Jumat, 26 September 2014

A Story Behind A Published Journal Article



Suatu pagi, saya merasa surprise, merasa senang sekali setelah tidak sengaja membuka laman Google Scholar dan mengetikkan nama saya di pada kolom yang disediakan. Muncul kejutan berupa bertambahnya angka sitasi pada dua artikel yang telah saya publikasikan pada tahun 2011 dan 2012 lalu. Yang membuat saya senang adalah, angka sitasi itu langsung bertambah 3 poin. Ya, 3 poin saja mungkin bagi pembaca adalah angka yang kurang berharga dan tidak fantastis. Namun, bagi saya angka 3 poin ini sudah cukup melegakan, setelah sebelumnya dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk menaikkan 1 poin sitasi saja. 


Dari 3 poin yang saya dapatkan, dua di antaranya saya peroleh dari artikel yang saya tulis pada tahun 2011 dan dipublikasikan di jurnal Applied Surface Science. Artikel tersebut saya susun dari hasil penelitian singkat saya selama kurang lebih dua bulan, antara April – Mei 2011, di bengkel dan laboratorium saya di UGM. Melihat kembali artikel tersebut membuat ingatan saya melayang pada segelintir peristiwa di masa itu.

Saya terkenang saat menata kembali kehidupan akademik dan riset saya setelah kembali dari sebuah perjalanan panjang selama satu tahun lamanya. Sepanjang perjalanan itu, saya tidak bersentuhan dengan topik riset saya tekuni sebelumnya. Sudah barang tentu, adalah pekerjaan berat untuk me-restart pemikiran dan segala infrastruktur yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali topik penelitian saya tersebut. Mengapa saya tidak move-on, atau berpindah saja ke lain topik saat itu? Saya mungkin bukan orang yang terlalu berani untuk move-on. Saya memilih konsisten pada bidang ilmu yang ditekuni. Justru dengan konsisten, saya merasa lebih asyik dan berharap  –mungkin- akan menemukan hal-hal baru yang cukup berharga, setidaknya bagi bidang yang saya tekuni.

Saya juga teringat pada peralatan di laboratorium yang masih serba terbatas dan hampir tidak ada bedanya dengan peralatan yang saya gunakan sebelum saya berangkat meninggalkan kampus empat setengah tahun silam. Hal ini mamaksa saya berpikir bagaimana memberdayakan semua peralatan tersebut, namun tetap dapat menghasilkan karya baru yang tidak sama dengan karya-karya sebelumnya. Belum lagi masalah dana. Di masa saya me-restart kegiatan penelitian saya saat itu, tidak ada dana yang dikucurkan dari hibah penelitian yang ada. Saya pun rela merogoh dua juta rupiah dari kantong sendiri untuk diinvestasikan sebagai modal awal penelitian.

Pun, saya teringat pada kehidupan pribadi yang semakin dinamis. Adalah sebuah kebahagiaan tanpa tanding saat buah hati hadir dalam kehidupan kita. Kehidupan pribadi pun berubah. Dulu, pikiran dapat dicurahkan sepenuhnya untuk pekerjaan atau bahkan sekedar ‘berhura-hura’ bersama istri. Setelah sang buah hati lahir, sudah bukan perkara mudah lagi mencurahkan pikiran sepenuhnya untuk pekerjaan maupun bersantai-santai ria. Bahkan, jadwal yang sudah diatur sedemikian rupa, tidak ada jaminan terlaksana sesuai rencana. Demikian yang terjadi saat itu, menyisihkan waktu dan mengisinya untuk menulis manuskrip untuk dikirimkan pada sebuah jurnal juga menjadi sebuah perjuangan tersendiri.

Meski terkesan sedikit pilu dan sulit, namun saya senang mengingat rangkaian peristiwa tiga tahun yang lalu itu. Terbukti, di tengah tumpukan kesulitan yang saya alami, ternyata tetap terselip untaian cerita manis atau heroik yang berujung gembira, walaupun tidak terjadi dalam waktu sekejap. Dia Yang Maha Mengetahui tidak pernah tidur, dan selalu melihat usaha sekecil apapun yang kita lakukan.

Senin, 15 September 2014

Montir Sepeda

Cerita berawal dari insiden bocornya ban sepeda saya di suatu hari di musim panas tahun ini. Saya tidak mengira, ban sepeda yang saya pompa di pagi harinya sebelum berangkat menuju kampus, saya temui melompong tanpa udara di tempat parkir sepeda sore harinya. Alhasil, sepeda yang relatif kecil namun berat itu harus saya jinjing menuju rumah untuk diperbaiki. 

Keputusan saya mengganti ban sepeda sendiri muncul karena beberapa hari sebelumnya saya harus rela merogoh kocek sekitar 35 Euro hanya untuk mengganti ban sepeda lain yang bocor. Uang sebesar itu sudah termasuk ongkos jasa mengganti ban. Bayangkan kalau 1 Euro saja setara dengan 15 ribu rupiah (kurs bulan September 2014), maka pembaca sekalian dapat menghitung sendiri berapa total uang yang harus saya keluarkan untuk membeli ban baru lengkap dengan ongkos pemasangannya. Sebagai perbandingan, ban dalam dan luar baru yang akhirnya saya beli untuk dipasang sendiri pada sepeda yang pertama tadi harganya sekitar 17 Euro. Dengan demikian, ongkos sang montir sepeda yang harus saya bayarkan kira-kira sebesar 18 Euro! 


Suatu siang di hari Minggu yang cerah, saya menyempatkan diri untuk mengganti roda sepeda saya yang rusak. Proses mengganti ban tak ubahnya seperti yang dilakukan para montir di Indonesia. Saya sangat terbantu dengan kit khusus untuk membongkar ban sepeda seharga harga 3 Euro-an yang tersedia di beberapa toko sekitar rumah. 

Awalnya, rasa penasaran memberikan saya luapan energi yang besar untuk menyelesaikan tantangan mengganti ban sepeda. Namun, seiring waktu berjalan, kesulitan datang, terutama pada saat memasukkan ban dalam tersebut hingga terbungkus ban luarnya. Keringat mulai menetes, namun rasa penasaran semakin meluap. Tak terasa, waktu satu jam ternyata sudah berlalu, sementara sepeda masih terkulai polos, tanpa ban baru yang hendak dipasangkan. 

Tiga jam pun berlalu, saya masih saja berjibaku memasang ban dalam sepeda. Hey, what’s going on? Tanya saya dalam hati. Ban dalam ini susah sekali dimasukkan. Akhirnya, suatu ‘kecelakaan’ terjadi. Pentil tempat masuknya udara saat ban dipompa tercabut akibat ulah penasaran saya yang berlebihan. Ban dalam pun tidak bisa dipompa lagi. Gagal sudah upaya saya menjadi montir sepeda. Sejenak saya pun termenung, merasakan betapa pentingnya peran montir di pinggir-pinggir jalan di Indonesia. Sekalipun kehadiran mereka hampir selalu kita remehkan, karya nyata mereka membantu kita yang sedang kesulitan karena ban bocor sungguh tidak tergantikan. Hebatnya, mereka pun sanggup menyelesaikan pekerjaan mengganti ban dalam waktu yang cukup singkat, sehingga aktivitas rutin kita tidak terganggu. 

Hari Minggu siang itu mengajarkan satu hal penting untuk saya agar lebih menghargai profesi seorang manusia bukan atas dasar besarnya pendapatan yang dihasilkan, bukan pula keren atau tidaknya profesi yang ditekuni, serta bukan dari tingginya jabatan seseorang. Namun, seseorang dengan profesi tertentu harus dihargai karena manfaatnya bagi orang lain. Rasanya tidak pantas apabila kita memandang rendah profesi montir sepeda di pinggir jalan, hanya karena gajinya yang tidak menentu, identik dengan tempat kerja yang kumuh, pakaian lusuh dan tangan yang selalu kotor oleh minyak pelumas. Padahal di sisi yang lain, saat ban sepeda, sepeda motor bahkan mobil kita bocor, kita pasti pusing tujuh keliling karena tidak terbiasa mengganti atau memperbaikinya dengan tangan sendiri. Dengan jasa seorang montir yang ahli, pekerjaan berjam-jam tadi bisa jadi dapat dipangkas menjadi sekitar satu jam saja.

Jumat, 12 September 2014

Mengapa Belanda? (Bagian 1)



Judul ini terinspirasi oleh sebuah tulisan yang menceritakan alasan kawan saya memilih Amerika Serikat sebagai tempat tujuan studinya. Bagi saya, tulisan kawan saya tadi menarik. Ia mampu menggugah hati saya untuk bertanya kembali, mengapa saya memilih Belanda sebagai tempat tujuan studi saya saat ini? 


Tentu, jika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, setiap individu akan memiliki jawaban sendiri-sendiri. Begitu pula dengan saya, sehingga apa yang saya ceritakan berikut adalah murni pendapat subjektif diri saya sendiri. 

Jujur saja, pilihan saya akan Belanda sebagai tempat tujuan studi bukanlah buah perenungan selama satu jam, dua jam bahkan semalam. Proses menentukan pilihan ini berlangsung agak lama. Keputusannya pun tidak semata-mata didasarkan pada keinginan kuat untuk studi ke luar negeri, tetapi ada hal-hal lain yang turut mengarahkan saya pada pilihan tersebut. 

So, mengapa Belanda? Setelah mendengarkan pendapat dan pengalaman beberapa kawan yang pernah studi di Belanda, pilihan saya jatuh pada negeri kincir ini sebagai pelabuhan untuk studi doktoral. Belanda saya pilih, walaupun banyak pendapat miring terutama berkaitan dengan masa studi doktoralnya yang relatif lama, yakni empat tahun. Angka ini setahun lebih lama daripada standar waktu program serupa di negara lain, seperti Indonesia, Jepang, bahkan Inggris yang sama-sama berada di kawasan Uni Eropa. Meski demikian, saya tetap tidak bergeming. Salah satu yang membuat saya menetapkan pilihan Belanda sebagai tempat studi doktoral adalah kultur akademiknya yang ‘memaksa’ mahasiswa belajar dan berlatih mandiri serta independen dalam menjalani aktivitas penelitian dan studinya. Masa studi empat tahun yang terbilang lama tidak saya hiraukan. Justru di kemudian hari, saya baru merasakan manfaatnya mempunyai masa studi yang lebih panjang. Setidaknya, saya tidak kekurangan waktu untuk belajar, bukan hanya topik penelitian yang saya geluti, tetapi juga bagaimana menguasai proses penelitian itu sendiri, dari hulu sampai ke hilir. Hulu di sini adalah proses menyiapkan suatu topik penelitian, mulai dari studi literatur, menulis ringkasan, menulis proposal hingga mencari dana. Sedangkan hilir adalah proses akhir dari sebuah kegiatan penelitian, seperti membuat laporan dan menulis publikasi. Di antara keduanya adalah kegiatan penelitian itu sendiri, baik berupa eksperimen maupun simulasi dan permodelan. Baiklah, mari kita lihat bagaimana proses belajar pada jenjang doktoral di Belanda, agar semakin jelas mengapa saya memilih menimba ilmu di negerinya Raja Willem-Alexander ini?

Secara kasar, durasi waktu empat tahun di atas dapat saya pecah menjadi empat fase penting, yang masing-masing terbagi berdasarkan urutan tahunnya. Tahun pertama merupakan masa persiapan sebuah proyek penelitian yang akan dilakukan selama studi. Di masa inilah, seorang promovendus, atau kandidat doktor, merumuskan rencana penelitiannya, dan nantinya dituangkan dalam bentuk proposal maupun ringkasan hasil studi literatur. Fase ini menuntut sang promovendus banyak membaca dan mencerna hasil-hasil penelitian yang relevan dengan topik yang diteliti. Setelah itu, barulah ditulis dan didiskusikan dengan pembimbing atau profesor. Ada kalanya, di fase ini dilakukan eksperimen kecil-kecilan sebagai start-up atau preliminary study, misalnya sekedar menguji apakah sampel atau peralatan yang tersedia di laboratorium dapat bekerja sesuai dengan harapan atau tidak. Belajar menggunakan peralatan atau instrumen juga ada baiknya dilakukan pada fase ini, mengingat semakin cepat menguasai peralatan, semakin banyak ide atau gagasan yang muncul. Tahun pertama ini tampaknya mudah dan santai untuk dijalani, namun sebenarnya adalah masa paling berat, setidaknya berdasarkan apa yang pernah saya alami. Di tahun atau fase pertama ini, arah penelitian harus bisa dipetakan, walaupun semuanya masih abstrak karena kita belum mempunyai data hasil penelitian sama sekali. Selain itu, universitas-universitas di Belanda pada umumnya menerapkan aturan Go/No Go yang menjadi penentu apakah sang promovendus diperbolehkan meneruskan studinya di tahun-tahun selanjutnya atau tidak. Jika tidak, atau No Go, maka karier sebagai promovendus akan diberhentikan di akhir tahun pertama. Kritisnya tahun pertama seorang kandidat doktor di Belanda pernah saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya (http://budiarifvianto.blogspot.nl/2014/02/tahun-pertama-masa-kritis-seorang.html).

Jika promovendus dipersilakan untuk Go, maka di tahun kedua ia dapat melanjutkan proyek penelitiannya. Di fase ini, proposal penelitian yang telah disiapkan di tahun pertama harus dieksekusi, jika tidak ingin kehilangan banyak waktu. Jika penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimen, tahun kedua adalah waktu yang tepat untuk melakukan coba-coba. Tidak ada yang menjamin setiap rencana penelitian yang tertulis di proposal berhasil 100%. Pasti ada yang gagal, ada pula yang salah, ataupun mengulang percobaan yang sudah dilakukan berkali-kali. Bahkan, ada kalanya penelitian harus berhenti sejenak untuk dievaluasi sebelum diperbaiki metodenya. Jika eksperimen atau simulasi sukses dilakukan, maka hendaknya sang promovendus segera mempersiapkan data-datanya untuk ditulis menjadi sebuah publikasi, baik untuk konferensi maupun jurnal ilmiah. Bagi saya, sesegera mungkin menulis publikasi adalah pilihan terbaik. Karena dari publikasi tersebut, akan lahir ide atau gagasan yang lebih mutakhir untuk menyempurnakan penelitian yang sudah dilakukan. Secepat mungkin melakukan publikasi juga akan memperbesar peluang kita untuk menjadi produktif, sehingga nama kita pun akan dikenal dalam komunitas keilmuan yang digeluti.

Tahun ketiga merupakan kontinyuitas tahun kedua, dimana eksekusi rencana penelitian terus dilaksanakan. Di fase inilah, keterampilan kita dalam menggunakan alat dan instrumen dan menulis naskah untuk publikasi semakin terpoles. Demikian juga, wawasan tentang bidang penelitian juga meluas dan komunikasi dengan pembimbing, teknisi serta orang-orang yang terlibat dengan proyek penelitian kita semakin intensif. Oleh karenanya, mengutip apa yang pernah dikatakan oleh pembimbing saya, tahun ketiga ini adalah tahun produktif, dimana karya-karya hasil penelitian seyogyanya disemaikan sebanyak-banyaknya, tentu tanpa melupakan kualitasnya.

Nah, selesai tahun ketiga, masuklah kita ke tahun keempat, yang merupakan tahun terakhir dari masa studi doktoral di Belanda. Di tahun inilah, sembari menulis publikasi dari data-data yang tersisa, promovendus sudah dapat mempersiapkan buku tesis untuk diujikan dalam sidang promosi untuk meraih gelar doktornya. Sependek pengetahuan saya, ada dua bentuk buku tesis yang biasa dipersiapkan untuk ujian doktoral di Belanda. Yang pertama adalah monograph, dimana buku tesis berisi satu topik tulisan yang khusus disiapkan untuk ujian doktoral. Yang kedua adalah buku tesis yang berisi kompilasi artikel-artikel karya promovendus beserta tim penelitiannya yang sudah dipublikasikan atau baru dikirim kepada editor jurnal ilmiah. Artikel-artikel tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian bab bersambung dalam satu buku tesis yang berisi kajian tentang topik penelitian yang digeluti. Setelah selesai disusun, draft buku tersebut akan dikoreksi oleh pembimbing dan dewan komisi, hingga akhirnya disetujui, dicetak dan diujikan. Jika rangkaian pekerjaan di tahun keempat ini dapat diselesaikan sebelum batas akhir waktu studi, maka ujian doktoral tinggal menunggu waktu saja.

Itulah uraian panjang-lebar yang di dalamnya tersirat jawaban saya mengapa memilih Belanda. Meskipun saya belum mengalami dinamika kehidupan promovendus di tahun terakhir, bagi saya masa studi doktoral selama empat tahun bukanlah waktu yang lama. Empat tahun terasa singkat untuk saya, bahkan seringkali kurang karena menjalankan setiap aktivitas di dalamnya tidaklah sesimpel seperti apa yang saya uraikan di atas. Yang menarik, peran para supervisor atau profesor dalam sistem pendidikan doktor di Belanda tidaklah seperti seorang guru yang selalu menunjukkan arah dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi dalam penelitian. Mereka sengaja 'melepas' para promovendus dalam samudera ilmu pengetahuan yang luas, agar para kandidat doktor ini terlatih berkreasi dan berani mengambil keputusan sendiri dalam rambu-rambu yang ditetapkan. Dengan kata lain, sang kandidat belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas penelitiannya sendiri. 

Rabu, 03 September 2014

Duduk dan Berpikirlah

Suatu hari, dalam sebuah sesi ujian tertutup untuk seorang mahasiswa S2 di TU Delft, saya mendapatkan sebuah pelajaran menarik. Pelajaran ini ‘diberikan’ oleh seorang penguji tamu dari departemen lain yang menyampaikan komentarnya kepada mahasiswa S2 yang kebetulan saya bimbing kegiatan hariannya di laboratorium. Di sela-sela komentarnya setelah mendengar presentasi dan jawaban yang disampaikan oleh si mahasiswa, sang penguji tamu berkata, “Jika kamu merasa sudah banyak mendapat data, maka tidak ada salahnya kamu duduk barang sebentar untuk berpikir.”

Saya pun terdiam, dan akhirnya larut juga untuk ikut berpikir tentang ucapan sang penguji tersebut. Tak lama berselang, dalam hati saya pun mengiyakan apa yang dikatakan dosen asli Belanda tersebut.

Benar juga. Hendaknya kita duduk, lalu berpikir barang sejenak setelah sekian lama berkutat dengan aktivitas yang menuntut kita bekerja keras dan menawan kita dengan agenda harian yang padat. Duduk membuat pikiran kita berhenti sebentar untuk beristirahat. Juga mengizinkan kita bermain-main dengan semua yang telah didapat, termasuk data-data yang berserakan. Duduk membuat kita merasa nyaman untuk mengevaluasi apa saja yang telah dilakukan, kemudian merencanakan kembali aktivitas selanjutnya.