Minggu, 03 November 2013

Menyusuri Sejarah Penerbangan Belanda di Aviodrome

Kincir angin, bunga tulip, warna oranye serta gedung-gedung tua lengkap dengan kanal-kanal di sisinya adalah beberapa ciri khas Belanda yang sudah banyak dikenal orang. Meski demikian, Belanda juga merupakan negeri dengan puluhan museum menarik yang tersebar hampir di setiap kota besar di negeri tersebut. Museum Madame Tussaud dan Rijksmuseum di Amsterdam adalah segelintir di antara sekian banyak museum yang menjadi tujuan favorit para wisatawan. Namun, nama Aviodrome mungkin tidak banyak dikenal orang. Di museum inilah sejarah penerbangan Belanda termasuk aktivitas maskapai penerbangannya, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dipamerkan kepada masyarakat Belanda maupun wisatawan asing.

Aviodrome berlokasi di Kota Lelystad, Provinsi Flevoland, di bagian barat Belanda. Seperti umumnya sebuah museum penerbangan, Aviodrome memanfaatkan lahan di sekitar lapangan udara, yakni Lelystad Airport yang letaknya agak jauh dari keramaian dan pusat kota Lelystad itu sendiri. Sebelumnya, museum dirgantara ini menempati areal di Amsterdam Schiphol Airport. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah koleksi yang dimiliki, Aviodrome dipindahkan menuju kompleks Lelystad Airport pada tahun 2003. Meski demikian, museum yang sudah berdiri sejak tahun 1960 ini termasuk mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Jika perjalanan dimulai dari Amsterdam Centraal, hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam dengan kereta menuju stasiun Lelystad Centrum. Perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan bus kota selama sekitar 10-15 menit untuk tiba di lokasi. Tiket seharga 16,5 Euro untuk dewasa dan 14 Euro untuk anak-anak di bawah 11 tahun dapat dibeli di pintu masuk museum.

Fokker F50 dengan latar belakang pintu masuk Aviodrome
Hawker Hunter dengan kamuflase atraktif Royal Air Force, Inggris
Aviodrome menyimpan berbagai koleksi penerbangan Belanda sejak awal mulanya di abad ke-19. Pada masa itu, balon udara masih menjadi alat transportasi udara yang sangat populer. Pada awal abad ke-20, setelah Wright bersaudara memperkenalkan pesawat terbang, berbagai negara Eropa, termasuk Belanda mengalami demam pesawat terbang. Salah satu pioner penerbangan Belanda adalah Anthony Fokker (1890-1939) yang ternyata lahir di Kediri, Jawa Timur pada masa kolonisasi Belanda di Indonesia. Fokker mendirikan pabrik pesawat terbang yang mempunyai reputasi bagus di masanya, walaupun akhirnya bangkrut pada pertengahan tahun 90-an silam. Semua karya Fokker dipamerkan di museum ini, termasuk pesawat-pesawat tempur generasi awal racikannya yang menghiasi Perang Dunia I maupun II. Salah satu prototip karya Fokker yang paling mutakhir, Fokker 50, sengaja diletakkan di pintu depan museum, menyambut pengunjung berdampingan dengan salah satu pesawat tempur andalan Belanda pada tahun 60-an, Hawker Hunter, yang mengenakan kamuflase atraktif milik Royal Air Force, Inggris.

Fokker F.2, generasi awal pesawat racikan Fokker

BO-105, helikopter ringan namun multifungsi

Pesawat angkut ringan legendaris, Fokker F.27

Areal museum terbagi menjadi dua bagian: indoor dan outdoor. Di bagian indoor, tersimpan berbagai koleksi klasik era awal abad ke-20 hingga usai Perang Dunia II, termasuk di antaranya pesawat-pesawat buatan Fokker.  Meski demikian, sejumlah pesawat terbang yang terbilang modern, seperti pesawat angkut ringan legendaris Fokker 27, helikopter BO-105 yang ringan dan multifungsi serta jet supersonik F-104 Starfighter, juga berada di bagian ini. Khusus untuk Starfighter, pesawat tempur fenomenal di zamannya ini sengaja ditampilkan dengan moncong terbuka, sehingga pengunjung dapat melihat bagaimana rumitnya radar yang terpasang pada pesawat tersebut. Pada eranya, F-104 Starfighter adalah pemecah rekor pesawat tempur tercepat karena dapat dipacu hingga dua kali kecepatan suara, melebihi pesaing-pesaingnya yang rata-rata masih berkecepatan subsonik. Malangnya, pesawat ini banyak yang jatuh dan memakan korban, sehingga dijuluki The Widow Maker. Meski demikian, pesawat ini menjadi favorit negara-negara Eropa daratan pada tahun 70 sampai 80-an. Di bagian indoor ini pula, pengunjung diperbolehkan memasuki dan merasakan berada dalam kabin beberapa pesawat besar dan legendaris seperti Douglas DC-3 dan Lockheed L-749 Constellation milik KLM. Diorama berskala 1:1 juga ditampilkan untuk menggambarkan aksi bongkar muatan setelah pesawat mendarat dan penerjunan pasukan parasut Jerman saat melakukan invasi pada Perang Dunia II. Salah satu yang juga menarik di bagian ini adalah simulasi pendaratan pesawat Pelican di Batavia (Jakarta tahun 1930-an). Di tempat ini, pengunjung memasuki lorong yang merupakan replika kabin pesawat Pelican, lengkap dengan kursi-kursi penumpang. Lorong kabin ini bergerak sehingga pengunjung merasakan saat-saat pesawat mendarat, sedangkan di sisi-sisinya terdapat jendela yang terhubung video yang menggambarkan suasana di sekitar Batavia saat itu. Berbagai jenis mesin pesawat juga diekspos, seperti British Olympus 301 pada gambar di bawah, bahkan sengaja dibuka dan dipotong beberapa bagiannya agar pengunjung dapat belajar bagaimana prinsip kerja mesin-mesin pesawat tersebut.

Mesin Bristol Olympus 301 yang pernah menjadi dapur pacu jet penumpang supersonik pertama di dunia, Concorde

Lockheed L-749 Constellation, generasi awal pesawat angkut pasca Perang Dunia II

DC-3 Skytrain/Dakota (nomor ekor 44), sang legenda yang lahir tahun 1930an namun berumur panjang karena hingga saat ini beberapa unit masih diterbangkan
Di bagian luar museum, terparkir deretan pesawat berukuran besar, seperti Lockheed SP-2H Neptune, Douglas DC-4 Skymaster, Gloster Meteor serta yang paling sensasional di museum, si jumbo jet Boeing 747-200 “Louis Bleriot” yang dibeli dari KLM. Pengunjung juga diperbolehkan memasuki kabin pesawat jumbo ini sekedar melihat interior pesawat pada masa dinasnya. Menurut informasi, pesawat ini didatangkan pihak museum melalui jalur kanal yang menghubungkan Amsterdam Schiphol dengan Kota Lelystad karena ukurannya yang super besar tidak memungkinkan untuk didaratkan di landasan Lelystad Airport. Pesawat terpaksa dibongkar agar dapat dimuat dan diangkut dengan kapal, kemudian diturunkan dan dirangkai kembali setelah sampai di tempat ‘peristirahatan terakhir’-nya di areal museum. Di bagian luar ini, terdapat pula replika bangunan Amsterdam Schiphol Airport tahun 1928 dan sebuah hangar penyimpanan pesawat-pesawat koleksi yang sedang dalam tahap renovasi. Meski mayoritas pesawat yang dikoleksi Aviodrome adalah peninggalan KLM dan militer Belanda, terdapat pula pesawat beridentitas negara lain, seperti Saab Viggen dari Swedia, MiG-21PF Fishbed serta Antonov An-2 milik Jerman Timur dan Uni Soviet pada eranya.

Boeing B-747 Jumbo Jet, lahir di akhir era 60an dan memegang rekor pesawat dengan kapasitas angkut terbesar selama 37 tahun 

Saab AJ-37 Viggen (kiri) dan MiG-21PF Fishbed (kanan)


Museum seperti Aviodrome ini tentunya menarik bagi para penggemar teknologi dirgantara. Untuk menarik perhatian anak-anak, pihak pengelola museum aktif menyajikan acara-acara khusus dan menyediakan area bermain di sekitar koleksi pesawat yang ada. Dengan demikian, selain bermain, anak-anak juga dapat diperkenalkan dengan sejarah dan teknologi penerbangan.

*Repost artikel Kompasiana, 4 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar