selesaikah sampai di sini? Belum. Seringkali kita untuk mengalami fase penurunan produktivitas kembali, yang berujung stagnasi lagi sebelum hasil mencapai 100%. Jika demikian, kiranya deadline bisa kita gunakan lagi sebagai penolong. Runtutan seperti ini bisa berulang beberapa kali, tergantung kemampuan dan kemahiran kita mengolah tulisan kita hingga tercapai hasil 100% sebagaimana diharapkan. Nah, jika seperti ini grafiknya, berarti semakin banyak deadline, semakin cepat pula mencapai 100%, bukan? Hehehe…

Bergulat dengan deadline memang sering, bahkan selalu, tidak menyenangkan. Jujur, saya sendiri termasuk di antara sekian orang yang tidak suka dengan deadline yang diberikan orang lain, tetapi mampu bekerja lebih efektif dengan deadline yang saya tetapkan sendiri. Tetapi, itu semua kembali kepada pribadi masing-masing. Bagi sebagian orang, justru dengan deadline produktivitas meningkat tajam. Apapun itu, kita sendirilah yang mampu berkompromi dengan si deadline.  

Sabtu, 08 Februari 2014

Cepat, berkualitas atau keduanya?

Cerita bermula pada suatu siang yang berselimut terik mentari yang menyengat. Seorang mahasiswa datang kepada saya yang saat itu tengah larut memandangi sebuah paper di meja kerja saya sembari melepas lelah di ruang kerja saya yang setengah amburadul. Iwan, si mahasiswa tersebut, datang tergopoh-gopoh sambil mengatur nafasnya setelah berlari menyusuri jalan dari parkiran kampus menuju ruangan saya yang ada di lantai dua. Sebelum saya persilakan duduk, ia meminta maaf karena terlambat. 

“Ok, tidak apa-apa.” ujar saya setelah memaklumi keterlambatannya karena suatu urusan di kantor fakultas yang membutuhkan waktu cukup lama. Iwan datang kepada saya untuk memenuhi janjinya menyerahkan draft hasil analisis penelitian skripsinya yang baru dikerjakan.

“Ya, bagus. Perbaiki saja bagian ini, kemudian hubungkan dengan temuan yang itu”, begitu komentar akhir saya setelah membaca grafik-grafik yang ia buat disertai diskusi selama hampir 45 menit.

“Baik, Pak, nanti saya perbaiki. O ya, Pak, sebenarnya saya ingin bertanya dan minta pendapat Bapak juga saat ini. Apakah Bapak ada waktu?” pintanya sambil memasukan kertas-kertas laporan dan hasil diskusi tadi ke dalam tasnya.

“Ya, gimana?” sahut saya.

“Begini Pak, saya itu punya keinginan setelah lulus sarjana nanti. Saya ingin lanjut kuliah, Pak, mau ambil S2 dan kalau bisa S3 juga. Kalau menurut Bapak, kira-kira bidang apa ya yang bisa cepat ditempuh?”, Iwan bertanya kembali. Saya berpikir sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali pada Iwan.

Kenapa ‘cepat selesai’ yang menjadi tujuanmu?” tanya saya.

“Iya Pak, saya ingin cepat selesai, sebelum usia 30 tahun nanti bisa meraih doktor.” kata Iwan dengan mantap. Usianya masih 21 tahun, sebuah angka yang mengingatkan jaman mahasiswa saya yang juga penuh mimpi seperti itu.

“Bukannya menjadi doktor di usia lebih dari 30 tahun itu tidak ada larangannya?” saya menimpali.

“Iya Pak, tetapi kalau bisa sebelum 30 tahun, menurut saya  lebih baik Pak. Untuk itu, saya ingin mencari bidang-bidang yang sekiranya tidak perlu waktu lama untuk studi.” jawab Iwan.

“Lalu kamu mau ngapain setelah selesai doktor sebelum usia 30 tahun?” saya bertanya kembali.

Mmm… belum tau juga sih Pak, masih belum sempat memikirkan.” jawab Iwan. Suasana hening sejenak, sebelum akhirnya saya memberikan komentar yang sedikit berputar, tidak langsung tertuju pada jawaban terakhir Iwan.

“Kalau saya, kamu sendiri yang harusnya bisa menentukan ke mana dan di bidang apa nanti akan melanjutkan studimu. Saya hanya bisa membimbing kamu lewat skripsi ini saja. Paling tidak menunjukkan bagaimana kamu harus berjuang mempersiapkan riset maupun hasilnya hingga layak dikonsumsi, baik dalam bentuk tulisan skripsimu, atau bahkan nanti jika bisa dipublikasikan. Pernahkah kamu serius memikirkan, walau sebentar saja, tentang bidang yang ingin kamu ambil nanti?” sahut saya.

“Belum, Pak, mikir skripsi ini saja sudah pusing,” katanya sambil tertawa, “yang ada di benak saya ya hanya bagaimana dapat sekolah lanjut di bidang yang cepat selesai.”

Oh begitu. Eh, kamu pernah mempertimbangkan dua hal penting, misalkan dalam kehidupan kamu sendiri, antara ‘cepat’ dan ‘kualitas’?” tanya saya.

“Apa itu Pak? Bagaimana ceritanya, Pak?” balasnya dengan serius.

“Begini, jika kamu ingin segala sesuatunya cepat, maka boleh jadi kualitas bisa kamu kesampingkan dulu. Yang penting cepat sampai pada tujuan. Seperti pembalap di lintasan lurus, cukup hadap ke depan, tak usah tengok kanan-kiri, pacu mobil atau motormu dengan kecepatan tinggi. Cukup beberapa detik saja, mungkin kamu sudah sampai garis finish. Kelemahannya ya itu, seringkali kita justru tidak menikmati proses yang dilalui, padahal di situlah kita bisa berkreasi banyak, menciptakan sesuatu yang baru, menjadi lebih dewasa dan semakin memahami diri kamu sendiri.  Tujuan akhirnya pun sama dengan yang kamu inginkan jika kamu fokus pada kualitas. Sama-sama lulus juga, bukan?” jawab saya.

“Nah, kalau kualitas yang ingin kamu rengkuh, agak berbeda ceritanya. Kamu nikmati saja perjalananmu, sambil berpikir di setiap langkahnya. Introspeksi, jalani, introspeksi lagi dan jalani lagi. Akibatnya, waktu yang kamu perlukan mungkin lebih lama, meski saya tidak bilang banyak waktu-waktu tersebut hilang sia-sia, karena sebenarnya banyak momen berharga yang memperkaya pengalamanmu dari perjalanan itu. Jadi, fokus pada kualitas ini bukan berarti lamban bergerak dan sulit mencapai tujuan akhir. Yang kamu lakukan di sini adalah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kualitas sebaik-baiknya dalam waktu yang terukur.” lanjut saya.

“Terukur bagaimana maksudnya, Pak?” Iwan semakin penasaran.

“Ya, terukur dari rencana yang sudah kamu siapkan. Jika kamu punya rencana, punya masterplan hidup kamu, setelah studi mau ngapain, akan bekerja seperti apa, dan seterusnya, kamu tidak perlu khawatir, bahkan lulus doktor setelah usia 35 atau 40 tahun sekalipun. Tapi ya itu, kamu harus punya rencana, termasuk plan A, B, C dan seterusnya tentang apa saja yang akan kamu lakukan dalam rentang usia itu. Eh, saya kok jadi sok bijak begini, hahaha...” kelakar saya sambil mengatur gerak sebagai isyarat saya ingin mengakhiri diskusi panjang ini. Hening di ruangan saya pun pecah, berganti dengan tawa saya dan Iwan.

So, kalau menurut saya, pikirkan dulu, ambil waktumu untuk berpikir. Tak usah terlalu fokus untuk cepat, tapi kejarlah kualitas. Rencanakan, jalani, jika nanti ada yang tidak sesuai dikoreksi, seperti kamu menjalani risetmu itu ‘kan? Bahkan, kalau kamu sudah bisa membuat rencana matang, kamu bisa meraih keduanya, cepat tapi berkualitas.” tutur saya.

“Oh begitu ya, Pak.” sahut Iwan.

Diskusi kami yang banyak berseling guyonan itu pun berakhir saat waktu beranjak pukul 3 sore. Iwan kemudian undur diri sambil berucap terima kasih. Sambil beranjak dari kursinya, ia berkata kembali, “Pak, tapi saya kok masih penasaran dan ingin lulus secepatnya ya, Pak?”

Hehe, jangan khawatir, penuhi saja rasa penasaranmu itu dulu. Yang saya sampaikan tadi tidak serta merta mengharuskan kamu melakukan seperti apa yang saya pikirkan dan jalani. Tak masalah, dirimu adalah tanggung jawabmu sendiri. Enjoy saja, Wan.” sahut saya sambil tersenyum.

“Baik Pak, sekali lagi terima kasih, Pak, saya senang bisa ngobrol seperti ini. Nanti draft perbaikannya saya sampaikan Senin depan ya Pak.” kata Iwan menutup pembicaraan.

Saya acungkan jempol pertanda setuju. Iwan pun keluar dari ruangan saya.

Selepas sholat Ashar, saya putuskan untuk pulang dari kampus karena ada suatu hal lain yang harus saya kerjakan selepas waktu Maghrib nantinya. Di jalan, saya masih terngiang apa yang saya diskusikan dengan Iwan tadi. Cepat, kualitas atau keduanya? Kalau masih boleh memilih sih, saya pilih keduanya. “Ah, saya sih sudah hampir kepala tiga. Impian studi S3 saja masih dipertaruhkan pada setumpuk aplikasi beasiswa yang belum kunjung mendapat respon. Apapun itu, ya inilah kehidupan saya sendiri.” gumam saya membela diri di atas motor bebek hitam yang terus melaju membawa saya pulang ke rumah.