Jumat, 21 November 2014

Cermin


Kita semua tahu apa itu cermin. Hampir setiap pagi kita berhadapan dengannya, menatapnya, bahkan tidak jarang sambil tersenyum-senyum sendiri di depannya. Kita melihat sosok diri kita sendiri di cermin tersebut. Kita menyisir rambut, maka bayangan kita di cermin itu pun melakukan hal yang sama.

Ya, cermin merefleksikan apa-apa yang kita lakukan di depannya. Sebenarnya, boleh dikata, ia melakukan tugas yang sangat mulia, yakni memberikan umpan balik atau feedback kepada diri kita sendiri. Ambil contoh, tatkala ada rambut yang kurang rapi, menyempil di sisi kiri atau kanan kepala kita, maka bergegaslah tangan kita mengambil sisir untuk merapikannya. Demikian juga, saat bayangan mata kita di cermin tampak memerah lantaran lelah bekerja seharian di depan komputer, kita lalu bertindak mengatasinya, entah dengan menetesi mata kita dengan obat maupun beranjak tidur untuk mengistirahatkannya.

Siang kemarin, saya mendapatkan pelajaran yang berharga di dalam kelas. Sebuah diskusi apik sebagai bagian dari course atau kuliah yang saya ikuti di kampus TU Delft digelar dengan topik peer-reviewing. Jujur, susah bagi saya menemukan padanan kata peer-review dalam bahasa Indonesia yang tepat. Namun, bahasa sederhananya kurang lebih adalah melihat kembali diri kita atau pekerjaan kita melaui rekan sejawat atau teman dalam satu komunitas (peer) yang berperan bak sebuah cermin. Mereka memberikan umpan balik kepada diri kita, tentang apa yang kita lakukan hingga karya yang kita hadirkan.

Dari diskusi tersebut terungkap betapa pentingnya peer-review, terutama dalam dunia akademik dan penelitian. Contoh yang paling sering ditemui adalah proses peer-review manuskip atau naskah yang kita kirimkan pada sebuah jurnal untuk dipublikasikan. Lewat proses peer-review, apa saja yang kita tulis dalam manuskrip tersebut akan tercermin dari umpan balik yang diberikan oleh reviewer, baik yang positif maupun yang negatif. Jika umpan balik itu positif, maka kita akan terpacu bekerja dan menghasilkan karya yang lebih baik. Atau, setidaknya naskah kita tadi berpeluang besar untuk diterima dan selanjutnya dipublikasikan dalam jurnal tersebut. Sebaliknya, jika umpan balik tersebut negatif (walaupun definisi ‘negatif’ ini tergantung pada sudut pandang pembacanya), maka biasanya akan berujung pada penolakan (rejection) atau keharusan bagi kita untuk merevisi beberapa hal yang kita tulis dalam naskah tersebut.

Lebih jauh, peer-review menjadi penting karena melalui proses inilah kita dinilai kompeten atau tidak pada suatu bidang. Demikian yang saya tangkap di akhir diskusi dalam kuliah yang berlangsung selama hampir empat jam tadi.

Kompetensi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kewenangan menentukan atau memutuskan sesuatu. Secara maknawi, orang yang kompeten berarti orang yang berwenang memutuskan suatu hal. Tentu, kewenangan ini diperoleh bukan dari hasil bertapa semalam, atau tiba-tiba saja jatuh dari langit. Ia diperoleh melalui pengakuan dari orang-orang yang sudah lebih dahulu mempunyai kompetensi dan keahlian di bidang yang bersangkutan.

Contoh sederhananya begini. Seorang dosen pembimbing skripsi, tesis maupun disertasi adalah orang yang kita anggap sudah memiliki kompetensi di suatu bidang. Ia mempunyai wewenang meluluskan mahasiswa bimbingannya sesuai dengan standar dan persyaratan tertentu yang ditetapkan. Bila ada seorang mahasiswa yang mampu memenuhi standar dan persyaratan tersebut, maka sang mahasiswa tadi akan diluluskan. Ia diakui telah memiliki 'segelintir' ilmu pengetahuan atau menguasai keterampilan tertentu oleh dosen pembimbingnya dan institusi tempat ia belajar. Ia pun berhak menggunakan ilmu yang ia peroleh tadi sebagai dasar untuk memutuskan suatu hal. Ia kini kompeten pada bidang tertentu dan pendapatnya di bidang yang digeluti bisa dijadikan referensi bagi orang awam.