Jumat, 15 November 2013

Kembali ke Barak

Istilah ‘Kembali ke Barak’ sangat populer di Indonesia di era reformasi tahun 1998. Seingat saya, istilah tersebut dipakai media untuk mengkiaskan tuntutan dikembalikannya posisi ABRI (TNI dan Polri) pada waktu itu ke peran awalnya sebagai alat negara, tidak turut serta dalam aktivitas sosial politik sebagaimana pada era sebelumnya. Semula, kata ‘barak’ dipakai secara denotatif sebagai markas sebuah angkatan bersenjata, namun kemudian dipakai secara konotatif menggantikan kata ‘tempat semula’ atau ‘peran awal’ ABRI. 



Dalam tulisan ini, saya tidak ingin bertutur tentang sosial politik, karena bukan kapasitas dan keahlian saya berbicara tentang hal itu. Namun, saya ingin mengadopsi istilah ‘kembali ke barak’ dalam lingkup aktivitas akademik mahasiswa, terutama mahasiswa teknik mesin yang pernah saya lalui dan masih saya geluti hingga saat ini.

Konsep ‘Kembali ke Barak’ saya perkenalkan secara diam-diam kepada mahasiswa bimbingan skripsi saya sejak tahun 2009, berdasarkan pengalaman selama belajar dan mengerjakan tugas akhir untuk skripsi saya sendiri. Konsep ini tetap menjadi prinsip saya hingga sekarang dalam membimbing dan belajar bersama mahasiswa untuk penelitian skripsi mereka. 

‘Kembali ke barak’ saya artikan sebagai ‘kembali ke laboratorium atau bengkel’, dimana mahasiswa teknik mesin seharusnya sering ‘nongkrong’ di situ. Dengan begitu, harapan saya, mahasiswa menjadi fokus mengerjakan tugas akhirnya serta dapat mempergunakan inderanya semaksimal mungkin untuk belajar. 

Saat duduk sebagai mahasiswa 10 tahun yang lalu, saya sering menjumpai teman-teman maupun kakak-kakak angkatan di kampus saya yang cenderung pasif, lebih memilih mengerjakan tugas akhir di kos-kosan atau di rumah. Sementara, mereka datang ke kampus hanya untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing, ke perpustakaan mencari buku referensi atau mengikuti kuliah yang masih tersisa. Fenomena seperti ini sebenarnya ada alasannya, misalnya tugas akhir yang hanya berupa tugas untuk merancang mesin di atas kertas saja, tanpa ada tindak lanjut pembuatan komponen mesin yang sebenarnya atau simulasi hasil rancangan. Dengan metode belajar seperti itu, apa yang mereka pelajari tidak lebih dari sekedar perhitungan matematis dan menggambar saja, yang akhirnya dituangkan dalam tulisan skripsi. Itu saja. Hanya jari jemari, mata dan otak saja yang dominan bekerja. Padahal, pekerjaan sesungguhnya yang akan dihadapi si mahasiswa selepas lulus nantinya, baik di industri maupun dunia penelitian, lebih dari sekedar membuat rancangan atau laporan di atas kertas. Keterampilan tangan, sikap serta intuisi dalam menghadapi permasalahan yang sebenarnya juga harus diasah.

Melalui konsep kembali ke barak, saya sengaja membuat topik tugas akhir yang ‘mengharuskan’ mahasiswa bekerja full time di laboratorium atau bengkel. Dengannya, mahasiswa dilatih untuk terampil, peka, disiplin, menjaga ketertiban dan kebersihan serta segudang sikap positif lainnya. Mata mereka harus bekerja, setidaknya karena harus awas terhadap peralatan yang mereka gunakan untuk bekerja. Tangan mereka harus bekerja dan terampil, termasuk dalam hal-hal sederhana, seperti menggergaji dan mempersiapkan sampel. Hidung mereka harus terpapar bau-bauan khas di bengkel atau laboratorium, sehingga mereka berlatih peka terhadap tempat kerjanya. Telinga mereka juga belajar mengenali suara-suara yang tidak lazim pada mesin atau alat apabila terjadi ketidakberesan. Otak mereka diperas untuk membuat skala prioritas aktivitas karena tidak semua pekerjaan di tempat tersebut dapat dikerjakan secara simultan. 

Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya, dengan konsep seperti ini, tidak hanya tugas akhir mahasiswa yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi juga efektivitas belajar dan kualitas skripsi yang ditulis menjadi lebih baik berkat kontrol yang lebih mudah dari dosen yang juga serius membimbing mahasiswa bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar