Jumat, 12 September 2014

Mengapa Belanda? (Bagian 1)



Judul ini terinspirasi oleh sebuah tulisan yang menceritakan alasan kawan saya memilih Amerika Serikat sebagai tempat tujuan studinya. Bagi saya, tulisan kawan saya tadi menarik. Ia mampu menggugah hati saya untuk bertanya kembali, mengapa saya memilih Belanda sebagai tempat tujuan studi saya saat ini? 


Tentu, jika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, setiap individu akan memiliki jawaban sendiri-sendiri. Begitu pula dengan saya, sehingga apa yang saya ceritakan berikut adalah murni pendapat subjektif diri saya sendiri. 

Jujur saja, pilihan saya akan Belanda sebagai tempat tujuan studi bukanlah buah perenungan selama satu jam, dua jam bahkan semalam. Proses menentukan pilihan ini berlangsung agak lama. Keputusannya pun tidak semata-mata didasarkan pada keinginan kuat untuk studi ke luar negeri, tetapi ada hal-hal lain yang turut mengarahkan saya pada pilihan tersebut. 

So, mengapa Belanda? Setelah mendengarkan pendapat dan pengalaman beberapa kawan yang pernah studi di Belanda, pilihan saya jatuh pada negeri kincir ini sebagai pelabuhan untuk studi doktoral. Belanda saya pilih, walaupun banyak pendapat miring terutama berkaitan dengan masa studi doktoralnya yang relatif lama, yakni empat tahun. Angka ini setahun lebih lama daripada standar waktu program serupa di negara lain, seperti Indonesia, Jepang, bahkan Inggris yang sama-sama berada di kawasan Uni Eropa. Meski demikian, saya tetap tidak bergeming. Salah satu yang membuat saya menetapkan pilihan Belanda sebagai tempat studi doktoral adalah kultur akademiknya yang ‘memaksa’ mahasiswa belajar dan berlatih mandiri serta independen dalam menjalani aktivitas penelitian dan studinya. Masa studi empat tahun yang terbilang lama tidak saya hiraukan. Justru di kemudian hari, saya baru merasakan manfaatnya mempunyai masa studi yang lebih panjang. Setidaknya, saya tidak kekurangan waktu untuk belajar, bukan hanya topik penelitian yang saya geluti, tetapi juga bagaimana menguasai proses penelitian itu sendiri, dari hulu sampai ke hilir. Hulu di sini adalah proses menyiapkan suatu topik penelitian, mulai dari studi literatur, menulis ringkasan, menulis proposal hingga mencari dana. Sedangkan hilir adalah proses akhir dari sebuah kegiatan penelitian, seperti membuat laporan dan menulis publikasi. Di antara keduanya adalah kegiatan penelitian itu sendiri, baik berupa eksperimen maupun simulasi dan permodelan. Baiklah, mari kita lihat bagaimana proses belajar pada jenjang doktoral di Belanda, agar semakin jelas mengapa saya memilih menimba ilmu di negerinya Raja Willem-Alexander ini?

Secara kasar, durasi waktu empat tahun di atas dapat saya pecah menjadi empat fase penting, yang masing-masing terbagi berdasarkan urutan tahunnya. Tahun pertama merupakan masa persiapan sebuah proyek penelitian yang akan dilakukan selama studi. Di masa inilah, seorang promovendus, atau kandidat doktor, merumuskan rencana penelitiannya, dan nantinya dituangkan dalam bentuk proposal maupun ringkasan hasil studi literatur. Fase ini menuntut sang promovendus banyak membaca dan mencerna hasil-hasil penelitian yang relevan dengan topik yang diteliti. Setelah itu, barulah ditulis dan didiskusikan dengan pembimbing atau profesor. Ada kalanya, di fase ini dilakukan eksperimen kecil-kecilan sebagai start-up atau preliminary study, misalnya sekedar menguji apakah sampel atau peralatan yang tersedia di laboratorium dapat bekerja sesuai dengan harapan atau tidak. Belajar menggunakan peralatan atau instrumen juga ada baiknya dilakukan pada fase ini, mengingat semakin cepat menguasai peralatan, semakin banyak ide atau gagasan yang muncul. Tahun pertama ini tampaknya mudah dan santai untuk dijalani, namun sebenarnya adalah masa paling berat, setidaknya berdasarkan apa yang pernah saya alami. Di tahun atau fase pertama ini, arah penelitian harus bisa dipetakan, walaupun semuanya masih abstrak karena kita belum mempunyai data hasil penelitian sama sekali. Selain itu, universitas-universitas di Belanda pada umumnya menerapkan aturan Go/No Go yang menjadi penentu apakah sang promovendus diperbolehkan meneruskan studinya di tahun-tahun selanjutnya atau tidak. Jika tidak, atau No Go, maka karier sebagai promovendus akan diberhentikan di akhir tahun pertama. Kritisnya tahun pertama seorang kandidat doktor di Belanda pernah saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya (http://budiarifvianto.blogspot.nl/2014/02/tahun-pertama-masa-kritis-seorang.html).

Jika promovendus dipersilakan untuk Go, maka di tahun kedua ia dapat melanjutkan proyek penelitiannya. Di fase ini, proposal penelitian yang telah disiapkan di tahun pertama harus dieksekusi, jika tidak ingin kehilangan banyak waktu. Jika penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimen, tahun kedua adalah waktu yang tepat untuk melakukan coba-coba. Tidak ada yang menjamin setiap rencana penelitian yang tertulis di proposal berhasil 100%. Pasti ada yang gagal, ada pula yang salah, ataupun mengulang percobaan yang sudah dilakukan berkali-kali. Bahkan, ada kalanya penelitian harus berhenti sejenak untuk dievaluasi sebelum diperbaiki metodenya. Jika eksperimen atau simulasi sukses dilakukan, maka hendaknya sang promovendus segera mempersiapkan data-datanya untuk ditulis menjadi sebuah publikasi, baik untuk konferensi maupun jurnal ilmiah. Bagi saya, sesegera mungkin menulis publikasi adalah pilihan terbaik. Karena dari publikasi tersebut, akan lahir ide atau gagasan yang lebih mutakhir untuk menyempurnakan penelitian yang sudah dilakukan. Secepat mungkin melakukan publikasi juga akan memperbesar peluang kita untuk menjadi produktif, sehingga nama kita pun akan dikenal dalam komunitas keilmuan yang digeluti.

Tahun ketiga merupakan kontinyuitas tahun kedua, dimana eksekusi rencana penelitian terus dilaksanakan. Di fase inilah, keterampilan kita dalam menggunakan alat dan instrumen dan menulis naskah untuk publikasi semakin terpoles. Demikian juga, wawasan tentang bidang penelitian juga meluas dan komunikasi dengan pembimbing, teknisi serta orang-orang yang terlibat dengan proyek penelitian kita semakin intensif. Oleh karenanya, mengutip apa yang pernah dikatakan oleh pembimbing saya, tahun ketiga ini adalah tahun produktif, dimana karya-karya hasil penelitian seyogyanya disemaikan sebanyak-banyaknya, tentu tanpa melupakan kualitasnya.

Nah, selesai tahun ketiga, masuklah kita ke tahun keempat, yang merupakan tahun terakhir dari masa studi doktoral di Belanda. Di tahun inilah, sembari menulis publikasi dari data-data yang tersisa, promovendus sudah dapat mempersiapkan buku tesis untuk diujikan dalam sidang promosi untuk meraih gelar doktornya. Sependek pengetahuan saya, ada dua bentuk buku tesis yang biasa dipersiapkan untuk ujian doktoral di Belanda. Yang pertama adalah monograph, dimana buku tesis berisi satu topik tulisan yang khusus disiapkan untuk ujian doktoral. Yang kedua adalah buku tesis yang berisi kompilasi artikel-artikel karya promovendus beserta tim penelitiannya yang sudah dipublikasikan atau baru dikirim kepada editor jurnal ilmiah. Artikel-artikel tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian bab bersambung dalam satu buku tesis yang berisi kajian tentang topik penelitian yang digeluti. Setelah selesai disusun, draft buku tersebut akan dikoreksi oleh pembimbing dan dewan komisi, hingga akhirnya disetujui, dicetak dan diujikan. Jika rangkaian pekerjaan di tahun keempat ini dapat diselesaikan sebelum batas akhir waktu studi, maka ujian doktoral tinggal menunggu waktu saja.

Itulah uraian panjang-lebar yang di dalamnya tersirat jawaban saya mengapa memilih Belanda. Meskipun saya belum mengalami dinamika kehidupan promovendus di tahun terakhir, bagi saya masa studi doktoral selama empat tahun bukanlah waktu yang lama. Empat tahun terasa singkat untuk saya, bahkan seringkali kurang karena menjalankan setiap aktivitas di dalamnya tidaklah sesimpel seperti apa yang saya uraikan di atas. Yang menarik, peran para supervisor atau profesor dalam sistem pendidikan doktor di Belanda tidaklah seperti seorang guru yang selalu menunjukkan arah dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi dalam penelitian. Mereka sengaja 'melepas' para promovendus dalam samudera ilmu pengetahuan yang luas, agar para kandidat doktor ini terlatih berkreasi dan berani mengambil keputusan sendiri dalam rambu-rambu yang ditetapkan. Dengan kata lain, sang kandidat belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas penelitiannya sendiri.