Selasa, 25 November 2014

Bahagianya Itu di Sini



Bahagianya itu di sini –sambil menunjuk ke arah jantung, yang selama ini orang menganggap di situlah hati berada. Inilah ucapan yang terluapkan dalam hati saya saat melihat wujud sebuah benda yang selama ini saya teliti proses pembuatannya. Memang, benda itu masih berupa prototip, belum sempurna di sana sini, bahkan bentuknya saja belum fungsional, belum pula siap digunakan sesuai aplikasinya. Namun, setidaknya ada rasa puas dalam diri saya.

Seorang kawan pernah berujar, kurang lebih seperti ini, “Puasnya membuat sebuah produk barang bagi seorang dosen teknik seringkali melebihi puasnya saat manuskrip tulisannya diterima dan dipublikasikan di sebuah jurnal internasional.” Dan, siang tadi saya membuktikan ucapan kawan saya tadi. Walau merasa puas, tidak berarti rasa ingin tahu saya untuk mencapai yang lebih baik berhenti. Rasa puas ini muncul karena kedua tangan saya ini akhirnya bisa membuahkan sebuah karya, sekalipun hanya berdimensi beberapa milimeter saja. Alhamdulillah...

Benda ini bernama titanium scaffold. Ia sengaja dibuat sebagai alat bantu proses penyembuhan defek pada jaringan tulang. Bahasa sederhananya, scaffold digunakan untuk ‘menambal’ tulang yang rusak. “Lho, titanium ‘kan logam, kok bisa membantu proses penyembuhan tulang?” 

Prinsip kerja titanium scaffold tidak berbeda dengan produk serupa yang sudah banyak dikembangkan sebelumnya. Scaffold berperan sebagai media, atau template, untuk tumbuh kembangnya sel-sel hingga membentuk jaringan fungsional tertentu. Lebih jelasnya, silakan dilihat gambar dari Wikipedia di bawah ini.
 
Scaffold dalam rantai proses rekayasa jaringan (Gambar: Wikipedia)
Sebagai contoh, untuk membentuk jaringan tulang, maka sel-sel tulang dari donor harus diisolasi dan dipersiapkan terlebih dahulu dalam kultur. Sel-sel tulang yang sudah siap lalu dikembangkan lebih lanjut dalam scaffold, bersama beberapa zat tambahan seperti growth factor dan stimulus mekanis agar sel-sel tersebut berkembang dengan baik. Karena dipersiapkan sebagai media tumbuh kembang sel-sel, scaffold didesain dengan struktur pori-pori yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected pores). Pori-pori semacam inilah yang menjadi tempat tinggal sel, saluran untuk transpor nutrisi sel dan pergerakan sel-sel itu sendiri dalam aktivitasnya.

Dalam aplikasinya, scaffold disisipkan di bagian tulang yang rusak, sehingga jaringan baru yang terbentuk di dalamnya dapat menutup defek yang ada.

Lalu, apakah titanium scaffold yang saya buat ini akan ‘hilang’, atau terdegradasi dengan sendirinya apabila jaringan tulang sudah terbentuk? Tidak. Titanium tidak mungkin terdegradasi atau terurai sekalipun berada di dalam lingkungan tubuh yang dikenal ‘kejam’ melawan semua benda asing yang masuk ke tubuh.

Jika tidak terurai, apakah tidak berbahaya memasukkan benda asing macam titanium (Ti) ke dalam tubuh? Titanium murni (pure) dikenal sebagai logam unik bin keren. Selain banyak dipakai sebagai material untuk mesin jet, titanium termasuk salah satu logam biokompatibel, atau bersahabat dengan tubuh. Sejauh ini, tidak ditemukan hasil negatif akibat penggunaan titanium murni di dalam tubuh. Namun ingat, ini titanium murni lho. Jika kita menggunakan titanium paduan, alias titanium yang dicampur dengan elemen logam lain, maka material tersebut harus diteliti terlebih dahulu tingkat biokompatibilitasnya, sebelum digunakan untuk aplikasi medis. Elemen-elemen yang sering dipadukan dengan titanium, seperti aluminium (Al) dan vanadium (V), dikenal kurang bersahabat dengan tubuh, sehingga membuat aplikasi logam paduan semacam ini dalam bidang biomedik menjadi terbatas.

Pertanyaan selanjutnya, jika titanium tidak terurai, mengapa ia dipilih sebagai bahan atau material yang ‘ditanam’ dalam tubuh, seperti scaffold ini? Pertanyaan bagus! Namun sebelumnya, perlu untuk diketahui bahwa sebenarnya sudah banyak produk scaffold yang dikembangkan dari bahan polimer dan keramik (Hmm.. apa lagi ini? Bagi anak teknik mesin, ayo buka dan baca kembali buku-buku tentang ilmu bahan). Sayangnya, produk scaffold yang terbuat dari polimer dan keramik ini terlalu lemah dan getas bila diaplikasikan pada jaringan tulang yang umumnya membentuk organ rangka. Akibatnya, scaffold menjadi rentan ‘hancur’ karena harus menanggung beban fisiologis -bukan beban psikologis- yang cukup besar. Jadilah, material logam, termasuk titanium, sebagai solusinya karena kekuatan (strength) dan keliatannya (ductility). Begitu cerita singkatnya.

Lantas, bagaimana cara saya membuat titanium scaffold itu? Singkatnya, saya menggunakan teknik yang disebut space-holder method. Wah, makhluk apa lagi ini? Prinsipnya, saya menggunakan campuran serbuk titanium dan serbuk organik. Keduanya dicampur dan dipres, sehingga terbentuk specimen berupa tablet berdiameter 13 mm. Selanjutnya, serbuk organik dibuang dengan proses tertentu, sehingga membentuk pori-pori pada matriks titaniumnya. Sebagai tahap akhirnya, tablet yang berpori-pori tadi dipanaskan pada temperatur antara 1.000 hingga 1.300 derajat Celcius, sehingga terbentuklah titanium scaffold seperti yang saya pegang di gambar paling atas. Hmm.. lebih jelasnya, baca saja artikel saya yang terbit di pertengahan tahun ini. Artikel tersebut open-access, jadi silakan di-download dan dibaca.

Nah, begitulah ceritanya, mengapa saya bahagia di hari ini. Selanjutnya, saya akan kembali bekerja untuk menyempurnakan scaffold saya ini.