![]() |
Foto: Wikipedia |
Sekali waktu, cobalah membuka Google
Scholar (www.googlescholar.com),
kemudian ketik kata-kata kunci dalam topik riset yang sedang Anda minati. Dalam
hitungan detik, mbah Google menampilkan
judul-judul publikasi yang jumlahnya bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan.
Perhatikan satu demi satu judul yang ada di depan Anda, cermati bahwa di situ
pula Anda dapat menjumpai siapa penulis artikel atau buku yang dipublikasikan,
tahun, nama jurnal serta penerbitnya. Di bawahnya, terdapat nukilan abstrak
dari publikasi yang ditampilkan. Sejurus
di bawahnya lagi, ada beberapa kata yang menarik untuk disimak, yakni “Cited by
…”, “Related articles”, “Version …”, “Cite” dan “Save”. Jika Anda ingin tahu
apakah angka sitasi itu, lihatlah kata “Cited by”, kemudian angka di
sebelahnya. Inilah angka sitasi yang saya maksud di atas. Inilah ukuran
seberapa banyak sebuah publikasi, baik berupa artikel maupun buku, dijadikan
rujukan bagi publikasi yang lain. Lalu, adakah relevansinya dengan kehidupan
akademik dan riset yang kita jalani? Tentu saja ada. Gampangnya, semakin besar
angka sitasi, semakin sering karya kita tersebut dirujuk dan tentunya semakin besar
pula manfaat publikasi kita. Akhirnya, angka sitasi menunjukkan seberapa besar
kontribusi kita pada dunia dan komunitas keilmuan yang kita geluti. Namun,
tidak berarti bahwa sebuah publikasi yang kecil angka sitasinya selalu kecil
nilai kemanfaatannya. Angka sitasi kecil bisa saja berarti artikel atau buku tersebut belum lama diterbitkan. Pendapat kawan
saya pun boleh jadi benar. Jika seorang peneliti berhasil mempublikasikan artikelnya
di jurnal yang top dan sangat bereputasi, tetapi angka sitasinya tidak banyak,
kemungkinan isi dari artikel tersebut
sangat ‘berat’, sehingga orang lain yang ingin mensitasinya harus ekstra
hati-hati untuk menghindari kesalahan penafsiran isi tulisan. Anda pun dapat
menelusuri siapa sajakah yang mensitasi tulisan Anda dengan meng-klik “Cited by
…” pada Google Scholar.
![]() |
Foto: Google Scholar |
Bagi saya pribadi, ada kepuasan tersendiri
ketika angka sitasi publikasi saya bertambah, meski seringkali peningkatan angkanya
merangkak: selama berbulan-bulan hanya ada satu atau dua sitasi saja. Hingga
awal 2014 ini, artikel saya di jurnal Materials
Chemistry and Physics tahun 2011 masih merupakan yang paling banyak
mendapatkan angka sitasi (32 sitasi) dibandingkan artikel-artikel saya yang lain (masih
di bawah 10 sitasi). Pertanyaan selanjutnya, adakah strategi untuk menambah
angka sitasi? Menurut saya, tidak ada strategi khusus selain kualitas isi artikel yang baik dan kelengkapan data yang disajikan dalamnya. Untuk yang
terakhir, saya amati dari angka artikel-artikel yang pernah saya tulis. Tulisan
di jurnal yang saya sebut di atas memuat data-data yang lebih lengkap
dibandingkan artikel-artikel saya yang
lain, sehingga sangat beralasan ketika banyak yang lebih memilih tulisan ini
sebagai rujukan. Sebenarnya, bisa juga kita melakukan self-citation untuk meningkatkan angka sitasi. Self-citation dapat diartikan sebagai upaya mensitasi karya kita
sendiri yang telah dipublikasi sebelumnya untuk tulisan-tulisan kita yang akan dipublikasikan
selanjutnya. Meski cara demikian dihalalkan, menurut saya, self-citation hendaknya dibatasi, agar angka sitasi yang kita
peroleh tidak bias. Jika memang terpaksa harus melakukan self-citation karena data dari publikasi peneliti lain tidak
memadai, lakukanlah seperlunya saja. Di beberapa negara seperti Amerika
Serikat, konon self-citation
merupakan hal sensitif yang menyangkut etika menulis dan sebaiknya dihindari.
Bagi Anda yang tertarik masalah angka
sitasi, Anda dapat pula merujuk pada search
engine yang lain, misalnya Scopus atau Web of Science. Jika dibandingkan, Scopus
dan Web of Science lebih selektif daripada Google Scholar. Maksud saya, bisa
jadi angka sitasi kita sudah mencapai 50 kali di Google Scholar, tetapi jika
dilihat dari Scopus dan Web of Science mungkin hanya 30an saja. Baik Scopus
maupun Web of Science menghitung sitasi berdasarkan jumlah publikasi yang
terindeks oleh keduanya, sementara Google Scholar sepertinya menerapkan aturan
yang lebih longgar, sehingga sitasi dari artikel jurnal tak terindeks pun
seringkali tetap dihitung.