Minggu, 28 Mei 2017

Ujian Semester

Ujian akhir semester baru saja dimulai ketika saya menurunkan tulisan ini. Bagi saya, tibanya masa ujian setengah tahunan ini menjadi momen untuk sedikit menenangkan diri dan mengatur kembali ritme kerja, setelah sebelumnya hampir tiap minggu saya harus berjibaku menyiapkan materi perkuliahan dan cara menyampaikannya kepada mahasiswa sebaik-baiknya. Namun, tibanya masa ujian ini bukan berarti pekerjaan akademik yang bertalian dengan aktivitas mengajar telah berakhir. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan: membuat soal ujian dan mengevaluasi hasil ujian mahasiswa.

Barangkali bagi kebanyakan dosen atau guru, membuat soal ujian itu mudah. Nah, yang susah itu mengerjakannya! Begitu kira-kira celoteh seorang kawan yang pernah saya dengar beberapa tahun silam. Namun, bagi saya, ternyata membuat soal ujian tetap merupakan salah satu pekerjaan yang tidak gampang untuk dilakoni.

Saya selalu berpikir lumayan keras ketika akan menuliskan soal ujian untuk mahasiswa. Alasan utamanya, ternyata tidak mudah membuat soal-soal ujian yang benar-benar bisa dijadikan alat evaluasi hasil belajar mahasiswa. Selain itu, ada alasan lain yang sebenarnya sederhana tetapi selalu mengganjal benak saya. Saya tak mau malu sendiri ketika soal yang saya tulis itu salah dan digugat oleh mahasiswa. Jadilah, membuat soal itu ibarat memindahkan batu besar yang merintangi jalan dengan tangan kosong, tanpa bulldozer. Tidak gampang, tapi harus dilakukan, hehehe...

Pernah suatu ketika, dulu sekali, saya benar-benar merasa malu sendiri saat mengetahui ada yang salah dengan soal yang saya berikan kepada mahasiswa. Sebenarnya, mereka tidak protes, apalagi menggugat dengan nada yang keras nan beringas. Malah, yang saya lihat mereka bingung dengan soal yang tidak benar tadi. Rasa kasihan saya membubung begitu tahu ada kesalahan di dalamnya. Sejak itu, saya merasa terpanggil untuk benar-benar serius dan hati-hati dalam membuat soal ujian untuk mahasiswa.

Mengoreksi hasil ujian mahasiswa juga bukan pekerjaan yang mudah menurut saya. Menilai dan mengevaluasi satu per satu lembar jawab mahasiswa menuntut pikiran yang segar untuk melakukannya. Dalam ujian, saya selalu membuat soal yang menuntut mahasiswa untuk mengerjakannya dalam bentuk esai, bukan pilihan ganda. Tujuannya agar pemahaman mereka atas mata kuliah yang dipelajari menjadi lebih baik, terlihat dari cara mereka menguraikan, menganalisis dan menjawab persoalan yang diberikan. Lain halnya dengan pilihan ganda, yang bila saya terapkan untuk mata kuliah ilmu teknik pastilah peluang mahasiswa untuk gambling dalam menjawab persoalan menjadi lebih besar. Semakin parah, bila semua tadi dilakukan tanpa dasar analisis yang benar sesuai dengan ilmu yang dipelajari selama kuliah.

Lewat jawaban esai tadi, tantangan muncul ketika mengoreksi jawaban ujian mahasiswa. Jawaban esai memperkenankan mahasiswa mengerahkan segala pemahamannya atas mata kuliah untuk menjawab soal yang diujikan dan menuangkannya ke dalam segala tulisan, angka, gambar, sketsa maupun segala coretan yang lain pada kertas lembar jawab. Apa yang dijawab oleh seorang mahasiswa sangat mungkin dan bisa berbeda dengan mahasiswa yang lain, sekalipun mereka bermaksud memberikan jawaban akhir yang sama. Akibatnya, dosen penguji yang mengoreksinya haruslah jeli dan hati-hati dalam melihat dan menilai jawaban-jawaban mereka yang cukup variatif. Semua itu untuk menghindari kesalahan dalam memberikan nilai akhir ujian kepada mahasiswa. Proses penilaian seperti ini ternyata sangat melelahkan, apalagi bila jumlah mahasiswa peserta kuliahnya cukup banyak. Namun, apa boleh buat, pekerjaan ini tetap harus dijalani.

Saya terinspirasi dan akhirnya belajar dari dosen pembimbing saya di Delft. Suatu sore, saya ketuk pintu ruangan pembimbing saya tadi, sengaja ingin mengajaknya berdiskusi tentang masalah penelitian yang saya temui di lab. Saya terkejut dalam hati, tatkala saya jumpai pembimbing saya tadi sedang khusyuk berhadapan dengan tumpukan kertas ujian yang penuh dengan coretan-coretan pekerjaan mahasiswanya. Ia tampak tenang dan menikmati pekerjaannya itu -yang menurut saya membosankan, sembari mempersilakan saya masuk dan duduk di dalam ruangannya. 

Ah, dosen sekelas pembimbing saya ini saja masih bisa menikmati proses koreksi ujian. Padahal, saya yang kelas teri dan keilmuannya jauh di bawah pembimbing saya itu tadi seringkali melewatkan 'nikmatnya' proses mengoreksi ujian. Sejak itu, saya seperti disadarkan; bahwa ada tanggung jawab moral yang dipikul seorang dosen atau pengajar kepada mahasiswanya. Tanggung jawab itu tak hanya berupa keharusan ia menyelesaikan perkuliahan, tetapi hingga bagaimana ia menuntaskan proses belajar si mahasiswa sampai pada tahap evaluasinya melalui ujian yang diberikan. Proses mengoreksi ujian yang penuh tantangan dan melelahkan itu hendaknya memang tetap harus dinikmati dan dijalani sebaik-baiknya. Bahkan, jika dalam diri seorang dosen atau guru itu telah melekat jiwa pendidik dan pengajar sejati, pastilah mengoreksi ujian ini adalah sebuah momen yang juga berujung pada kepuasan jiwa, apalagi ketika ia tahu para mahasiswanya benar-benar berhasil memahami dan menguasai ilmu yang ia ajarkan. Semoga saja saya bisa seperti itu.

Sabtu, 27 Mei 2017

Refleksi Ramadhan (3): Kebab, Buka Puasa dan Sebuah Doa

Cerita ini sebenarnya terjadi bukan saat bulan Ramadhan. Namun, pada saat Hari Arafah, yang juga istimewa bagi umat Islam. Hari Arafah, yang jatuh setiap tanggal 9 Dzulhijjah atau sehari sebelum Hari Raya Idul Adha, adalah momen paling istimewa bagi para jamaah haji yang sedang berada di Mekah. Di hari itulah wuquf dilakukan. Para jamaah haji berkumpul dan bersimpuh di Padang Arafah, memanjatkan doa serta permohonan ampun kepada Sang Khalik, Pencipta jagad raya ini. Bila di hari itu para jamaah haji di Mekah melaksanakan wuquf, maka umat Islam yang berada di belahan bumi yang lain disunahkan melakukan puasa sehari saja, yang dinamakan Puasa Arafah.

Delft, 9 Dzulhijjah 1434H. Hari Arafah di tahun 2013. Namun, sayang sekali, saya melewatkannya. Jadilah hari itu saya tidak berpuasa karena di awal hari saya merasa kurang sehat. Hari itu, saya tetap pergi ke kampus dan beraktivitas seperti biasanya. Memang, di negeri kincir tempat saya tinggal saat itu tidak ada suasana khas pra hari raya sebagaimana di Indonesia, sehingga puasa tidak puasa ya seperti hari-hari biasanya.

Jelang senja, yang waktu itu masih sekitar pukul delapan, saya beranjak pulang dari kampus menuju rumah. Sengaja saya melewati kawasan centrum, atau pusat kota Delft, yang kala itu masih cukup ramai. Sepeda saya meluncur cepat diiringi suara gemerucuk perut saya yang lapar. Akhirnya, saya putuskan mencari makan di seputaran centrum untuk dibawa pulang. Kebab adalah pilihan saya. Di negeri itu, kebab mungkin salah satu alternatif jajanan di luar rumah yang halal, namun mudah ditemui hampir di setiap sudut kota. Makanan khas Turki ini lezat, mungkin selezat pizza atau burger, walaupun di antara mereka sepertinya tidak ada hubungan saudara, hehehee...

Saya mampir ke kios penjual kebab yang boleh dikata langganan saya di masa awal tinggal di Delft. Penjualnya orang Iraq. Entah, saya lupa asal muasalnya hingga ia tahu saya muslim dan selalu menyapa saya dengan Assalamu'alaikum bila saya bertandang ke kiosnya. Ia cukup ramah, meski tak banyak bicara dalam bahasa Inggris. Salah saya juga kali ya, tinggal di negara yang  bahasa utamanya bukan bahasa Inggris, namun tidak jua belajar bahasa lokalnya dengan serius.

Senja itu, sang penjual kebab itu membuat saya terkesima. Tak lama setelah memesan, berkumandanglah adzan Maghrib di handphone penjual kebab itu. Ia diam sejenak, di sela-sela membuatkan pesanan kebab saya. "Alhamdulillah", bibirnya mengucap demikian. Selang beberapa detik, ia mengambil sepasang gelas yang terisi teh panas. Tampaknya ia berbuka puasa. Satu gelas tadi untuk dia sendiri, dan satunya lagi ia berikan kepada saya! "For you." ucapnya sambil tersenyum. Ia mengira saya juga berpuasa Arafah. Ia lalu membalikkan badan, menengadah, dan berdoa. Agak lama, sehingga saya bisa memperhatikan dengan baik apa saja yang ia lakukan selama itu.

Selesai berdoa, ia kembali ke ramuan kebab saya, lalu membungkusnya, karena saya minta kebab tadi dibawa pulang. Sambil melakukannya, ia berkata kepada saya bahwa adiknya saat itu sedang menunaikan ibadah haji. Ia berdoa untuknya, agar lancar dan selamat. "Alhamdulillah", saya sahut ucapannya demikian. Turut senang rasanya mendengarnya. Ia berkata sudah cukup lama meninggalkan Iraq dan kadang sangat rindu dengan saudara-saudaranya di sana. Saya hanya tertegun sambil tersenyum mendengarnya. Saya tahu dan bisa membayangkan sedikit tentang perasaannya. Iraq, negeri muslim yang selama ini saya tahu sedang suram dan tak menentu keadaannya karena perang yang berkepanjangan. Tak lama kemudian, bungkusan kebab tadi diberikan kepada saya. Saya pun pamit, berterimakasih kepadanya atas jamuan segelas teh yang penuh makna tadi, sambil berucap dalam hati, "May Alloh bless you and your family, brother." Sepeda saya pun melaju menyusuri sisa perjalanan pulang saya ke rumah.

Rabu, 17 Mei 2017

Bukan Facebook, Tetapi Realbook

Saat saya menuliskan cerita ini konon di negeri ini sedang dirayakan hari buku nasional. Ya, hari buku itu jatuh pada 17 Mei, walaupun saya tak mendengar hingar bingar layaknya sebuah perayaan di sepanjang hari tadi. Sejujurnya, saya pun tidak pernah ingat kalau tanggal tersebut adalah hari buku nasional, kalau tidak ada status yang dibuat oleh beberapa kawan di Facebook. Namun, ada baiknya kali ini saya meninggalkan jejak tulisan tentang buku di blog ini.

Berbicara tentang buku, semua orang mungkin tahu sebuah ungkapan, bahwa buku adalah jendela dunia. Masih lekat dalam memori saya, selembar kertas bertuliskan kata mutiara seperti itu di salah satu lemari buku di perpustakaan SMP saya 20 tahun silam. Lalu, sekitar satu jam yang lalu saya membaca semacam kata mutiara juga, bahwa membaca buku secara teratur akan memperpanjang usia. 

Meski tentunya batas usia seseorang adalah rahasia Sang Pemilik Alam, saya mungkin termasuk salah satu yang mengangguk setuju dengan kata mutiara tersebut. Paling tidak, membaca buku membuncahkan rasa ingin tahu seseorang, lalu membuat pikirannya bergerak dan berinisiatif melakukan sesuatu. Dan, akhirnya muncul pengharapan dalam dirinya akan sesuatu yang sedang ia kerjakan. Semua hal tadi terinspirasi oleh buku yang ia baca. Benar atau tidak, harapan inilah yang saya yakini membuat seseorang bersemangat untuk melanjutkan hidup.

Di era digital seperti saat ini, sepertinya buku, The Realbook, mendapat saingan yang cukup ketat untuk dibaca. Adalah media sosial. Facebook, terutama dan rasanya masih yang paling populer hingga saat ini. Facebook membuat setiap orang bisa menjadi 'penulis', walaupun saya sepakat bahwa tidak semua tulisan yang mereka unggah itu berkualitas, bahkan kadang hanya sebatas tulisan dangkal dan menyesatkan. 

Oleh karenanya, entah mengapa hingga detik ini saya masih menganggap ya hanya buku saja sumber ilmu yang sebenarnya, meski saya juga tidak mengingkari banyak buku yang tak berkualitas dan dangkal isinya. Yang saya yakini, pastilah saat menulis sebuah buku, seorang penulis harus berjuang keras merumuskan gagasan-gagasannya ke dalam bahasa tulis yang baik. Juga, ia seyogyanya paham tentang apa yang dituliskan serta konsekuensinya. Hal seperti ini mungkin tidak sepenuhnya disadari dan dilakukan oleh para 'penulis' di Facebook, kecuali mereka yang memang sudah menyandang predikat penulis buku sebelum media sosial ini lahir dan populer dekade lalu. 

Pun, dalam membaca keduanya, ada rasa yang berbeda menurut saya. Saya tetap merasa artikel di sebuah buku itu lebih meyakinkan dibandingkan status yang panjang lebar layaknya sebuah artikel di Facebook. Pendapat subjektif sih, Anda boleh tidak setuju. Apapun itu, tetaplah cerdas dalam membaca, baik buku maupun tulisan-tulisan yang ada di media sosial. Selamat hari buku nasional.

Rabu, 10 Mei 2017

Kapur dan Papan Tulis

Ada yang sengaja saya buat berbeda dengan cara saya membawakan kuliah di semester genap tahun ajaran ini. Di dua mata kuliah yang kebetulan saya ampu, saya sengaja tidak menggunakan bantuan komputer dan software Power Point. Cukup perangkat sederhana berupa kapur dan papan tulis yang saya pakai untuk membantu kegiatan perkuliahan. 
Mengajar mekanika dengan kapur dan papan tulis saja
Di era serba digital seperti saat ini, bagi banyak orang mungkin janggal mengajar suatu kuliah dengan kapur dan papan tulis saja. Sudah ketinggalan jaman. Nggak modern. Mungkin itu yang terbesit di benak orang kebanyakan. Tetapi, ternyata tidak demikian dengan yang ada di luar sana.
Di luar sana, di universitas-universitas top sekalipun, saya melihat bahwa menggunakan kapur dan papan tulis sebagai media perkuliahan tampaknya bukanlah sebuah aib, bukan pula sebuah penghalang mereka -para universitas itu- melaju dan menyodok sebagai universitas yang berkualitas tinggi.
Ambillah sebuah contoh di Technische Universiteit Delft (TU Delft), yang menjadi universitas teknik terbesar di Belanda, bahkan salah satu yang diperhitungkan di Uni Eropa. Hampir di setiap ruang kelasnya, saya melihat ada papan tulis dan kapur-kapur di sekitarnya. Pastilah, sang dosen akrab dengan kapur dan papan tulis saat mengajar. 
Lalu, pernah pula saya memutar channel Youtube tentang beberapa perkuliahan di Massachusets Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat, yang konon menjadi salah satu kiblat universitas teknik di dunia. Pun, di situ sang profesor yang sedang mengajar tampak asyik menggunakan kapur dan papan tulis, menyajikan bait-bait ilmu kepada mahasiswanya.
Jujur saja, saya terinspirasi oleh cara mereka, para profesor dan dosen yang tak diragukan lagi kepakarannya, namun tetap saja menggunakan 'cara lama' untuk mengajar. Meski demikian, mereka tetap bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas, yang lalu melambungkan nama universitas tempat mereka bekerja. Jelas, dari ilustrasi tentang TU Delft dan MIT tampak tidak adanya korelasi antara cara mengajar yang dianggap kuno -dengan kapur dan papan tulis- dan kualitas lulusan, atau reputasi sebuah universitas. 
Saya teringat Ir. Arief Darmawan, salah satu dosen saya di UGM saat S1 dulu. Beliau begitu konsisten menggunakan kapur dan papan tulis saja untuk mengajar mata kuliah yang menjadi keahlian beliau, yakni dinamika dan kinematika. Sepanjang semester, saya tak pernah melihat beliau menggunakan komputer, laptop maupun beamer untuk mengajarkan dua mata kuliah tersebut. Dan, hebatnya, beliau begitu terampil menggambar di papan tulis dengan kapur. Saya kagum dengan kemampuan beliau menggambar garis lurus maupun melengkung tanpa guratan keraguan di papan tulis.
Ya, tentu saja tidak semua mata kuliah bisa diajarkan cukup dengan kapur dan papan tulis. Bagi saya, kuliah semacam matematika dan mekanika rasanya memang menyenangkan apabila diajarkan dengan kapur dan papan tulis. Saat kita menerangkan sesuatu dengan goresan kapur, kita sebenarnya mengajak mahasiswa belajar bersama, karena kecepatan kita menulis di papan kurang lebih sama dengan kecepatan mahasiswa menulis di catatannya. 
Pun, dengan cara ini, saya berharap mahasiswa menjadi aktif mencatat sendiri apa yang tertulis di papan tulis, bukan hanya pasif menunggu dosen memberikan slide presentasi di akhir kuliah. Sementara itu, mata kuliah yang menuntut kita atraktif dalam mengajarnya, misalnya yang penuh dengan teori, gambar-gambar dan penjelasan rumit, memang lebih baik diajarkan dengan media seperti Power Point atau sejenisnya. Namun, cara ini sebenarnya juga bukan keharusan. Semua kembali lagi pada sang dosen atau pengajar.
Seperti kata James Bond di akhir cerita film Skyfall, bahwa kadangkala cara lama itu adalah yang terbaik. Demikian halnya kapur dan papan tulis. Mengajar dengan dua benda ini adalah cara lama, namun bisa jadi yang terbaik untuk mengajarkan mata kuliah tertentu.

Senin, 08 Mei 2017

Berbagi Kisah Menjadi Penulis Pemula

Di awal Mei tahun 2017 ini, saya berkesempatan berbagi kisah dengan para mahasiswa pasca-sarjana Program Studi Teknik Mesin, Universitas Gadjah Mada (UGM). Awalnya, saya sempat ragu menerima undangan yang disampaikan oleh seorang kawan dosen di kampus ini, karena waktu acaranya yang sangat mendadak bagi saya. Singkatnya, siang itu saya ditawari kesempatan berbagi cerita untuk pagi keesokan harinya. Namun, tak berselang lama, cukup beberapa menit saja, saya mengiyakan tawaran tersebut. Yang terbesit dalam pikiran saya, kalau hanya bercerita tentang bagaimana menjadi penulis pemula sebuah artikel di jurnal internasional, saya bisa me-review kisah-kisah yang pernah saya tulis dalam blog ini, lalu saya angkat kembali menjadi sebuah dongeng dalam kemasan yang sedikit berbeda.
Kisah yang saya angkat sesuai dengan permintaan penyelenggara acara -pengurus himpunan mahasiswa pasca-sarjana teknik mesin UGM-, yakni tentang kiat bagaimana menjadi penulis pemula untuk sebuah artikel di jurnal internasional. Serta, bagaimana kiat agar manuskrip yang dibuat bisa tembus di jurnal internasional. Jujur saja, saya sebenarnya tidak punya resep khusus yang bisa saya bagikan dalam dongeng saya nantinya. Pun, saat itu, saya tidak punya waktu panjang untuk mensarikan berbagai tips dan trik yang ada dalam literatur maupun cerita-cerita dari para peneliti dan penulis artikel yang sudah malang melintang di dunia riset dan publikasi ilmiah internasional.
Kesempatan langka, bahkan ini yang pertama kali dalam hidup saya, mendongeng tentang kisah masa lampau yang begitu berkesan dan sulit untuk dilupakan. (Foto oleh: Dr. Muslim Mahardika)
Jadilah, pagi hari sebelum adzan Subuh berkumandang di hari-H saya berkisah, enam lembar slide presentasi berhasil saya tuntaskan, dengan merangkum segala apa yang berkecamuk dalam pikiran saya tentang kisah menjadi penulis pemula. Sebelumnya, cerita tentang menjadi penulis pemula pernah saya singgung di artikel ini. Dalam dongeng saya pagi itu, ada sembilan poin yang saya bisa ceritakan, terkait usaha dan upaya seseorang menjadi penulis artikel untuk jurnal internasional.
Pertama, cerdas bercerita. Menurut saya, teknik menulis artikel di jurnal internasional itu tidak jauh berbeda menulis tulisan ilmiah popular dalam surat kabar, majalah maupun blog. Alur cerita yang ada dalam tulisan harus disusun secara runtut dan menarik, agar disukai pembaca. Dan, siapakah pembaca pertama tulisan kita untuk sebuah jurnal internasional? Adalah editor dan reviewer! Merekalah yang pertama kali menilai apakah manuskrip kita layak untuk diterbitkan dalam jurnal mereka. Oleh karenanya, cerdas bercerita dalam menulis artikel untuk jurnal internasional itu perlu. Alur cerita dalam suatu artikel ilmiah tidak boleh bertele-tele (atau mbulet, dalam bahasa Jawanya), tetapi harus ringkas dan jelas, serta mengasyikan saat dibaca.
Kedua, memperhatikan struktur bahasa. Hendaknya para penulis pemula benar-benar memperhatikan kaidah penulisan yang baku, terutama tentang susunan subjek (S)-predikat (P)-objek (O)-keterangan (K). Meski artikel dalam jurnal internasional itu ditulis dalam bahasa Inggris, aturan S-P-O-K tetap harus digunakan. Hindari penggunaan bahasa informal seperti halnya dalam pesan singkat SMS, Whatsapp maupun percakapan sehari-hari.
Ketiga, bahasa Inggris harus baik. Kemampuan yang baik untuk meramu tulisan dalam bahasa Inggris dalam adalah salah satu syarat mutlak agar manuskrip kita diterima sebagai artikel di suatu jurnal internasional. Dan, bertutur dalam bahasa tulisan selalu lebih sulit daripada dalam bahasa lisan. Lalu, bagaimana bila kemampuan menulis dalam bahasa Inggris kita belum baik? Ya, belajar. Ikuti kursus-kursus yang ada, rajin menulis dan berkonsultasi dengan kawan, mentor maupun pembimbing yang memang sudah berpengalaman menulis artikel ilmiah di jurnal internasional.
Keempat, tekun membaca artikel di jurnal internasional. Kata pepatah, otak kita ini ibarat teko air. Apa yang kita tulis itu sejatinya adalah muntahan dari apa yang kita baca selama ini. Jadi, kalau ternyata tulisan kita itu terasa hampa, bertele-tele dan tidak mendalam analisisnya, bisa berarti kita memang kurang banyak membaca hal-hal yang relevan dengan tulisan kita tadi. Dengan tekun membaca artikel yang relevan dengan apa yang kita tulis, maka tidak hanya materi-materi penting pendukung tulisan kita saja yang bisa kita serap, tetapi juga bagaimana cara mengungkapkan dan memaparkan hasil-hasil penelitian kita ke dalam bahasa tulis yang baik dan tepat.
Kelima, perlu mentor atau pembimbing. Menjadi penulis pemula itu juga bisa diartikan sebagai orang yang belum tahu apa-apa. Makanya janganlah sok tahu, hehehe… Bertanyalah dan bergurulah kepada orang-orang yang kita rasa patut untuk kita timba ilmunya. Mereka adalah para dosen, pembimbing, bahkan rekan sejawat yang sudah berpengalaman menulis jurnal internasional. Mereka yang berpengalaman itu pastilah mempunyai segudang cerita menarik, yang tidak hanya tentang teknis penulisan tetapi juga motivasi yang membuat kita bersemangat dalam menulis. Bahkan, di antara merekapun ada yang tidak segan untuk duduk bersama kita, membicarakan tentang ilmu, penelitian dan tentunya tulisan yang akan dirumuskan untuk menjadi sebuah draft artikel untuk jurnal internasional.
Keenam, perlu kawan yang selalu mendukung dan memotivasi. Lingkungan yang suportif selalu menjadi tempat terbaik untuk belajar, termasuk belajar menulis artikel untuk jurnal internasional. Mengapa harus suportif? Karena di negeri ini, tidak semua lingkungan mau mengakomodir mimpi-mimpi kita menjadi penulis artikel jurnal internasional. Malah sebaliknya, cibiran dan kata-kata nyinyir seringkali muncul dari lingkungan di sekitar kita. Orang yang antusias menulis dan mempromosikan menulis di jurnal internasional tidak jarang malah dicap orang aneh. Jadi, lingkungan yang suportif itu sangat penting. Grup riset yang terdiri dari orang-orang yang sevisi tentang publikasi internasional tentu menjadi ladang yang penuh nutrisi. Juga, jangan lupa menghadirkan pemahaman tentang pentingnya publikasi internasional kepada keluarga terdekat, terutama istri atau suami, agar merekapun mengerti dan tidak segan-segan memberikan energi positifnya kepada kita yang tengah berjuang menjadi penulis artikel yang baik.
Ketujuh, belajarlah dari kesalahan. Rejection atau penolakan atas manuskrip yang kita kirim pada sebuah jurnal internasional adalah hal yang biasa terjadi dan hampir selalu dialami oleh para penulis pemula. Begitu juga, coretan-coretan dari dosen pembimbing pada manuskrip kita adalah hal yang biasa. Sakit hati boleh, tapi jangan lama-lama, hehehe.... Komentar, masukan serta kritik dari reviewer, editor maupun pembimbing pada hakikatnya adalah petunjuk kita untuk belajar, belajar untuk menjadi lebih baik. Kalaupun kita merasa pendapat kita masih lebih baik daripada mereka, maka setidaknya kita belajar untuk bersabar atau belajar untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengan cara yang baik. Beberapa tulisan saya tentang komentar dan kritik dari reviewer maupun pembimbing pernah saya unggah dalam blog ini (lihat posting tentang Cermin dan Coretan-coretan sarat makna). 
Kedelapan, memahami dan mengikuti tatacara penulisan. Salah satu kunci diterimanya manuskrip kita pada jurnal internasional adalah ketaatan kita mengikuti aturan menulis (author guidelines) yang diberikan oleh masing-masing jurnal. Oleh karenanya, sebelum kita akan mengirimkan sebuah manuskrip, pastikan terlebih dahulu kesesuaian tulisan kita dengan tatacara menulis yang telah ditetapkan oleh jurnal yang bersangkutan. Tatacara penulisan ini sangat gampang diakses dan biasanya selalu disediakan dalam bentuk pdf pada website jurnal.
Kesembilan, segera mulai! Kesalahan kita saat akan melakukan sesuatu yang baru umumnya adalah ‘menunda’ untuk memulainya. Demikian juga dalam menulis artikel untuk jurnal internasional. Sebenarnya bukan karena kita kekurangan waktu untuk mengikuti kursus singkat atau pelatihan tentang menulis artikel yang membuat kita tidak berhasil untuk publikasi di jurnal internasional. Namun, kebiasaan kita sendiri untuk menunda yang menjadi penyakit saat mulai menulis. Kita khawatir akan kualitas tulisan kita, padahal menulis saja belum. Kita khawatir tentang grammar bahasa Inggris kita, padahal mencoba menulis satu kalimat saja belum. Oleh karenanya, tidak ada kata lain, selain mulai sekarang juga!
Sembilan poin di atas saya susun berdasarkan pengalaman pribadi saya. Tentu, pembaca boleh setuju atau tidak. Selamat berjuang!