Kamis, 27 Juli 2017

Top Gun

Bila pembaca menggemari film-film aksi militer ala Holywood, pembaca setidaknya pernah mendengar film yang begitu populer di era tahun 80an. Top Gun. Film yang dirilis tahun 1986 itu dibintangi oleh aktor Tom Cruise semasa mudanya. Film ini berkisah tentang pilot Angkatan Laut Amerika Serikat dengan call-sign ‘Maverick’ (diperankan oleh Tom Cruise) dan rekan-rekannya yang tengah bersaing ketat dalam adu kelincahan menerbangkan F-14 Tomcat. Singkat cerita, Maverick harus kehilangan partner-nya, Goose, yang meregang nyawa saat menjalani sebuah sesi latihan tempur. Kejadian ini membuatnya labil. Hingga suatu ketika, ia akhirnya bisa menerima kepergian Goose, dan kembali lagi menunjukkan prestasinya berlaga dalam pertempuran udara.

Film yang diproduseri oleh Jerry Bruckheimer dan Don Simpson ini konon cukup memukau para penontonnya di masa itu. Sebenarnya alur ceritanya tidaklah terlalu mengesankan, bahkan cenderung biasa saja, dan berbau khas film-film militer ala Holywood, yang selalu menebar kebanggaan dan propaganda akan kehebatan Amerika Serikat. Yang mengesankan dari film ini barangkali adalah aksi Si Tomcat, yang mempertontonkan manuver-manuver lincahnya saat beradu dengan pesawat lawan di udara- walaupun beberapa adegan tentunya diperankan oleh pesawat model. Di film itu, F-14 Tomcat yang berbadan tambun cukup manis dan garang dalam beradu dengan pesawat-pesawat lain yang lebih kecil dan menjadi lawan mainnya, seperti A-4 Skyhawk yang berperan sebagai pesawat aggressor serta F-5 Tiger yang berperan sebagai MiG-28.

Film Top Gun tak ayal menjadi semacam pemantik kemunculan film-film Holywood yang bertema serupa. Sebutlah Iron Eagle, Flight of the Intruder, hingga Stealth di era tahun 2000an. Di Prancis sana, sekitar tahun 2005, dirilis sebuah film bertitel Sky Fighter, yang konon menurut beberapa kawan merupakan adaptasi film dan komik lama: Tanguy and Laverdure. Film ini berkisah tentang pilot-pilot Angkatan Udara Prancis dengan tunggangan andalannya, Mirage 2000. Secara umum, jalan ceritanya pun biasa saja, bahkan malah terkesan rumit dan sulit dicerna dengan hanya sekali menonton saja. Namun, aksi panggung Mirage 2000C dan Mirage 2000D sungguh mengundang decak kagum. Kelincahan pesawat-pesawat bersayap delta ini, berpadu dengan indahnya panorama langit dan pegunungan Eropa yang menjadi latar belakangnya, membuat saya tidak bosan memutar film ini beberapa kali. Di belahan Asia, sekira tahun 2012 lalu, dirilis film Return to Base, yang mengisahkan pilot-pilot Korea Selatan beradu manuver dengan pesawat F-15K Eagle-nya.

Bila ditilik, sebenarnya ada yang menarik dari kemunculan film-film laga udara tadi. Adalah sangat mungkin bahwa film-film ini tidak hanya menjual akting para aktor dan aktrisnya semata, melainkan juga berupaya mempromosikan produk-produk pesawat militernya kepada dunia. Memang, konsumen pesawat tempur bukanlah perorangan, melainkan angkatan bersenjata di suatu negara. Namun, kemunculan pesawat-pesawat tempur itu dalam film, lengkap dengan segala manuver andalannya, setidaknya membuat para penonton terbuai, hingga muncul pikiran bawah sadar penonton betapa hebatnya negara itu (baca: si empunya dan pembuat pesawat itu). Negara tersebut tidak hanya mempunyai pilot-pilot jempolan, tetapi mampu membuat sendiri pesawat-pesawat tempur yang luar biasa kerennya. Hingga, bisa saja, opini publik akan terbentuk dan suatu saat akan ikut menentukan pilihan pemerintahnya dalam memilih suatu jenis pesawat tempur.

Lihat saja, film-film bergenre pesawat tempur besutan Amerika Serikat tidak akan lepas dari sang bintang utama, yang tentu saja adalah produk lokal negara tersebut. Sebut saja, F-14 Tomcat buatan Grumman dan F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics (sekarang Lockheed Martin), yang sudah malang melintang di berbagai film. Siapa yang tak kenal F-16? Orang awam pun banyak yang masih menganggap pesawat tempur itu ya F-16. Juga, kemenangan gemilang F-14 atas MiG-28 dalam akhir film Top Gun seolah mengesankan bahwa pesawat tempur produk Soviet tidak lebih unggul dari produk Amerika; sebuah ciri khas perang media di era Perang Dingin. Belum lama ini, pesawat anyar F-22 Raptor dan F-35 Lightning garapan Lockheed pun sudah tampil dalam beberapa cuil adegan dalam film-film baru, semacam Die Hard 4 dan Transformers. Prancis tak mau ketinggalan. Lewat Sky Fighter, Mirage 2000 gencar ia promosikan. Film Return to Base garapan Korea Selatan memang menggunakan F-15K buatan Boeing, Amerika Serikat, sebagai bintang utama. Tetapi, ada beberapa adegan yang mempertontonkan kejelitaan T-50 Golden Eagle, yang merupakan produk industri lokal Korea Selatan.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Film drama romantis Habibie dan Ainun setidaknya telah menyuguhkan pesawat impian kita dua puluh tahun silam, N-250 yang digarap oleh IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) di Bandung kala itu. Walau berakhir pilu, adegan sejenak tentang pesawat itu rasanya dapat dijadikan media untuk menunjukkan bahwa ada produk pesawat buatan negeri kita sendiri kepada anak muda generasi saat ini. Hmm… ada lagi sebenarnya. Film drama yang disutradarai oleh Norman Benny yang rilis di tahun 1991: Perwira dan Ksatria. Film yang berlatar kehidupan perwira TNI Angkatan Udara ini dibintangi oleh aktor Dede Yusuf semasa mudanya. Dan, dengan bintang tamu sebuah pesawat latih Hawk Mk.53, yang saat itu tergolong baru saja dimiliki oleh Indonesia. Ya, tetapi bagaimanapun juga, unsur promosi pesawat tempur buatan negeri sendiri sebagaimana dalam film Top Gun, Iron Eagle, Sky Fighter maupun Return to Base nampaknya nihil dalam film ini. Sederhana saja alasannya: belum ada produk pesawat tempur yang bisa kita pamerkan dan promosikan. Hingga sekarang, hehehe…

BAe Hawk Mk.53, mantan penghuni Skadron Udara 15 TNI AU. Dulunya pernah berakting dalam film Perwira dan Ksatria.

Selasa, 25 Juli 2017

Peristirahatan Sang Macan

Macan, begitu ia berjuluk. Selalu tampil perkasa dengan taring-taringnya yang lancip di langit nusantara sejak awal dekade 80-an. Ialah sang legenda, yang menggantikan legenda yang lain. Legenda para pencegat di angkasa negeri merah putih. Begitulah cerita Sang Macan, F-5E/F Tiger II. Sejak dilepas dari kandangnya di era tahun 60an, ia menjadi salah satu armada yang kenyang pengalaman bertempur di langit Vietnam. Tak hanya itu, konon ia laku bak kacang goreng di berbagai sudut dunia, meskipun masih tak selaris keluarga MiG-21 Fishbed, pendahulunya di satuan yang sama di republik ini. Bahkan, penerusnya pun saat itu disiapkan, bersalin kode menjadi F-20 dan berjuluk Tigershark. Sayang, jalan takdir tak membuat sang penerus ini langgeng. Namun, auman dan kiprah Sang Macan di langit nusantara selama lebih dari 30 tahun itu konon sulit dilupakan para penerbangnya.
Peristirahatan Sang Legenda, F-5E Tiger II, di salah satu shelter yang dibangun di pelataran Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala, Yogyakarta
Dari 16 Macan yang menjadi pengawal langit nusantara sejak 30 silam, Macan bernomor TS-0503 adalah yang beruntung mendapatkan fasilitas peristirahatan layak. Kemanakah yang lain? Semoga saja tetap disimpan dan dirawat sebaik-baiknya. 
Konon, Skadron Udara 14 adalah sarang para pencegat hebat di tanah air. Mulai dari MiG-21 Fishbed yang melegenda di tahun 60an tetapi berumur teramat pendek, F-86 Avon Sabre di era tahun 70an tetapi teknologinya mundur ke era tahun 50an, hingga akhirnya F-5E/F Tiger II. Entah siapa pengganti Sang Macan, pastinya telah dipertimbangkan bahwa sang pengganti haruslah yang terbaik di waktu ini dan di republik ini sebagaimana para pendahulunya di eranya masing-masing.
Tetapi, usia tak pernah berbohong. Sang Macan harus menemui takdirnya, menjadi armada yang renta dan harus diistirahatkan. Seekor Macan dengan nomor TS-0503 kini telah beristirahat dalam hening di salah satu sudut pelataran Museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.

Minggu, 16 Juli 2017

Bilik-bilik Hati

Ia tersembunyi, jauh di dalam hati. Dimana di tempat itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kuberharap mampu menyimpannya dengan rapih, meski di antaranya ada yang usang dan berdebu, lantaran sang waktu.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kuberharap, dengan sangat, untuk sesekali waktu membukanya, sekedar menuang senyum atau mengurai air mata. Namun, aku sadar, bahwa tak akan ada banyak waktu lagi untuk khusyuk masyuk membacanya lembar demi lembar, hingga bait-bait terakhirnya.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Ia berwarna, beraksara hingga bermakna, walau untuk mencerna dan memahami makna-makna itu butuh waktu yang lama. Bahkan, tak jarang makna-makna itu terlampau sukar, teramat sukar bagiku untuk memahaminya. Hingga tak jarang, berpuluh arang telah patah dan sulit untuk menyambungkannya kembali.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kutemukan, lalu kusimpan berderet teratur hingga berpuluh kitab. Namun, tak sedikit yang isinya tak semakna, tak searah, tak sejalan, tak senada dan tak berujung pada satu jawaban yang kucari, hingga hembusan nafas terakhir pada detik ini. Aku pun tak pernah tahu, bilamana jawaban itu akan hadir, memuaskan tanya di hatiku.

Di bilik-bilik hati itu, bertahun aku berikhtiar, untuk menyimpan sebaik-baiknya kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu. Walau aku pun sadar, tak sedikit kitab yang hilang, lenyap entah kemana. Tak jarang, semua itu akibat kealpaanku, yang lupa untuk menjaga dan gagal mengingat dimana keberadaannya. Lalu, semua itu tertebus pada tak lengkapnya pemahamanku, atas persoalan hidup dan kerumitannya. 

Di bilik-bilik hati itu, kurasa hanya di saat menjelang pagi, saat angin dingin nan sejuk mulai berhembus, barulah aku bisa bertanya. Bertanya dengan leluasa, kepada Sang Penulis isi kitab-kitab itu. Atas kebingunganku, perihal ketidaktahuanku. Sungguh, aku sungguh mengharapkanNya, kehadiranNya, rengkuhanNya. 

Di bilik-bilik hati itu, sekali waktu aku ingin duduk di dalamnya, membersamai kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu. Lalu, memohon kepadaMu, wahai Sang Pemilik Hidup, agar tetap lurus di jalanMu. Juga, agar terjatuh di genggamanku, sebijih kasih sayangMu dan sedebu pertolonganMu. Sekecil itu, pastilah cukup, kerana itu dariMu.

Sabtu, 15 Juli 2017

Tentang Kuliah dan Persiapannya

Jujur saja, bagi saya, mengajar itu bukan perkara mudah. Dua belas tahun silam, saya memutuskan untuk memilih profesi sebagai seorang akademisi. Alasannya simpel, saya ingin bebas dalam berpikir, bebas bergelut dalam lautan gagasan, tulisan maupun karya. Itu saja. "Sesuatu yang rasanya akan langka bila saya terjun di dunia industri," pikir saya waktu itu -walaupun saya tidak yakin pendapat saya ini benar dan pasti bisa disanggah. Saya tahu konsekuensinya. Bekerja di lingkungan akademik tidak akan bisa lepas dengan aktivitas mengajar, yang bagi sebagian orang -termasuk saya- ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Ada alasan tersendiri bagi saya, mengapa mengajar itu tidak mudah. Alasan yang paling mendasar adalah beban moril yang harus ditanggung oleh seorang pengajar. Bagi saya, mengajarkan sesuatu itu harus benar-benar total. Maksudnya, seorang pengajar itu tidak boleh -istilah orang Jawa- jarkoni. Iso ngajar neng ora iso nglakoni. Bisa mengajarkan tetapi tidak bisa melakukannya. Sang pengajar itu harus konsekuen dengan apa-apa yang disampaikannya. Misalnya, bila ia mengajarkan tentang penelitian dan publikasi ilmiah, maka seharusnya ia sudah mempunyai rekam jejak penelitian dan publikasi yang cukup dan baik.
"Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, ..."
Kedua, mengajar itu butuh persiapan yang luar biasa berat. Persiapan pertamanya adalah pemahaman atas materi yang akan diajarkan. Sang pengajar haruslah paham betul apa yang ia sampaikan kepada para audiens atau peserta didiknya. Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, sehingga audiens atau mahasiswa benar-benar teryakinkan bahwa apa yang kita sampaikan itu adalah sebuah kebenaran.

Namun, selain dua hal di atas, yang tak kalah beratnya dalam mengajar sebenarnya adalah persiapan membawakan materi pelajarannya sendiri. Untuk yang satu ini, mental adalah satu hal utama yang harus dipersiapkan. Rasa percaya diri saat tampil sebagai pusat perhatian di depan kelas itu haruslah ada. Lalu, kesiapan mental bila sewaktu-waktu ada pertanyaan tak terduga dari mahasiswa atau peserta kuliah juga harus dipunyai. Tak jarang, kita telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari materi, gaya bicara hingga gesture atau bahasa tubuh yang meyakinkan. Namun, serta merta semuanya itu bisa berantakan, hanya karena seorang mahasiswa menyanggah apa yang kita sampaikan dengan nada yang sedikit ketus.

Rasa gugup atau grogi saat memulai perkuliahan atau pelajaran di kelas sebenarnya adalah hal biasa, yang bisa menjangkiti siapa saja, mulai dari seorang pengajar baru hingga profesor sekalipun. Tak jarang, keringat dingin selalu menyertai dalam situasi yang memang kurang nyaman seperti ini. Namun, sebenarnya dengan persiapan terbaik setidaknya semua itu bisa dikendalikan. Rasa gugup, grogi bahkan takut saat mengajar mungkin akan bisa diredam bila persiapan matang telah kita lakukan.

Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri dalam mempersiapkan diri untuk mengajar. Tidak ada yang hebat pada diri seseorang yang bisa mempersiapkan diri dengan kilat, karena proses persiapan itu melekat pada karakter dan kemampuan masing-masing pengajar. Saya termasuk orang yang tidak setuju bila ada yang berkata bahwa mengajar esok hari bisa disiapkan malam nanti, pakai sistem kebut semalam (sks), sementara pengalaman mengajar mata kuliah yang harus diajarkan itu masih nihil. Persiapan yang asal-asalan sama saja tidak mencerminkan sifat pembelajar sejati, yang sudah seyogyanya harus dimiliki oleh seorang pengajar.

Akhir kata, selamat menikmati proses menyiapkan kuliah, pelajaran atau apapun yang akan pembaca sampaikan kepada mahasiswa, peserta didik atau siapapun audiens Anda. Saya yakin, persiapan yang baik yang didahului dengan proses penyiapan yang tidak instan akan selalu berbuah pada keberkahan dari ilmu atau apapun yang kita sampaikan.

Minggu, 02 Juli 2017

Perihal Motivasi Menulis

Masih tentang sebuah dongeng, yang sempat saya ceritakan dalam pelatihan menulis artikel untuk jurnal internasional di awal bulan Mei 2017 lalu, di Program Pasca-sarjana Teknik Mesin UGM. 

Sebelumnya, salah satu bagian dari rangkaian dongeng dalam pelatihan tadi pernah saya angkat dalam sebuah tulisan di blog ini. Yakni, tentang kiat menembus publikasi di jurnal internasional. Simak tulisannya di sini.

Berbagi cerita dalam pelatihan menulis publikasi internasional, Keluarga Mahasiswa Pasca-Sarjana Teknik Mesin UGM, Mei 2017 (Foto: Dr. Muslim Mahardika)
Kali ini, saya ingin mundur sedikit, mengulas tentang motivasi menulis artikel di jurnal internasional. Ialah motivasi, yang menjadi setumpuk alasan mengapa kita akhirnya harus berjibaku dan berikhtiar, serta berdoa dengan penuh harap, agar manuskrip kita lolos dan dapat dipublikasikan di jurnal internasional.

Bila kita telisik, setidaknya ada sembilan hal yang bisa kita gunakan untuk memantik semangat kita dalam menulis sebuah artikel di jurnal internasional.

Pertama, membagi ilmu dan temuan kita kepada khalayak atau rekan sejawat di lingkup dunia internasional
Barangkali inilah motivasi paling luhur yang bisa kita jadikan pemantik semangat untuk menulis artikel di jurnal internasional. Setelah kita bergulat dengan riset, eksperimen dan akhirnya menemukan sesuatu serta mendapatkan suatu ilmu darinya, maka hendaknya ilmu yang kita peroleh itu dibagikan. Sang Pemilik Alam pun menyuruh kita demikian. Agar ilmu itu berkah, agar ilmu itu berkembang dan membawa kemanfaatan dan rahmat bagi sekalian alam, maka membagikannya adalah suatu tindakan yang teramat mulia. Menuliskan hasil-hasil penelitian dan analisis kita hingga menjadi sebuah artikel di jurnal internasional barangkali adalah upaya menerjemahkan perintah dari Sang Pemilik Ilmu itu. Meraih keberkahan dari suatu ilmu, tentu saja harus diiringi sebuah keyakinan, bahwa ilmu itu haruslah dapat berkembang terus. Dan, satu-satunya jalan agar ia berkembang, maka ia harus menjadi bahan bakar untuk mesin-mesin riset lain yang bersesuaian. Adalah para audiens atau rekan sejawat kita sendiri yang menjadi metafor mesin-mesin di atas; yakni mereka yang sebidang, mereka yang mempunyai research interest yang sama, mereka yang secara berlanjut akan mengonsumsi temuan-temuan kita, lalu menggunakannya kembali sebagai rujukan untuk penelitian kita selanjutnya. Dan, tentu saja, semakin luas audiens artikel kita, semakin besar peluang ilmu yang berasal dari temuan-temuan kita tadi dapat dimanfaatkan.

Kedua, kontribusi pada perkembangan suatu ilmu
Publikasi ilmiah merupakan salah satu tonggak penanda sampai dimana perkembangan suatu bidang ilmu telah dicapai. Ia adalah sebuah catatan ilmiah, rekam jejak yang terstruktur, yang nantinya menjadi warisan ilmu bagi generasi mendatang. Bayangkan, bila sama sekali tak ada catatan ilmiah tentang suatu ilmu. Bayangkan, sebagai contoh, bila Issac Newton dulu tak menulis tentang konsep mekanika hasil pemikiran, eksperimen dan analisisnya. Tentu sulit bagi para ilmuwan, peneliti bahkan para insinyur hingga guru dan siswa di zaman sekarang untuk belajar tentang alam dan ilmu fisika. Setiap dari mereka lantas harus memulai lagi, belajar lagi dari awal, tentang fisika dan mekanika; yang itu semua membutuhkan waktu lama dan momen-momen pendukung yang belum tentu berulang. Apel yang jatuh di kepala Issac Newton beberapa abad yang lalu mungkin saja bisa berulang di kepala kita. Tetapi belum tentu dari kepala kita meletup pertanyaan tentang gravitasi, sebagaimana yang Newton pikirkan. Bahkan, kalaupun terpikirkan, mungkin analisis kita tidaklah sebaik Newton, yang memang telah ditakdirkan olehNya sebagai jalan turunnya ilmu tentang gravitasi. Sejurus dengan itu, lewat publikasi ilmiah, kontribusi nyata para ilmuwan manapun pada perkembangan sains dan teknologi itu dihadirkan. Kini bukan lagi berbentuk catatan dan coretan-coretan yang memang bisa berujung pada sebuah teori, sebagaimana yang ada pada log-book atau sejenisnya. Melainkan, kini, berbentuk sebuah artikel yang terstruktur, hingga pembaca tidak kesulitan mencerna dan mempergunakan isinya untuk mengembangkan bidang ilmu yang sedang ditekuni. Dan, sekali lagi, ketika kita bisa mempublikasikan temuan-temuan kita tadi, berarti kitapun telah menjadi kontributor dalam pengembangan ilmu yang kita tekuni.

Ketiga, mengangkat nama Indonesia dalam kancah keilmuan di tingkat internasional
Suka atau tidak, publikasi internasional saat ini ternyata telah menjadi salah satu tolok ukur penguasaan iptek dan kesuksesan akademik di suatu negara di kancah internasional. Sebagai gambaran, silakan tengok situs Scimago, yang berisi data tentang jumlah publikasi ilmiah internasional negara-negara di dunia. Tampak di sana,  negara-negara yang produktif dalam menghasilkan artikel ilmiah internasional adalah mereka yang selama ini kita anggap maju ipteknya; hingga akhirnya menjadi tujuan kita untuk melanjutkan studi, seperti Amerika Serikat, Jepang, negara-negara di Eropa Barat, dsb. Di negara-negara itu, pondasi kebijakan pengembangan ilmu pengetahuannya telah kokoh dan matang. Kultur akademiknya jelas, hingga para peneliti, ilmuwan maupun mahasiswa dihargai eksistensinya. Bagaimana dengan posisi Indonesia? Tengok saja di situs tersebut. Saya pernah menulis sebuah catatan pendek tentang posisi Indonesia dalam daftar yang dirilis Scimago di blog ini lima tahun silam. Silakan pembaca mengunjunginya melalui tautan berikut ini

Keempat, menaikkan indeks sitasi
Indeks sitasi adalah salah satu indikator riil kebermanfaatan dari sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam suatu jurnal. Semakin tinggi indeks sitasi kita berarti semakin banyak artikel kita yang dirujuk oleh artikel-artikel lain yang ditulis peneliti lain. Sehingga, simpelnya, semakin banyak dan berbobot publikasi internasional kita, semakin banyak peneliti lain yang menjadikan tulisan-tulisan kita tadi sebagai rujukan. Akhirnya, berimbas pula pada kenaikan indeks sitasi kita.

Kelima, syarat mendapatkan hibah penelitian dan insentif
Beberapa tahun terakhir, publikasi ilmiah di jurnal internasional telah dijadikan syarat untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian. Konon, DIKTI telah mensyaratkan indeks sitasi minimum (yang dinyatakan dalam H-indeks) untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian dengan dana negara. Mengingat publikasi di jurnal internasional adalah cara jitu untuk mendongkrak indeks sitasi, maka syarat mendapatkan hibah atau insentif ini juga dapat dijadikan motivasi untuk menulis artikel di jurnal internasional. Perihal lain, pada saat mengirimkan sebuah proposal penelitian, melampirkan daftar publikasi ilmiah yang membentuk serangkaian 'alur cerita' tentang topik penelitian yang relevan akan lebih meyakinkan reviewer. Dengan cara ini, reviewer menjadi tahu keseriusan dan kekonsistenan kita dalam meneliti. Apalagi, bila itu semua dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional yang memang sudah mempunyai reputasi baik di bidang penelitian yang bersangkutan.

Keenam, bekal untuk studi lanjut
Studi lanjut, terutama ke jenjang doktoral atau S3, sangat menekankan pada kemampuan mahasiswanya untuk melakukan penelitian. Meski ada dosen pembimbing, di jenjang ini, mahasiswa dilatih melakukan penelitian mandiri, bekerja dengan gagasan-gagasannya sendiri hingga akhirnya berbuah pada publikasi ilmiah di jurnal-jurnal yang berkualitas sebagai output-nya. Meski tidak disyaratkan, belajar menjalankan suatu proyek penelitian dan menuliskan hasil-hasilnya menjadi sebuah publikasi ilmiah sebelum studi lanjut di tingkat doktoral akan sangat membantu calon mahasiswa yang bersangkutan. Tidak hanya pada saat menjalani kehidupan akademik sebagai kandidat doktor, tetapi juga pada saat melamar program doktoral di suatu universitas dan/atau beasiswa yang dipakai untuk membiayai studi nantinya. Publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa kita memang serius ingin melanjutkan studi doktoral. Kita juga satu langkah lebih awal; setidaknya telah mengerti bagaimana sistematika sebuah artikel di jurnal internasional. Tentang hal ini, saya juga pernah menulis pengalaman saya sendiri dalam tulisan berikut.

Ketujuh, memenuhi syarat untuk lulus 
Seperti yang telah disinggung dalam motivasi nomor enam, bahwa publikasi ilmiah adalah output atau luaran riil dari sebuah rangkaian aktivitas akademik seorang mahasiswa doktoral. Di universitas-universitas besar di dunia, publikasi di jurnal internasional adalah suatu keharusan bila sang mahasiswa ingin lulus. Bahkan, beberapa universitas di Indonesia pun mulai menerapkan aturan seperti ini. Sementara itu, berapa jumlah minimum artikel yang harus dipublikasikan di jurnal internasional bergantung pada kebijakan masing-masing universitas atau dosen pembimbing penelitian dan disertasi. 

Kedelapan, memenuhi aturan kenpangkatan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan kepangkatan profesi dosen (atau mungkin juga peneliti) di Indonesia mensyaratkan publikasi ilmiah sebagai salah satu komponen yang diperhitungkan dalam proses kenaikan pangkat seorang dosen atau peneliti. Konon, menurut beberapa kawan, pemerintah melalui DIKTI menetapkan bahwa publikasi di jurnal internasional di jurnal bereputasi baik kini mendapatkan porsi penilaian yang cukup besar. Bagi pembaca yang tertarik mendalami tentang aturan kepangkatan dan publikasi ilmiah, silakan menengok kembali aturan-aturan DIKTI tentang hal ini.

Kesembilan, kepuasan diri
Rasanya tidak ada motivasi yang paling personal dalam menulis publikasi internasional selain kepuasan diri. Ketika motivasi ini menyeruak, tidak ada lagi alasan kita merasa lelah dan kecewa berlarut-larut tatkala berulang kali naskah publikasi kita ditolak oleh editor di suatu jurnal internasional. Percaya saja, menulis di jurnal internasional itu memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Dan, bila nantinya naskah kita diterima dan akhirnya dipublikasikan, rasa lelah itu seketika sirna, berganti dengan kelegaan dan kepuasan. Bagi yang baru pertama kali mendapatkan naskahnya dipublikasikan, ada perasaan berhasil menjebol tembok besar yang selama ini bergambar mural bernada pesimistis, seakan berkata bahwa kita tak akan mampu menembus publikasi di jurnal internasional. Namun, seketika itu juga, tembok itu bisa jebol setelah artikel kita diterbitkan di jurnal internasional untuk pertama kalinya. Ada rasa puas. Tentang hal ini, saya juga pernah menuliskan pengalaman saya lewat tautan berikut ini.

Epilog. Demikan, saya cukupkan sampai di sini sembilan motivasi menulis publikasi di jurnal internasional. Tentu, pembaca masih dapat menggali lebih banyak motivasi, yang tentunya lebih sesuai dengan diri pembaca sendiri.