Rabu, 10 Mei 2017

Kapur dan Papan Tulis

Ada yang sengaja saya buat berbeda dengan cara saya membawakan kuliah di semester genap tahun ajaran ini. Di dua mata kuliah yang kebetulan saya ampu, saya sengaja tidak menggunakan bantuan komputer dan software Power Point. Cukup perangkat sederhana berupa kapur dan papan tulis yang saya pakai untuk membantu kegiatan perkuliahan. 
Mengajar mekanika dengan kapur dan papan tulis saja
Di era serba digital seperti saat ini, bagi banyak orang mungkin janggal mengajar suatu kuliah dengan kapur dan papan tulis saja. Sudah ketinggalan jaman. Nggak modern. Mungkin itu yang terbesit di benak orang kebanyakan. Tetapi, ternyata tidak demikian dengan yang ada di luar sana.
Di luar sana, di universitas-universitas top sekalipun, saya melihat bahwa menggunakan kapur dan papan tulis sebagai media perkuliahan tampaknya bukanlah sebuah aib, bukan pula sebuah penghalang mereka -para universitas itu- melaju dan menyodok sebagai universitas yang berkualitas tinggi.
Ambillah sebuah contoh di Technische Universiteit Delft (TU Delft), yang menjadi universitas teknik terbesar di Belanda, bahkan salah satu yang diperhitungkan di Uni Eropa. Hampir di setiap ruang kelasnya, saya melihat ada papan tulis dan kapur-kapur di sekitarnya. Pastilah, sang dosen akrab dengan kapur dan papan tulis saat mengajar. 
Lalu, pernah pula saya memutar channel Youtube tentang beberapa perkuliahan di Massachusets Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat, yang konon menjadi salah satu kiblat universitas teknik di dunia. Pun, di situ sang profesor yang sedang mengajar tampak asyik menggunakan kapur dan papan tulis, menyajikan bait-bait ilmu kepada mahasiswanya.
Jujur saja, saya terinspirasi oleh cara mereka, para profesor dan dosen yang tak diragukan lagi kepakarannya, namun tetap saja menggunakan 'cara lama' untuk mengajar. Meski demikian, mereka tetap bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas, yang lalu melambungkan nama universitas tempat mereka bekerja. Jelas, dari ilustrasi tentang TU Delft dan MIT tampak tidak adanya korelasi antara cara mengajar yang dianggap kuno -dengan kapur dan papan tulis- dan kualitas lulusan, atau reputasi sebuah universitas. 
Saya teringat Ir. Arief Darmawan, salah satu dosen saya di UGM saat S1 dulu. Beliau begitu konsisten menggunakan kapur dan papan tulis saja untuk mengajar mata kuliah yang menjadi keahlian beliau, yakni dinamika dan kinematika. Sepanjang semester, saya tak pernah melihat beliau menggunakan komputer, laptop maupun beamer untuk mengajarkan dua mata kuliah tersebut. Dan, hebatnya, beliau begitu terampil menggambar di papan tulis dengan kapur. Saya kagum dengan kemampuan beliau menggambar garis lurus maupun melengkung tanpa guratan keraguan di papan tulis.
Ya, tentu saja tidak semua mata kuliah bisa diajarkan cukup dengan kapur dan papan tulis. Bagi saya, kuliah semacam matematika dan mekanika rasanya memang menyenangkan apabila diajarkan dengan kapur dan papan tulis. Saat kita menerangkan sesuatu dengan goresan kapur, kita sebenarnya mengajak mahasiswa belajar bersama, karena kecepatan kita menulis di papan kurang lebih sama dengan kecepatan mahasiswa menulis di catatannya. 
Pun, dengan cara ini, saya berharap mahasiswa menjadi aktif mencatat sendiri apa yang tertulis di papan tulis, bukan hanya pasif menunggu dosen memberikan slide presentasi di akhir kuliah. Sementara itu, mata kuliah yang menuntut kita atraktif dalam mengajarnya, misalnya yang penuh dengan teori, gambar-gambar dan penjelasan rumit, memang lebih baik diajarkan dengan media seperti Power Point atau sejenisnya. Namun, cara ini sebenarnya juga bukan keharusan. Semua kembali lagi pada sang dosen atau pengajar.
Seperti kata James Bond di akhir cerita film Skyfall, bahwa kadangkala cara lama itu adalah yang terbaik. Demikian halnya kapur dan papan tulis. Mengajar dengan dua benda ini adalah cara lama, namun bisa jadi yang terbaik untuk mengajarkan mata kuliah tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar