Belanda dikenal sebagai
salah satu negara dengan sistem edukasi yang paling baik di dunia, terbukti dari kemampuannya mencetak ilmuwan-ilmuwan berkualitas melalui program Ph.D. (Doctor of Philosophy) atau doktoralnya. Dibandingkan
Inggris dan Jepang yang menjadi negara favorit untuk studi, Belanda mempunyai
masa studi normal yang tergolong lama untuk program doktoralnya. Belanda menganut
sistem empat tahun untuk menuntaskan program seorang promovendus –sebutan bagi kandidat doktor (Ph.D.) di negeri Orange
ini, atau satu tahun lebih lama dibandingkan Jepang maupun Inggris. Pola kerja normal
seorang promovendus di Belanda juga tergolong
tidak sekeras kandidat doktor lain di Jepang, yang konon katanya harus sering
lembur hingga larut malam di kampus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Justru di
Belanda, jam kerja di kampus umumnya dibatasi, misalnya hingga jam 10 malam
saja. Meski demikian, menjadi promovendus
di Belanda tidak lantas mudah dan santai selamanya. Tetap ada perjuangan yang
harus dilalui, termasuk menjalani masa kritis di tahun pertama.
Mengapa tahun pertama begitu
kritis? Tahun pertama seorang promovendus
adalah masa evaluasi untuk melihat kinerja yang bersangkutan dan prospeknya
ke depan dalam sebuah proyek yang dijalankan. Jika si promovendus mempunyai kinerja yang baik, memiliki progress, serta hubungan yang baik dengan
pembimbing maupun lingkungan sekitarnya pada masa ini, maka ia dapat melanjutkan
proyek risetnya hingga tuntas masa studi doktoralnya. Sebaliknya, apabila kinerjanya
buruk, atau dianggap buruk oleh pembimbing dan tidak mempunyai kemajuan yang
signifikan, maka tidak mustahil ia akan diberhentikan dengan hormat di akhir tahun
pertama, atau tepatnya setelah meeting untuk
evaluasi tahun pertama dengan pembimbing dan promotor. Biasanya, evaluasi akhir
tahun pertama ini selalu didahului oleh evaluasi kecil setiap periode tertentu,
misalnya tiga bulan sekali, untuk memantau perkembangan kinerja si promovendus. Pihak universitas, yang dalam
hal ini adalah promotor dan pembimbing, beralasan bahwa pemberhentian kontrak kerja
sebagai kandidat Ph.D. akan memberikan kesempatan kepada si promovendus untuk mencari posisi yang
lebih baik di tempat lain, daripada terus menerus bekerja dalam proyek namun tanpa
kemajuan yang berarti dan tidak nyaman bekerja di bawah bimbingan mereka. Secara
formal, pihak manajemen universitas akan menindaklanjuti hasil meeting ini dengan memberikan surat
resmi pemberhentian kontrak kepada
promovendus yang bersangkutan. Di beberapa universitas di Belanda, meeting untuk evaluasi tahun pertama ini
disebut Go/No Go meeting.
Lalu, adakah strategi untuk lolos evaluasi tahun pertama atau Go/No Go meeting? Tidak ada strategi khusus,
tetapi ada beberapa hal preventif seperti di bawah ini yang bisa dilakukan sejak
awal program Ph.D. dimulai.
1. Tancap gas sejak awal
Sejak proyek Ph.D. dimulai,
hendaknya si promovendus langsung tancap
gas, meskipun boleh dikata, tahun pertama adalah masa paling membingungkan dan menyita waktu bagi seorang promovendus, karena proyek yang dikerjakan
tidak selalu jelas. Pembimbing biasanya hanya memberikan judul, topik atau kata-kata
kunci saja tentang proyek yang harus dikerjakan, selebihnya si promovendus sendiri yang harus mengembangkannya
sehingga menjadi sebuah alur riset untuk karirnya sebagai kandidat doktor.
Namun, inilah tantangannya. Tidak hanya harus bekerja dengan cepat, tetapi juga
berusaha seefektif mungkin untuk mencapai target utama tahun pertama, yakni alur
riset yang jelas sebagai pedoman di tahun-tahun berikutnya. Untuk membuat alur riset,
pergunakanlah masa ini untuk melakukan studi literatur secara intensif. Jika kita
tidak cukup pintar atau terseok-seok dalam membuat alur riset, lakukanlah diskusi
secara rutin dengan pembimbing untuk mendapatkan masukan-masukan yang bisa kita
kembangkan untuk merumuskan alur riset tersebut. Bila harus bertemu dengan kebuntuan,
sekali waktu singgahlah ke laboratorium atau lapangan untuk sekedar mencari inspirasi
dengan melihat-lihat peralatan yang ada, berdiskusi dengan teknisi atau bahkan melakukan
eksperimen-eksperimen kecil, sehingga muncul bayangan apa yang bisa dilakukan dengan
resource yang ada di laboratorium
atau workshop. Alur riset yang sudah siap sebelum tahun
pertama berakhir akan membuat kita lebih percaya diri pada saat Go/No Go meeting. Tentunya, semakin baik
lagi apabila kita sudah memulai eksperimen di tahun tersebut, sehingga beberapa
hasil ujicoba dapat ditunjukkan saat evaluasi dengan promoter dan pembimbing walaupun
masih berupa data sederhana.
2. Jaga hubungan baik dengan promotor dan pembimbing
Meskipun sistem pendidikan di Belanda menganut paham egaliter atau setara
antara pembimbing dan mahasiswa Ph.D. bimbingannya, hubungan baik dengan
promotor dan pembimbing tetap perlu dijaga. Tempatkan mereka sebagai orang-orang
yang kita hargai, sebagaimana budaya timur kita menghargai seorang guru. Namun,
memang tidak semua promotor atau pembimbing itu ‘baik’, beberapa di antaranya orang-orang
yang susah diakrabi. Oleh karenanya, pastikan terlebih dahulu pada saat kita akan
melamar proyek Ph.D. yang ditawarkan, apakah pembimbing yang akan dituju benar-benar
sesuai dengan karakter kita? Proyek prestisius bukan satu-satunya jalan yang
menentukan kesuksesan kita dalam menyelesaikan program doktor di Belanda dan di
masa depan nantinya. Hubungan dan komunikasi dua arah yang baik antara pembimbing
dan promovendus juga sangat menentukan
kesuksesan selama studi dan setelahnya. Sementara itu, peran promotor (yang
selalu bergelar hoogleraar atau guru
besar) biasanya hanya sebatas formalitas dan administratif saja, kecuali sang
promotor adalah si empunya proyek dan berkehendak untuk membimbing promovendus-nya secara langsung.
3. Pro-aktif dan tidak perlu merasa inferior
Belanda adalah negara yang memegang prinsip ‘terus terang’ dan apa adanya
dalam berkomunikasi, termasuk dalam kehidupan akademiknya. Di tahun pertama, jika
memang tidak tahu tentang sesuatu, tentang bagaimana mengoperasikan sebuah alat
di laboratorium dan sebagainya, maka bertanyalah kepada orang-orang yang
berkepentingan. Tidak perlu merasa inferior
atau malu, justru umumnya mereka akan menghargai dan membantu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Sikap pro-aktif untuk bertanya, mengambil inisiatif
dan tidak merasa inferior ini akan memperlancar
komunikasi kita sebagai promovendus dengan
setiap orang yang terlibat dalam riset dan proyek yang dikerjakan.
Antara scholarship dan kontrak kerja
Dalam sistem pendidikan doktoral
di Belanda, seorang promovendus dianggap
sebagai pegawai kontrak (employee, medewerker) yang mendapatkan gaji bulanan.
Gaji ini bersumber dari alokasi dana proyek yang dikerjakan atau dipimpin oleh pembimbing.
Namun, terdapat pula promovendus yang
mendapatkan tunjangan finansial dari sumber-sumber selain proyek. Mahasiswa doktoral
seperti ini biasanya adalah mereka yang mendapatkan beasiswa dari institusi lain
di luar universitas, misalnya pemerintah negara asal promovendus, lembaga dunia seperti Islamic Development Bank dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang, apakah
perbedaan skema tunjangan finansial di atas berpengaruh pada mudah tidaknya promovendus untuk lolos dalam evaluasi tahun
pertama? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak.
Secara umum, perbedaan sumber
tunjangan finansial mempengaruhi tanggung jawab yang harus diemban oleh promovendus. Berbeda dengan skema kontrak
kerja, skema beasiswa tidak diatur secara baku oleh universitas di Belanda. Pertanggungjawaban
finansial si promovendus lebih kepada
institusi pemberi beasiswa, bukan universitas, pembimbing maupun industri yang
terlibat dalam proyek risetnya. Bahkan, promovendus
dengan skema beasiswa seperti ini seringkali harus membuat proyek sendiri begitu
tiba di universitas tempat ia studi, karena sejatinya memang tidak ada proyek
yang mengharuskan dia bekerja untuk sebuah riset Ph.D. di universitas tersebut.
Tentu saja, perbedaan skema tunjangan finansial ini membawa implikasi pada fleksibilitas
aturan dan beban kerja harian seorang promovendus,
termasuk capaian yang harus disampaikan dalam Go/No Go meeting. Dengan kata lain, promovendus dengan skema beasiswa memang terkesan lebih fleksibel
dan mudah untuk lolos dalam evaluasi tahun pertama.
Pendapat di atas memang benar,
karena tidak ada tanggung jawab di pundak promotor maupun pembimbing akan kelancaran
studi si promovendus yang bekerja dengan
beasiswa. Tanggung jawab ada di pundak si promovendus
sendiri, apakah ia mau menyelesaikan studi Ph.D.-nya tepat waktu atau harus
molor. Jika harus molor, maka konsekuensi tidak ada lagi jaminan
finansial harus ditanggung sendiri oleh promovendus.
Namun, ternyata kasus seorang promovendus
berbekal beasiswa yang diberhentikan karena tidak lolos evaluasi tahun pertama
pun pernah terjadi. Oleh karenanya, tidak salah apabila ada ucapan: untuk
meraih gelar Ph.D. yang sesungguhnya, hanya berani bermimpi saja tidaklah
cukup, harus disertai kesiapan untuk melakoni kehidupan sebagai mahasiswa Ph.D.
atau doktoral yang penuh dengan
liku-liku, termasuk menerobos masa-masa kritis di awal periodenya.
*Repost artikel Kompasiana, 26 Februari 2014