Ujian akhir semester baru saja dimulai ketika saya menurunkan tulisan
ini. Bagi saya, tibanya masa ujian setengah tahunan ini menjadi momen untuk
sedikit menenangkan diri dan mengatur kembali ritme kerja, setelah sebelumnya
hampir tiap minggu saya harus berjibaku menyiapkan materi perkuliahan dan cara
menyampaikannya kepada mahasiswa sebaik-baiknya. Namun, tibanya masa ujian ini
bukan berarti pekerjaan akademik yang bertalian dengan aktivitas mengajar telah
berakhir. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan: membuat soal ujian dan
mengevaluasi hasil ujian mahasiswa.
Barangkali bagi kebanyakan dosen atau guru, membuat soal ujian itu
mudah. Nah, yang susah itu mengerjakannya! Begitu kira-kira celoteh seorang
kawan yang pernah saya dengar beberapa tahun silam. Namun, bagi saya, ternyata
membuat soal ujian tetap merupakan salah satu pekerjaan yang tidak gampang
untuk dilakoni.
Saya selalu berpikir lumayan keras ketika akan menuliskan soal ujian
untuk mahasiswa. Alasan utamanya, ternyata tidak mudah membuat soal-soal ujian
yang benar-benar bisa dijadikan alat evaluasi hasil belajar mahasiswa. Selain
itu, ada alasan lain yang sebenarnya sederhana tetapi selalu mengganjal benak
saya. Saya tak mau malu sendiri ketika soal yang saya tulis itu salah dan
digugat oleh mahasiswa. Jadilah, membuat soal itu ibarat memindahkan batu besar
yang merintangi jalan dengan tangan kosong, tanpa bulldozer. Tidak gampang, tapi harus dilakukan, hehehe...
Pernah suatu ketika, dulu sekali, saya benar-benar merasa malu sendiri
saat mengetahui ada yang salah dengan soal yang saya berikan kepada mahasiswa.
Sebenarnya, mereka tidak protes, apalagi menggugat dengan nada yang keras nan
beringas. Malah, yang saya lihat mereka bingung dengan soal yang tidak benar
tadi. Rasa kasihan saya membubung begitu tahu ada kesalahan di dalamnya. Sejak
itu, saya merasa terpanggil untuk benar-benar serius dan hati-hati dalam
membuat soal ujian untuk mahasiswa.
Mengoreksi hasil ujian mahasiswa juga bukan pekerjaan yang mudah
menurut saya. Menilai dan mengevaluasi satu per satu lembar jawab mahasiswa
menuntut pikiran yang segar untuk melakukannya. Dalam ujian, saya selalu
membuat soal yang menuntut mahasiswa untuk mengerjakannya dalam bentuk esai,
bukan pilihan ganda. Tujuannya agar pemahaman mereka atas mata kuliah yang
dipelajari menjadi lebih baik, terlihat dari cara mereka menguraikan, menganalisis
dan menjawab persoalan yang diberikan. Lain halnya dengan pilihan ganda, yang
bila saya terapkan untuk mata kuliah ilmu teknik pastilah peluang mahasiswa
untuk gambling dalam menjawab persoalan menjadi lebih besar. Semakin parah,
bila semua tadi dilakukan tanpa dasar analisis yang benar sesuai dengan ilmu
yang dipelajari selama kuliah.
Lewat jawaban esai tadi, tantangan muncul ketika mengoreksi jawaban
ujian mahasiswa. Jawaban esai memperkenankan mahasiswa mengerahkan segala
pemahamannya atas mata kuliah untuk menjawab soal yang diujikan dan
menuangkannya ke dalam segala tulisan, angka, gambar, sketsa maupun segala
coretan yang lain pada kertas lembar jawab. Apa yang dijawab oleh seorang
mahasiswa sangat mungkin dan bisa berbeda dengan mahasiswa yang lain, sekalipun
mereka bermaksud memberikan jawaban akhir yang sama. Akibatnya, dosen penguji
yang mengoreksinya haruslah jeli dan hati-hati dalam melihat dan menilai
jawaban-jawaban mereka yang cukup variatif. Semua itu untuk menghindari
kesalahan dalam memberikan nilai akhir ujian kepada mahasiswa. Proses penilaian
seperti ini ternyata sangat melelahkan, apalagi bila jumlah mahasiswa peserta
kuliahnya cukup banyak. Namun, apa boleh buat, pekerjaan ini tetap harus
dijalani.
Saya terinspirasi dan akhirnya belajar dari dosen pembimbing saya di
Delft. Suatu sore, saya ketuk pintu ruangan pembimbing saya tadi, sengaja ingin
mengajaknya berdiskusi tentang masalah penelitian yang saya temui di lab. Saya
terkejut dalam hati, tatkala saya jumpai pembimbing saya tadi sedang khusyuk
berhadapan dengan tumpukan kertas ujian yang penuh dengan coretan-coretan
pekerjaan mahasiswanya. Ia tampak tenang dan menikmati pekerjaannya itu -yang
menurut saya membosankan, sembari mempersilakan saya masuk dan duduk di dalam
ruangannya.
Ah, dosen sekelas pembimbing saya ini saja masih
bisa menikmati proses koreksi ujian. Padahal, saya yang kelas teri dan
keilmuannya jauh di bawah pembimbing saya itu tadi seringkali melewatkan
'nikmatnya' proses mengoreksi ujian. Sejak itu, saya seperti disadarkan; bahwa
ada tanggung jawab moral yang dipikul seorang dosen atau pengajar kepada mahasiswanya. Tanggung jawab itu tak hanya berupa
keharusan ia menyelesaikan perkuliahan, tetapi hingga bagaimana ia menuntaskan
proses belajar si mahasiswa sampai pada tahap evaluasinya melalui ujian yang
diberikan. Proses mengoreksi ujian yang penuh tantangan dan melelahkan itu
hendaknya memang tetap harus dinikmati dan dijalani sebaik-baiknya. Bahkan,
jika dalam diri seorang dosen atau guru itu telah melekat jiwa pendidik dan
pengajar sejati, pastilah mengoreksi ujian ini adalah sebuah momen yang juga
berujung pada kepuasan jiwa, apalagi ketika ia tahu para mahasiswanya
benar-benar berhasil memahami dan menguasai ilmu yang ia ajarkan. Semoga saja
saya bisa seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar