Saat saya menuliskan cerita ini konon di negeri ini sedang dirayakan hari buku nasional. Ya, hari buku itu jatuh pada 17 Mei, walaupun saya tak mendengar hingar bingar layaknya sebuah perayaan di sepanjang hari tadi. Sejujurnya, saya pun tidak pernah ingat kalau tanggal tersebut adalah hari buku nasional, kalau tidak ada status yang dibuat oleh beberapa kawan di Facebook. Namun, ada baiknya kali ini saya meninggalkan jejak tulisan tentang buku di blog ini.
Berbicara tentang buku, semua orang mungkin tahu sebuah ungkapan, bahwa buku adalah jendela dunia. Masih lekat dalam memori saya, selembar kertas bertuliskan kata mutiara seperti itu di salah satu lemari buku di perpustakaan SMP saya 20 tahun silam. Lalu, sekitar satu jam yang lalu saya membaca semacam kata mutiara juga, bahwa membaca buku secara teratur akan memperpanjang usia.
Meski tentunya batas usia seseorang adalah rahasia Sang Pemilik Alam, saya mungkin termasuk salah satu yang mengangguk setuju dengan kata mutiara tersebut. Paling tidak, membaca buku membuncahkan rasa ingin tahu seseorang, lalu membuat pikirannya bergerak dan berinisiatif melakukan sesuatu. Dan, akhirnya muncul pengharapan dalam dirinya akan sesuatu yang sedang ia kerjakan. Semua hal tadi terinspirasi oleh buku yang ia baca. Benar atau tidak, harapan inilah yang saya yakini membuat seseorang bersemangat untuk melanjutkan hidup.
Di era digital seperti saat ini, sepertinya buku, The Realbook, mendapat saingan yang cukup ketat untuk dibaca. Adalah media sosial. Facebook, terutama dan rasanya masih yang paling populer hingga saat ini. Facebook membuat setiap orang bisa menjadi 'penulis', walaupun saya sepakat bahwa tidak semua tulisan yang mereka unggah itu berkualitas, bahkan kadang hanya sebatas tulisan dangkal dan menyesatkan.
Oleh karenanya, entah mengapa hingga detik ini saya masih menganggap ya hanya buku saja sumber ilmu yang sebenarnya, meski saya juga tidak mengingkari banyak buku yang tak berkualitas dan dangkal isinya. Yang saya yakini, pastilah saat menulis sebuah buku, seorang penulis harus berjuang keras merumuskan gagasan-gagasannya ke dalam bahasa tulis yang baik. Juga, ia seyogyanya paham tentang apa yang dituliskan serta konsekuensinya. Hal seperti ini mungkin tidak sepenuhnya disadari dan dilakukan oleh para 'penulis' di Facebook, kecuali mereka yang memang sudah menyandang predikat penulis buku sebelum media sosial ini lahir dan populer dekade lalu.
Pun, dalam membaca keduanya, ada rasa yang berbeda menurut saya. Saya tetap merasa artikel di sebuah buku itu lebih meyakinkan dibandingkan status yang panjang lebar layaknya sebuah artikel di Facebook. Pendapat subjektif sih, Anda boleh tidak setuju. Apapun itu, tetaplah cerdas dalam membaca, baik buku maupun tulisan-tulisan yang ada di media sosial. Selamat hari buku nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar