Judul ini terinspirasi oleh sebuah tulisan yang
menceritakan alasan kawan saya memilih Amerika Serikat sebagai tempat tujuan
studinya. Bagi saya, tulisan kawan saya tadi menarik. Ia mampu menggugah hati
saya untuk bertanya kembali, mengapa saya memilih Belanda sebagai tempat tujuan
studi saya saat ini?
Tentu, jika dihadapkan pada pertanyaan seperti
ini, setiap individu akan memiliki jawaban sendiri-sendiri. Begitu pula dengan
saya, sehingga apa yang saya ceritakan berikut adalah murni pendapat subjektif diri
saya sendiri.
Jujur saja, pilihan saya akan Belanda sebagai
tempat tujuan studi bukanlah buah perenungan selama satu jam, dua
jam bahkan semalam. Proses menentukan pilihan ini berlangsung agak lama.
Keputusannya pun tidak semata-mata didasarkan pada keinginan kuat untuk studi
ke luar negeri, tetapi ada hal-hal lain yang turut mengarahkan saya pada
pilihan tersebut.
So, mengapa Belanda? Setelah mendengarkan
pendapat dan pengalaman beberapa kawan yang pernah studi di Belanda, pilihan
saya jatuh pada negeri kincir ini sebagai pelabuhan untuk studi doktoral. Belanda
saya pilih, walaupun banyak pendapat miring terutama berkaitan dengan masa studi
doktoralnya yang relatif lama, yakni empat tahun. Angka ini setahun lebih lama
daripada standar waktu program serupa di negara lain, seperti Indonesia, Jepang,
bahkan Inggris yang sama-sama berada di kawasan Uni Eropa. Meski demikian, saya
tetap tidak bergeming. Salah satu yang membuat saya menetapkan pilihan Belanda
sebagai tempat studi doktoral adalah kultur akademiknya yang ‘memaksa’
mahasiswa belajar dan berlatih mandiri serta independen dalam menjalani
aktivitas penelitian dan studinya. Masa studi empat tahun yang terbilang lama tidak
saya hiraukan. Justru di kemudian hari, saya baru merasakan manfaatnya
mempunyai masa studi yang lebih panjang. Setidaknya, saya tidak kekurangan
waktu untuk belajar, bukan hanya topik penelitian yang saya geluti, tetapi juga
bagaimana menguasai proses penelitian itu sendiri, dari hulu sampai ke hilir.
Hulu di sini adalah proses menyiapkan suatu topik penelitian, mulai dari studi literatur,
menulis ringkasan, menulis proposal hingga mencari dana. Sedangkan hilir adalah
proses akhir dari sebuah kegiatan penelitian, seperti membuat laporan dan
menulis publikasi. Di antara keduanya adalah kegiatan penelitian itu sendiri,
baik berupa eksperimen maupun simulasi dan permodelan. Baiklah, mari kita lihat
bagaimana proses belajar pada jenjang doktoral di Belanda, agar semakin jelas
mengapa saya memilih menimba ilmu di negerinya Raja Willem-Alexander ini?
Secara kasar, durasi waktu empat tahun di atas dapat
saya pecah menjadi empat fase penting, yang masing-masing terbagi berdasarkan
urutan tahunnya. Tahun pertama merupakan masa persiapan sebuah proyek penelitian
yang akan dilakukan selama studi. Di masa inilah, seorang promovendus, atau kandidat doktor, merumuskan rencana
penelitiannya, dan nantinya dituangkan dalam bentuk proposal maupun ringkasan
hasil studi literatur. Fase ini menuntut sang promovendus banyak membaca dan mencerna hasil-hasil penelitian yang
relevan dengan topik yang diteliti. Setelah
itu, barulah ditulis dan didiskusikan dengan pembimbing atau profesor. Ada
kalanya, di fase ini dilakukan eksperimen kecil-kecilan sebagai start-up atau preliminary study, misalnya sekedar menguji apakah sampel atau
peralatan yang tersedia di laboratorium dapat bekerja sesuai dengan harapan
atau tidak. Belajar menggunakan peralatan atau instrumen juga ada baiknya
dilakukan pada fase ini, mengingat semakin cepat menguasai peralatan, semakin
banyak ide atau gagasan yang muncul. Tahun pertama ini tampaknya mudah dan
santai untuk dijalani, namun sebenarnya adalah masa paling berat, setidaknya berdasarkan
apa yang pernah saya alami. Di tahun atau fase pertama ini, arah penelitian
harus bisa dipetakan, walaupun semuanya masih abstrak karena kita belum
mempunyai data hasil penelitian sama sekali. Selain itu, universitas-universitas
di Belanda pada umumnya menerapkan aturan Go/No
Go yang menjadi penentu apakah sang promovendus
diperbolehkan meneruskan studinya di tahun-tahun selanjutnya atau tidak. Jika
tidak, atau No Go, maka karier
sebagai promovendus akan
diberhentikan di akhir tahun pertama. Kritisnya tahun pertama seorang kandidat
doktor di Belanda pernah saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya (http://budiarifvianto.blogspot.nl/2014/02/tahun-pertama-masa-kritis-seorang.html).
Jika promovendus dipersilakan
untuk Go, maka di tahun kedua ia
dapat melanjutkan proyek penelitiannya. Di fase ini, proposal penelitian yang
telah disiapkan di tahun pertama harus dieksekusi, jika tidak ingin kehilangan banyak waktu. Jika penelitian yang dilakukan menggunakan metode
eksperimen, tahun kedua adalah waktu yang tepat untuk melakukan coba-coba. Tidak ada yang menjamin setiap rencana
penelitian yang tertulis di proposal berhasil 100%. Pasti ada yang gagal, ada
pula yang salah, ataupun mengulang percobaan yang sudah dilakukan berkali-kali.
Bahkan, ada kalanya penelitian harus berhenti sejenak untuk dievaluasi sebelum
diperbaiki metodenya. Jika eksperimen atau simulasi sukses dilakukan, maka
hendaknya sang promovendus segera
mempersiapkan data-datanya untuk ditulis menjadi sebuah publikasi, baik untuk
konferensi maupun jurnal ilmiah. Bagi saya, sesegera mungkin menulis publikasi
adalah pilihan terbaik. Karena dari publikasi tersebut, akan lahir ide atau
gagasan yang lebih mutakhir untuk menyempurnakan penelitian yang sudah
dilakukan. Secepat mungkin melakukan publikasi juga akan memperbesar peluang
kita untuk menjadi produktif, sehingga nama kita pun akan dikenal dalam
komunitas keilmuan yang digeluti.
Tahun ketiga merupakan kontinyuitas tahun
kedua, dimana eksekusi rencana penelitian terus dilaksanakan. Di fase inilah,
keterampilan kita dalam menggunakan alat dan instrumen dan menulis naskah untuk
publikasi semakin terpoles. Demikian juga, wawasan tentang bidang penelitian
juga meluas dan komunikasi dengan pembimbing, teknisi serta orang-orang yang
terlibat dengan proyek penelitian kita semakin intensif. Oleh karenanya,
mengutip apa yang pernah dikatakan oleh pembimbing saya, tahun ketiga ini
adalah tahun produktif, dimana karya-karya hasil penelitian seyogyanya disemaikan
sebanyak-banyaknya, tentu tanpa melupakan kualitasnya.
Nah, selesai tahun ketiga, masuklah kita ke
tahun keempat, yang merupakan tahun terakhir dari masa studi doktoral di
Belanda. Di tahun inilah, sembari menulis publikasi dari data-data yang
tersisa, promovendus sudah dapat
mempersiapkan buku tesis untuk diujikan dalam sidang promosi untuk meraih gelar
doktornya. Sependek pengetahuan saya,
ada dua bentuk buku tesis yang biasa dipersiapkan untuk ujian doktoral di
Belanda. Yang pertama adalah monograph,
dimana buku tesis berisi satu topik tulisan yang khusus disiapkan untuk ujian
doktoral. Yang kedua adalah buku tesis yang berisi kompilasi artikel-artikel karya
promovendus beserta tim penelitiannya
yang sudah dipublikasikan atau baru dikirim kepada editor jurnal ilmiah. Artikel-artikel
tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian bab bersambung
dalam satu buku tesis yang berisi kajian tentang topik penelitian yang
digeluti. Setelah selesai disusun, draft buku
tersebut akan dikoreksi oleh pembimbing dan dewan komisi, hingga akhirnya
disetujui, dicetak dan diujikan. Jika rangkaian pekerjaan di tahun keempat ini
dapat diselesaikan sebelum batas akhir waktu studi, maka ujian doktoral tinggal
menunggu waktu saja.
Itulah uraian panjang-lebar yang di dalamnya tersirat jawaban saya mengapa
memilih Belanda. Meskipun saya belum mengalami dinamika kehidupan promovendus di tahun terakhir, bagi saya masa studi doktoral selama empat tahun bukanlah waktu yang
lama. Empat tahun terasa singkat untuk saya, bahkan seringkali kurang karena menjalankan setiap
aktivitas di dalamnya tidaklah sesimpel seperti apa yang saya uraikan di atas. Yang menarik, peran para supervisor atau profesor dalam sistem pendidikan doktor di Belanda tidaklah seperti seorang guru yang selalu menunjukkan arah dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi dalam penelitian. Mereka sengaja 'melepas' para promovendus dalam samudera ilmu pengetahuan yang luas, agar para kandidat doktor ini terlatih berkreasi dan berani mengambil keputusan sendiri dalam rambu-rambu yang ditetapkan. Dengan kata lain, sang kandidat belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas penelitiannya sendiri.