Masih tentang sebuah dongeng, yang sempat saya ceritakan dalam pelatihan menulis artikel untuk jurnal internasional di awal bulan Mei 2017 lalu, di Program Pasca-sarjana Teknik Mesin UGM.
Sebelumnya, salah satu bagian dari rangkaian dongeng dalam pelatihan tadi pernah saya angkat dalam sebuah tulisan di blog ini. Yakni, tentang kiat menembus publikasi di jurnal internasional. Simak tulisannya di sini.
Berbagi cerita dalam pelatihan menulis publikasi internasional, Keluarga Mahasiswa Pasca-Sarjana Teknik Mesin UGM, Mei 2017 (Foto: Dr. Muslim Mahardika)
|
Bila kita telisik, setidaknya ada sembilan hal yang bisa kita gunakan untuk memantik semangat kita dalam menulis sebuah artikel di jurnal internasional.
Pertama, membagi ilmu dan temuan kita kepada khalayak atau rekan sejawat di lingkup dunia internasional
Barangkali inilah motivasi paling luhur yang bisa kita jadikan pemantik semangat untuk menulis artikel di jurnal internasional. Setelah kita bergulat dengan riset, eksperimen dan akhirnya menemukan sesuatu serta mendapatkan suatu ilmu darinya, maka hendaknya ilmu yang kita peroleh itu dibagikan. Sang Pemilik Alam pun menyuruh kita demikian. Agar ilmu itu berkah, agar ilmu itu berkembang dan membawa kemanfaatan dan rahmat bagi sekalian alam, maka membagikannya adalah suatu tindakan yang teramat mulia. Menuliskan hasil-hasil penelitian dan analisis kita hingga menjadi sebuah artikel di jurnal internasional barangkali adalah upaya menerjemahkan perintah dari Sang Pemilik Ilmu itu. Meraih keberkahan dari suatu ilmu, tentu saja harus diiringi sebuah keyakinan, bahwa ilmu itu haruslah dapat berkembang terus. Dan, satu-satunya jalan agar ia berkembang, maka ia harus menjadi bahan bakar untuk mesin-mesin riset lain yang bersesuaian. Adalah para audiens atau rekan sejawat kita sendiri yang menjadi metafor mesin-mesin di atas; yakni mereka yang sebidang, mereka yang mempunyai research interest yang sama, mereka yang secara berlanjut akan mengonsumsi temuan-temuan kita, lalu menggunakannya kembali sebagai rujukan untuk penelitian kita selanjutnya. Dan, tentu saja, semakin luas audiens artikel kita, semakin besar peluang ilmu yang berasal dari temuan-temuan kita tadi dapat dimanfaatkan.
Kedua, kontribusi pada perkembangan suatu ilmu
Publikasi ilmiah merupakan salah satu tonggak penanda sampai dimana perkembangan suatu bidang ilmu telah dicapai. Ia adalah sebuah catatan ilmiah, rekam jejak yang terstruktur, yang nantinya menjadi warisan ilmu bagi generasi mendatang. Bayangkan, bila sama sekali tak ada catatan ilmiah tentang suatu ilmu. Bayangkan, sebagai contoh, bila Issac Newton dulu tak menulis tentang konsep mekanika hasil pemikiran, eksperimen dan analisisnya. Tentu sulit bagi para ilmuwan, peneliti bahkan para insinyur hingga guru dan siswa di zaman sekarang untuk belajar tentang alam dan ilmu fisika. Setiap dari mereka lantas harus memulai lagi, belajar lagi dari awal, tentang fisika dan mekanika; yang itu semua membutuhkan waktu lama dan momen-momen pendukung yang belum tentu berulang. Apel yang jatuh di kepala Issac Newton beberapa abad yang lalu mungkin saja bisa berulang di kepala kita. Tetapi belum tentu dari kepala kita meletup pertanyaan tentang gravitasi, sebagaimana yang Newton pikirkan. Bahkan, kalaupun terpikirkan, mungkin analisis kita tidaklah sebaik Newton, yang memang telah ditakdirkan olehNya sebagai jalan turunnya ilmu tentang gravitasi. Sejurus dengan itu, lewat publikasi ilmiah, kontribusi nyata para ilmuwan manapun pada perkembangan sains dan teknologi itu dihadirkan. Kini bukan lagi berbentuk catatan dan coretan-coretan yang memang bisa berujung pada sebuah teori, sebagaimana yang ada pada log-book atau sejenisnya. Melainkan, kini, berbentuk sebuah artikel yang terstruktur, hingga pembaca tidak kesulitan mencerna dan mempergunakan isinya untuk mengembangkan bidang ilmu yang sedang ditekuni. Dan, sekali lagi, ketika kita bisa mempublikasikan temuan-temuan kita tadi, berarti kitapun telah menjadi kontributor dalam pengembangan ilmu yang kita tekuni.
Ketiga, mengangkat nama Indonesia dalam kancah keilmuan di tingkat internasional
Suka atau tidak, publikasi internasional saat ini ternyata telah menjadi salah satu tolok ukur penguasaan iptek dan kesuksesan akademik di suatu negara di kancah internasional. Sebagai gambaran, silakan tengok situs Scimago, yang berisi data tentang jumlah publikasi ilmiah internasional negara-negara di dunia. Tampak di sana, negara-negara yang produktif dalam menghasilkan artikel ilmiah internasional adalah mereka yang selama ini kita anggap maju ipteknya; hingga akhirnya menjadi tujuan kita untuk melanjutkan studi, seperti Amerika Serikat, Jepang, negara-negara di Eropa Barat, dsb. Di negara-negara itu, pondasi kebijakan pengembangan ilmu pengetahuannya telah kokoh dan matang. Kultur akademiknya jelas, hingga para peneliti, ilmuwan maupun mahasiswa dihargai eksistensinya. Bagaimana dengan posisi Indonesia? Tengok saja di situs tersebut. Saya pernah menulis sebuah catatan pendek tentang posisi Indonesia dalam daftar yang dirilis Scimago di blog ini lima tahun silam. Silakan pembaca mengunjunginya melalui tautan berikut ini.
Keempat, menaikkan indeks sitasi
Indeks sitasi adalah salah satu indikator riil kebermanfaatan dari sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam suatu jurnal. Semakin tinggi indeks sitasi kita berarti semakin banyak artikel kita yang dirujuk oleh artikel-artikel lain yang ditulis peneliti lain. Sehingga, simpelnya, semakin banyak dan berbobot publikasi internasional kita, semakin banyak peneliti lain yang menjadikan tulisan-tulisan kita tadi sebagai rujukan. Akhirnya, berimbas pula pada kenaikan indeks sitasi kita.
Kelima, syarat mendapatkan hibah penelitian dan insentif
Beberapa tahun terakhir, publikasi ilmiah di jurnal internasional telah dijadikan syarat untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian. Konon, DIKTI telah mensyaratkan indeks sitasi minimum (yang dinyatakan dalam H-indeks) untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian dengan dana negara. Mengingat publikasi di jurnal internasional adalah cara jitu untuk mendongkrak indeks sitasi, maka syarat mendapatkan hibah atau insentif ini juga dapat dijadikan motivasi untuk menulis artikel di jurnal internasional. Perihal lain, pada saat mengirimkan sebuah proposal penelitian, melampirkan daftar publikasi ilmiah yang membentuk serangkaian 'alur cerita' tentang topik penelitian yang relevan akan lebih meyakinkan reviewer. Dengan cara ini, reviewer menjadi tahu keseriusan dan kekonsistenan kita dalam meneliti. Apalagi, bila itu semua dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional yang memang sudah mempunyai reputasi baik di bidang penelitian yang bersangkutan.
Keenam, bekal untuk studi lanjut
Studi lanjut, terutama ke jenjang doktoral atau S3, sangat menekankan pada kemampuan mahasiswanya untuk melakukan penelitian. Meski ada dosen pembimbing, di jenjang ini, mahasiswa dilatih melakukan penelitian mandiri, bekerja dengan gagasan-gagasannya sendiri hingga akhirnya berbuah pada publikasi ilmiah di jurnal-jurnal yang berkualitas sebagai output-nya. Meski tidak disyaratkan, belajar menjalankan suatu proyek penelitian dan menuliskan hasil-hasilnya menjadi sebuah publikasi ilmiah sebelum studi lanjut di tingkat doktoral akan sangat membantu calon mahasiswa yang bersangkutan. Tidak hanya pada saat menjalani kehidupan akademik sebagai kandidat doktor, tetapi juga pada saat melamar program doktoral di suatu universitas dan/atau beasiswa yang dipakai untuk membiayai studi nantinya. Publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa kita memang serius ingin melanjutkan studi doktoral. Kita juga satu langkah lebih awal; setidaknya telah mengerti bagaimana sistematika sebuah artikel di jurnal internasional. Tentang hal ini, saya juga pernah menulis pengalaman saya sendiri dalam tulisan berikut.
Ketujuh, memenuhi syarat untuk lulus
Seperti yang telah disinggung dalam motivasi nomor enam, bahwa publikasi ilmiah adalah output atau luaran riil dari sebuah rangkaian aktivitas akademik seorang mahasiswa doktoral. Di universitas-universitas besar di dunia, publikasi di jurnal internasional adalah suatu keharusan bila sang mahasiswa ingin lulus. Bahkan, beberapa universitas di Indonesia pun mulai menerapkan aturan seperti ini. Sementara itu, berapa jumlah minimum artikel yang harus dipublikasikan di jurnal internasional bergantung pada kebijakan masing-masing universitas atau dosen pembimbing penelitian dan disertasi.
Kedelapan, memenuhi aturan kenpangkatan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan kepangkatan profesi dosen (atau mungkin juga peneliti) di Indonesia mensyaratkan publikasi ilmiah sebagai salah satu komponen yang diperhitungkan dalam proses kenaikan pangkat seorang dosen atau peneliti. Konon, menurut beberapa kawan, pemerintah melalui DIKTI menetapkan bahwa publikasi di jurnal internasional di jurnal bereputasi baik kini mendapatkan porsi penilaian yang cukup besar. Bagi pembaca yang tertarik mendalami tentang aturan kepangkatan dan publikasi ilmiah, silakan menengok kembali aturan-aturan DIKTI tentang hal ini.
Kesembilan, kepuasan diri
Rasanya tidak ada motivasi yang paling personal dalam menulis publikasi internasional selain kepuasan diri. Ketika motivasi ini menyeruak, tidak ada lagi alasan kita merasa lelah dan kecewa berlarut-larut tatkala berulang kali naskah publikasi kita ditolak oleh editor di suatu jurnal internasional. Percaya saja, menulis di jurnal internasional itu memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Dan, bila nantinya naskah kita diterima dan akhirnya dipublikasikan, rasa lelah itu seketika sirna, berganti dengan kelegaan dan kepuasan. Bagi yang baru pertama kali mendapatkan naskahnya dipublikasikan, ada perasaan berhasil menjebol tembok besar yang selama ini bergambar mural bernada pesimistis, seakan berkata bahwa kita tak akan mampu menembus publikasi di jurnal internasional. Namun, seketika itu juga, tembok itu bisa jebol setelah artikel kita diterbitkan di jurnal internasional untuk pertama kalinya. Ada rasa puas. Tentang hal ini, saya juga pernah menuliskan pengalaman saya lewat tautan berikut ini.
Epilog. Demikan, saya cukupkan sampai di sini sembilan motivasi menulis publikasi di jurnal internasional. Tentu, pembaca masih dapat menggali lebih banyak motivasi, yang tentunya lebih sesuai dengan diri pembaca sendiri.
Mantap, suwun motivasinya Pak Budi.
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung, Mas Faris. Sukses selalu ya..
Hapus