Bahagianya itu di sini –sambil menunjuk ke arah
jantung, yang selama ini orang menganggap di situlah hati berada. Inilah ucapan
yang terluapkan dalam hati saya saat melihat wujud sebuah benda yang selama ini
saya teliti proses pembuatannya. Memang, benda itu masih berupa prototip, belum
sempurna di sana sini, bahkan bentuknya saja belum fungsional, belum pula siap digunakan
sesuai aplikasinya. Namun, setidaknya ada rasa puas dalam diri saya.
Seorang kawan pernah berujar, kurang lebih
seperti ini, “Puasnya membuat sebuah produk barang bagi seorang dosen teknik
seringkali melebihi puasnya saat manuskrip tulisannya diterima dan
dipublikasikan di sebuah jurnal internasional.” Dan, siang tadi saya
membuktikan ucapan kawan saya tadi. Walau merasa puas, tidak berarti rasa ingin
tahu saya untuk mencapai yang lebih baik berhenti. Rasa puas ini muncul karena kedua
tangan saya ini akhirnya bisa membuahkan sebuah karya, sekalipun hanya berdimensi
beberapa milimeter saja. Alhamdulillah...
Benda ini bernama titanium scaffold. Ia sengaja dibuat sebagai alat bantu proses
penyembuhan defek pada jaringan tulang. Bahasa sederhananya, scaffold digunakan untuk ‘menambal’ tulang
yang rusak. “Lho, titanium ‘kan logam, kok bisa membantu proses penyembuhan tulang?”
Prinsip kerja titanium scaffold tidak berbeda dengan produk serupa yang sudah
banyak dikembangkan sebelumnya. Scaffold
berperan sebagai media, atau template,
untuk tumbuh kembangnya sel-sel hingga membentuk jaringan fungsional tertentu. Lebih
jelasnya, silakan dilihat gambar dari Wikipedia di bawah ini.
Sebagai contoh, untuk membentuk jaringan tulang, maka sel-sel tulang dari
donor harus diisolasi dan dipersiapkan terlebih dahulu dalam kultur. Sel-sel
tulang yang sudah siap lalu dikembangkan lebih lanjut dalam scaffold, bersama beberapa zat tambahan
seperti growth factor dan stimulus
mekanis agar sel-sel tersebut berkembang dengan baik. Karena dipersiapkan sebagai
media tumbuh kembang sel-sel, scaffold
didesain dengan struktur pori-pori yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected pores). Pori-pori semacam inilah yang menjadi
tempat tinggal sel, saluran untuk transpor nutrisi sel dan pergerakan sel-sel itu sendiri dalam
aktivitasnya.
Dalam aplikasinya, scaffold disisipkan
di bagian tulang yang rusak, sehingga jaringan baru yang terbentuk di dalamnya dapat
menutup defek yang ada.
Lalu, apakah titanium scaffold
yang saya buat ini akan ‘hilang’, atau terdegradasi dengan sendirinya apabila
jaringan tulang sudah terbentuk? Tidak. Titanium tidak mungkin terdegradasi
atau terurai sekalipun berada di dalam lingkungan tubuh yang dikenal ‘kejam’
melawan semua benda asing yang masuk ke tubuh.
Jika tidak terurai, apakah tidak berbahaya memasukkan benda asing macam
titanium (Ti) ke dalam tubuh? Titanium murni (pure) dikenal sebagai logam unik bin keren. Selain banyak dipakai sebagai material untuk mesin jet, titanium
termasuk salah satu logam biokompatibel, atau bersahabat dengan tubuh. Sejauh
ini, tidak ditemukan hasil negatif akibat penggunaan titanium murni di dalam
tubuh. Namun ingat, ini titanium murni lho.
Jika kita menggunakan titanium paduan, alias titanium yang dicampur dengan
elemen logam lain, maka material tersebut harus diteliti terlebih dahulu
tingkat biokompatibilitasnya, sebelum digunakan untuk aplikasi medis.
Elemen-elemen yang sering dipadukan dengan titanium, seperti aluminium (Al) dan
vanadium (V), dikenal kurang bersahabat dengan tubuh, sehingga membuat aplikasi logam paduan semacam ini
dalam bidang biomedik menjadi terbatas.
Pertanyaan selanjutnya, jika titanium tidak terurai, mengapa ia dipilih sebagai
bahan atau material yang ‘ditanam’ dalam tubuh, seperti scaffold ini? Pertanyaan bagus! Namun sebelumnya, perlu untuk diketahui
bahwa sebenarnya sudah banyak produk scaffold
yang dikembangkan dari bahan polimer dan keramik (Hmm.. apa lagi ini? Bagi anak teknik mesin, ayo buka dan baca kembali
buku-buku tentang ilmu bahan). Sayangnya, produk scaffold yang terbuat dari polimer dan keramik ini terlalu lemah
dan getas bila diaplikasikan pada jaringan tulang yang umumnya membentuk organ
rangka. Akibatnya, scaffold menjadi
rentan ‘hancur’ karena harus menanggung beban fisiologis -bukan beban
psikologis- yang cukup besar. Jadilah, material logam, termasuk titanium, sebagai solusinya karena kekuatan (strength) dan keliatannya (ductility). Begitu cerita singkatnya.
Lantas, bagaimana cara saya membuat titanium scaffold itu? Singkatnya, saya
menggunakan teknik yang disebut space-holder
method. Wah, makhluk apa lagi ini? Prinsipnya, saya menggunakan campuran
serbuk titanium dan serbuk organik. Keduanya dicampur dan dipres, sehingga
terbentuk specimen berupa tablet berdiameter 13 mm. Selanjutnya, serbuk organik dibuang dengan
proses tertentu, sehingga membentuk pori-pori pada matriks titaniumnya. Sebagai tahap akhirnya, tablet
yang berpori-pori tadi dipanaskan pada temperatur antara 1.000 hingga 1.300
derajat Celcius, sehingga terbentuklah titanium
scaffold seperti yang saya pegang di gambar paling atas. Hmm.. lebih jelasnya, baca saja artikel
saya yang terbit di pertengahan tahun ini. Artikel tersebut open-access, jadi silakan di-download dan dibaca.
Nah, begitulah ceritanya, mengapa saya bahagia
di hari ini. Selanjutnya, saya akan kembali bekerja untuk menyempurnakan scaffold saya ini.