Sabtu, 29 November 2014

Tentang LDR

Tulisan ini terinspirasi judul sebuah lagu dari grup band RAN yang akhir-akhir ini nge-hit di radio-radio di Jogja, “Jauh di Mata, Dekat di Hati”. Wah, LDR (long distance relationship) dong, Pak? 

Betul. Lagu itu seakan menjadi menu wajib bagi mereka yang sedang menjalani LDR. Namun, perlu saya garis bawahi sebelumnya, tulisan saya ini bukan curhatan ala sepasang remaja yang sedang mabuk asmara tapi harus menjalani LDR. Serius sedikitlah dari itu. Hihihii.. Cerita ini berangkat dari pengalaman yang saya alami ketika harus menjalani LDR dengan keluarga kecil saya di masa awal saya tinggal di Delft, Belanda untuk melanjutkan studi hingga saat ini.

(Gambar: http://www.dailymail.co.uk)
Ada alasan lain mengapa saya angkat cerita ini. Setelah bertemu dan saling berbagi cerita dengan beberapa kawan mahasiswa Indonesia baru di Delft, saya menemukan kesamaan dengan mereka, harus menjalani masa ‘sulit’ karena LDR dengan keluarga kecilnya di awal masa studi. Di antara kawan saya tadi, memang ada yang berencana hanya berpisah dengan keluarga dalam hitungan bulan saja, karena mereka akan memboyong keluarganya ke Delft segera setelah akomodasi dan izin tinggal bagi anggota keluarganya siap. Namun, sebagian lagi sengaja tidak mempunyai rencana untuk membawa keluarganya ke kota ini dengan beberapa alasan, terutama finansial.  Semoga saja, cerita yang saya angkat dalam blog pribadi saya ini bisa menjadi salah satu jalan untuk saling menguatkan. Menyitir anthem klub sepakbola Liverpool, you’ll never walk alone!

Berbicara tentang LDR mengingatkan saya tentang peristiwa dua tahun tiga bulan yang lalu, ketika langkah kaki ini terasa berat sekali melangkah memasuki Bandara Internasional Adisutjipto di Jogja. Berat sekali. Apalagi ketika melihat senyum gadis kecil berusia kurang dari dua tahun, yang pagi itu masih berjuang melawan kantuknya. Ya, itu putri saya. Berat sekali saat kaki ini harus melangkah masuk bandara, sendiri tanpa anak dan istri yang menyertai saya

Pagi itu, 3 September 2012, saya harus berangkat menuju Delft, mempertanggungjawabkan usaha dan doa saya sejak awal tahun 2011 lalu. Saya harus segera memulai studi S3 saya di TU Delft, mengingat segala sesuatunya sudah siap, termasuk beasiswa dari pemerintah yang dijanjikan akan dikirim begitu saya sampai di tempat studi nantinya. Tentu, sekuat apapun, hati seorang suami dan ayah pasti akan luluh, tatkala harus pergi jauh meninggalkan istri dan anaknya. Tetapi, satu hal yang harus saya pegang teguh saat itu: saya harus terus berjalan maju, demi mereka di masa depan nanti!

Sebenarnya, yang lebih membuat saya merasa berat saat itu adalah, saya tidak tahu untuk berapa lama harus meninggalkan mereka. Yang jelas, saya dan istri saya berencana akan memboyong keluarga kecil kami ke Belanda setelah tahun pertama studi saya terlalui. Namun, tetap saja masih belum ada kepastian yang bisa dijadikan harapan. Keputusan kami untuk tidak bersama di awal masa studi saya ini cukup beralasan

Pertama, tunjangan finansial dari beasiswa yang akan saya terima, jika ‘dihitung’ dengan logika, pengalaman serta masukan dari pembimbing saya tentang keadaan serta kebutuhan hidup di Delft, tidak mencukupi untuk menutup biaya hidup bersama keluarga di kota tersebut. Boleh dikata, nominal beasiswa yang saya terima lebih kecil dari standar gaji (salary) seorang mahasiswa S3 di Belanda. Pembimbing saya pun pernah bertanya beberapa kali sebelum saya berangkat, “Apakah hanya segitu uang yang akan kamu terima untuk hidup di Delft?” Saya jawab ya, dan itulah mengapa saya akan berangkat sendiri, meninggalkan keluarga saya. Untuk membantu saya, pembimbing saya berusaha mencarikan bantuan dari kampus TU Delft yang waktu itu menyediakan tambahan uang bagi mahasiswa doktoral dengan nominal beasiswa di bawah standar minimum yang diterapkan. Lewat jalan ini, jumlah minimum uang per bulan sesuai dengan standar di kampus dapat saya penuhi. Meski ada tambahan uang, saya tetap urung membawa keluarga kecil saya langsung untuk tinggal di Belanda

Kedua, masih berkaitan dengan beasiswa yang saya terima, adalah ketidakpastian kapan beasiswa tersebut turun. Meski dijanjikan tunjangan finansial tersebut akan segera ditransfer pada rekening saya setelah tiba di kampus tujuan, ternyata kiriman itu tidak kunjung datang. Bahkan, saya harus menunggunya hampir tiga bulan. Praktis, uang tabungan pun terkuras, mengingat biaya hidup di Belanda tidak murah. Pernah suatu hari, saya harus meminta istri saya untuk mengirimkan uang tabungan kami dari Indonesia untuk menutup biaya sewa apartemen yang saya huni, karena beasiswa yang tak kunjung dikirimkan. Bayangkan saja, bila saat itu saya sudah membawa serta anak dan istri saya, tentu ada rasa bersalah membiarkan mereka ikut ‘menanggung’ situasi yang terlalu berat seperti ini. Realistis saja lah

Ketiga, untuk mendapatkan izin tinggal bagi anak dan istri, pemerintah Belanda menerapkan standar gaji atau pendapatan (income) minimum per bulan, yang besarnya ternyata lebih tinggi sekitar 250 Euro dari total uang yang saya terima per bulan. Dengan ketentuan ini berarti saya tidak mempunyai peluang mendatangkan keluarga saya ke Belanda. Namun, aturan ini ternyata dapat disiasati dengan menyediakan anggaran lebih alias tabungan dengan nilai yang cukup sebagai jaminan untuk menutup kekurangan uang tersebut selama satu tahun. Hal ini membuat saya harus mengetatkan anggaran dan menabung. Yang jelas, tidak mungkin mengandalkan uang tabungan saya di Indonesia. Jalan satu-satunya, ya menyisihkan sebagian uang hidup saya di Delft saat itu. Dengan hidup sendiri, pengetatan anggaran sekencang-kencangnya tidak mustahil untuk dilakukan.

Alasan terakhir berkaitan dengan kehidupan akademik di tahun pertama studi doktoral saya di TU Delft, sebagaimana di kampus-kampus lain di Belanda. Tahun pertama seorang mahasiswa doktoral di Belanda boleh saya sebut sebagai masa kritis, sebagaimana yang pernah saya ceritakan pada tulisan terdahulu. Singkatnya, di akhir tahun pertama, ada evaluasi yang akan memutuskan seorang mahasiswa tersebut akan Go melanjutkan studinya, atau No Go alias diberhentikan sebagai mahasiswa oleh promotor atau pembimbing yang bersangkutan. Begitu ‘mengerikan’-nya bila membayangkan No Go terjadi. Oleh karenanya, saya bersama istri saya sepakat untuk tidak bersama terlebih dahulu. Selain agar saya fokus, juga untuk meminimalkan resiko pada keluarga kecil saya bila kemungkinan terburuk No Go itu terjadi.

Bulan-bulan pertama memang berat. Suatu pagi, saya sangat tidak bergairah berangkat ke kampus. Saya hanya bisa menyandarkan badan saya pada sebuah kursi di apartemen saya sambil memandangi hamparan tanah luas di depan kaca jendela apartemen yang mulai membeku karena musim dingin yang mulai menjelang. Meski demikian, saya tetap harus bersyukur. Kehidupan zaman sekarang lebih mudah dibanding dua atau tiga puluh tahun yang lalu. Komunikasi pun menjadi lebih mudah dengan bantuan internet dan media teleconference, seperti Skype dan Yahoo Messenger. Hampir setiap pagi, sembari sarapan, saya selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan keluarga kecil saya. Selain melepas rasa ‘sepi’, setidaknya saya bisa sedikit mengikuti perkembangan putri kecil saya yang sedang berada dalam usia emasnya. 

Satu hal lagi yang saya syukuri adalah kesempatan pulang ke Indonesia yang diberikan oleh pembimbing saya. Tentunya, demi hal ini, saya rela memacu bekerja lebih keras untuk mengambil hati pembimbing saya agar lampu hijau untuk pulang diberikan. Saya sempat pulang ke Indonesia dua kali dalam kurun waktu 15 bulan. Semua itu, juga berkat pengertian pembimbing saya tentang pentingnya keluarga dalam kehidupan seseorang. 

Kesendirian saya saat menjalani studi di Delft berakhir di penghujung bulan April 2014 lalu. Setelah melalui serangkaian proses administrasi yang agak panjang untuk mendapatkan izin tinggal, akhirnya istri dan putri kecil saya berangkat menuju Belanda. Sebuah pengalaman panjang dan berat bagi saya. Namun, itulah sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan, walaupun pilihan itu diambil untuk sesuatu yang baik di kemudian hari. Strategi yang saya pilih bersama istri saya untuk berpisah sementara waktu dan menjalani LDR di awal masa studi saya, kami anggap sebagai pilihan yang paling baik.

Selasa, 25 November 2014

Bahagianya Itu di Sini



Bahagianya itu di sini –sambil menunjuk ke arah jantung, yang selama ini orang menganggap di situlah hati berada. Inilah ucapan yang terluapkan dalam hati saya saat melihat wujud sebuah benda yang selama ini saya teliti proses pembuatannya. Memang, benda itu masih berupa prototip, belum sempurna di sana sini, bahkan bentuknya saja belum fungsional, belum pula siap digunakan sesuai aplikasinya. Namun, setidaknya ada rasa puas dalam diri saya.

Seorang kawan pernah berujar, kurang lebih seperti ini, “Puasnya membuat sebuah produk barang bagi seorang dosen teknik seringkali melebihi puasnya saat manuskrip tulisannya diterima dan dipublikasikan di sebuah jurnal internasional.” Dan, siang tadi saya membuktikan ucapan kawan saya tadi. Walau merasa puas, tidak berarti rasa ingin tahu saya untuk mencapai yang lebih baik berhenti. Rasa puas ini muncul karena kedua tangan saya ini akhirnya bisa membuahkan sebuah karya, sekalipun hanya berdimensi beberapa milimeter saja. Alhamdulillah...

Benda ini bernama titanium scaffold. Ia sengaja dibuat sebagai alat bantu proses penyembuhan defek pada jaringan tulang. Bahasa sederhananya, scaffold digunakan untuk ‘menambal’ tulang yang rusak. “Lho, titanium ‘kan logam, kok bisa membantu proses penyembuhan tulang?” 

Prinsip kerja titanium scaffold tidak berbeda dengan produk serupa yang sudah banyak dikembangkan sebelumnya. Scaffold berperan sebagai media, atau template, untuk tumbuh kembangnya sel-sel hingga membentuk jaringan fungsional tertentu. Lebih jelasnya, silakan dilihat gambar dari Wikipedia di bawah ini.
 
Scaffold dalam rantai proses rekayasa jaringan (Gambar: Wikipedia)
Sebagai contoh, untuk membentuk jaringan tulang, maka sel-sel tulang dari donor harus diisolasi dan dipersiapkan terlebih dahulu dalam kultur. Sel-sel tulang yang sudah siap lalu dikembangkan lebih lanjut dalam scaffold, bersama beberapa zat tambahan seperti growth factor dan stimulus mekanis agar sel-sel tersebut berkembang dengan baik. Karena dipersiapkan sebagai media tumbuh kembang sel-sel, scaffold didesain dengan struktur pori-pori yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected pores). Pori-pori semacam inilah yang menjadi tempat tinggal sel, saluran untuk transpor nutrisi sel dan pergerakan sel-sel itu sendiri dalam aktivitasnya.

Dalam aplikasinya, scaffold disisipkan di bagian tulang yang rusak, sehingga jaringan baru yang terbentuk di dalamnya dapat menutup defek yang ada.

Lalu, apakah titanium scaffold yang saya buat ini akan ‘hilang’, atau terdegradasi dengan sendirinya apabila jaringan tulang sudah terbentuk? Tidak. Titanium tidak mungkin terdegradasi atau terurai sekalipun berada di dalam lingkungan tubuh yang dikenal ‘kejam’ melawan semua benda asing yang masuk ke tubuh.

Jika tidak terurai, apakah tidak berbahaya memasukkan benda asing macam titanium (Ti) ke dalam tubuh? Titanium murni (pure) dikenal sebagai logam unik bin keren. Selain banyak dipakai sebagai material untuk mesin jet, titanium termasuk salah satu logam biokompatibel, atau bersahabat dengan tubuh. Sejauh ini, tidak ditemukan hasil negatif akibat penggunaan titanium murni di dalam tubuh. Namun ingat, ini titanium murni lho. Jika kita menggunakan titanium paduan, alias titanium yang dicampur dengan elemen logam lain, maka material tersebut harus diteliti terlebih dahulu tingkat biokompatibilitasnya, sebelum digunakan untuk aplikasi medis. Elemen-elemen yang sering dipadukan dengan titanium, seperti aluminium (Al) dan vanadium (V), dikenal kurang bersahabat dengan tubuh, sehingga membuat aplikasi logam paduan semacam ini dalam bidang biomedik menjadi terbatas.

Pertanyaan selanjutnya, jika titanium tidak terurai, mengapa ia dipilih sebagai bahan atau material yang ‘ditanam’ dalam tubuh, seperti scaffold ini? Pertanyaan bagus! Namun sebelumnya, perlu untuk diketahui bahwa sebenarnya sudah banyak produk scaffold yang dikembangkan dari bahan polimer dan keramik (Hmm.. apa lagi ini? Bagi anak teknik mesin, ayo buka dan baca kembali buku-buku tentang ilmu bahan). Sayangnya, produk scaffold yang terbuat dari polimer dan keramik ini terlalu lemah dan getas bila diaplikasikan pada jaringan tulang yang umumnya membentuk organ rangka. Akibatnya, scaffold menjadi rentan ‘hancur’ karena harus menanggung beban fisiologis -bukan beban psikologis- yang cukup besar. Jadilah, material logam, termasuk titanium, sebagai solusinya karena kekuatan (strength) dan keliatannya (ductility). Begitu cerita singkatnya.

Lantas, bagaimana cara saya membuat titanium scaffold itu? Singkatnya, saya menggunakan teknik yang disebut space-holder method. Wah, makhluk apa lagi ini? Prinsipnya, saya menggunakan campuran serbuk titanium dan serbuk organik. Keduanya dicampur dan dipres, sehingga terbentuk specimen berupa tablet berdiameter 13 mm. Selanjutnya, serbuk organik dibuang dengan proses tertentu, sehingga membentuk pori-pori pada matriks titaniumnya. Sebagai tahap akhirnya, tablet yang berpori-pori tadi dipanaskan pada temperatur antara 1.000 hingga 1.300 derajat Celcius, sehingga terbentuklah titanium scaffold seperti yang saya pegang di gambar paling atas. Hmm.. lebih jelasnya, baca saja artikel saya yang terbit di pertengahan tahun ini. Artikel tersebut open-access, jadi silakan di-download dan dibaca.

Nah, begitulah ceritanya, mengapa saya bahagia di hari ini. Selanjutnya, saya akan kembali bekerja untuk menyempurnakan scaffold saya ini.

Jumat, 21 November 2014

Cermin


Kita semua tahu apa itu cermin. Hampir setiap pagi kita berhadapan dengannya, menatapnya, bahkan tidak jarang sambil tersenyum-senyum sendiri di depannya. Kita melihat sosok diri kita sendiri di cermin tersebut. Kita menyisir rambut, maka bayangan kita di cermin itu pun melakukan hal yang sama.

Ya, cermin merefleksikan apa-apa yang kita lakukan di depannya. Sebenarnya, boleh dikata, ia melakukan tugas yang sangat mulia, yakni memberikan umpan balik atau feedback kepada diri kita sendiri. Ambil contoh, tatkala ada rambut yang kurang rapi, menyempil di sisi kiri atau kanan kepala kita, maka bergegaslah tangan kita mengambil sisir untuk merapikannya. Demikian juga, saat bayangan mata kita di cermin tampak memerah lantaran lelah bekerja seharian di depan komputer, kita lalu bertindak mengatasinya, entah dengan menetesi mata kita dengan obat maupun beranjak tidur untuk mengistirahatkannya.

Siang kemarin, saya mendapatkan pelajaran yang berharga di dalam kelas. Sebuah diskusi apik sebagai bagian dari course atau kuliah yang saya ikuti di kampus TU Delft digelar dengan topik peer-reviewing. Jujur, susah bagi saya menemukan padanan kata peer-review dalam bahasa Indonesia yang tepat. Namun, bahasa sederhananya kurang lebih adalah melihat kembali diri kita atau pekerjaan kita melaui rekan sejawat atau teman dalam satu komunitas (peer) yang berperan bak sebuah cermin. Mereka memberikan umpan balik kepada diri kita, tentang apa yang kita lakukan hingga karya yang kita hadirkan.

Dari diskusi tersebut terungkap betapa pentingnya peer-review, terutama dalam dunia akademik dan penelitian. Contoh yang paling sering ditemui adalah proses peer-review manuskip atau naskah yang kita kirimkan pada sebuah jurnal untuk dipublikasikan. Lewat proses peer-review, apa saja yang kita tulis dalam manuskrip tersebut akan tercermin dari umpan balik yang diberikan oleh reviewer, baik yang positif maupun yang negatif. Jika umpan balik itu positif, maka kita akan terpacu bekerja dan menghasilkan karya yang lebih baik. Atau, setidaknya naskah kita tadi berpeluang besar untuk diterima dan selanjutnya dipublikasikan dalam jurnal tersebut. Sebaliknya, jika umpan balik tersebut negatif (walaupun definisi ‘negatif’ ini tergantung pada sudut pandang pembacanya), maka biasanya akan berujung pada penolakan (rejection) atau keharusan bagi kita untuk merevisi beberapa hal yang kita tulis dalam naskah tersebut.

Lebih jauh, peer-review menjadi penting karena melalui proses inilah kita dinilai kompeten atau tidak pada suatu bidang. Demikian yang saya tangkap di akhir diskusi dalam kuliah yang berlangsung selama hampir empat jam tadi.

Kompetensi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kewenangan menentukan atau memutuskan sesuatu. Secara maknawi, orang yang kompeten berarti orang yang berwenang memutuskan suatu hal. Tentu, kewenangan ini diperoleh bukan dari hasil bertapa semalam, atau tiba-tiba saja jatuh dari langit. Ia diperoleh melalui pengakuan dari orang-orang yang sudah lebih dahulu mempunyai kompetensi dan keahlian di bidang yang bersangkutan.

Contoh sederhananya begini. Seorang dosen pembimbing skripsi, tesis maupun disertasi adalah orang yang kita anggap sudah memiliki kompetensi di suatu bidang. Ia mempunyai wewenang meluluskan mahasiswa bimbingannya sesuai dengan standar dan persyaratan tertentu yang ditetapkan. Bila ada seorang mahasiswa yang mampu memenuhi standar dan persyaratan tersebut, maka sang mahasiswa tadi akan diluluskan. Ia diakui telah memiliki 'segelintir' ilmu pengetahuan atau menguasai keterampilan tertentu oleh dosen pembimbingnya dan institusi tempat ia belajar. Ia pun berhak menggunakan ilmu yang ia peroleh tadi sebagai dasar untuk memutuskan suatu hal. Ia kini kompeten pada bidang tertentu dan pendapatnya di bidang yang digeluti bisa dijadikan referensi bagi orang awam.

Selasa, 18 November 2014

Untitled

Untitled. Tidak berjudul. Tulisan ini memang seharusnya tidak berjudul, karena saya sendiri awalnya tidak mempunyai gagasan apapun untuk dijadikan topik sebuah tulisan. Bahasa campurannya, lagi nge-blank, sedang vakum ide atau gagasan. Namun, jari-jemari ini rasanya masih saja ingin menari-nari di atas papan ketik laptop saya. 

Barangkali menurut sebagian pembaca, saya ini aneh, ngapain menulis kalau memang tidak ada gagasan untuk ditulis. Tetapi, pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Di luar sana, ternyata tidak sedikit mereka, termasuk para blogger, yang justru menceritakan kisahnya kukuh menulis di saat tidak ada gagasan apapun untuk ditulis. Hanya energi besar untuk menulis yang berada di jari-jemari mereka, yang menggerakkan mereka untuk tetap menulis. 

Tidak ada yang salah dengan hal ini, membiarkan jari-jemari menumpahkan energi yang masih tersisa, apalagi menjelang tidur, saat dimana seharusnya jemari hingga pikiran pun beristirahat sejenak. Menyimpan energi menulis yang sedemikian besar justru acapkali membuat kita sulit tidur. Benar, 'kan? Lalu, bagaimana dengan tulisan yang dihasilkan? Jujur, seringkali tulisannya menjadi ngawur, topik yang dibicarakan ngelantur dan bahasanya 'hancur' karena tidak memakai persiapan sama sekali

Tetapi, tunggu dulu. Tulisan ngawur semacam ini kerap kali menjadi pembuka pintu gagasan cemerlang di kemudian hari. Biarkanlah tulisan-tulisan ngawur kita itu tertumpah memenuhi buku harian, log-book maupun file-file dokumen kita. Lalu simpan, tutup rapat-rapat untuk sementara waktu apabila kita masih merasa belum yakin tulisan tersebut mengandung manfaat dan enak untuk dibaca. Di lain waktu, bukalah kembali tulisan-tulisan tersebut. Bisa dipastikan otak dan pikiran kita akan bekerja kembali, setidaknya tergelitik untuk bermain-main dengan urutan dan pilihan kata sesuai perasaan kita saat membacanya kembali. Lalu, jari-jemari usil kita pun mulai mengambil dan menggoyangkan pena, atau menari kembali di atas papan ketik laptop atau komputer, menghadirkan kata-kata baru yang semakin indah dan menawan. 

Hal yang sama berlaku pula pada saat menulis manuskrip untuk sebuah publikasi. Ah, lagi-lagi saya berbicara masalah riset dan publikasi. Maafkan saya, celetukan ini muncul akibat membiarkan dua paragraf di atas tersimpan semalaman di sebuah folder di laptop saya, yang akhirnya membuka peluang pikiran saya terkontaminasi dengan kata 'publikasi' lagi.

Kembali ke masalah menulis. Boleh dikata saya ini boros, boros dalam menggunakan kertas dalam proses menulis. Setiap kali saya selesai membuat tulisan, saya selalu mencetaknya melalui printer. Jika masih belum puas dengan isi maupun bahasanya, biasanya print-out tulisan tadi akan saya simpan rapat-rapat dalam lemari atau tumpukan buku, pokoknya jauh dari pandangan saya sehari-hari selama beberapa waktu. Bisa tiga hari hingga seminggu. Saya jauhi tulisan saya tersebut dan beranjak mengerjakan aktivitas lain yang bisa memalingkan ingatan saya dari tulisan tersebut. Setelah tiba waktu untuk membukanya kembali, bahagialah saya. Bukan karena tiba-tiba tulisan menjadi sempurna secara ajaib, melainkan pikiran yang berubah menjadi lebih tajam mengenali segala kesalahan dan kekurangan yang ada dalam tulisan tersebut. Mungkin inilah yang disebut mengistirahatkan pikiran. Melepaskan pikiran dari rutinitas, termasuk rutinitas menulis. Rutinitas seringkali membuat kita tidak objektif dalam menilai sesuatu. Benar atau tidak, pembaca sendiri yang bisa menilainya.