Ada yang sengaja saya buat
berbeda dengan cara saya membawakan kuliah di semester genap tahun ajaran ini.
Di dua mata kuliah yang kebetulan saya ampu, saya sengaja tidak menggunakan
bantuan komputer dan software Power Point.
Cukup perangkat sederhana berupa kapur dan papan tulis yang saya pakai untuk
membantu kegiatan perkuliahan.
Mengajar mekanika dengan kapur dan papan tulis saja |
Di era serba digital seperti saat
ini, bagi banyak orang mungkin janggal mengajar suatu kuliah dengan kapur dan
papan tulis saja. Sudah ketinggalan jaman. Nggak
modern. Mungkin itu yang terbesit di benak orang kebanyakan. Tetapi,
ternyata tidak demikian dengan yang ada di luar sana.
Di luar sana, di
universitas-universitas top sekalipun, saya melihat bahwa menggunakan kapur dan
papan tulis sebagai media perkuliahan tampaknya bukanlah sebuah aib, bukan pula
sebuah penghalang mereka -para universitas itu- melaju dan menyodok sebagai
universitas yang berkualitas tinggi.
Ambillah sebuah contoh di Technische Universiteit Delft (TU
Delft), yang menjadi universitas teknik terbesar di Belanda, bahkan salah satu
yang diperhitungkan di Uni Eropa. Hampir di setiap ruang kelasnya, saya melihat
ada papan tulis dan kapur-kapur di sekitarnya. Pastilah, sang dosen akrab
dengan kapur dan papan tulis saat mengajar.
Lalu, pernah pula saya memutar
channel Youtube tentang beberapa perkuliahan di Massachusets Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat, yang
konon menjadi salah satu kiblat universitas teknik di dunia. Pun, di situ sang
profesor yang sedang mengajar tampak asyik menggunakan kapur dan papan tulis,
menyajikan bait-bait ilmu kepada mahasiswanya.
Jujur saja, saya terinspirasi
oleh cara mereka, para profesor dan dosen yang tak diragukan lagi kepakarannya,
namun tetap saja menggunakan 'cara lama' untuk mengajar. Meski demikian, mereka
tetap bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas, yang lalu
melambungkan nama universitas tempat mereka bekerja. Jelas, dari ilustrasi
tentang TU Delft dan MIT tampak tidak adanya korelasi antara cara mengajar yang
dianggap kuno -dengan kapur dan papan tulis- dan kualitas lulusan, atau
reputasi sebuah universitas.
Saya teringat Ir. Arief Darmawan,
salah satu dosen saya di UGM saat S1 dulu. Beliau begitu konsisten menggunakan
kapur dan papan tulis saja untuk mengajar mata kuliah yang menjadi keahlian
beliau, yakni dinamika dan kinematika. Sepanjang semester, saya tak pernah
melihat beliau menggunakan komputer, laptop maupun beamer untuk mengajarkan dua
mata kuliah tersebut. Dan, hebatnya, beliau begitu terampil menggambar di papan
tulis dengan kapur. Saya kagum dengan kemampuan beliau menggambar garis lurus
maupun melengkung tanpa guratan keraguan di papan tulis.
Ya, tentu saja tidak semua mata
kuliah bisa diajarkan cukup dengan kapur dan papan tulis. Bagi saya, kuliah
semacam matematika dan mekanika rasanya memang menyenangkan apabila diajarkan
dengan kapur dan papan tulis. Saat kita menerangkan sesuatu dengan goresan
kapur, kita sebenarnya mengajak mahasiswa belajar bersama, karena kecepatan
kita menulis di papan kurang lebih sama dengan kecepatan mahasiswa menulis di
catatannya.
Pun, dengan cara ini, saya
berharap mahasiswa menjadi aktif mencatat sendiri apa yang tertulis di papan
tulis, bukan hanya pasif menunggu dosen memberikan slide presentasi di akhir
kuliah. Sementara itu, mata kuliah yang menuntut kita atraktif dalam
mengajarnya, misalnya yang penuh dengan teori, gambar-gambar dan penjelasan
rumit, memang lebih baik diajarkan dengan media seperti Power Point atau sejenisnya. Namun, cara ini sebenarnya juga bukan
keharusan. Semua kembali lagi pada sang dosen atau pengajar.
Seperti kata James Bond di akhir cerita film Skyfall, bahwa kadangkala cara lama itu
adalah yang terbaik. Demikian halnya kapur dan papan tulis. Mengajar dengan dua
benda ini adalah cara lama, namun bisa jadi yang terbaik untuk mengajarkan mata
kuliah tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar