Minggu, 28 Mei 2017

Ujian Semester

Ujian akhir semester baru saja dimulai ketika saya menurunkan tulisan ini. Bagi saya, tibanya masa ujian setengah tahunan ini menjadi momen untuk sedikit menenangkan diri dan mengatur kembali ritme kerja, setelah sebelumnya hampir tiap minggu saya harus berjibaku menyiapkan materi perkuliahan dan cara menyampaikannya kepada mahasiswa sebaik-baiknya. Namun, tibanya masa ujian ini bukan berarti pekerjaan akademik yang bertalian dengan aktivitas mengajar telah berakhir. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan: membuat soal ujian dan mengevaluasi hasil ujian mahasiswa.

Barangkali bagi kebanyakan dosen atau guru, membuat soal ujian itu mudah. Nah, yang susah itu mengerjakannya! Begitu kira-kira celoteh seorang kawan yang pernah saya dengar beberapa tahun silam. Namun, bagi saya, ternyata membuat soal ujian tetap merupakan salah satu pekerjaan yang tidak gampang untuk dilakoni.

Saya selalu berpikir lumayan keras ketika akan menuliskan soal ujian untuk mahasiswa. Alasan utamanya, ternyata tidak mudah membuat soal-soal ujian yang benar-benar bisa dijadikan alat evaluasi hasil belajar mahasiswa. Selain itu, ada alasan lain yang sebenarnya sederhana tetapi selalu mengganjal benak saya. Saya tak mau malu sendiri ketika soal yang saya tulis itu salah dan digugat oleh mahasiswa. Jadilah, membuat soal itu ibarat memindahkan batu besar yang merintangi jalan dengan tangan kosong, tanpa bulldozer. Tidak gampang, tapi harus dilakukan, hehehe...

Pernah suatu ketika, dulu sekali, saya benar-benar merasa malu sendiri saat mengetahui ada yang salah dengan soal yang saya berikan kepada mahasiswa. Sebenarnya, mereka tidak protes, apalagi menggugat dengan nada yang keras nan beringas. Malah, yang saya lihat mereka bingung dengan soal yang tidak benar tadi. Rasa kasihan saya membubung begitu tahu ada kesalahan di dalamnya. Sejak itu, saya merasa terpanggil untuk benar-benar serius dan hati-hati dalam membuat soal ujian untuk mahasiswa.

Mengoreksi hasil ujian mahasiswa juga bukan pekerjaan yang mudah menurut saya. Menilai dan mengevaluasi satu per satu lembar jawab mahasiswa menuntut pikiran yang segar untuk melakukannya. Dalam ujian, saya selalu membuat soal yang menuntut mahasiswa untuk mengerjakannya dalam bentuk esai, bukan pilihan ganda. Tujuannya agar pemahaman mereka atas mata kuliah yang dipelajari menjadi lebih baik, terlihat dari cara mereka menguraikan, menganalisis dan menjawab persoalan yang diberikan. Lain halnya dengan pilihan ganda, yang bila saya terapkan untuk mata kuliah ilmu teknik pastilah peluang mahasiswa untuk gambling dalam menjawab persoalan menjadi lebih besar. Semakin parah, bila semua tadi dilakukan tanpa dasar analisis yang benar sesuai dengan ilmu yang dipelajari selama kuliah.

Lewat jawaban esai tadi, tantangan muncul ketika mengoreksi jawaban ujian mahasiswa. Jawaban esai memperkenankan mahasiswa mengerahkan segala pemahamannya atas mata kuliah untuk menjawab soal yang diujikan dan menuangkannya ke dalam segala tulisan, angka, gambar, sketsa maupun segala coretan yang lain pada kertas lembar jawab. Apa yang dijawab oleh seorang mahasiswa sangat mungkin dan bisa berbeda dengan mahasiswa yang lain, sekalipun mereka bermaksud memberikan jawaban akhir yang sama. Akibatnya, dosen penguji yang mengoreksinya haruslah jeli dan hati-hati dalam melihat dan menilai jawaban-jawaban mereka yang cukup variatif. Semua itu untuk menghindari kesalahan dalam memberikan nilai akhir ujian kepada mahasiswa. Proses penilaian seperti ini ternyata sangat melelahkan, apalagi bila jumlah mahasiswa peserta kuliahnya cukup banyak. Namun, apa boleh buat, pekerjaan ini tetap harus dijalani.

Saya terinspirasi dan akhirnya belajar dari dosen pembimbing saya di Delft. Suatu sore, saya ketuk pintu ruangan pembimbing saya tadi, sengaja ingin mengajaknya berdiskusi tentang masalah penelitian yang saya temui di lab. Saya terkejut dalam hati, tatkala saya jumpai pembimbing saya tadi sedang khusyuk berhadapan dengan tumpukan kertas ujian yang penuh dengan coretan-coretan pekerjaan mahasiswanya. Ia tampak tenang dan menikmati pekerjaannya itu -yang menurut saya membosankan, sembari mempersilakan saya masuk dan duduk di dalam ruangannya. 

Ah, dosen sekelas pembimbing saya ini saja masih bisa menikmati proses koreksi ujian. Padahal, saya yang kelas teri dan keilmuannya jauh di bawah pembimbing saya itu tadi seringkali melewatkan 'nikmatnya' proses mengoreksi ujian. Sejak itu, saya seperti disadarkan; bahwa ada tanggung jawab moral yang dipikul seorang dosen atau pengajar kepada mahasiswanya. Tanggung jawab itu tak hanya berupa keharusan ia menyelesaikan perkuliahan, tetapi hingga bagaimana ia menuntaskan proses belajar si mahasiswa sampai pada tahap evaluasinya melalui ujian yang diberikan. Proses mengoreksi ujian yang penuh tantangan dan melelahkan itu hendaknya memang tetap harus dinikmati dan dijalani sebaik-baiknya. Bahkan, jika dalam diri seorang dosen atau guru itu telah melekat jiwa pendidik dan pengajar sejati, pastilah mengoreksi ujian ini adalah sebuah momen yang juga berujung pada kepuasan jiwa, apalagi ketika ia tahu para mahasiswanya benar-benar berhasil memahami dan menguasai ilmu yang ia ajarkan. Semoga saja saya bisa seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar