Jujur saja, bagi saya, mengajar itu bukan perkara mudah. Dua belas tahun silam, saya memutuskan untuk memilih profesi sebagai seorang akademisi. Alasannya simpel, saya ingin bebas dalam berpikir, bebas bergelut dalam lautan gagasan, tulisan maupun karya. Itu saja. "Sesuatu yang rasanya akan langka bila saya terjun di dunia industri," pikir saya waktu itu -walaupun saya tidak yakin pendapat saya ini benar dan pasti bisa disanggah. Saya tahu konsekuensinya. Bekerja di lingkungan akademik tidak akan bisa lepas dengan aktivitas mengajar, yang bagi sebagian orang -termasuk saya- ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Ada alasan tersendiri bagi saya, mengapa mengajar itu tidak mudah. Alasan yang paling mendasar adalah beban moril yang harus ditanggung oleh seorang pengajar. Bagi saya, mengajarkan sesuatu itu harus benar-benar total. Maksudnya, seorang pengajar itu tidak boleh -istilah orang Jawa- jarkoni. Iso ngajar neng ora iso nglakoni. Bisa mengajarkan tetapi tidak bisa melakukannya. Sang pengajar itu harus konsekuen dengan apa-apa yang disampaikannya. Misalnya, bila ia mengajarkan tentang penelitian dan publikasi ilmiah, maka seharusnya ia sudah mempunyai rekam jejak penelitian dan publikasi yang cukup dan baik.
"Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, ..."
Kedua, mengajar itu butuh persiapan yang luar biasa berat. Persiapan pertamanya adalah pemahaman atas materi yang akan diajarkan. Sang pengajar haruslah paham betul apa yang ia sampaikan kepada para audiens atau peserta didiknya. Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, sehingga audiens atau mahasiswa benar-benar teryakinkan bahwa apa yang kita sampaikan itu adalah sebuah kebenaran.
Namun, selain dua hal di atas, yang tak kalah beratnya dalam mengajar sebenarnya adalah persiapan membawakan materi pelajarannya sendiri. Untuk yang satu ini, mental adalah satu hal utama yang harus dipersiapkan. Rasa percaya diri saat tampil sebagai pusat perhatian di depan kelas itu haruslah ada. Lalu, kesiapan mental bila sewaktu-waktu ada pertanyaan tak terduga dari mahasiswa atau peserta kuliah juga harus dipunyai. Tak jarang, kita telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari materi, gaya bicara hingga gesture atau bahasa tubuh yang meyakinkan. Namun, serta merta semuanya itu bisa berantakan, hanya karena seorang mahasiswa menyanggah apa yang kita sampaikan dengan nada yang sedikit ketus.
Rasa gugup atau grogi saat memulai perkuliahan atau pelajaran di kelas sebenarnya adalah hal biasa, yang bisa menjangkiti siapa saja, mulai dari seorang pengajar baru hingga profesor sekalipun. Tak jarang, keringat dingin selalu menyertai dalam situasi yang memang kurang nyaman seperti ini. Namun, sebenarnya dengan persiapan terbaik setidaknya semua itu bisa dikendalikan. Rasa gugup, grogi bahkan takut saat mengajar mungkin akan bisa diredam bila persiapan matang telah kita lakukan.
Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri dalam mempersiapkan diri untuk mengajar. Tidak ada yang hebat pada diri seseorang yang bisa mempersiapkan diri dengan kilat, karena proses persiapan itu melekat pada karakter dan kemampuan masing-masing pengajar. Saya termasuk orang yang tidak setuju bila ada yang berkata bahwa mengajar esok hari bisa disiapkan malam nanti, pakai sistem kebut semalam (sks), sementara pengalaman mengajar mata kuliah yang harus diajarkan itu masih nihil. Persiapan yang asal-asalan sama saja tidak mencerminkan sifat pembelajar sejati, yang sudah seyogyanya harus dimiliki oleh seorang pengajar.
Akhir kata, selamat menikmati proses menyiapkan kuliah, pelajaran atau apapun yang akan pembaca sampaikan kepada mahasiswa, peserta didik atau siapapun audiens Anda. Saya yakin, persiapan yang baik yang didahului dengan proses penyiapan yang tidak instan akan selalu berbuah pada keberkahan dari ilmu atau apapun yang kita sampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar