Cinta.
Semua orang mengenal kata cinta, utamanya mereka yang sudah beranjak dewasa
dan mengenal kata ini. Ada yang memaknainya secara dewasa, namun banyak pula
yang memaknainya dengan cengeng,
kekanak-kanakan. Saya memilih memakai kata-kata suci ini dengan cara yang
pertama, termasuk dalam seri tulisan saya kali ini.
Inikah Gerangan Cinta? Judul ini bukan murni gagasan
yang muncul dari otak saya. Saya hanya mencupliknya dari judul sebuah lagu
milik grup band Java Jive yang populer di era tahun 90an.
Inikah Gerangan Cinta? Cinta siapakah yang saya maksud
di sini? Adalah cinta dari Sang Maha Kuasa di alam semesta ini. Yang
mengucurkan segala nikmat dan karuniaNya, sekalipun awalnya kita selalu
menampiknya dan merasa semuanya itu diberikan dengan tidak
adil. Namun, setelah nikmat dan karunia itu berlalu, barulah kita menyadarinya, bahwa semua
yang awalnya kita anggap menyengsarakan kehidupan kita, bahkan memupuskan cita-cita dan
impian kita, ternyata merupakan sebuah ungkapan cinta dariNya. Di kemudian hari, Ia memberikan
hikmah di balik semua itu.
Mengawali seri ini, saya ingin me-repost artikel yang pernah saya tulis di tahun 2010 lalu. Artikel
ini berjudul "Inikah Gerangan Cinta?". Saya menulisnya di bulan Ramadhan
dan mengunggahnya di halaman notes
facebook saya. Artikel ini juga dimuat dalam blog komunitas pelajar muslim Indonesia
di Kota Groningen, Belanda "deGromiest" saat
itu. Selamat membaca dan mengambil hikmahnya.
* * *
Janin itu tampak kecil, mungil, dan beberapa
kali menggerakkan tubuhnya. Sesekali radiolog di salah satu klinik kota Groningen itu menunjukkan wajah
buah hati kami yang masih samar-samar di layar USG. Itulah untuk pertama kali
aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah janin yang ada dalam rahim
istriku. "Alhamdulillah, suatu anugerah yang tiada terkira."
hatiku tersenyum. Rasa terkejut dan bahagia bercampur menjadi satu. Kulihat
wajah istriku yang tampak sumringah, bahagia melihat
apa yang ada dalam rahimnya. Penantian yang sudah hampir 4 tahun lamanya,
seumur pernikahan kami.
Ya, di tahun 2006, tepatnya seminggu setelah gempa bumi yang menggemparkan
Jogja, kota tempat tinggal kami, kehidupan rumah tangga itu kami mulai. Usia kami
waktu itu tergolong muda, karena kami masih terbilang fresh-graduate.
Aku dan istriku baru saja menyelesaikan S1. Beberapa bulan setelah wisuda aku
lalu bekerja di universitas almamaterku, sedangkan istriku masih harus
menyelesaikan pendidikan profesi setelah S1-nya tamat. Kira-kira 6 bulan
setelah aku bekerja, kami menikah.
Tak ubahnya seperti sepasang suami istri yang
lain, kehadiran seorang anak setelah pernikahan tentu saja menjadi sebuah
keinginan bagi kami. Semula kami sempat ragu dan berpendapat mungkin lebih baik
menunda untuk mempunyai anak, apalagi setelah mendengar nasehat dari
orang-orang di sekitar kami yang berharap aku dapat memberikan waktu untuk
istriku menyelesaikan sekolahnya dulu, kemudian baru mempunyai anak. Perasaan
ingin menunda punya anak itu ternyata hanya beberapa bulan saja bersemayam di
hati kami. Melihat teman-teman kami yang sudah menikah dan segera mempunyai anak,
rupanya kami tergiur juga. Senang rasanya bila ada seorang anak di dalam
kehidupan kami. Kami memimpikan seorang anak.
![]() |
Gambar: www.clipartbest.com |
Setahun usia pernikahan kami, belum juga kami
mendapatkan mimpi kami itu menjadi kenyataan. Tapi, aku dan istriku bisa mengerti keadaan pada
saat itu. Tugas istriku selama pendidikan profesi ternyata cukup berat. Seringkali
tugas itu mengharuskannya jaga malam di rumah sakit atau pergi ke rumah sakit
di luar kota. Tentu saja, selain pikirannya, fisiknya juga terkuras selama
mengikuti pendidikan. Pun demikian denganku. Tahun pertama pernikahan kami,
kuisi kebanyakan hari-hariku dengan mengerjakan tugas-tugas S2-ku yang cukup
menyita tenaga, pikiran dan seringkali membuatku stres. Program S2-ku ternyata
tidak semudah yang kukira. Dari situlah kami pahami, kecapekan dan pikiran yang
sering bercengkrama dengan stres itulah yang mungkin membuat kami belum
dikaruniai seorang anak.
Setahun lebih setelah menikah, akhirnya istriku
berhasil menyelesaikan pendidikannya. Berarti, satu tugas sudah selesai; sebuah
tugas pula untukku untuk membantu menyelesaikan sekolah istriku. Keadaan ini
menurut kami sudah lebih baik daripada setahun sebelumnya. Demikian pula dengan
dinamika kuliah S2-ku; sedikit demi sedikit aku telah menemukan ritme bagaimana
aku harus belajar selama studiku. Saat itulah kami sudah merasa jauh lebih siap
dengan mimpi kami dan berharap mimpi akan anak itu akan segera terwujud. Kami mulai intensif berkonsultasi
dengan dokter obsgin.
Langkah pertama yang harus kami lakukan adalah mengikuti program pemicu
ovulasi. Namun, hasilnya masih nihil. Istriku belum juga hamil. "Ah,
tidak apa-apa, baru pertama, pasti ada kesempatan yang lain." gumamku.
Program itu kami ikuti lagi beberapa kali, tetapi hasilnya selalu saja masih
nol persen. "Hmm... kenapa ya?" aku dan istriku sering berucap
demikian.
Bulan terus berganti seiring dengan upaya kami di kala itu untuk mewujudkan
mimpi hadirnya seorang anak. Rasanya masih belum putus harapan kami. Kami ikuti lagi program dari dokter
obsgin kami, termasuk check-up tentang kesuburanku. Ternyata normal.
Tidak ada apa-apa. Demikian juga dengan istriku. Serangkaian tes di
laboratorium juga menunjukkan tidak ada masalah dengan istriku. Tidak ada
gangguan apapun yang mungkin bisa menghalangi kehamilan.
Bulan Maret 2008, istriku harus terbaring di
rumah sakit. Bukan karena mau melahirkan, tetapi karena operasi di salah satu
organ pencernaannya. Hal ini sejenak mengistirahatkan kami untuk berlari
mengejar mimpi akan seorang anak. Fokusku saat itu adalah istriku sehat
kembali. Sepintas aku tersadarkan bahwa inilah jalan Alloh memudahkan aku dalam
menghadapi cobaan berupa sakit yang dialami istriku, yakni dengan menunda
hadirnya anak dalam kehidupan kami.
Setelah sehat kembali, kami mulai lagi menyusun
mimpi kami akan seorang anak. Tahun itu, aku pun berhasil menyelesaikan S2-ku. Alhamdulillah,
meski sempat terseok-seok di awal, hasilnya bisa membuatku tersenyum.
Semangatku dan istriku menyeruak lagi, karena kami merasa sudah tidak ada
bebanyang mengharuskan kami bergulat dengan stres. Namun, ternyata usaha kami
untuk mempunyai anak belum juga membuahkan hasil. Satu per satu rasa penasaran
kami mulaiberubah menjadi kegelisahan. Istriku apalagi. Aku bisa merasakannya. Gelisah, gundah, kadangkala
minder. Seringkali istriku sering menolak jika kuajak pergi ikut reuni atau
bertemu dengan teman-teman kami. Alasan yang sepele; karena biasanya mereka
selalu bertanya apakah sudah hamil atau belum. Kalau dijawab belum, mereka
lantas bilang "lho kok belum? Ditunda ya?". Belum lagi kalau
bertemu dengan teman-teman yang notabene umur pernikahannya lebih muda
dibanding kami, tetapi sudah menggendong anak-anaknya yang lucu.
Tiga tahun usia pernikahan kami, usaha kami mewujudkan mimpi itu masih belum
juga membuahkan hasil. Dalam doa kami pun tak luput ungkapan pinta kepadaNya.
Tetapi, rasanya Beliau belum atau masih menunda jawaban doa-doa kami. Dokter
obsgin kami pun agaknya juga sudah mulai berpikir keras. Program selanjutnya
masih kami ikuti. Kami memutuskan untuk ikut program inseminasi buatan.
Pikirku, mungkin inilah program ingin anak termahal menurut takaran finansial
kami. Bagaimana tidak, sebagian uang tabungan kami relakan untuk program itu,
sementara saat itu gajiku jarang sekali menyisakan sejumput uang untuk
ditabung. Gaji istriku bekerja juga hanya cukup untuk membantuku menghadapi
pengeluaran-pengeluaran yang insidentil.
Program inseminasi buatan itu dilakukan dengan sangat hati-hati, baik oleh
kami maupun dokter obsgin kami. Dag-dig-dug hati kami sering berdebar
menunggu hasilnya. Pada bulan yang sama, kami menunggu hasilnya, berharap
istriku terlambat datang bulan dan hamil. Sehari dua hari istriku terlambat.
Tetapi, di hari ketiga ternyata mengharuskan kami untuk terus bersabar menghadapinya.
Belum hamil lagi. Semenjak saat itulah, kami merasa, ya sudahlah... kami merasa
sudah melakukan apa yang terbaik. Apa yang kami miliki, tabungan, waktu,
pikiran dan upaya sudah kami kerahkan semuanya. Tapi, kalau hasilnya memang
belum, ya mau bagaimana lagi. Dokter obsgin kami sebenarnya menyarankan untuk
memulai program inseminasi lagi. Tetapi waktu itu kami menolak. Selain alasan
finansial, aku juga harus pergi ke luar kota untuk sebuah konferensi. Kami
merasa tidak mempunyai waktu yang tepat saat itu untuk memulai program yang
serupa.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kami pun larut dalam kesibukan
masing-masing. Aku sibuk dengan risetku di kampus, sementara istriku dengan
prakteknya di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Saat itu juga, aku berkutat
dengan niatanku mengambil program S3, sementara istriku juga mulai tergerak
untuk melamar pekerjaan di tempat yang lain. Dan ternyata kesibukan itu cukup
membuat kami merasa 'terhibur', meskipun kadangkala kami juga sering saling
bercerita senangnya bila sudah ada anak. Upayaku mencari sekolah S3 ternyata
juga tidak mudah. Beberapa universitas aku daftar, namun membuatku sedikit
kecewa karena tidak menerimaku. Beberapa universitas menolakku karena proposal
yang kutawarkan tidak sesuai dengan keingingan calon supervisornya. Sementara,
aplikasiku di salah satu universitas di Belanda dimentahkan pada seleksi untuk
beasiswanya. Pun dengan istriku. Upayanya menembus menjadi pegawai kesehatan
berlabel abdi negara ternyata harus melalui tahap gagal dulu. November 2009,
mungkin menjadi bulan dimana kami sama-sama berjuang. Secara hampir bersamaan,
istriku mengikuti tes kerja untuk yang kedua kalinya, sementara aku terbang ke
Groningen, Belanda mengikuti sebuah tes interview
sebagai kandidat mahasiswa S3. Impian kami tentang anak sudah bisa kami
alihkan. Doa yang kami haturkan kepadaNya pun mulai diisi dengan harapan
diterima sekolah dan bekerja. Akhir tahun 2009, Alloh memberikan jawabanNya.
Aku diterima sebagai mahasiswa S3 di Groningen, sementara beberapa minggu
kemudian istriku juga mendapatkan jawaban atas doanya untuk diterima bekerja.
Tetapi, akhirnya istriku memutuskan untuk melepas peluangnya bekerja, lalu ikut
denganku ke Groningen. Hingga awal tahun 2010, kesibukan kami beralih pada
persiapan keberangkatan ke Groningen yang ternyata sangat sempit waktunya. Awal
bulan Maret 2010 aku sudah harus memulai proyek penelitian untuk program S3-ku.
Suatu pagi ditengah-tengah sibuknya
mempersiapkan koper dan isinya, istriku berkata padaku,"Mas, aku kok
terlambat ya?" "Hah, apa iya?" jawabku,"kalo begitu
nanti sore kita beli alat tes kehamilan. "Keesokan harinya, istriku
mencoba melakukan tes kehamilan. Dua strip. "Ini 'kan tanda
hamil.." kata kami berdua seolah tak percaya. Kami memang belum percaya.
Selang beberapa hari, istriku melakukan tes lagi. Ternyata hasilnya tetap...
dua strip! "Coba kita beli merek yang lain, yang paling bagus."
saranku kepada istriku untuk membeli alat tes kehamilan lagi. Cek lagi setelah beberapa hari
kemudian. Dan ternyata, dua strip lagi. Pikiran kami mulai melayang lagi ke
impian kami yang sudah teralihkan. "Benarkah istriku hamil?" kataku
dalam hati. Di tengah perjalanan pulang dari Jakarta untuk mengambil visa kami ke Belanda, kami memutuskan
untuk pergi ke dokter obsgin lagi. Keesokan harinya, dokter obsgin kami
memeriksa rahim istriku dengan USG.
Alhamdulillah, ternyata apa yang kami nantikan telah hadir, meskipun kami sudah tidak
memikirkannya dalam-dalam. Setitik hitam terlihat di foto USG istriku. Dokter
obsgin menunjukkan adanya titik hitam sebagai tanda adanya embrio di rahim
istriku. Istriku hamil juga akhirnya. Pulang dari dokter obsgin, kami berdua
seakan masih tidak percaya. Kami kabarkan berita gembira itu kepada orang tua
kami semua. Tetapi di hari itulah, kami merenungi, apakah ini bentuk rasa cinta
Alloh kepada kami? Ujian yang kami lalui dengan tertundanya kehadiran seorang
anak ternyata kami rasakan sebagai sebuah nikmat dariNya di hari itu. Bagaimana
tidak. Jika kami menoleh ke belakang, kami melihat skenario Alloh yang begitu
hebat. Mungkin Alloh menunda kami mempunyai anak agar aku bisa merasakan
nikmatnya bisa menyelesaikan studi S2-ku dengan lancar serta membuat riset yang
akhirnya bisa menjadi modal untuk mendaftar sekolah S3-ku. Istriku juga bisa
merasakan nikmatnya selesai sekolah dan bisa bekerja sesuai keinginannya tanpa
terganggu dahulu oleh tangisan si buah hati. Selain itu, kami bisa merasakan
bagaimana indahnya hidup berdua terlebih dahulu, bisa traveling
kemana-mana tanpa harus merasa terganggu mengganti popok si bayi. Kami bisa
membeli dan memenuhi apa yang kami inginkan terlebih dahulu tanpa harus ada
perasaan khawatir kekurangan dana untuk membeli peralatan bayi saat itu. Belum
lagi, Alloh mungkin memilihkan saat yang tepat dimana anak kami nanti lahir
ketika kedewasaan kami sudah hadir, kesabaran kami sudah terasah, serta
pengetahuan kami sudah diniliaiNya cukup. Subhanalloh... Ya Alloh,
inikah gerangan cinta dariMu kepada kami? Hari itu, Jumat, 19 Februari 2010, empat
hari sebelum kami berangkat menuju Groningen, untuk pertama kalinya aku melihat
tanda-tanda kehadiran buah hatiku. Suatu hari yang mengejutkan sekaligus
membahagiakan.