Sabtu, 15 Februari 2014

Pentingkah Angka Sitasi?

Foto: Wikipedia

Sekali waktu, cobalah membuka Google Scholar (www.googlescholar.com), kemudian ketik kata-kata kunci dalam topik riset yang sedang Anda minati. Dalam hitungan detik, mbah Google menampilkan judul-judul publikasi yang jumlahnya bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan. Perhatikan satu demi satu judul yang ada di depan Anda, cermati bahwa di situ pula Anda dapat menjumpai siapa penulis artikel atau buku yang dipublikasikan, tahun, nama jurnal serta penerbitnya. Di bawahnya, terdapat nukilan abstrak dari publikasi yang ditampilkan.  Sejurus di bawahnya lagi, ada beberapa kata yang menarik untuk disimak, yakni “Cited by …”, “Related articles”, “Version …”, “Cite” dan “Save”. Jika Anda ingin tahu apakah angka sitasi itu, lihatlah kata “Cited by”, kemudian angka di sebelahnya. Inilah angka sitasi yang saya maksud di atas. Inilah ukuran seberapa banyak sebuah publikasi, baik berupa artikel maupun buku, dijadikan rujukan bagi publikasi yang lain. Lalu, adakah relevansinya dengan kehidupan akademik dan riset yang kita jalani? Tentu saja ada. Gampangnya, semakin besar angka sitasi, semakin sering karya kita tersebut dirujuk dan tentunya semakin besar pula manfaat publikasi kita. Akhirnya, angka sitasi menunjukkan seberapa besar kontribusi kita pada dunia dan komunitas keilmuan yang kita geluti. Namun, tidak berarti bahwa sebuah publikasi yang kecil angka sitasinya selalu kecil nilai kemanfaatannya. Angka sitasi kecil bisa saja berarti artikel atau buku tersebut belum lama diterbitkan. Pendapat kawan saya pun boleh jadi benar. Jika seorang peneliti berhasil mempublikasikan artikelnya di jurnal yang top dan sangat bereputasi, tetapi angka sitasinya tidak banyak, kemungkinan isi dari artikel tersebut sangat ‘berat’, sehingga orang lain yang ingin mensitasinya harus ekstra hati-hati untuk menghindari kesalahan penafsiran isi tulisan. Anda pun dapat menelusuri siapa sajakah yang mensitasi tulisan Anda dengan meng-klik “Cited by …” pada Google Scholar.

Foto: Google Scholar

Bagi saya pribadi, ada kepuasan tersendiri ketika angka sitasi publikasi saya bertambah, meski seringkali peningkatan angkanya merangkak: selama berbulan-bulan hanya ada satu atau dua sitasi saja. Hingga awal 2014 ini, artikel saya di jurnal Materials Chemistry and Physics tahun 2011 masih merupakan yang paling banyak mendapatkan angka sitasi (32 sitasi) dibandingkan artikel-artikel saya yang lain (masih di bawah 10 sitasi). Pertanyaan selanjutnya, adakah strategi untuk menambah angka sitasi? Menurut saya, tidak ada strategi khusus selain kualitas isi artikel yang baik dan kelengkapan data yang disajikan dalamnya. Untuk yang terakhir, saya amati dari angka artikel-artikel yang pernah saya tulis. Tulisan di jurnal yang saya sebut di atas memuat data-data yang lebih lengkap dibandingkan artikel-artikel saya yang lain, sehingga sangat beralasan ketika banyak yang lebih memilih tulisan ini sebagai rujukan. Sebenarnya, bisa juga kita melakukan self-citation untuk meningkatkan angka sitasi. Self-citation dapat diartikan sebagai upaya mensitasi karya kita sendiri yang telah dipublikasi sebelumnya untuk tulisan-tulisan kita yang akan dipublikasikan selanjutnya. Meski cara demikian dihalalkan, menurut saya, self-citation hendaknya dibatasi, agar angka sitasi yang kita peroleh tidak bias. Jika memang terpaksa harus melakukan self-citation karena data dari publikasi peneliti lain tidak memadai, lakukanlah seperlunya saja. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, konon self-citation merupakan hal sensitif yang menyangkut etika menulis dan sebaiknya dihindari.


Bagi Anda yang tertarik masalah angka sitasi, Anda dapat pula merujuk pada search engine yang lain, misalnya Scopus atau Web of Science. Jika dibandingkan, Scopus dan Web of Science lebih selektif daripada Google Scholar. Maksud saya, bisa jadi angka sitasi kita sudah mencapai 50 kali di Google Scholar, tetapi jika dilihat dari Scopus dan Web of Science mungkin hanya 30an saja. Baik Scopus maupun Web of Science menghitung sitasi berdasarkan jumlah publikasi yang terindeks oleh keduanya, sementara Google Scholar sepertinya menerapkan aturan yang lebih longgar, sehingga sitasi dari artikel jurnal tak terindeks pun seringkali  tetap dihitung.