Sabtu, 08 Februari 2014

Cepat, berkualitas atau keduanya?

Cerita bermula pada suatu siang yang berselimut terik mentari yang menyengat. Seorang mahasiswa datang kepada saya yang saat itu tengah larut memandangi sebuah paper di meja kerja saya sembari melepas lelah di ruang kerja saya yang setengah amburadul. Iwan, si mahasiswa tersebut, datang tergopoh-gopoh sambil mengatur nafasnya setelah berlari menyusuri jalan dari parkiran kampus menuju ruangan saya yang ada di lantai dua. Sebelum saya persilakan duduk, ia meminta maaf karena terlambat. 

“Ok, tidak apa-apa.” ujar saya setelah memaklumi keterlambatannya karena suatu urusan di kantor fakultas yang membutuhkan waktu cukup lama. Iwan datang kepada saya untuk memenuhi janjinya menyerahkan draft hasil analisis penelitian skripsinya yang baru dikerjakan.

“Ya, bagus. Perbaiki saja bagian ini, kemudian hubungkan dengan temuan yang itu”, begitu komentar akhir saya setelah membaca grafik-grafik yang ia buat disertai diskusi selama hampir 45 menit.

“Baik, Pak, nanti saya perbaiki. O ya, Pak, sebenarnya saya ingin bertanya dan minta pendapat Bapak juga saat ini. Apakah Bapak ada waktu?” pintanya sambil memasukan kertas-kertas laporan dan hasil diskusi tadi ke dalam tasnya.

“Ya, gimana?” sahut saya.

“Begini Pak, saya itu punya keinginan setelah lulus sarjana nanti. Saya ingin lanjut kuliah, Pak, mau ambil S2 dan kalau bisa S3 juga. Kalau menurut Bapak, kira-kira bidang apa ya yang bisa cepat ditempuh?”, Iwan bertanya kembali. Saya berpikir sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali pada Iwan.

Kenapa ‘cepat selesai’ yang menjadi tujuanmu?” tanya saya.

“Iya Pak, saya ingin cepat selesai, sebelum usia 30 tahun nanti bisa meraih doktor.” kata Iwan dengan mantap. Usianya masih 21 tahun, sebuah angka yang mengingatkan jaman mahasiswa saya yang juga penuh mimpi seperti itu.

“Bukannya menjadi doktor di usia lebih dari 30 tahun itu tidak ada larangannya?” saya menimpali.

“Iya Pak, tetapi kalau bisa sebelum 30 tahun, menurut saya  lebih baik Pak. Untuk itu, saya ingin mencari bidang-bidang yang sekiranya tidak perlu waktu lama untuk studi.” jawab Iwan.

“Lalu kamu mau ngapain setelah selesai doktor sebelum usia 30 tahun?” saya bertanya kembali.

Mmm… belum tau juga sih Pak, masih belum sempat memikirkan.” jawab Iwan. Suasana hening sejenak, sebelum akhirnya saya memberikan komentar yang sedikit berputar, tidak langsung tertuju pada jawaban terakhir Iwan.

“Kalau saya, kamu sendiri yang harusnya bisa menentukan ke mana dan di bidang apa nanti akan melanjutkan studimu. Saya hanya bisa membimbing kamu lewat skripsi ini saja. Paling tidak menunjukkan bagaimana kamu harus berjuang mempersiapkan riset maupun hasilnya hingga layak dikonsumsi, baik dalam bentuk tulisan skripsimu, atau bahkan nanti jika bisa dipublikasikan. Pernahkah kamu serius memikirkan, walau sebentar saja, tentang bidang yang ingin kamu ambil nanti?” sahut saya.

“Belum, Pak, mikir skripsi ini saja sudah pusing,” katanya sambil tertawa, “yang ada di benak saya ya hanya bagaimana dapat sekolah lanjut di bidang yang cepat selesai.”

Oh begitu. Eh, kamu pernah mempertimbangkan dua hal penting, misalkan dalam kehidupan kamu sendiri, antara ‘cepat’ dan ‘kualitas’?” tanya saya.

“Apa itu Pak? Bagaimana ceritanya, Pak?” balasnya dengan serius.

“Begini, jika kamu ingin segala sesuatunya cepat, maka boleh jadi kualitas bisa kamu kesampingkan dulu. Yang penting cepat sampai pada tujuan. Seperti pembalap di lintasan lurus, cukup hadap ke depan, tak usah tengok kanan-kiri, pacu mobil atau motormu dengan kecepatan tinggi. Cukup beberapa detik saja, mungkin kamu sudah sampai garis finish. Kelemahannya ya itu, seringkali kita justru tidak menikmati proses yang dilalui, padahal di situlah kita bisa berkreasi banyak, menciptakan sesuatu yang baru, menjadi lebih dewasa dan semakin memahami diri kamu sendiri.  Tujuan akhirnya pun sama dengan yang kamu inginkan jika kamu fokus pada kualitas. Sama-sama lulus juga, bukan?” jawab saya.

“Nah, kalau kualitas yang ingin kamu rengkuh, agak berbeda ceritanya. Kamu nikmati saja perjalananmu, sambil berpikir di setiap langkahnya. Introspeksi, jalani, introspeksi lagi dan jalani lagi. Akibatnya, waktu yang kamu perlukan mungkin lebih lama, meski saya tidak bilang banyak waktu-waktu tersebut hilang sia-sia, karena sebenarnya banyak momen berharga yang memperkaya pengalamanmu dari perjalanan itu. Jadi, fokus pada kualitas ini bukan berarti lamban bergerak dan sulit mencapai tujuan akhir. Yang kamu lakukan di sini adalah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kualitas sebaik-baiknya dalam waktu yang terukur.” lanjut saya.

“Terukur bagaimana maksudnya, Pak?” Iwan semakin penasaran.

“Ya, terukur dari rencana yang sudah kamu siapkan. Jika kamu punya rencana, punya masterplan hidup kamu, setelah studi mau ngapain, akan bekerja seperti apa, dan seterusnya, kamu tidak perlu khawatir, bahkan lulus doktor setelah usia 35 atau 40 tahun sekalipun. Tapi ya itu, kamu harus punya rencana, termasuk plan A, B, C dan seterusnya tentang apa saja yang akan kamu lakukan dalam rentang usia itu. Eh, saya kok jadi sok bijak begini, hahaha...” kelakar saya sambil mengatur gerak sebagai isyarat saya ingin mengakhiri diskusi panjang ini. Hening di ruangan saya pun pecah, berganti dengan tawa saya dan Iwan.

So, kalau menurut saya, pikirkan dulu, ambil waktumu untuk berpikir. Tak usah terlalu fokus untuk cepat, tapi kejarlah kualitas. Rencanakan, jalani, jika nanti ada yang tidak sesuai dikoreksi, seperti kamu menjalani risetmu itu ‘kan? Bahkan, kalau kamu sudah bisa membuat rencana matang, kamu bisa meraih keduanya, cepat tapi berkualitas.” tutur saya.

“Oh begitu ya, Pak.” sahut Iwan.

Diskusi kami yang banyak berseling guyonan itu pun berakhir saat waktu beranjak pukul 3 sore. Iwan kemudian undur diri sambil berucap terima kasih. Sambil beranjak dari kursinya, ia berkata kembali, “Pak, tapi saya kok masih penasaran dan ingin lulus secepatnya ya, Pak?”

Hehe, jangan khawatir, penuhi saja rasa penasaranmu itu dulu. Yang saya sampaikan tadi tidak serta merta mengharuskan kamu melakukan seperti apa yang saya pikirkan dan jalani. Tak masalah, dirimu adalah tanggung jawabmu sendiri. Enjoy saja, Wan.” sahut saya sambil tersenyum.

“Baik Pak, sekali lagi terima kasih, Pak, saya senang bisa ngobrol seperti ini. Nanti draft perbaikannya saya sampaikan Senin depan ya Pak.” kata Iwan menutup pembicaraan.

Saya acungkan jempol pertanda setuju. Iwan pun keluar dari ruangan saya.

Selepas sholat Ashar, saya putuskan untuk pulang dari kampus karena ada suatu hal lain yang harus saya kerjakan selepas waktu Maghrib nantinya. Di jalan, saya masih terngiang apa yang saya diskusikan dengan Iwan tadi. Cepat, kualitas atau keduanya? Kalau masih boleh memilih sih, saya pilih keduanya. “Ah, saya sih sudah hampir kepala tiga. Impian studi S3 saja masih dipertaruhkan pada setumpuk aplikasi beasiswa yang belum kunjung mendapat respon. Apapun itu, ya inilah kehidupan saya sendiri.” gumam saya membela diri di atas motor bebek hitam yang terus melaju membawa saya pulang ke rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar