Bila pembaca menggemari
film-film aksi militer ala Holywood, pembaca setidaknya pernah mendengar film
yang begitu populer di era tahun 80an. Top Gun. Film yang dirilis tahun 1986
itu dibintangi oleh aktor Tom Cruise semasa mudanya. Film ini berkisah tentang pilot
Angkatan Laut Amerika Serikat dengan call-sign
‘Maverick’ (diperankan oleh Tom Cruise) dan rekan-rekannya yang tengah bersaing
ketat dalam adu kelincahan menerbangkan F-14 Tomcat. Singkat cerita, Maverick
harus kehilangan partner-nya, Goose,
yang meregang nyawa saat menjalani sebuah sesi latihan tempur. Kejadian ini
membuatnya labil. Hingga suatu ketika, ia akhirnya bisa menerima kepergian Goose,
dan kembali lagi menunjukkan prestasinya berlaga dalam pertempuran udara.
Film yang diproduseri oleh Jerry
Bruckheimer dan Don Simpson ini konon cukup memukau para penontonnya di masa
itu. Sebenarnya alur ceritanya tidaklah terlalu mengesankan, bahkan cenderung
biasa saja, dan berbau khas film-film militer ala Holywood, yang selalu menebar
kebanggaan dan propaganda akan kehebatan Amerika Serikat. Yang mengesankan dari
film ini barangkali adalah aksi Si Tomcat, yang mempertontonkan manuver-manuver
lincahnya saat beradu dengan pesawat lawan di udara- walaupun beberapa adegan
tentunya diperankan oleh pesawat model. Di film itu, F-14 Tomcat yang berbadan
tambun cukup manis dan garang dalam beradu dengan pesawat-pesawat lain yang lebih
kecil dan menjadi lawan mainnya, seperti A-4 Skyhawk yang berperan sebagai
pesawat aggressor serta F-5 Tiger
yang berperan sebagai MiG-28.
Film Top Gun tak ayal menjadi
semacam pemantik kemunculan film-film Holywood yang bertema serupa. Sebutlah
Iron Eagle, Flight of the Intruder, hingga Stealth di era tahun 2000an. Di Prancis
sana, sekitar tahun 2005, dirilis sebuah film bertitel Sky Fighter, yang konon
menurut beberapa kawan merupakan adaptasi film dan komik lama: Tanguy and
Laverdure. Film ini berkisah tentang pilot-pilot Angkatan Udara Prancis dengan
tunggangan andalannya, Mirage 2000. Secara umum, jalan ceritanya pun biasa
saja, bahkan malah terkesan rumit dan sulit dicerna dengan hanya sekali
menonton saja. Namun, aksi panggung Mirage 2000C dan Mirage 2000D sungguh
mengundang decak kagum. Kelincahan pesawat-pesawat bersayap delta ini, berpadu
dengan indahnya panorama langit dan pegunungan Eropa yang menjadi latar belakangnya,
membuat saya tidak bosan memutar film ini beberapa kali. Di belahan Asia,
sekira tahun 2012 lalu, dirilis film Return to Base, yang mengisahkan pilot-pilot
Korea Selatan beradu manuver dengan pesawat F-15K Eagle-nya.
Bila ditilik, sebenarnya ada
yang menarik dari kemunculan film-film laga udara tadi. Adalah sangat mungkin
bahwa film-film ini tidak hanya menjual akting para aktor dan aktrisnya semata,
melainkan juga berupaya mempromosikan produk-produk pesawat militernya kepada
dunia. Memang, konsumen pesawat tempur bukanlah perorangan, melainkan angkatan
bersenjata di suatu negara. Namun, kemunculan pesawat-pesawat tempur itu dalam film,
lengkap dengan segala manuver andalannya, setidaknya membuat para penonton
terbuai, hingga muncul pikiran bawah sadar penonton betapa hebatnya negara itu (baca: si
empunya dan pembuat pesawat itu). Negara tersebut tidak hanya mempunyai pilot-pilot jempolan, tetapi
mampu membuat sendiri pesawat-pesawat tempur yang luar biasa kerennya. Hingga,
bisa saja, opini publik akan terbentuk dan suatu saat akan ikut menentukan
pilihan pemerintahnya dalam memilih suatu jenis pesawat tempur.
Lihat saja, film-film bergenre
pesawat tempur besutan Amerika Serikat tidak akan lepas dari sang bintang utama,
yang tentu saja adalah produk lokal negara tersebut. Sebut saja, F-14 Tomcat buatan
Grumman dan F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics (sekarang Lockheed
Martin), yang sudah malang melintang di berbagai film. Siapa yang tak kenal F-16? Orang awam pun banyak yang masih menganggap pesawat tempur itu ya F-16. Juga, kemenangan gemilang F-14 atas MiG-28 dalam akhir film Top Gun seolah mengesankan bahwa pesawat tempur produk Soviet tidak lebih unggul dari produk Amerika; sebuah ciri khas perang media di era Perang Dingin. Belum lama ini, pesawat anyar F-22
Raptor dan F-35 Lightning garapan Lockheed pun sudah tampil dalam beberapa cuil
adegan dalam film-film baru, semacam Die Hard 4 dan Transformers. Prancis tak mau
ketinggalan. Lewat Sky Fighter, Mirage 2000 gencar ia promosikan. Film Return
to Base garapan Korea Selatan memang menggunakan F-15K buatan Boeing, Amerika
Serikat, sebagai bintang utama. Tetapi, ada beberapa adegan yang
mempertontonkan kejelitaan T-50 Golden Eagle, yang merupakan produk industri lokal
Korea Selatan.
Nah, bagaimana dengan
Indonesia? Film drama romantis Habibie dan Ainun setidaknya telah menyuguhkan
pesawat impian kita dua puluh tahun silam, N-250 yang digarap oleh IPTN (sekarang
PT. Dirgantara Indonesia) di Bandung kala itu. Walau berakhir pilu, adegan
sejenak tentang pesawat itu rasanya dapat dijadikan media untuk menunjukkan
bahwa ada produk pesawat buatan negeri kita sendiri kepada anak muda generasi
saat ini. Hmm… ada lagi sebenarnya.
Film drama yang disutradarai oleh Norman Benny yang rilis di tahun 1991:
Perwira dan Ksatria. Film yang berlatar kehidupan perwira TNI Angkatan Udara
ini dibintangi oleh aktor Dede Yusuf semasa mudanya. Dan, dengan bintang tamu
sebuah pesawat latih Hawk Mk.53, yang saat itu tergolong baru saja dimiliki oleh
Indonesia. Ya, tetapi bagaimanapun juga, unsur promosi pesawat tempur buatan negeri
sendiri sebagaimana dalam film Top Gun, Iron Eagle, Sky Fighter maupun Return to Base nampaknya
nihil dalam film ini. Sederhana saja alasannya: belum ada produk pesawat tempur yang bisa kita
pamerkan dan promosikan. Hingga sekarang, hehehe…
BAe Hawk Mk.53, mantan penghuni Skadron Udara 15 TNI AU. Dulunya pernah berakting dalam film Perwira dan Ksatria. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar