Cerita bermula
pada suatu siang yang berselimut terik mentari yang menyengat. Seorang
mahasiswa datang kepada saya yang saat itu tengah larut memandangi sebuah paper
di meja kerja saya sembari melepas lelah di ruang kerja saya yang setengah
amburadul. Iwan, si mahasiswa tersebut, datang tergopoh-gopoh sambil mengatur
nafasnya setelah berlari menyusuri jalan dari parkiran kampus menuju ruangan
saya yang ada di lantai dua. Sebelum saya persilakan duduk, ia meminta maaf
karena terlambat.
“Ok, tidak apa-apa.” ujar saya setelah memaklumi keterlambatannya
karena suatu urusan di kantor fakultas yang membutuhkan waktu cukup lama. Iwan
datang kepada saya untuk memenuhi janjinya menyerahkan draft hasil analisis
penelitian skripsinya yang baru dikerjakan.
“Ya, bagus.
Perbaiki saja bagian ini, kemudian hubungkan dengan temuan yang itu”, begitu komentar
akhir saya setelah membaca grafik-grafik yang ia buat disertai diskusi selama
hampir 45 menit.
“Baik, Pak,
nanti saya perbaiki. O ya, Pak, sebenarnya saya ingin bertanya dan minta
pendapat Bapak juga saat ini. Apakah Bapak ada waktu?” pintanya sambil
memasukan kertas-kertas laporan dan hasil diskusi tadi ke dalam tasnya.
“Ya, gimana?”
sahut saya.
“Begini Pak,
saya itu punya keinginan setelah lulus sarjana nanti. Saya ingin lanjut kuliah,
Pak, mau ambil S2 dan kalau bisa S3 juga. Kalau menurut Bapak, kira-kira bidang
apa ya yang bisa cepat ditempuh?”, Iwan bertanya kembali. Saya berpikir sejenak
sebelum akhirnya bertanya kembali pada Iwan.
“Kenapa ‘cepat
selesai’ yang menjadi tujuanmu?” tanya saya.
“Iya Pak, saya
ingin cepat selesai, sebelum usia 30 tahun nanti bisa meraih doktor.” kata Iwan
dengan mantap. Usianya masih 21 tahun, sebuah angka yang mengingatkan jaman mahasiswa saya yang juga penuh mimpi seperti itu.
“Bukannya menjadi
doktor di usia lebih dari 30 tahun itu tidak ada larangannya?” saya menimpali.
“Iya Pak, tetapi
kalau bisa sebelum 30 tahun, menurut saya
lebih baik Pak. Untuk itu, saya ingin mencari bidang-bidang yang
sekiranya tidak perlu waktu lama untuk studi.” jawab Iwan.
“Lalu kamu mau ngapain setelah selesai
doktor sebelum usia 30 tahun?” saya bertanya kembali.
“Mmm… belum tau juga sih Pak, masih belum
sempat memikirkan.” jawab Iwan. Suasana hening
sejenak, sebelum akhirnya saya memberikan komentar yang sedikit berputar,
tidak langsung tertuju pada jawaban terakhir Iwan.
“Kalau saya, kamu
sendiri yang harusnya bisa menentukan ke mana dan di bidang apa nanti akan
melanjutkan studimu. Saya hanya bisa membimbing kamu lewat skripsi ini saja.
Paling tidak menunjukkan bagaimana kamu harus berjuang mempersiapkan riset maupun
hasilnya hingga layak dikonsumsi, baik dalam bentuk tulisan skripsimu, atau
bahkan nanti jika bisa dipublikasikan. Pernahkah kamu serius memikirkan, walau
sebentar saja, tentang bidang yang ingin kamu ambil nanti?” sahut saya.
“Belum, Pak, mikir skripsi ini saja sudah
pusing,” katanya sambil tertawa, “yang ada di benak saya ya hanya bagaimana
dapat sekolah lanjut di bidang yang cepat selesai.”
“Oh begitu. Eh, kamu pernah
mempertimbangkan dua hal penting, misalkan dalam kehidupan kamu sendiri, antara
‘cepat’ dan ‘kualitas’?” tanya saya.
“Apa itu Pak? Bagaimana ceritanya, Pak?” balasnya
dengan serius.
“Begini, jika
kamu ingin segala sesuatunya cepat, maka boleh jadi kualitas bisa kamu
kesampingkan dulu. Yang penting cepat sampai pada tujuan. Seperti pembalap di
lintasan lurus, cukup hadap ke depan, tak usah tengok kanan-kiri, pacu mobil
atau motormu dengan kecepatan tinggi. Cukup beberapa detik saja, mungkin kamu
sudah sampai garis finish. Kelemahannya ya itu, seringkali kita justru tidak
menikmati proses yang dilalui, padahal di situlah kita bisa berkreasi
banyak, menciptakan sesuatu yang baru, menjadi lebih dewasa dan semakin
memahami diri kamu sendiri. Tujuan
akhirnya pun sama dengan yang kamu inginkan jika kamu fokus pada kualitas. Sama-sama lulus juga, bukan?”
jawab saya.
“Nah, kalau
kualitas yang ingin kamu rengkuh, agak berbeda ceritanya. Kamu nikmati saja
perjalananmu, sambil berpikir di setiap langkahnya. Introspeksi, jalani, introspeksi
lagi dan jalani lagi. Akibatnya, waktu yang kamu perlukan mungkin lebih lama,
meski saya tidak bilang banyak waktu-waktu tersebut hilang sia-sia, karena
sebenarnya banyak momen berharga yang memperkaya pengalamanmu dari perjalanan
itu. Jadi, fokus pada kualitas ini bukan berarti lamban bergerak dan sulit
mencapai tujuan akhir. Yang kamu lakukan di sini adalah berusaha sekuat tenaga
untuk mencapai kualitas sebaik-baiknya dalam waktu yang terukur.” lanjut saya.
“Terukur bagaimana maksudnya, Pak?” Iwan
semakin penasaran.
“Ya, terukur dari
rencana yang sudah kamu siapkan. Jika kamu punya rencana, punya masterplan
hidup kamu, setelah studi mau ngapain, akan bekerja seperti apa, dan seterusnya,
kamu tidak perlu khawatir, bahkan lulus doktor setelah usia 35 atau 40 tahun
sekalipun. Tapi ya itu, kamu harus punya rencana, termasuk plan A, B, C dan
seterusnya tentang apa saja yang akan kamu lakukan dalam rentang usia itu. Eh, saya
kok jadi sok bijak begini, hahaha...” kelakar saya sambil mengatur gerak
sebagai isyarat saya ingin mengakhiri diskusi panjang ini. Hening di ruangan
saya pun pecah, berganti dengan tawa saya dan Iwan.
“So, kalau
menurut saya, pikirkan dulu, ambil waktumu untuk berpikir. Tak usah terlalu
fokus untuk cepat, tapi kejarlah kualitas. Rencanakan, jalani, jika nanti ada
yang tidak sesuai dikoreksi, seperti kamu menjalani risetmu itu ‘kan? Bahkan,
kalau kamu sudah bisa membuat rencana matang, kamu bisa meraih keduanya, cepat
tapi berkualitas.” tutur saya.
“Oh begitu ya,
Pak.” sahut Iwan.
Diskusi kami
yang banyak berseling guyonan itu pun berakhir saat waktu beranjak pukul 3
sore. Iwan kemudian undur diri sambil berucap terima kasih. Sambil beranjak
dari kursinya, ia berkata kembali, “Pak, tapi saya kok masih penasaran dan
ingin lulus secepatnya ya, Pak?”
“Hehe, jangan
khawatir, penuhi saja rasa penasaranmu itu dulu. Yang saya sampaikan tadi tidak
serta merta mengharuskan kamu melakukan seperti apa yang saya pikirkan dan
jalani. Tak masalah, dirimu adalah tanggung jawabmu sendiri. Enjoy saja, Wan.” sahut
saya sambil tersenyum.
“Baik Pak,
sekali lagi terima kasih, Pak, saya senang bisa ngobrol seperti ini. Nanti
draft perbaikannya saya sampaikan Senin depan ya Pak.” kata Iwan menutup
pembicaraan.
Saya acungkan
jempol pertanda setuju. Iwan pun keluar dari ruangan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar