Kincir angin, bunga tulip, warna oranye
serta gedung-gedung tua lengkap dengan kanal-kanal di sisinya adalah beberapa
ciri khas Belanda yang sudah banyak dikenal orang. Meski demikian, Belanda juga
merupakan negeri dengan puluhan museum menarik yang tersebar hampir di setiap
kota besar di negeri tersebut. Museum Madame Tussaud dan Rijksmuseum di
Amsterdam adalah segelintir di antara sekian banyak museum yang menjadi tujuan
favorit para wisatawan. Namun, nama Aviodrome mungkin tidak banyak dikenal
orang. Di museum inilah sejarah penerbangan Belanda termasuk aktivitas maskapai
penerbangannya, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) pada masa penjajahan
Belanda di Indonesia dipamerkan kepada masyarakat Belanda maupun wisatawan
asing.
Aviodrome berlokasi di Kota Lelystad,
Provinsi Flevoland, di bagian barat Belanda. Seperti umumnya sebuah museum
penerbangan, Aviodrome memanfaatkan lahan di sekitar lapangan udara, yakni
Lelystad Airport yang letaknya agak jauh dari keramaian dan pusat kota Lelystad
itu sendiri. Sebelumnya, museum dirgantara ini menempati areal di Amsterdam
Schiphol Airport. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah koleksi yang
dimiliki, Aviodrome dipindahkan menuju kompleks Lelystad Airport pada tahun
2003. Meski demikian, museum yang sudah berdiri sejak tahun 1960 ini termasuk
mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Jika perjalanan dimulai dari Amsterdam
Centraal, hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam dengan kereta
menuju stasiun Lelystad Centrum. Perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan bus
kota selama sekitar 10-15 menit untuk tiba di lokasi. Tiket seharga 16,5 Euro
untuk dewasa dan 14 Euro untuk anak-anak di bawah 11 tahun dapat dibeli di
pintu masuk museum.
 |
Fokker F50 dengan latar belakang pintu masuk Aviodrome |
 |
Hawker Hunter dengan kamuflase atraktif Royal Air Force, Inggris |
Aviodrome menyimpan berbagai koleksi
penerbangan Belanda sejak awal mulanya di abad ke-19. Pada masa itu, balon
udara masih menjadi alat transportasi udara yang sangat populer. Pada awal abad
ke-20, setelah Wright bersaudara memperkenalkan pesawat terbang, berbagai
negara Eropa, termasuk Belanda mengalami demam pesawat terbang. Salah satu
pioner penerbangan Belanda adalah Anthony Fokker (1890-1939) yang ternyata
lahir di Kediri, Jawa Timur pada masa kolonisasi Belanda di Indonesia. Fokker
mendirikan pabrik pesawat terbang yang mempunyai reputasi bagus di masanya,
walaupun akhirnya bangkrut pada pertengahan tahun 90-an silam. Semua karya
Fokker dipamerkan di museum ini, termasuk pesawat-pesawat tempur generasi awal
racikannya yang menghiasi Perang Dunia I maupun II. Salah satu prototip karya
Fokker yang paling mutakhir, Fokker 50, sengaja diletakkan di pintu depan
museum, menyambut pengunjung berdampingan dengan salah satu pesawat tempur
andalan Belanda pada tahun 60-an, Hawker Hunter, yang mengenakan kamuflase atraktif milik Royal Air Force, Inggris.
 |
Fokker F.2, generasi awal pesawat racikan Fokker |
 |
BO-105, helikopter ringan namun multifungsi |
 |
Pesawat angkut ringan legendaris, Fokker F.27 |
Areal museum terbagi menjadi dua bagian:
indoor dan outdoor. Di bagian indoor, tersimpan berbagai koleksi klasik era
awal abad ke-20 hingga usai Perang Dunia II, termasuk di antaranya
pesawat-pesawat buatan Fokker. Meski
demikian, sejumlah pesawat terbang yang terbilang modern, seperti pesawat angkut ringan legendaris Fokker 27,
helikopter BO-105 yang ringan dan multifungsi serta jet supersonik F-104 Starfighter, juga berada di bagian ini. Khusus
untuk Starfighter, pesawat tempur fenomenal di zamannya ini sengaja ditampilkan
dengan moncong terbuka, sehingga pengunjung dapat melihat bagaimana rumitnya
radar yang terpasang pada pesawat tersebut. Pada eranya, F-104 Starfighter adalah
pemecah rekor pesawat tempur tercepat karena dapat dipacu hingga dua kali
kecepatan suara, melebihi pesaing-pesaingnya yang rata-rata masih berkecepatan
subsonik. Malangnya, pesawat ini banyak yang jatuh dan memakan korban, sehingga
dijuluki The Widow Maker. Meski demikian, pesawat ini menjadi favorit
negara-negara Eropa daratan pada tahun 70 sampai 80-an. Di bagian indoor ini
pula, pengunjung diperbolehkan memasuki dan merasakan berada dalam kabin
beberapa pesawat besar dan legendaris seperti Douglas DC-3 dan Lockheed L-749
Constellation milik KLM. Diorama berskala 1:1 juga ditampilkan untuk
menggambarkan aksi bongkar muatan setelah pesawat mendarat dan penerjunan
pasukan parasut Jerman saat melakukan invasi pada Perang Dunia II. Salah satu
yang juga menarik di bagian ini adalah simulasi pendaratan pesawat Pelican di
Batavia (Jakarta tahun 1930-an). Di tempat ini, pengunjung memasuki lorong yang
merupakan replika kabin pesawat Pelican, lengkap dengan kursi-kursi penumpang.
Lorong kabin ini bergerak sehingga pengunjung merasakan saat-saat pesawat
mendarat, sedangkan di sisi-sisinya terdapat jendela yang terhubung video yang
menggambarkan suasana di sekitar Batavia saat itu. Berbagai jenis mesin pesawat
juga diekspos, seperti British Olympus 301 pada gambar di bawah, bahkan sengaja dibuka dan dipotong beberapa bagiannya agar
pengunjung dapat belajar bagaimana prinsip kerja mesin-mesin pesawat tersebut.
 |
Mesin Bristol Olympus 301 yang pernah menjadi dapur pacu jet penumpang supersonik pertama di dunia, Concorde |
 |
Lockheed L-749 Constellation, generasi awal pesawat angkut pasca Perang Dunia II |
 |
DC-3 Skytrain/Dakota (nomor ekor 44), sang legenda yang lahir tahun 1930an namun berumur panjang karena hingga saat ini beberapa unit masih diterbangkan |
Di bagian luar museum, terparkir deretan
pesawat berukuran besar, seperti Lockheed SP-2H Neptune, Douglas DC-4
Skymaster, Gloster Meteor serta yang paling sensasional di museum, si jumbo jet
Boeing 747-200 “Louis Bleriot” yang dibeli dari KLM. Pengunjung juga diperbolehkan
memasuki kabin pesawat jumbo ini sekedar melihat interior pesawat pada masa
dinasnya. Menurut informasi, pesawat ini didatangkan pihak museum melalui jalur
kanal yang menghubungkan Amsterdam Schiphol dengan Kota Lelystad karena
ukurannya yang super besar tidak memungkinkan untuk didaratkan di landasan
Lelystad Airport. Pesawat terpaksa dibongkar agar dapat dimuat dan diangkut
dengan kapal, kemudian diturunkan dan dirangkai kembali setelah sampai di
tempat ‘peristirahatan terakhir’-nya di areal museum. Di bagian luar ini,
terdapat pula replika bangunan Amsterdam Schiphol Airport tahun 1928 dan sebuah
hangar penyimpanan pesawat-pesawat koleksi yang sedang dalam tahap renovasi.
Meski mayoritas pesawat yang dikoleksi Aviodrome adalah peninggalan KLM dan
militer Belanda, terdapat pula pesawat beridentitas negara lain, seperti Saab
Viggen dari Swedia, MiG-21PF Fishbed serta Antonov An-2 milik Jerman Timur dan
Uni Soviet pada eranya.
 |
Boeing B-747 Jumbo Jet, lahir di akhir era 60an dan memegang rekor pesawat dengan kapasitas angkut terbesar selama 37 tahun |
 |
Saab AJ-37 Viggen (kiri) dan MiG-21PF Fishbed (kanan) |
Museum seperti Aviodrome ini tentunya
menarik bagi para penggemar teknologi dirgantara. Untuk menarik perhatian
anak-anak, pihak pengelola museum aktif menyajikan acara-acara khusus dan
menyediakan area bermain di sekitar koleksi pesawat yang ada. Dengan demikian,
selain bermain, anak-anak juga dapat diperkenalkan dengan sejarah dan teknologi
penerbangan.
*Repost artikel Kompasiana, 4 Juni 2013