Seperti yang pernah saya ulas dalam tulisan sebelumnya, kehidupan sebagai
seorang kandidat Ph.D. di negeri orang selalu penuh dengan lika-liku, mulai
dari perjuangan akademik, perjuangan dalam kehidupan personal, hingga hal-hal
unik yang –mungkin- hanya bisa ditemui oleh sang pelaku atau mahasiswa doktoral
itu sendiri dan keluarganya
Ulasan saya kali ini berkaitan dengan tahun kedua seorang promovendus, kandidat Ph.D., di Belanda.
Saya beranikan diri menulis dan membagi cerita ini setelah saya ‘berhasil’ melalui
tahun kedua ini dengan segudang pengalaman yang bisa saya raup darinya.
Tahun kedua seorang promovendus saya sebut sebagai masa coba-coba. Mengapa? Jika
melihat runutan cara bekerja seorang kandidat Ph.D. di Belanda di tulisan saya
sebelumnya, tahun kedua ini adalah masa dimana ia, mau tidak mau, harus serius
memulai eksekusi program-program atau agenda penelitian yang disusun dalam
proposal penelitiannya kepada pembimbing di tahun pertama. Di tahun kedua
inilah, ia harus turun tangan, melumuri jari-jemari dan muka dengan keringat
untuk mulai mencoba bereksperimen di laboratorium maupun di lapangan. Tentu,
tidak semua eksperimen akan berhasil. Bahkan, tidak jarang gagal total, hingga
proposal pun harus dirombak habis-habisan, untuk mengganti atau mengubah metode
yang harus ditempuh untuk mendapatkan data-data yang diperlukan.
Sepanjang tahun kedua, saya pun menjalani masa
ini penuh dengan coba-coba, bahkan tak jarang seolah membuang banyak waktu dan
bahan-bahan penelitian yang disediakan. Tak terhitung berapa botol serbuk logam
sampel yang telah saya buang karena metode yang saya tempuh tidak menghasilkan
apa yang saya harapkan.
Rentang waktu Agustus hingga Oktober 2013 lalu,
saya menghabiskan waktu berada di laboratorium hanya untuk mengamati
kemungkinan metode observasi dengan mikroskop optik bisa saya gunakan untuk
menganalisis campuran antara dua jenis serbuk yang berbeda sifatnya. Sayangnya,
tidak ada hasil yang memuaskan saya dari serangkaian coba-coba yang dilakukan
tadi. Saya pun luruh, beralih ke agenda penelitian lain yang ternyata lebih
menarik perhatian. Penelitian di ruang mikroskop tadi saya hentikan sementara
waktu, sambil melempar rasa jenuh yang memang sudah bercokol di kepala. Senangnya,
‘perselingkuhan’ ini ternyata membuahkan hasil, berupa sebuah manuskrip untuk
publikasi. Pikiran yang sudah adem dan rasa gembira karena tambahan publikasi
yang ditelurkan, membuat saya bergidik kembali membuka catatan dan memulai
penelitian yang saya hentikan tadi.
Penelitian yang sempat terbengkalai beberapa
bulan itu saya lanjutkan kembali dengan pendekatan baru yang diperoleh dari ide-ide
yang bertebaran selama beberapa minggu terakhir. Walaupun membuahkan data-data
yang menarik, namun saya masih tetap belum yakin atas kehandalan hasil
eksperimen tersebut. Sekali lagi, ada agenda penelitian lain yang menarik
perhatian saya. Singkat cerita, saya masih tetap gembira karena ‘selingkuhan’
ini ternyata juga membuahkan hasil, yakni sebuah manuskrip untuk publikasi
hasil penelitian, yang hingga detik ini masih berada di tangan pembimbing saya
untuk dikoreksi.
Hari ini, dua tahun dua bulan sudah saya
menjalani kehidupan sebagai promovendus. Tahun kedua sudah saya lalui. Dua kali
pula saya campakkan sebuah topik penelitian saya seperti di cerita di atas.
Namun, saya berharap saat inilah yang tepat untuk serius menggarapnya lagi.
Berharap pula, semoga penelitian ini berakhir baik, hingga dapat membuahkan
hasil yang cukup untuk sebuah publikasi sebagai syarat kelulusan saya nantinya.
Inilah kehidupan di tahun kedua, masa coba-coba!