Senin, 08 Mei 2017

Berbagi Kisah Menjadi Penulis Pemula

Di awal Mei tahun 2017 ini, saya berkesempatan berbagi kisah dengan para mahasiswa pasca-sarjana Program Studi Teknik Mesin, Universitas Gadjah Mada (UGM). Awalnya, saya sempat ragu menerima undangan yang disampaikan oleh seorang kawan dosen di kampus ini, karena waktu acaranya yang sangat mendadak bagi saya. Singkatnya, siang itu saya ditawari kesempatan berbagi cerita untuk pagi keesokan harinya. Namun, tak berselang lama, cukup beberapa menit saja, saya mengiyakan tawaran tersebut. Yang terbesit dalam pikiran saya, kalau hanya bercerita tentang bagaimana menjadi penulis pemula sebuah artikel di jurnal internasional, saya bisa me-review kisah-kisah yang pernah saya tulis dalam blog ini, lalu saya angkat kembali menjadi sebuah dongeng dalam kemasan yang sedikit berbeda.
Kisah yang saya angkat sesuai dengan permintaan penyelenggara acara -pengurus himpunan mahasiswa pasca-sarjana teknik mesin UGM-, yakni tentang kiat bagaimana menjadi penulis pemula untuk sebuah artikel di jurnal internasional. Serta, bagaimana kiat agar manuskrip yang dibuat bisa tembus di jurnal internasional. Jujur saja, saya sebenarnya tidak punya resep khusus yang bisa saya bagikan dalam dongeng saya nantinya. Pun, saat itu, saya tidak punya waktu panjang untuk mensarikan berbagai tips dan trik yang ada dalam literatur maupun cerita-cerita dari para peneliti dan penulis artikel yang sudah malang melintang di dunia riset dan publikasi ilmiah internasional.
Kesempatan langka, bahkan ini yang pertama kali dalam hidup saya, mendongeng tentang kisah masa lampau yang begitu berkesan dan sulit untuk dilupakan. (Foto oleh: Dr. Muslim Mahardika)
Jadilah, pagi hari sebelum adzan Subuh berkumandang di hari-H saya berkisah, enam lembar slide presentasi berhasil saya tuntaskan, dengan merangkum segala apa yang berkecamuk dalam pikiran saya tentang kisah menjadi penulis pemula. Sebelumnya, cerita tentang menjadi penulis pemula pernah saya singgung di artikel ini. Dalam dongeng saya pagi itu, ada sembilan poin yang saya bisa ceritakan, terkait usaha dan upaya seseorang menjadi penulis artikel untuk jurnal internasional.
Pertama, cerdas bercerita. Menurut saya, teknik menulis artikel di jurnal internasional itu tidak jauh berbeda menulis tulisan ilmiah popular dalam surat kabar, majalah maupun blog. Alur cerita yang ada dalam tulisan harus disusun secara runtut dan menarik, agar disukai pembaca. Dan, siapakah pembaca pertama tulisan kita untuk sebuah jurnal internasional? Adalah editor dan reviewer! Merekalah yang pertama kali menilai apakah manuskrip kita layak untuk diterbitkan dalam jurnal mereka. Oleh karenanya, cerdas bercerita dalam menulis artikel untuk jurnal internasional itu perlu. Alur cerita dalam suatu artikel ilmiah tidak boleh bertele-tele (atau mbulet, dalam bahasa Jawanya), tetapi harus ringkas dan jelas, serta mengasyikan saat dibaca.
Kedua, memperhatikan struktur bahasa. Hendaknya para penulis pemula benar-benar memperhatikan kaidah penulisan yang baku, terutama tentang susunan subjek (S)-predikat (P)-objek (O)-keterangan (K). Meski artikel dalam jurnal internasional itu ditulis dalam bahasa Inggris, aturan S-P-O-K tetap harus digunakan. Hindari penggunaan bahasa informal seperti halnya dalam pesan singkat SMS, Whatsapp maupun percakapan sehari-hari.
Ketiga, bahasa Inggris harus baik. Kemampuan yang baik untuk meramu tulisan dalam bahasa Inggris dalam adalah salah satu syarat mutlak agar manuskrip kita diterima sebagai artikel di suatu jurnal internasional. Dan, bertutur dalam bahasa tulisan selalu lebih sulit daripada dalam bahasa lisan. Lalu, bagaimana bila kemampuan menulis dalam bahasa Inggris kita belum baik? Ya, belajar. Ikuti kursus-kursus yang ada, rajin menulis dan berkonsultasi dengan kawan, mentor maupun pembimbing yang memang sudah berpengalaman menulis artikel ilmiah di jurnal internasional.
Keempat, tekun membaca artikel di jurnal internasional. Kata pepatah, otak kita ini ibarat teko air. Apa yang kita tulis itu sejatinya adalah muntahan dari apa yang kita baca selama ini. Jadi, kalau ternyata tulisan kita itu terasa hampa, bertele-tele dan tidak mendalam analisisnya, bisa berarti kita memang kurang banyak membaca hal-hal yang relevan dengan tulisan kita tadi. Dengan tekun membaca artikel yang relevan dengan apa yang kita tulis, maka tidak hanya materi-materi penting pendukung tulisan kita saja yang bisa kita serap, tetapi juga bagaimana cara mengungkapkan dan memaparkan hasil-hasil penelitian kita ke dalam bahasa tulis yang baik dan tepat.
Kelima, perlu mentor atau pembimbing. Menjadi penulis pemula itu juga bisa diartikan sebagai orang yang belum tahu apa-apa. Makanya janganlah sok tahu, hehehe… Bertanyalah dan bergurulah kepada orang-orang yang kita rasa patut untuk kita timba ilmunya. Mereka adalah para dosen, pembimbing, bahkan rekan sejawat yang sudah berpengalaman menulis jurnal internasional. Mereka yang berpengalaman itu pastilah mempunyai segudang cerita menarik, yang tidak hanya tentang teknis penulisan tetapi juga motivasi yang membuat kita bersemangat dalam menulis. Bahkan, di antara merekapun ada yang tidak segan untuk duduk bersama kita, membicarakan tentang ilmu, penelitian dan tentunya tulisan yang akan dirumuskan untuk menjadi sebuah draft artikel untuk jurnal internasional.
Keenam, perlu kawan yang selalu mendukung dan memotivasi. Lingkungan yang suportif selalu menjadi tempat terbaik untuk belajar, termasuk belajar menulis artikel untuk jurnal internasional. Mengapa harus suportif? Karena di negeri ini, tidak semua lingkungan mau mengakomodir mimpi-mimpi kita menjadi penulis artikel jurnal internasional. Malah sebaliknya, cibiran dan kata-kata nyinyir seringkali muncul dari lingkungan di sekitar kita. Orang yang antusias menulis dan mempromosikan menulis di jurnal internasional tidak jarang malah dicap orang aneh. Jadi, lingkungan yang suportif itu sangat penting. Grup riset yang terdiri dari orang-orang yang sevisi tentang publikasi internasional tentu menjadi ladang yang penuh nutrisi. Juga, jangan lupa menghadirkan pemahaman tentang pentingnya publikasi internasional kepada keluarga terdekat, terutama istri atau suami, agar merekapun mengerti dan tidak segan-segan memberikan energi positifnya kepada kita yang tengah berjuang menjadi penulis artikel yang baik.
Ketujuh, belajarlah dari kesalahan. Rejection atau penolakan atas manuskrip yang kita kirim pada sebuah jurnal internasional adalah hal yang biasa terjadi dan hampir selalu dialami oleh para penulis pemula. Begitu juga, coretan-coretan dari dosen pembimbing pada manuskrip kita adalah hal yang biasa. Sakit hati boleh, tapi jangan lama-lama, hehehe.... Komentar, masukan serta kritik dari reviewer, editor maupun pembimbing pada hakikatnya adalah petunjuk kita untuk belajar, belajar untuk menjadi lebih baik. Kalaupun kita merasa pendapat kita masih lebih baik daripada mereka, maka setidaknya kita belajar untuk bersabar atau belajar untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengan cara yang baik. Beberapa tulisan saya tentang komentar dan kritik dari reviewer maupun pembimbing pernah saya unggah dalam blog ini (lihat posting tentang Cermin dan Coretan-coretan sarat makna). 
Kedelapan, memahami dan mengikuti tatacara penulisan. Salah satu kunci diterimanya manuskrip kita pada jurnal internasional adalah ketaatan kita mengikuti aturan menulis (author guidelines) yang diberikan oleh masing-masing jurnal. Oleh karenanya, sebelum kita akan mengirimkan sebuah manuskrip, pastikan terlebih dahulu kesesuaian tulisan kita dengan tatacara menulis yang telah ditetapkan oleh jurnal yang bersangkutan. Tatacara penulisan ini sangat gampang diakses dan biasanya selalu disediakan dalam bentuk pdf pada website jurnal.
Kesembilan, segera mulai! Kesalahan kita saat akan melakukan sesuatu yang baru umumnya adalah ‘menunda’ untuk memulainya. Demikian juga dalam menulis artikel untuk jurnal internasional. Sebenarnya bukan karena kita kekurangan waktu untuk mengikuti kursus singkat atau pelatihan tentang menulis artikel yang membuat kita tidak berhasil untuk publikasi di jurnal internasional. Namun, kebiasaan kita sendiri untuk menunda yang menjadi penyakit saat mulai menulis. Kita khawatir akan kualitas tulisan kita, padahal menulis saja belum. Kita khawatir tentang grammar bahasa Inggris kita, padahal mencoba menulis satu kalimat saja belum. Oleh karenanya, tidak ada kata lain, selain mulai sekarang juga!
Sembilan poin di atas saya susun berdasarkan pengalaman pribadi saya. Tentu, pembaca boleh setuju atau tidak. Selamat berjuang!

2 komentar:

  1. Maturnuwun mas Budi atas pencerahannya.Benar yang mas ceritakan,penyakitnya sama cara menanganinya sudah ada sisa kembali ke pribadi masing.Gelem opo Nggak.hehhe.salam Midarto Dwi W

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun atas kunjungannya, Mas Midarto. Betul mas, tinggal kita mau apa tidak. Hehehe...

      Salam,
      Budi

      Hapus