Minggu, 17 November 2013

Pasar ‘Klithikan’ ala Delft

Delft, sebuah kota kecil di antara Den Haag dan Rotterdam, selama ini dikenal sebagai kota pendidikan teknik terbesar dan tertua di Belanda dengan berdirinya Technische Universiteit Delft (TU Delft) pada tahun 1842. Namun, Delft ternyata juga tersohor sebagai salah satu kota tua dan bersejarah di Belanda. Selain itu, kota ini mempunyai identitas sebagai tempat penghasil kerajinan keramik terbaik di Belanda. Sejalan dengan itu, banyak ditemui toko-toko yang menjual barang-barang keramik dan antik sebagai souvenir dan benda koleksi dari kota ini. Harganya bagaimana? Tentu saja, harga mahal tidak menjadi soal bagi para kolektor untuk mendapatkan barang-barang koleksi antik dan unik semacam ini. Meski demikian, bagi orang-orang yang mempunyai dana terbatas, Delft juga mempunyai semacam ‘pasar klithikan’ yang menjual barang-barang bekas nan antik dengan harga yang relatif murah. Hal serupa bisa kita temui di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta.

Pasar klithikan ala Delft ini tidak dibuka setiap hari dan hanya menggunakan konsep seperti pasar tiban, alias tidak permanen. Pasar digelar di area pusat kota, atau yang lebih dikenal dengan sebutan centrum pada hari Sabtu dimana umumnya warga yang tinggal di Belanda libur. Para pedagang menggelar dagangannya dengan membuka kios-kios kecil atau cukup hanya dengan gelaran alas di pinggir jalan dan kanal. Mulai sekitar jam 10 pagi hingga 4 sore, pasar selalu ramai dikunjungi. Barang dagangannya pun beragam, mulai dari kerajinan keramik dengan ornamen khas Belanda, kamera tua, patung, buku-buku bekas, piringan hitam koleksi musik jadul, hingga mainan anak-anak. Berikut ini sekilas gambaran ramainya pasar klithikan ala Delft yang berhasil terbidik oleh kamera.




*Repost artikel Kompasiana, 10 Agustus 2013

Jumat, 15 November 2013

Kembali ke Barak

Istilah ‘Kembali ke Barak’ sangat populer di Indonesia di era reformasi tahun 1998. Seingat saya, istilah tersebut dipakai media untuk mengkiaskan tuntutan dikembalikannya posisi ABRI (TNI dan Polri) pada waktu itu ke peran awalnya sebagai alat negara, tidak turut serta dalam aktivitas sosial politik sebagaimana pada era sebelumnya. Semula, kata ‘barak’ dipakai secara denotatif sebagai markas sebuah angkatan bersenjata, namun kemudian dipakai secara konotatif menggantikan kata ‘tempat semula’ atau ‘peran awal’ ABRI. 



Dalam tulisan ini, saya tidak ingin bertutur tentang sosial politik, karena bukan kapasitas dan keahlian saya berbicara tentang hal itu. Namun, saya ingin mengadopsi istilah ‘kembali ke barak’ dalam lingkup aktivitas akademik mahasiswa, terutama mahasiswa teknik mesin yang pernah saya lalui dan masih saya geluti hingga saat ini.

Konsep ‘Kembali ke Barak’ saya perkenalkan secara diam-diam kepada mahasiswa bimbingan skripsi saya sejak tahun 2009, berdasarkan pengalaman selama belajar dan mengerjakan tugas akhir untuk skripsi saya sendiri. Konsep ini tetap menjadi prinsip saya hingga sekarang dalam membimbing dan belajar bersama mahasiswa untuk penelitian skripsi mereka. 

‘Kembali ke barak’ saya artikan sebagai ‘kembali ke laboratorium atau bengkel’, dimana mahasiswa teknik mesin seharusnya sering ‘nongkrong’ di situ. Dengan begitu, harapan saya, mahasiswa menjadi fokus mengerjakan tugas akhirnya serta dapat mempergunakan inderanya semaksimal mungkin untuk belajar. 

Saat duduk sebagai mahasiswa 10 tahun yang lalu, saya sering menjumpai teman-teman maupun kakak-kakak angkatan di kampus saya yang cenderung pasif, lebih memilih mengerjakan tugas akhir di kos-kosan atau di rumah. Sementara, mereka datang ke kampus hanya untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing, ke perpustakaan mencari buku referensi atau mengikuti kuliah yang masih tersisa. Fenomena seperti ini sebenarnya ada alasannya, misalnya tugas akhir yang hanya berupa tugas untuk merancang mesin di atas kertas saja, tanpa ada tindak lanjut pembuatan komponen mesin yang sebenarnya atau simulasi hasil rancangan. Dengan metode belajar seperti itu, apa yang mereka pelajari tidak lebih dari sekedar perhitungan matematis dan menggambar saja, yang akhirnya dituangkan dalam tulisan skripsi. Itu saja. Hanya jari jemari, mata dan otak saja yang dominan bekerja. Padahal, pekerjaan sesungguhnya yang akan dihadapi si mahasiswa selepas lulus nantinya, baik di industri maupun dunia penelitian, lebih dari sekedar membuat rancangan atau laporan di atas kertas. Keterampilan tangan, sikap serta intuisi dalam menghadapi permasalahan yang sebenarnya juga harus diasah.

Melalui konsep kembali ke barak, saya sengaja membuat topik tugas akhir yang ‘mengharuskan’ mahasiswa bekerja full time di laboratorium atau bengkel. Dengannya, mahasiswa dilatih untuk terampil, peka, disiplin, menjaga ketertiban dan kebersihan serta segudang sikap positif lainnya. Mata mereka harus bekerja, setidaknya karena harus awas terhadap peralatan yang mereka gunakan untuk bekerja. Tangan mereka harus bekerja dan terampil, termasuk dalam hal-hal sederhana, seperti menggergaji dan mempersiapkan sampel. Hidung mereka harus terpapar bau-bauan khas di bengkel atau laboratorium, sehingga mereka berlatih peka terhadap tempat kerjanya. Telinga mereka juga belajar mengenali suara-suara yang tidak lazim pada mesin atau alat apabila terjadi ketidakberesan. Otak mereka diperas untuk membuat skala prioritas aktivitas karena tidak semua pekerjaan di tempat tersebut dapat dikerjakan secara simultan. 

Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya, dengan konsep seperti ini, tidak hanya tugas akhir mahasiswa yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi juga efektivitas belajar dan kualitas skripsi yang ditulis menjadi lebih baik berkat kontrol yang lebih mudah dari dosen yang juga serius membimbing mahasiswa bersangkutan.

Selasa, 12 November 2013

Introducing Indonesia to the World

Ternyata Pulau Bali masih lebih populer daripada Indonesia. Betapa mudahnya belajar bahasa Indonesia, tidak ada tenses, tidak ada pembedaan kata berdasar jenis kelamin serta cukup pengulangan kata saja bila ingin menyebut sesuatu secara jamak. Itulah kesan-kesan yang saya dapatkan dari beberapa teman dari seluruh belahan bumi setelah saya mempresentasikan Indonesia dalam forum International Presentation di departemen saya di TU Delft. Ya, di situlah kesempatan mengenalkan dan mempromosikan Indonesia di forum yang lebih luas, dunia. Mengapa saya sebut dunia karena ternyata departemen saya ini diisi oleh mahasiswa lintas negara, mulai dari Belanda, Prancis, Jerman, Meksiko, Yunani, China, India, Iran, Jepang, Italia, Turki, Malta, Rumania, Indonesia dan Inggris. Hal ini membuat nuansa Belanda tidak banyak terasa sekalipun TU Delft ini adalah universitas Belanda. Entah siapa penggagasnya, yang jelas forum bulanan ini menarik untuk diikuti. Dan, yang saya tangkap, ada rasa saling menghormati yang muncul setelah masing-masing mempresentasikan negaranya. Di departemen saya ini, hanya saya seorang yang berasal dari Indonesia. Oleh karenanya, ketika datang tawaran kepada saya untuk mempresentasikan Indonesia, mau tidak mau harus saya sendiri yang melakukannya. Ada perasaan wajib dalam hati untuk melakukannya. Ditemani kripik singkong dan kue kering khas Indonesia yang saya temukan di salah satu supermarket di Delft, saya beranikan diri ngomong tentang Indonesia.



Awalnya, sempat muncul sedikit keraguan dalam diri saya dalam mempersiapkan presentasi. Indonesia memang sudah lama dikenal dengan budayanya yang luhur, alamnya yang indah, makanannya yang super lezat serta hasil kerajinan tangannya yang unik. Semua orang di belahan bumi lain pun tahu dan mengakui hal ini. Namun, adakah hal-hal lain yang bisa saya tunjukkan bahwa inilah Indonesia yang juga hebat, sejajar dengan negara-negara lain yang unggul, terutama dalam hasil karyanya yang berdaya saing, bukan hanya dari alam, budaya dan flora faunanya? Saya sempat berpikir keras, karena harus saya akui banyak imej buruk tentang Indonesia yang ternyata diketahui oleh orang-orang asing. Saya ingat, sekitar tiga tahun yang lalu, seorang kawan India pernah bercerita santai pada saat coffee break tentang hebohnya video tidak sopan yang diputar di forum wakil rakyat Indonesia. Jelas, hal ini memalukan bagi saya, apalagi saat itu sedang berada di negeri orang. Memang benar sebuah anggapan, ketika kita sedang belajar di negeri orang, kita ini laksana seorang duta bagi Indonesia. Hal buruk tentang situasi dalam negeri yang dibicarakan orang asing dan sampai di telinga kita sungguh sangat mengusik hati.


Singkatnya, olah pikir saya akhirnya membuahkan ide untuk menampilkan produk-produk teknologi terbaru yang ada di Indonesia dan dibuat oleh tangan-tangan terampil orang Indonesia. Saya fokuskan pada dunia penerbangan dan industri militer Indonesia yang saya ikuti perkembangannya. Foto pesawat CN-235 buatan PT. Dirgantara Indonesia dan CASA, produk-produk kapal dari PT. PAL, hingga panser dan jip tempur karya PT. Pindad adalah beberapa gambar yang saya tampilkan dalam presentasi. Tidak banyak, karena produk-produk nasional yang tergolong high-tech semacam itu dan yang sudah bisa menembus pasaran internasional memang belum banyak. Namun dengan itulah, saya bisa merasakan kebanggaan sebagai orang Indonesia, ada produk-produk yang layak ditunjukkan kepada dunia. Tidak lupa, di akhir presentasi saya sedikit bercerita sambil berpromosi tentang Garuda Indonesia, satu-satunya national flag carrier milik Indonesia. Lagi-lagi, segudang prestasi yang telah diraih maskapai nasional ini dalam beberapa tahun terakhir bisa membuat saya tersenyum bangga di depan teman-teman saya. Inilah The World’s Best Economy Class (2013), The Best Regional Airline in Asia (2012) dan The World’s Best Regional Airline (2012) versi Skytrax, sebuah lembaga penilai performa maskapai yang sangat diakui dunia. Saya petik sebuah kesimpulan, bahwa karya nyatalah yang bisa membuat bangga saat menampilkan Indonesia di depan mata dunia, bukan sekedar rencana muluk-muluk, janji-janji yang tak kunjung direalisasikan serta komentar-komentar yang tidak dibuktikan menjadi karya yang sebenarnya. 

Minggu, 03 November 2013

Menyusuri Sejarah Penerbangan Belanda di Aviodrome

Kincir angin, bunga tulip, warna oranye serta gedung-gedung tua lengkap dengan kanal-kanal di sisinya adalah beberapa ciri khas Belanda yang sudah banyak dikenal orang. Meski demikian, Belanda juga merupakan negeri dengan puluhan museum menarik yang tersebar hampir di setiap kota besar di negeri tersebut. Museum Madame Tussaud dan Rijksmuseum di Amsterdam adalah segelintir di antara sekian banyak museum yang menjadi tujuan favorit para wisatawan. Namun, nama Aviodrome mungkin tidak banyak dikenal orang. Di museum inilah sejarah penerbangan Belanda termasuk aktivitas maskapai penerbangannya, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dipamerkan kepada masyarakat Belanda maupun wisatawan asing.

Aviodrome berlokasi di Kota Lelystad, Provinsi Flevoland, di bagian barat Belanda. Seperti umumnya sebuah museum penerbangan, Aviodrome memanfaatkan lahan di sekitar lapangan udara, yakni Lelystad Airport yang letaknya agak jauh dari keramaian dan pusat kota Lelystad itu sendiri. Sebelumnya, museum dirgantara ini menempati areal di Amsterdam Schiphol Airport. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah koleksi yang dimiliki, Aviodrome dipindahkan menuju kompleks Lelystad Airport pada tahun 2003. Meski demikian, museum yang sudah berdiri sejak tahun 1960 ini termasuk mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Jika perjalanan dimulai dari Amsterdam Centraal, hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam dengan kereta menuju stasiun Lelystad Centrum. Perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan bus kota selama sekitar 10-15 menit untuk tiba di lokasi. Tiket seharga 16,5 Euro untuk dewasa dan 14 Euro untuk anak-anak di bawah 11 tahun dapat dibeli di pintu masuk museum.

Fokker F50 dengan latar belakang pintu masuk Aviodrome
Hawker Hunter dengan kamuflase atraktif Royal Air Force, Inggris
Aviodrome menyimpan berbagai koleksi penerbangan Belanda sejak awal mulanya di abad ke-19. Pada masa itu, balon udara masih menjadi alat transportasi udara yang sangat populer. Pada awal abad ke-20, setelah Wright bersaudara memperkenalkan pesawat terbang, berbagai negara Eropa, termasuk Belanda mengalami demam pesawat terbang. Salah satu pioner penerbangan Belanda adalah Anthony Fokker (1890-1939) yang ternyata lahir di Kediri, Jawa Timur pada masa kolonisasi Belanda di Indonesia. Fokker mendirikan pabrik pesawat terbang yang mempunyai reputasi bagus di masanya, walaupun akhirnya bangkrut pada pertengahan tahun 90-an silam. Semua karya Fokker dipamerkan di museum ini, termasuk pesawat-pesawat tempur generasi awal racikannya yang menghiasi Perang Dunia I maupun II. Salah satu prototip karya Fokker yang paling mutakhir, Fokker 50, sengaja diletakkan di pintu depan museum, menyambut pengunjung berdampingan dengan salah satu pesawat tempur andalan Belanda pada tahun 60-an, Hawker Hunter, yang mengenakan kamuflase atraktif milik Royal Air Force, Inggris.

Fokker F.2, generasi awal pesawat racikan Fokker

BO-105, helikopter ringan namun multifungsi

Pesawat angkut ringan legendaris, Fokker F.27

Areal museum terbagi menjadi dua bagian: indoor dan outdoor. Di bagian indoor, tersimpan berbagai koleksi klasik era awal abad ke-20 hingga usai Perang Dunia II, termasuk di antaranya pesawat-pesawat buatan Fokker.  Meski demikian, sejumlah pesawat terbang yang terbilang modern, seperti pesawat angkut ringan legendaris Fokker 27, helikopter BO-105 yang ringan dan multifungsi serta jet supersonik F-104 Starfighter, juga berada di bagian ini. Khusus untuk Starfighter, pesawat tempur fenomenal di zamannya ini sengaja ditampilkan dengan moncong terbuka, sehingga pengunjung dapat melihat bagaimana rumitnya radar yang terpasang pada pesawat tersebut. Pada eranya, F-104 Starfighter adalah pemecah rekor pesawat tempur tercepat karena dapat dipacu hingga dua kali kecepatan suara, melebihi pesaing-pesaingnya yang rata-rata masih berkecepatan subsonik. Malangnya, pesawat ini banyak yang jatuh dan memakan korban, sehingga dijuluki The Widow Maker. Meski demikian, pesawat ini menjadi favorit negara-negara Eropa daratan pada tahun 70 sampai 80-an. Di bagian indoor ini pula, pengunjung diperbolehkan memasuki dan merasakan berada dalam kabin beberapa pesawat besar dan legendaris seperti Douglas DC-3 dan Lockheed L-749 Constellation milik KLM. Diorama berskala 1:1 juga ditampilkan untuk menggambarkan aksi bongkar muatan setelah pesawat mendarat dan penerjunan pasukan parasut Jerman saat melakukan invasi pada Perang Dunia II. Salah satu yang juga menarik di bagian ini adalah simulasi pendaratan pesawat Pelican di Batavia (Jakarta tahun 1930-an). Di tempat ini, pengunjung memasuki lorong yang merupakan replika kabin pesawat Pelican, lengkap dengan kursi-kursi penumpang. Lorong kabin ini bergerak sehingga pengunjung merasakan saat-saat pesawat mendarat, sedangkan di sisi-sisinya terdapat jendela yang terhubung video yang menggambarkan suasana di sekitar Batavia saat itu. Berbagai jenis mesin pesawat juga diekspos, seperti British Olympus 301 pada gambar di bawah, bahkan sengaja dibuka dan dipotong beberapa bagiannya agar pengunjung dapat belajar bagaimana prinsip kerja mesin-mesin pesawat tersebut.

Mesin Bristol Olympus 301 yang pernah menjadi dapur pacu jet penumpang supersonik pertama di dunia, Concorde

Lockheed L-749 Constellation, generasi awal pesawat angkut pasca Perang Dunia II

DC-3 Skytrain/Dakota (nomor ekor 44), sang legenda yang lahir tahun 1930an namun berumur panjang karena hingga saat ini beberapa unit masih diterbangkan
Di bagian luar museum, terparkir deretan pesawat berukuran besar, seperti Lockheed SP-2H Neptune, Douglas DC-4 Skymaster, Gloster Meteor serta yang paling sensasional di museum, si jumbo jet Boeing 747-200 “Louis Bleriot” yang dibeli dari KLM. Pengunjung juga diperbolehkan memasuki kabin pesawat jumbo ini sekedar melihat interior pesawat pada masa dinasnya. Menurut informasi, pesawat ini didatangkan pihak museum melalui jalur kanal yang menghubungkan Amsterdam Schiphol dengan Kota Lelystad karena ukurannya yang super besar tidak memungkinkan untuk didaratkan di landasan Lelystad Airport. Pesawat terpaksa dibongkar agar dapat dimuat dan diangkut dengan kapal, kemudian diturunkan dan dirangkai kembali setelah sampai di tempat ‘peristirahatan terakhir’-nya di areal museum. Di bagian luar ini, terdapat pula replika bangunan Amsterdam Schiphol Airport tahun 1928 dan sebuah hangar penyimpanan pesawat-pesawat koleksi yang sedang dalam tahap renovasi. Meski mayoritas pesawat yang dikoleksi Aviodrome adalah peninggalan KLM dan militer Belanda, terdapat pula pesawat beridentitas negara lain, seperti Saab Viggen dari Swedia, MiG-21PF Fishbed serta Antonov An-2 milik Jerman Timur dan Uni Soviet pada eranya.

Boeing B-747 Jumbo Jet, lahir di akhir era 60an dan memegang rekor pesawat dengan kapasitas angkut terbesar selama 37 tahun 

Saab AJ-37 Viggen (kiri) dan MiG-21PF Fishbed (kanan)


Museum seperti Aviodrome ini tentunya menarik bagi para penggemar teknologi dirgantara. Untuk menarik perhatian anak-anak, pihak pengelola museum aktif menyajikan acara-acara khusus dan menyediakan area bermain di sekitar koleksi pesawat yang ada. Dengan demikian, selain bermain, anak-anak juga dapat diperkenalkan dengan sejarah dan teknologi penerbangan.

*Repost artikel Kompasiana, 4 Juni 2013

Sabtu, 02 November 2013

Diary itu bernama 'Log-book'

Diary, atau buku harian, bagi banyak orang mempunyai arti penting. Diary selalu menjadi penampung curahan hati, kegembiraan, kegalauan dan kesedihan yang dialami penulisnya. Ia seakan menjadi obat penawar kesedihan maupun tempat luapan kegembiraan bagi seseorang. Dengan menulis apapun yang dirasakan, dipendam dan dipikirkan ke dalam sebuah buku harian, beratnya kehidupan seakan berkurang. Konon, yang saya baca dari autobiografi Pak Habibie, menulis menjadi terapi bagi beliau di masa-masa beratnya sepeninggal Ibu Ainun. Tulisan-tulisan beliau kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku best seller di kemudian hari.


Tidak berbeda dengan kehidupan manusia pada umumnya, seorang peneliti, dosen maupun mahasiswa juga memerlukan sebuah diary dalam kehidupan ilmiahnya. Diary itu bernama log-book. Terlihat sepele dan banyak diabaikan karena hanya berupa buku catatan. Namun, buku itu sarat akan makna dan nilai jika rajin diisi dan di-update dengan apapun berkaitan dengan penelitian yang kita lakukan. Bahkan, log-book akan semakin bernilai manakala lusuh karena sering dibaca dan dibubuhi coretan-coretan, sketsa, grafik, gambar dan sebagainya pada saat menganalisis data-data yang diperoleh selama penelitian. Jangan dibayangkan log-book harus ditulis secara terstruktur, rapi dan runtut. Seringkali, ide atau gagasan yang begitu saja muncul justru terlupakan jika terlalu lama memikirkan bagaimana cara menuliskannya agar rapi dan runtut. Coretan-coretan itulah solusi yang cepat untuk menuangkan gagasan. Tidak diharamkan pula menuliskan perasaan pada saat menjalani eksperiman di laboratorium atau lapangan. Hasil apapun yang kita peroleh dari eksperimen di laboratorium maupun observasi di lapangan, entah benar atau salah, sesuai dengan harapan atau tidak, tidak akan pernah dipermasalahkan oleh log-book. Karena log-book berbentuk buku, maka kita tidak akan lagi disibukkan mencari lembaran-lembaran catatan penting tentang penelitian kita yang mungkin terselip dalam tumpukan berkas-berkas yang lain. Log-book tak ubahnya rekam medis seorang pasien, karena di dalamnya terdapat catatan lengkap tentang riwayat dan aktivitas penelitian yang telah dilakukan. Kejanggalan dalam data penelitian akan lebih mudah diketahui sebabnya dengan menelusurinya lewat log-book.

Harga buku catatan untuk sebuah log-book mungkin tidak sepadan dengan gadget elektronik yang bertebaran saat ini. Namun, nilainya bisa menjadi sangat tinggi. Mengingat pentingnya buku catatan ini, log-book hendaknya selalu dijaga. Jangan sampai ide, gagasan, pemikiran, maupun hasil yang susah payah kita peroleh diambil orang hanya karena log-book kita dicuri atau disobek bagian pentingnya

Mikroskop Mainan

Ternyata tidak semua bagian dari riset atau penelitian membutuhkan instrumentasi yang rumit. Seringkali mainan dapat pula dijadikan sebagai instrumen yang handal untuk penelitian. Di tahun 2009 lalu, grup riset saya, yang berfokus pada pengembangan material logam untuk aplikasi medis, sukses melakukan observasi permukaan baja dengan sebuah mikroskop mainan. Mikroskop mainan seharga 1 jutaan rupiah itu dapat digunakan untuk melihat morfologi permukaan baja secara makro. Gambar yang dihasilkan memang tidak sedetil gambar yang dihasilkan mikroskop sesungguhnya, namun mainan ini setidaknya dapat dijadikan alat inspeksi yang cepat lagi murah. Mikroskop sederhana ini bisa dihubungkan dengan perangkat komputer dan disertai dengan CD installer sehingga benda yang diteliti dapat diamati langsung pada layar komputer. Namanya saja mainan, ketika tombol-tombol menu program mikroskop di-klik, keluarlah bunyi-bunyian lucu yang membuat anak-anak tertarik. Hasil rekaman mikroskop mainan yang saya gunakan untuk mengamati struktur permukaan baja ada pada gambar berikut. 


Meski hanya mampu untuk melihat struktur makro, menurut saya performa mikroskop ini tidak mengecewakan. Tekstur permukaan baja tanpa (control) dan dengan perlakuan yang berupa tumbukan bola-bola gotri (SMAT) dan partikel-partikel pasir (sandblasting) dapat dilihat dengan jelas.