Selasa, 25 Februari 2014

Tahun Pertama: Masa Kritis Seorang Kandidat Ph.D. di Belanda

Belanda dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem edukasi yang paling baik di dunia, terbukti dari kemampuannya mencetak ilmuwan-ilmuwan berkualitas melalui program Ph.D. (Doctor of Philosophy) atau doktoralnya. Dibandingkan Inggris dan Jepang yang menjadi negara favorit untuk studi, Belanda mempunyai masa studi normal yang tergolong lama untuk program doktoralnya. Belanda menganut sistem empat tahun untuk menuntaskan program seorang promovendus –sebutan bagi kandidat doktor (Ph.D.) di negeri Orange ini, atau satu tahun lebih lama dibandingkan Jepang maupun Inggris. Pola kerja normal seorang promovendus di Belanda juga tergolong tidak sekeras kandidat doktor lain di Jepang, yang konon katanya harus sering lembur hingga larut malam di kampus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Justru di Belanda, jam kerja di kampus umumnya dibatasi, misalnya hingga jam 10 malam saja. Meski demikian, menjadi promovendus di Belanda tidak lantas mudah dan santai selamanya. Tetap ada perjuangan yang harus dilalui, termasuk menjalani masa kritis di tahun pertama.


Mengapa tahun pertama begitu kritis? Tahun pertama seorang promovendus adalah masa evaluasi untuk melihat kinerja yang bersangkutan dan prospeknya ke depan dalam sebuah proyek yang dijalankan. Jika si promovendus mempunyai kinerja yang baik, memiliki progress, serta hubungan yang baik dengan pembimbing maupun lingkungan sekitarnya pada masa ini, maka ia dapat melanjutkan proyek risetnya hingga tuntas masa studi doktoralnya. Sebaliknya, apabila kinerjanya buruk, atau dianggap buruk oleh pembimbing dan tidak mempunyai kemajuan yang signifikan, maka tidak mustahil ia akan diberhentikan dengan hormat di akhir tahun pertama, atau tepatnya setelah meeting untuk evaluasi tahun pertama dengan pembimbing dan promotor. Biasanya, evaluasi akhir tahun pertama ini selalu didahului oleh evaluasi kecil setiap periode tertentu, misalnya tiga bulan sekali, untuk memantau perkembangan kinerja si promovendus. Pihak universitas, yang dalam hal ini adalah promotor dan pembimbing, beralasan bahwa pemberhentian kontrak kerja sebagai kandidat Ph.D. akan memberikan kesempatan kepada si promovendus untuk mencari posisi yang lebih baik di tempat lain, daripada terus menerus bekerja dalam proyek namun tanpa kemajuan yang berarti dan tidak nyaman bekerja di bawah bimbingan mereka. Secara formal, pihak manajemen universitas akan menindaklanjuti hasil meeting ini dengan memberikan surat resmi pemberhentian kontrak kepada promovendus yang bersangkutan. Di beberapa universitas di Belanda, meeting untuk evaluasi tahun pertama ini disebut Go/No Go meeting.

Lalu, adakah strategi untuk lolos evaluasi tahun pertama atau Go/No Go meeting? Tidak ada strategi khusus, tetapi ada beberapa hal preventif seperti di bawah ini yang bisa dilakukan sejak awal program Ph.D. dimulai.

1. Tancap gas sejak awal
Sejak  proyek Ph.D. dimulai, hendaknya si promovendus langsung tancap gas, meskipun boleh dikata, tahun pertama adalah masa paling membingungkan dan menyita waktu bagi seorang promovendus, karena proyek yang dikerjakan tidak selalu jelas. Pembimbing biasanya hanya memberikan judul, topik atau kata-kata kunci saja tentang proyek yang harus dikerjakan, selebihnya si promovendus sendiri yang harus mengembangkannya sehingga menjadi sebuah alur riset untuk karirnya sebagai kandidat doktor. Namun, inilah tantangannya. Tidak hanya harus bekerja dengan cepat, tetapi juga berusaha seefektif mungkin untuk mencapai target utama tahun pertama, yakni alur riset yang jelas sebagai pedoman di tahun-tahun berikutnya. Untuk membuat alur riset, pergunakanlah masa ini untuk melakukan studi literatur secara intensif. Jika kita tidak cukup pintar atau terseok-seok dalam membuat alur riset, lakukanlah diskusi secara rutin dengan pembimbing untuk mendapatkan masukan-masukan yang bisa kita kembangkan untuk merumuskan alur riset tersebut. Bila harus bertemu dengan kebuntuan, sekali waktu singgahlah ke laboratorium atau lapangan untuk sekedar mencari inspirasi dengan melihat-lihat peralatan yang ada, berdiskusi dengan teknisi atau bahkan melakukan eksperimen-eksperimen kecil, sehingga muncul bayangan apa yang bisa dilakukan dengan resource yang ada di laboratorium atau workshop. Alur riset yang sudah siap sebelum tahun pertama berakhir akan membuat kita lebih percaya diri pada saat Go/No Go meeting. Tentunya, semakin baik lagi apabila kita sudah memulai eksperimen di tahun tersebut, sehingga beberapa hasil ujicoba dapat ditunjukkan saat evaluasi dengan promoter dan pembimbing walaupun masih berupa data sederhana.

2. Jaga hubungan baik dengan promotor dan pembimbing
Meskipun sistem pendidikan di Belanda menganut paham egaliter atau setara antara pembimbing dan mahasiswa Ph.D. bimbingannya, hubungan baik dengan promotor dan pembimbing tetap perlu dijaga. Tempatkan mereka sebagai orang-orang yang kita hargai, sebagaimana budaya timur kita menghargai seorang guru. Namun, memang tidak semua promotor atau pembimbing itu ‘baik’, beberapa di antaranya orang-orang yang susah diakrabi. Oleh karenanya, pastikan terlebih dahulu pada saat kita akan melamar proyek Ph.D. yang ditawarkan, apakah pembimbing yang akan dituju benar-benar sesuai dengan karakter kita? Proyek prestisius bukan satu-satunya jalan yang menentukan kesuksesan kita dalam menyelesaikan program doktor di Belanda dan di masa depan nantinya. Hubungan dan komunikasi dua arah yang baik antara pembimbing dan promovendus juga sangat menentukan kesuksesan selama studi dan setelahnya. Sementara itu, peran promotor (yang selalu bergelar hoogleraar atau guru besar) biasanya hanya sebatas formalitas dan administratif saja, kecuali sang promotor adalah si empunya proyek dan berkehendak untuk membimbing promovendus-nya secara langsung.

3. Pro-aktif dan tidak perlu merasa inferior
Belanda adalah negara yang memegang prinsip ‘terus terang’ dan apa adanya dalam berkomunikasi, termasuk dalam kehidupan akademiknya. Di tahun pertama, jika memang tidak tahu tentang sesuatu, tentang bagaimana mengoperasikan sebuah alat di laboratorium dan sebagainya, maka bertanyalah kepada orang-orang yang berkepentingan. Tidak perlu merasa inferior atau malu, justru umumnya mereka akan menghargai dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sikap pro-aktif untuk bertanya, mengambil inisiatif dan tidak merasa inferior ini akan memperlancar komunikasi kita sebagai promovendus dengan setiap orang yang terlibat dalam riset dan proyek yang dikerjakan.


Antara scholarship dan kontrak kerja

Dalam sistem pendidikan doktoral di Belanda, seorang promovendus dianggap sebagai pegawai kontrak (employee, medewerker) yang mendapatkan gaji bulanan. Gaji ini bersumber dari alokasi dana proyek yang dikerjakan atau dipimpin oleh pembimbing. Namun, terdapat pula promovendus yang mendapatkan tunjangan finansial dari sumber-sumber selain proyek. Mahasiswa doktoral seperti ini biasanya adalah mereka yang mendapatkan beasiswa dari institusi lain di luar universitas, misalnya pemerintah negara asal promovendus, lembaga dunia seperti Islamic Development Bank  dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang, apakah perbedaan skema tunjangan finansial di atas berpengaruh pada mudah tidaknya promovendus untuk lolos dalam evaluasi tahun pertama? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak.

Secara umum, perbedaan sumber tunjangan finansial mempengaruhi tanggung jawab yang harus diemban oleh promovendus. Berbeda dengan skema kontrak kerja, skema beasiswa tidak diatur secara baku oleh universitas di Belanda. Pertanggungjawaban finansial si promovendus lebih kepada institusi pemberi beasiswa, bukan universitas, pembimbing maupun industri yang terlibat dalam proyek risetnya. Bahkan, promovendus dengan skema beasiswa seperti ini seringkali harus membuat proyek sendiri begitu tiba di universitas tempat ia studi, karena sejatinya memang tidak ada proyek yang mengharuskan dia bekerja untuk sebuah riset Ph.D. di universitas tersebut. Tentu saja, perbedaan skema tunjangan finansial ini membawa implikasi pada fleksibilitas aturan dan beban kerja harian seorang promovendus, termasuk capaian yang harus disampaikan dalam Go/No Go meeting. Dengan kata lain, promovendus dengan skema beasiswa memang terkesan lebih fleksibel dan mudah untuk lolos dalam evaluasi tahun pertama.


Pendapat di atas memang benar, karena tidak ada tanggung jawab di pundak promotor maupun pembimbing akan kelancaran studi si promovendus yang bekerja dengan beasiswa. Tanggung jawab ada di pundak si promovendus sendiri, apakah ia mau menyelesaikan studi Ph.D.-nya tepat waktu atau harus molor. Jika harus molor, maka konsekuensi tidak ada lagi jaminan finansial harus ditanggung sendiri oleh promovendus. Namun, ternyata kasus seorang promovendus berbekal beasiswa yang diberhentikan karena tidak lolos evaluasi tahun pertama pun pernah terjadi. Oleh karenanya, tidak salah apabila ada ucapan: untuk meraih gelar Ph.D. yang sesungguhnya, hanya berani bermimpi saja tidaklah cukup, harus disertai kesiapan untuk melakoni kehidupan sebagai mahasiswa Ph.D. atau doktoral yang penuh  dengan liku-liku, termasuk menerobos masa-masa kritis di awal periodenya.

*Repost artikel Kompasiana, 26 Februari 2014