Tulisan ini terinspirasi judul sebuah lagu dari
grup band RAN yang akhir-akhir ini nge-hit
di radio-radio di Jogja, “Jauh di Mata, Dekat di Hati”. Wah, LDR (long
distance relationship) dong, Pak?
Betul. Lagu itu seakan menjadi menu wajib bagi
mereka yang sedang menjalani LDR. Namun,
perlu saya garis bawahi sebelumnya, tulisan saya ini bukan curhatan ala sepasang remaja yang sedang mabuk asmara tapi harus
menjalani LDR. Serius sedikitlah dari
itu. Hihihii.. Cerita ini berangkat
dari pengalaman yang saya alami ketika harus menjalani LDR dengan keluarga kecil saya di masa awal saya tinggal di Delft,
Belanda untuk melanjutkan studi hingga saat ini.
![]() |
(Gambar: http://www.dailymail.co.uk) |
Ada alasan lain mengapa saya angkat cerita ini.
Setelah bertemu dan saling berbagi cerita dengan beberapa kawan mahasiswa
Indonesia baru di Delft, saya menemukan kesamaan dengan mereka, harus menjalani
masa ‘sulit’ karena LDR dengan
keluarga kecilnya di awal masa studi. Di antara kawan saya tadi, memang ada
yang berencana hanya berpisah dengan keluarga dalam hitungan bulan saja, karena
mereka akan memboyong keluarganya ke Delft segera setelah akomodasi dan izin
tinggal bagi anggota keluarganya siap. Namun, sebagian lagi sengaja tidak mempunyai
rencana untuk membawa keluarganya ke kota ini dengan beberapa alasan, terutama
finansial. Semoga saja, cerita yang saya
angkat dalam blog pribadi saya ini
bisa menjadi salah satu jalan untuk saling menguatkan. Menyitir anthem klub sepakbola Liverpool, you’ll never walk alone!
Berbicara tentang LDR mengingatkan saya tentang peristiwa dua tahun tiga bulan yang
lalu, ketika langkah kaki ini terasa berat sekali melangkah memasuki Bandara
Internasional Adisutjipto di Jogja. Berat sekali. Apalagi ketika melihat senyum
gadis kecil berusia kurang dari dua tahun, yang pagi itu masih berjuang melawan
kantuknya. Ya, itu putri saya. Berat sekali saat kaki ini harus melangkah masuk
bandara, sendiri tanpa anak dan istri yang menyertai saya
Pagi itu, 3 September 2012, saya harus
berangkat menuju Delft, mempertanggungjawabkan usaha dan doa saya sejak awal
tahun 2011 lalu. Saya harus segera memulai studi S3 saya di TU Delft, mengingat
segala sesuatunya sudah siap, termasuk beasiswa dari pemerintah yang dijanjikan
akan dikirim begitu saya sampai di tempat studi nantinya. Tentu, sekuat apapun,
hati seorang suami dan ayah pasti akan luluh, tatkala harus pergi jauh
meninggalkan istri dan anaknya. Tetapi, satu hal yang harus saya pegang teguh
saat itu: saya harus terus berjalan maju, demi mereka di masa depan nanti!
Sebenarnya, yang lebih membuat saya merasa
berat saat itu adalah, saya tidak tahu untuk berapa lama harus meninggalkan
mereka. Yang jelas, saya dan istri saya berencana akan memboyong keluarga kecil
kami ke Belanda setelah tahun pertama studi saya terlalui. Namun, tetap saja masih
belum ada kepastian yang bisa dijadikan harapan. Keputusan kami untuk tidak
bersama di awal masa studi saya ini cukup beralasan
Pertama, tunjangan finansial dari beasiswa yang
akan saya terima, jika ‘dihitung’ dengan logika, pengalaman serta masukan dari
pembimbing saya tentang keadaan serta kebutuhan hidup di Delft, tidak mencukupi
untuk menutup biaya hidup bersama keluarga di kota tersebut. Boleh dikata,
nominal beasiswa yang saya terima lebih kecil dari standar gaji (salary) seorang mahasiswa S3 di Belanda.
Pembimbing saya pun pernah bertanya beberapa kali sebelum saya berangkat, “Apakah
hanya segitu uang yang akan kamu
terima untuk hidup di Delft?” Saya jawab ya, dan itulah mengapa saya akan
berangkat sendiri, meninggalkan keluarga saya. Untuk membantu saya, pembimbing
saya berusaha mencarikan bantuan dari kampus TU Delft yang waktu itu
menyediakan tambahan uang bagi mahasiswa doktoral dengan nominal beasiswa di
bawah standar minimum yang diterapkan. Lewat jalan ini, jumlah minimum uang per
bulan sesuai dengan standar di kampus dapat saya penuhi. Meski ada tambahan
uang, saya tetap urung membawa keluarga kecil saya langsung untuk tinggal di
Belanda
Kedua, masih berkaitan dengan beasiswa yang
saya terima, adalah ketidakpastian kapan beasiswa tersebut turun. Meski
dijanjikan tunjangan finansial tersebut akan segera ditransfer pada rekening
saya setelah tiba di kampus tujuan, ternyata kiriman itu tidak kunjung datang.
Bahkan, saya harus menunggunya hampir tiga bulan. Praktis, uang tabungan pun
terkuras, mengingat biaya hidup di Belanda tidak murah. Pernah suatu hari, saya harus meminta istri saya untuk mengirimkan
uang tabungan kami dari Indonesia untuk menutup biaya sewa apartemen yang saya
huni, karena beasiswa yang tak kunjung dikirimkan. Bayangkan saja, bila saat
itu saya sudah membawa serta anak dan istri saya, tentu ada rasa bersalah membiarkan
mereka ikut ‘menanggung’ situasi yang terlalu berat seperti ini. Realistis saja
lah!
Ketiga, untuk mendapatkan izin tinggal bagi
anak dan istri, pemerintah Belanda menerapkan standar gaji atau pendapatan (income) minimum per bulan, yang besarnya
ternyata lebih tinggi sekitar 250 Euro dari total uang yang saya terima per
bulan. Dengan ketentuan ini berarti saya tidak mempunyai peluang mendatangkan
keluarga saya ke Belanda. Namun, aturan ini ternyata dapat disiasati dengan menyediakan
anggaran lebih alias tabungan dengan nilai yang cukup sebagai jaminan untuk
menutup kekurangan uang tersebut selama satu tahun. Hal ini membuat saya harus mengetatkan
anggaran dan menabung. Yang jelas, tidak mungkin mengandalkan uang tabungan saya di Indonesia. Jalan satu-satunya,
ya menyisihkan sebagian uang hidup saya di Delft saat itu. Dengan hidup
sendiri, pengetatan anggaran sekencang-kencangnya tidak mustahil untuk
dilakukan.
Alasan terakhir berkaitan dengan kehidupan akademik
di tahun pertama studi doktoral saya di TU Delft, sebagaimana di kampus-kampus
lain di Belanda. Tahun pertama seorang mahasiswa doktoral di Belanda boleh saya
sebut sebagai masa kritis, sebagaimana yang pernah saya ceritakan pada tulisan terdahulu.
Singkatnya, di akhir tahun pertama, ada evaluasi yang akan memutuskan seorang
mahasiswa tersebut akan Go
melanjutkan studinya, atau No Go
alias diberhentikan sebagai mahasiswa oleh promotor atau pembimbing yang
bersangkutan. Begitu ‘mengerikan’-nya bila membayangkan No Go terjadi. Oleh karenanya, saya bersama istri saya sepakat
untuk tidak bersama terlebih dahulu. Selain agar saya fokus, juga untuk
meminimalkan resiko pada keluarga kecil saya bila kemungkinan terburuk No Go itu terjadi.
Bulan-bulan pertama memang berat. Suatu pagi, saya sangat tidak bergairah berangkat
ke kampus. Saya hanya bisa menyandarkan badan saya pada sebuah kursi di
apartemen saya sambil memandangi hamparan tanah luas di depan kaca jendela
apartemen yang mulai membeku karena musim dingin yang mulai menjelang. Meski
demikian, saya tetap harus bersyukur. Kehidupan zaman sekarang lebih mudah
dibanding dua atau tiga puluh tahun yang lalu. Komunikasi pun menjadi lebih mudah dengan
bantuan internet dan media teleconference,
seperti Skype dan Yahoo Messenger. Hampir setiap pagi, sembari sarapan, saya
selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan keluarga kecil saya. Selain
melepas rasa ‘sepi’, setidaknya saya bisa sedikit mengikuti perkembangan putri
kecil saya yang sedang berada dalam usia emasnya.
Satu hal lagi yang saya syukuri adalah kesempatan
pulang ke Indonesia yang diberikan oleh pembimbing saya. Tentunya, demi hal ini,
saya rela memacu bekerja lebih keras untuk mengambil hati pembimbing saya agar lampu
hijau untuk pulang diberikan. Saya sempat pulang ke Indonesia dua kali dalam kurun
waktu 15 bulan. Semua itu, juga berkat pengertian pembimbing saya tentang
pentingnya keluarga dalam kehidupan seseorang.
Kesendirian saya saat menjalani studi di Delft
berakhir di penghujung bulan April 2014 lalu. Setelah melalui serangkaian proses
administrasi yang agak panjang untuk mendapatkan izin tinggal, akhirnya istri
dan putri kecil saya berangkat menuju Belanda. Sebuah pengalaman panjang dan
berat bagi saya. Namun, itulah sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan, walaupun
pilihan itu diambil untuk sesuatu yang baik di kemudian hari. Strategi yang
saya pilih bersama istri saya untuk berpisah sementara waktu dan menjalani LDR di awal masa studi saya, kami anggap
sebagai pilihan yang paling baik.