Sabtu, 27 Mei 2017

Refleksi Ramadhan (3): Kebab, Buka Puasa dan Sebuah Doa

Cerita ini sebenarnya terjadi bukan saat bulan Ramadhan. Namun, pada saat Hari Arafah, yang juga istimewa bagi umat Islam. Hari Arafah, yang jatuh setiap tanggal 9 Dzulhijjah atau sehari sebelum Hari Raya Idul Adha, adalah momen paling istimewa bagi para jamaah haji yang sedang berada di Mekah. Di hari itulah wuquf dilakukan. Para jamaah haji berkumpul dan bersimpuh di Padang Arafah, memanjatkan doa serta permohonan ampun kepada Sang Khalik, Pencipta jagad raya ini. Bila di hari itu para jamaah haji di Mekah melaksanakan wuquf, maka umat Islam yang berada di belahan bumi yang lain disunahkan melakukan puasa sehari saja, yang dinamakan Puasa Arafah.

Delft, 9 Dzulhijjah 1434H. Hari Arafah di tahun 2013. Namun, sayang sekali, saya melewatkannya. Jadilah hari itu saya tidak berpuasa karena di awal hari saya merasa kurang sehat. Hari itu, saya tetap pergi ke kampus dan beraktivitas seperti biasanya. Memang, di negeri kincir tempat saya tinggal saat itu tidak ada suasana khas pra hari raya sebagaimana di Indonesia, sehingga puasa tidak puasa ya seperti hari-hari biasanya.

Jelang senja, yang waktu itu masih sekitar pukul delapan, saya beranjak pulang dari kampus menuju rumah. Sengaja saya melewati kawasan centrum, atau pusat kota Delft, yang kala itu masih cukup ramai. Sepeda saya meluncur cepat diiringi suara gemerucuk perut saya yang lapar. Akhirnya, saya putuskan mencari makan di seputaran centrum untuk dibawa pulang. Kebab adalah pilihan saya. Di negeri itu, kebab mungkin salah satu alternatif jajanan di luar rumah yang halal, namun mudah ditemui hampir di setiap sudut kota. Makanan khas Turki ini lezat, mungkin selezat pizza atau burger, walaupun di antara mereka sepertinya tidak ada hubungan saudara, hehehee...

Saya mampir ke kios penjual kebab yang boleh dikata langganan saya di masa awal tinggal di Delft. Penjualnya orang Iraq. Entah, saya lupa asal muasalnya hingga ia tahu saya muslim dan selalu menyapa saya dengan Assalamu'alaikum bila saya bertandang ke kiosnya. Ia cukup ramah, meski tak banyak bicara dalam bahasa Inggris. Salah saya juga kali ya, tinggal di negara yang  bahasa utamanya bukan bahasa Inggris, namun tidak jua belajar bahasa lokalnya dengan serius.

Senja itu, sang penjual kebab itu membuat saya terkesima. Tak lama setelah memesan, berkumandanglah adzan Maghrib di handphone penjual kebab itu. Ia diam sejenak, di sela-sela membuatkan pesanan kebab saya. "Alhamdulillah", bibirnya mengucap demikian. Selang beberapa detik, ia mengambil sepasang gelas yang terisi teh panas. Tampaknya ia berbuka puasa. Satu gelas tadi untuk dia sendiri, dan satunya lagi ia berikan kepada saya! "For you." ucapnya sambil tersenyum. Ia mengira saya juga berpuasa Arafah. Ia lalu membalikkan badan, menengadah, dan berdoa. Agak lama, sehingga saya bisa memperhatikan dengan baik apa saja yang ia lakukan selama itu.

Selesai berdoa, ia kembali ke ramuan kebab saya, lalu membungkusnya, karena saya minta kebab tadi dibawa pulang. Sambil melakukannya, ia berkata kepada saya bahwa adiknya saat itu sedang menunaikan ibadah haji. Ia berdoa untuknya, agar lancar dan selamat. "Alhamdulillah", saya sahut ucapannya demikian. Turut senang rasanya mendengarnya. Ia berkata sudah cukup lama meninggalkan Iraq dan kadang sangat rindu dengan saudara-saudaranya di sana. Saya hanya tertegun sambil tersenyum mendengarnya. Saya tahu dan bisa membayangkan sedikit tentang perasaannya. Iraq, negeri muslim yang selama ini saya tahu sedang suram dan tak menentu keadaannya karena perang yang berkepanjangan. Tak lama kemudian, bungkusan kebab tadi diberikan kepada saya. Saya pun pamit, berterimakasih kepadanya atas jamuan segelas teh yang penuh makna tadi, sambil berucap dalam hati, "May Alloh bless you and your family, brother." Sepeda saya pun melaju menyusuri sisa perjalanan pulang saya ke rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar