Kamis, 27 Juli 2017

Top Gun

Bila pembaca menggemari film-film aksi militer ala Holywood, pembaca setidaknya pernah mendengar film yang begitu populer di era tahun 80an. Top Gun. Film yang dirilis tahun 1986 itu dibintangi oleh aktor Tom Cruise semasa mudanya. Film ini berkisah tentang pilot Angkatan Laut Amerika Serikat dengan call-sign ‘Maverick’ (diperankan oleh Tom Cruise) dan rekan-rekannya yang tengah bersaing ketat dalam adu kelincahan menerbangkan F-14 Tomcat. Singkat cerita, Maverick harus kehilangan partner-nya, Goose, yang meregang nyawa saat menjalani sebuah sesi latihan tempur. Kejadian ini membuatnya labil. Hingga suatu ketika, ia akhirnya bisa menerima kepergian Goose, dan kembali lagi menunjukkan prestasinya berlaga dalam pertempuran udara.

Film yang diproduseri oleh Jerry Bruckheimer dan Don Simpson ini konon cukup memukau para penontonnya di masa itu. Sebenarnya alur ceritanya tidaklah terlalu mengesankan, bahkan cenderung biasa saja, dan berbau khas film-film militer ala Holywood, yang selalu menebar kebanggaan dan propaganda akan kehebatan Amerika Serikat. Yang mengesankan dari film ini barangkali adalah aksi Si Tomcat, yang mempertontonkan manuver-manuver lincahnya saat beradu dengan pesawat lawan di udara- walaupun beberapa adegan tentunya diperankan oleh pesawat model. Di film itu, F-14 Tomcat yang berbadan tambun cukup manis dan garang dalam beradu dengan pesawat-pesawat lain yang lebih kecil dan menjadi lawan mainnya, seperti A-4 Skyhawk yang berperan sebagai pesawat aggressor serta F-5 Tiger yang berperan sebagai MiG-28.

Film Top Gun tak ayal menjadi semacam pemantik kemunculan film-film Holywood yang bertema serupa. Sebutlah Iron Eagle, Flight of the Intruder, hingga Stealth di era tahun 2000an. Di Prancis sana, sekitar tahun 2005, dirilis sebuah film bertitel Sky Fighter, yang konon menurut beberapa kawan merupakan adaptasi film dan komik lama: Tanguy and Laverdure. Film ini berkisah tentang pilot-pilot Angkatan Udara Prancis dengan tunggangan andalannya, Mirage 2000. Secara umum, jalan ceritanya pun biasa saja, bahkan malah terkesan rumit dan sulit dicerna dengan hanya sekali menonton saja. Namun, aksi panggung Mirage 2000C dan Mirage 2000D sungguh mengundang decak kagum. Kelincahan pesawat-pesawat bersayap delta ini, berpadu dengan indahnya panorama langit dan pegunungan Eropa yang menjadi latar belakangnya, membuat saya tidak bosan memutar film ini beberapa kali. Di belahan Asia, sekira tahun 2012 lalu, dirilis film Return to Base, yang mengisahkan pilot-pilot Korea Selatan beradu manuver dengan pesawat F-15K Eagle-nya.

Bila ditilik, sebenarnya ada yang menarik dari kemunculan film-film laga udara tadi. Adalah sangat mungkin bahwa film-film ini tidak hanya menjual akting para aktor dan aktrisnya semata, melainkan juga berupaya mempromosikan produk-produk pesawat militernya kepada dunia. Memang, konsumen pesawat tempur bukanlah perorangan, melainkan angkatan bersenjata di suatu negara. Namun, kemunculan pesawat-pesawat tempur itu dalam film, lengkap dengan segala manuver andalannya, setidaknya membuat para penonton terbuai, hingga muncul pikiran bawah sadar penonton betapa hebatnya negara itu (baca: si empunya dan pembuat pesawat itu). Negara tersebut tidak hanya mempunyai pilot-pilot jempolan, tetapi mampu membuat sendiri pesawat-pesawat tempur yang luar biasa kerennya. Hingga, bisa saja, opini publik akan terbentuk dan suatu saat akan ikut menentukan pilihan pemerintahnya dalam memilih suatu jenis pesawat tempur.

Lihat saja, film-film bergenre pesawat tempur besutan Amerika Serikat tidak akan lepas dari sang bintang utama, yang tentu saja adalah produk lokal negara tersebut. Sebut saja, F-14 Tomcat buatan Grumman dan F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics (sekarang Lockheed Martin), yang sudah malang melintang di berbagai film. Siapa yang tak kenal F-16? Orang awam pun banyak yang masih menganggap pesawat tempur itu ya F-16. Juga, kemenangan gemilang F-14 atas MiG-28 dalam akhir film Top Gun seolah mengesankan bahwa pesawat tempur produk Soviet tidak lebih unggul dari produk Amerika; sebuah ciri khas perang media di era Perang Dingin. Belum lama ini, pesawat anyar F-22 Raptor dan F-35 Lightning garapan Lockheed pun sudah tampil dalam beberapa cuil adegan dalam film-film baru, semacam Die Hard 4 dan Transformers. Prancis tak mau ketinggalan. Lewat Sky Fighter, Mirage 2000 gencar ia promosikan. Film Return to Base garapan Korea Selatan memang menggunakan F-15K buatan Boeing, Amerika Serikat, sebagai bintang utama. Tetapi, ada beberapa adegan yang mempertontonkan kejelitaan T-50 Golden Eagle, yang merupakan produk industri lokal Korea Selatan.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Film drama romantis Habibie dan Ainun setidaknya telah menyuguhkan pesawat impian kita dua puluh tahun silam, N-250 yang digarap oleh IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) di Bandung kala itu. Walau berakhir pilu, adegan sejenak tentang pesawat itu rasanya dapat dijadikan media untuk menunjukkan bahwa ada produk pesawat buatan negeri kita sendiri kepada anak muda generasi saat ini. Hmm… ada lagi sebenarnya. Film drama yang disutradarai oleh Norman Benny yang rilis di tahun 1991: Perwira dan Ksatria. Film yang berlatar kehidupan perwira TNI Angkatan Udara ini dibintangi oleh aktor Dede Yusuf semasa mudanya. Dan, dengan bintang tamu sebuah pesawat latih Hawk Mk.53, yang saat itu tergolong baru saja dimiliki oleh Indonesia. Ya, tetapi bagaimanapun juga, unsur promosi pesawat tempur buatan negeri sendiri sebagaimana dalam film Top Gun, Iron Eagle, Sky Fighter maupun Return to Base nampaknya nihil dalam film ini. Sederhana saja alasannya: belum ada produk pesawat tempur yang bisa kita pamerkan dan promosikan. Hingga sekarang, hehehe…

BAe Hawk Mk.53, mantan penghuni Skadron Udara 15 TNI AU. Dulunya pernah berakting dalam film Perwira dan Ksatria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar