Sabtu, 26 Desember 2015

Ridderzaal dan Konferensi Meja Bundar 66 Tahun yang Lalu

Barangkali tidak banyak orang yang tahu, bahwa Ridderzaal yang berada di kompleks parlemen Belanda di Binnenhof, Den Haag ini menyimpan kenangan tentang perjuangan bangsa Indonesia di awal terbentuknya republik ini.

Ridderzaal

Dalam otobiografinya, salah satu proklamator RI, Mohammad Hatta menyinggung nama Ridderzaal sebagai tempat berlangsungnya Konferensi Meja Bundar antara Republik Indonesia dan Belanda. Bung Hatta yang waktu itu menjabat sebagai wakil presiden merangkap perdana menteri RI menuturkan, "Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar dibuka di Den Haag, bertempat di ruangan Ridderzaal. Pada tanggal 29 oktober konferensi itu selesai dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat diparaf di Scheveningen." (Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan, 2011, hal. 217).

Peristiwa bersejarah tersebut juga diliput oleh Rosihan Anwar yang hadir sebagai wartawan untuk meliput KMB di Den Haag. Dalam bukunya tentang perjalanannya ke Belanda beberapa tahun silam, beliau menuturkan "Saya mulai berjalan didampingi oleh Febriyanti Sukmana di Ridderzaal Twede Kamer, Parlemen Belanda, Binnenhof Den Haag, siang 23 Desember 2009. Saya berucap: Di sini, 60 tahun lalu berlangsung upacara pembukaan resmi Konferensi Meja Bundar (KMB), Ronde Tafel Conferentie (RTC), 23 Agustus 1949, untuk mewujudkan penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS)." (Rosihan Anwar, dalam buku "Napak Tilas ke Belanda", 2010, hal. 1).

Jumat, 25 September 2015

Mengingatnya Kembali, Saat Kita Sedang Redup

Namanya juga manusia, ada kalanya ia bersemangat menyala-nyala. Namun, ada pula saat-saat semangatnya meredup. Seperti kadar keimanan seseorang, bisa naik, bisa pula turun. Hanya kita sendiri yang bisa berkompromi terhadapnya. Mengandalkan orang lain untuk menyemangati kita sama saja menjadikan diri kita reaktif, hanya menyerah kepada keadaan. Efek lebih buruknya, menjadikan kita sebagai insan yang mudah dipermainkan situasi, karena kita adalah apa yang dikatakan orang lain. 

Memang, keberadaan orang lain yang ikhlas dan setia ‘membantu’ kita menghadapi masa-masa pelik tak terbantahkan pentingnya dan manfaatnya. Namun, pada akhirnya, semua pulang pada diri kita sendiri. Sehebat, sebanyak maupun sebermakna apapun kata-kata, sekuat apapun pelukan, serta sedekat apapun batin orang lain dengan kita, kalau kitanya sendiri tidak beranjak mengajak diri ini untuk kuat lagi, maka sia-sia saja akhirnya.

Alhamdulillah, sepatutnya kita memang harus bersyukur diberikan ingatan. Ingatan-ingatan akan masa silam. Orang bijak memang bilang, masa lalu biarlah berlalu, kau tidak akan pernah bisa mereguknya lagi. Dirimu adalah hari ini dan esok hari. Namun, rasanya tidak tepat juga bila lantas kita lupakan semua masa-masa lalu. 

Mengingat masa lalu tidak selalu berarti gagal move-on. Justru puing-puing masa lalu, yang tentunya punya makna tersendiri, entah pahit maupun manis, seringkali menjadi salah satu pilar yang menyangga spirit, semangat kita sendiri. Hanya kita sendiri yang tahu dan bisa memilih dan memilah, menjadikan ingatan-ingatan masa lalu tadi bermakna dan akhirnya menyalakan api semangat yang tengah meredup.

Minggu, 30 Agustus 2015

Menyambangi Pasar Keju di Gouda

Bagi kebanyakan orang, Gouda mungkin bukanlah sebuah kota yang populer di Belanda. Tidak seperti Amsterdam, Den Haag atau Rotterdam yang selama ini menjadi kota tujuan wisata dan gampang ditemui di berbagai artikel, buku, maupun brosur wisata di Eropa. Gouda memang hanya kota kecil dan bukan pula kota pendidikan seperti Utrecht, Leiden, Delft maupun Groningen. Namun, Gouda ternyata memiliki ciri khas sendiri yang membuatnya berbeda dibandingkan kota-kota yang lain di Belanda. 

Gouda Kaasmarkt!
Adalah keju yang membuat Gouda terkenal. Keju, atau kaas dalam bahasa Belanda, menjadi objek yang diunggulkan oleh pemerintah Kota Gouda untuk menarik perhatian wisatawan yang sedang berkunjung ke Belanda. Meski kotanya kecil, Gouda dikenal sebagai penghasil keju di Belanda. Keju buatan orang Gouda dikenal dengan nama Goudse Kaas dan hampir selalu dapat ditemui di berbagai supermarket di Belanda. Untuk menjaga kelestarian tradisi membuat keju istimewa ini, pemerintah setempat mengadakan sebuah event khusus yang mereka sebut dengan Gouda Kaas Markt, atau pasar keju Gouda. 

Mas-mas dan mbak berpakaian tradisional Belanda turut meramaikan pasar unik ini.
Katanya, beginilah cara tawar menawar secara tradisional dalam transaksi jual-beli keju. Mirip seperti main hom-pim-pa, tapi telapak tangan dari penjual dan pembeli saling bertepuk satu sama lain sambil menawar harga keju. 
Pasar keju di Gouda diadakan setiap hari Kamis selama musim semi dan panas, tepatnya selama bulan April hingga Agustus, dengan mengambil tempat di pelataran centrum atau pusat Kota Gouda. Di tempat ini pula, berdiri megah gedung balai kota atau stadhuis, yang mempunyai arsitektur unik dan kini difungsikan sebagai museum. Di pasar ini, pengunjung akan menjumpai jejeran keju yang dipajang selama hampir setengah hari. Selain itu, beberapa orang sengaja berpakaian tradisional Belanda dan menunjukkan bagaimana proses bongkar-muat dan jual-beli keju di masa lalu terjadi di Belanda. Suasana tradisional semakin terasa ketika sepasang kuda datang menarik sebuah gerobak tradisional yang digunakan sebagai alat angkut keju di masa silam. Sementara itu, sepasang kuda yang lain datang menarik sebuah kereta yang bertuliskan ‘De Goudse Kaasexpress’ dan mengusung beberapa buah keju di atapnya. Atraksi unik ini dipandu oleh seorang MC yang menjelaskan jalannya acara dalam bahasa Belanda. Pengunjung juga dapat menyambangi museum keju bila ingin menyaksikan lebih detil segala sesuatunya tentang keju di Gouda. Letak museum ini berada persis di seberang pasar keju.
Sepasang kuda menarik kereta 'De Goudse Kaasexpress' dengan jejeran keju di atapnya. Di belakangnya berdiri sebuah museum tentang keju.
Pasar keju dengan latar belakang balai kota Gouda yang unik arsitekturnya.

Secara geografis, Gouda terletak di antara dua kota besar di Belanda, yakni Rotterdam dan Utrecht. Pembaca hanya perlu menyisihkan waktu 18 menit saja dengan kereta untuk pergi menuju Stasiun Gouda dari Stasiun Rotterdam Centraal, yang menjadi salah satu hub utama jaringan kereta di Belanda. Harga tiket kereta untuk rute ini dipatok 4,9 Euro sekali jalan. Sesampainya di stasiun kereta Gouda, pengunjung dapat berjalan kaki sekitar 10 menit menuju centrum kota tersebut. Bila musim semi atau panas tiba, pembaca sedang berada di Belanda dapat menyambangi pasar keju Kota Gouda ini sebagai tujuan wisata alternatif. Mengunjunginya juga membuat pembaca belajar bagaimana tradisi jual-beli keju di Belanda ini dilestarikan, hingga akhirnya negeri kincir angin ini juga dijuluki sebagai negeri penghasil keju di dunia.

Minggu, 16 Agustus 2015

Sehari di Liege


Liege, sebuah kota di Belgia yang berbatasan langsung dengan dua wilayah di dua negara: Maastricht di Belanda dan Aachen di Jerman. Ketiganya membentuk titik tiga negara di suatu tempat yang disebut Drielandenpunt dalam bahasa Belanda. Meski demikian, dibanding kedua kota tetangganya tersebut, sepertinya Liege kurang begitu populer. Di Belgia sendiri, Liege juga tidak setenar Brussels, Antwerp dan Brugge. Namun, ternyata kota di timur laut Belgia yang dibelah oleh Sungai Meuse ini tetap mempunyai keunikan tersendiri.

Liege (Sumber gambar: kids.britannica.com)
Perjalanan saya menuju Liege kali ini diawali dari stasun Rotterdam Centraal di Belanda. Perlu diketahui, stasiun ini merupakan salah satu hub utama jaringan kereta di Belanda. Dari Rotterdam, saya melanjutkan perjalanan dengan kereta menuju Maastricht, kota di Belanda yang berbatasan langsung dengan Liege. Perjalanan dari Rotterdam ke Maastricht ditempuh selama kurang lebih 2,5 jam melalui Stasiun Eindhoven untuk berganti kereta. Normalnya, tiket kereta Rottedam-Maastricht dapat dibeli dengan harga 24,7 Euro. Namun kali ini, saya menggunakan dagkaart, tiket murah seharga 13,99 Euro yang dijual selama periode tertentu di Kruidvat, sebuah jaringan toko kebutuhan sehari-hari di Belanda. Walaupun hanya bisa dipakai di hari Sabtu dan Minggu selama periode tertentu, tiket seperti ini dapat digunakan untuk bepergian kemanapun dengan kereta di dalam wilayah Belanda selama satu hari penuh.

Kiri: Kereta yang menghubungkan antara Maastricht dan Liege-Guillemins. Kanan: Tiket-tiket yang digunakan untuk perjalanan kereta menuju dan dari Liege.
Sampai di Maastricht, perjalanan dilanjutkan menuju Liege dengan kereta milik perusahaan kereta Belgia. Perjalanan menuju Stasiun Liege-Guillemins dari Maastricht ditempuh selama kurang lebih setengah jam saja. Tiket yang saya pakai seharga 6,2 Euro saja untuk pulang-pergi dan bisa dibeli di mesin tiket ataupun Stasiun Maastricht.
Stasiun Liege-Guillemins
Liege, atau dalam bahasa Belanda ditulis ‘Luik’, mempunyai daya tarik tersendiri. Kotanya beraroma budaya Prancis, termasuk bahasa sehari-hari yang dipakai penduduknya. Stasiun Liege-Guillemins sendiri mempunyai arsitektur yang unik, dibangun membentuk jaring-jaring struktur melengkung yang anggun dan berwarna putih. Dari stasiun ini, saya bersama keluarga dan kawan berangkat menuju beberapa titik kota utama yang memang sengaja sudah kami persiapkan sebelumnya, antara lain pusat kota, Palais des Princes Evêques dan bangunan tangga Montagne de Bueren. Meski sudah dipersiapkan sebaik mungkin, ternyata keadaan di lapangan selalu penuh dengan kejutan, termasuk tersesat di tengah kota dan hujan. Beruntung, seorang polisi yang sedang berpatroli di dekat area tersebut membantu menunjukkan arah tempat-tempat yang ingin kami tuju.

Palais des Princes Evêques
Tujuan kami di Palais des Princes Evêques akhirnya tercapai setelah ‘tersesat’ beberapa kali di dalam kota Liege. Istana besar tersebut konon merupakan tempat tinggal Prince Bishop di abad ke-10. Pemugaran dan penambahan bangunan di area istana ini dilakukan beberapa kali setelahnya. Saat ini, bangunan bersejarah ini digunakan untuk kepentingan pemerintah provinsi Liege. 

Pusat kota atau centre Liege
Dari Palais des Princes Evêques, perjalanan kami dilanjutkan menuju Montagne de Bueren, bangunan mendaki dengan 343 anak tangga menuju sebuah bukit di Liege. Dalam perjalanan menuju tempat tersebut, kami melalui pusat atau centre kota Liege, yang ukurannya sebenarnya tidaklah terlalu besar. Namun, tetap menarik untuk dikunjungi. Kurang lebih berjalan 15 menit dari Palais, sampailah kami di Montagne de Bueren. 

Montagne de Bueren
Pemandangan Kota Liege dengan Sungai Meuse-nya dari Montagne de Bueren
Konon, bangunan bersejarah ini dibangun untuk memudahkan pasukan Belgia yang berjaga di bukit tersebut untuk turun menuju pusat kota Liege. Di puncak bukit, pengunjung dapat menyaksikan indahnya pemandangan kota Liege dengan Sungai Meuse dan jembatan-jembatan besar yang membelahnya. Tidak jauh dari anak tangga terakhir di Montagne de Bueren terdapat sebuah monumen yang berkisah tentang para prajurit Belgia pada Perang Dunia I dan II.

Monumen di puncak bukit Montagne de Bueren
Area di puncak bukit Montagne de Bueren
Selama empat jam saya mengitari kota Liege sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Rotterdam. Rute kembali menuju Rotterdam ditempuh dengan jalur yang sama pada saat berangkat, yakni melalui Maastricht dan Eindhoven. Total waktu perjalanan dan berwisata ke Liege kali ini adalah sekitar 12 jam, cukup memuaskan untuk sekedar jalan-jalan dan menikmati kota seperti Liege.

Senin, 03 Agustus 2015

Gowes Rotterdam

Mau liburan yang super hemat tapi tetap memuaskan? 

Ada banyak alternatif jawaban dari pertanyaan di atas, karena budget terbatas hampir selalu membuat setiap orang lebih kreatif, termasuk dalam merencanakan kegiatan di kala liburan. Yang jelas, liburan di musim panas di Belanda (zommervakantie), sayang sekali bila dilewatkan begitu saja. Hanya saja, liburan musim panas tadi seringkali dibarengi dengan kondisi anggaran yang sudah tipis, yang mungkin hanya cukup untuk menopang hidup secara normal, tanpa agenda berlibur ke kota-kota lain baik di dalam maupun luar Belanda. Meski begitu, solusi tetap harus dihadirkan, karena momen liburan di bawah sorot mentari khas musim panas adalah kesempatan langka bagi saya di Belanda.

Musim panas tahun ini, saya dan istri mencoba satu hal baru di luar kebiasaan kami setiap liburan anak tiba selama satu tahun ini. Gowes. Atau, bersepeda ria. Menurut kami, inilah salah satu cara liburan yang tetap menyenangkan namun hemat. Pengalaman nggowes yang akan saya ceritakan berikut sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun selama perjalanan.

Gowes Rotterdam! Minggu, 2 Agustus, kami ‘berlibur’ ke Rotterdam dengan sepeda. Rumah sementara kami di Schiedam hanya terpaut beberapa ratus meter saja dari perbatasan dengan Rotterdam. Meski dekat dengan perbatasan, untuk mencapai pusat kota Rotterdam, kami masih harus bersepeda sekitar 6 km. Lumayan jauh bagi orang Indonesia jaman sekarang yang sebenarnya tidak terbiasa bersepeda. Walau demikian, niat awal kami bersepeda kali ini bukan untuk mencapai garis finish di suatu tempat di Rotterdam, melainkan untuk menikmati proses bersepedanya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bersepeda adalah bagian hidup orang Belanda. Karenanya, jalur sepeda memang sudah tertata dan terfasilitasi dengan baik, serta tentunya nyaman dan aman.

Tujuan gowes kami adalah Erasmusbrug, sebuah jembatan yang menjadi ikon Rotterdam. Jembatan berkawat ini menghubungkan sungai Nieuwe Mass yang membelah Rotterdam. Saking besarnya, Nieuwe Mass menjadi jalur lalu lalang kapal-kapal besar pengangkut kontainer barang. Aktivitas lalu lalang kapal di sungai ini mengingatkan saya tentang pelajaran geografi di sekolah dasar dan menengah dulu. Rotterdam adalah salah satu pelabuhan terbesar di Eropa, yang menjadi salah satu gerbang tersibuk di benua biru ini. Begitu katanya. Kami berangkat berbekal buku promo wisata beberapa kota Belanda kiriman gratis dari Nederlandse Spoorwegen (NS) -semacam PT KAI-nya Belanda. Dua buah sepeda menjadi kendaraan kami. Masing-masing sudah dilengkapi dengan boncengan untuk anak kami, sehingga ia leluasa memilih mau duduk bersama saya atau istri saya. 

Sepeda kami dengan latar belakang Erasmusbrug. Gambar ini diambil pada kunjungan pertama kami ke Erasmusbrug tahun 2014 lalu.

Dalam perjalanan menuju Erasmusbrug, kami sempat menyinggahi Rotterdam Centraal Station. Di depan stasiun kereta berarsitektur ‘tidak biasa’ ini kami beristirahat sebentar. Perjalanan ke Erasmusbrug kami lanjutkan melewati Coolsingel, jalan arteri yang terhubung dengan pusat kota Rotterdam. Di sisi jalan ini terdapat balai kota, atau stadhuis, yang megah berpadu dengan langit biru ketika kami melewatinya. Kami lewati pula Beurs, salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang pernah saya temui di Belanda. Sesampainya di ujung Coolsingel, tibalah kami di bibir Erasmusbrug. Kami putuskan untuk menyeberangi Nieuwe Maas melalui jembatan itu. Jembatan besar nan kokoh tadi ternyata cukup stabil saat mobil, bus dan tram berlalu lalang melaluinya. Jalur sepeda dan pejalan kaki pun disediakan dengan ukuran yang cukup lapang, sehingga pengguna jalur ini dapat merasakan desiran angin sambil menikmati pemandangan sungai besar ini. Perjalanan mengesankan di jembatan ini berakhir di turunan di daerah Wilhelminaplein.

Peta perjalanan kami dari Rotterdam Centraal Station menuju Erasmusbrug (Sumber gambar: googlemaps)

Rotterdam Centraal Station
Stadhuis, atau semacam balai kota Rotterdam 
Erasmusbrug
Kami sengaja tidak memperpanjang perjalanan kami sesampainya di Wilhelminaplein. Pulang ke rumah adalah tujuan kami berikutnya. Namun, kami memutuskan untuk melewati jalur yang berbeda untuk pulang, yakni melewati dua jembatan besar yang lain di sisi timur Erasmusbrug, yakni Koninginnebrug dan Willemsbrug. Dalam perjalanan menuju kedua jembatan tersebut, kami menemukan tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat sembari melihat Nieuwe Maas beserta segala aktivitas perkapalannya. Di tempat ini, kami buka bekal yang kami bawa. Sekali lagi, ini adalah liburan hemat, jadi bekal ini sengaja kami persiapkan dari rumah untuk dinikmati di tempat tujuan. Lumayan, mie goreng dan irisan mangga cukup mengenyangkan perut setelah bersepeda dalam waktu yang relatif lama. Hehehe…

Di sini tempat kami beristirahat sambil menikmati pemandangan Nieuwe Maas
Kenyang dengan bekal kami, perjalanan dilanjutkan menyasar kedua jembatan besar yang saya sebut tadi. Koninginnebrug adalah yang pertama kali kami lewati. Jembatan yang tampak terbuat dari rangka-rangka baja ini tidaklah panjang, dan bentuknya lebih sederhana dari Erasmusbrug maupun Willemsbrug. Di samping jembatan ini, kami saksikan De Hef, bangunan berwarna hijau yang konon adalah jembatan kereta. Namun saat ini tampaknya sudah tidak difungsikan lagi.

Koninginnebrug
De Hef
Turun dari Koninginnebrug, kami masuk ke tanjakan lagi menuju Willemsbrug. Jembatan dengan rangka merah ini mengingatkan saya akan jembatan Suramadu yang pernah saya lewati. Walau jauh lebih kecil dari Suramadu, Willemsbrug juga mempunyai dua kaki utama yang kokoh dan menjulang tinggi. Seperti di dua jembatan yang sudah kami lalui, jalur sepeda yang lapang juga tersedia, sehingga memudahkan bagi saya untuk mengambil beberapa foto di atas jembatan tadi. Tur di Willemsbrug berakhir di salah satu sudut Rotterdam yang terkenal, yakni Oudehaven, atau pelabuhan tua, dimana beberapa kapal tua diparkir berjejer di sebuah pelabuhan kecil. Di sekelilingnya berderet restoran ala negeri barat. 

Lajur sepeda berdampingan dengan lajur bus dan mobil di Willemsbrug 

Willemsbrug

Perjalanan pulang kami berlanjut melewati Rotterdam Blaak. Di tempat ini berdiri Markthal, sebuah kompleks pertokoan besar yang masih relatif baru di Rotterdam. Yang juga menarik adalah Kubuswoningen atau rumah kubus, yang juga menjadi ikon Rotterdam dan terletak di dekat Markhal. 

Oudehaven dengan latar belakang Kubuswoningen  
Markthal

Kubuswoningen
Kali ini, kami sengaja tidak mampir ke tempat-tempat tersebut, karena jarum jam sudah menunjuk angka setengah tujuh sore. Beberapa waktu sebelumnya, kami juga sudah mengunjunginya. Keluar dari Blaak, kami bertemu lagi dengan Rotterdam Centraal Station dan beranjak pulang menuju jalur sepeda ke Schiedam lagi.

Minggu, 02 Agustus 2015

Janjiku Padamu

Kamis, 31 Maret 2011. 

Dibarengi mendung dan rintik hujan yang membasahi landasan pacu Amsterdam Schipol Airport, saya berjanji dalam hati untuk membawa kembali anak saya melihat dan menghirup udara di sebuah kota yang sangat berarti baginya, Groningen. Tak berselang lama, pesawat Boeing 747 Malaysia Airlines membawa saya, istri dan anak saya kembali ke Indonesa. Groningen tidak lagi ada di depan mata kami.


“Akhirnya, kupenuhi janjiku padamu, Nak. Janjiku 4 tahun 4 bulan yang lalu untuk membawamu ke kota ini lagi. Kota tempatmu mengawali episode-episode kehidupanmu.”

Sabtu, 1 Agustus 2015. 

Setelah melalui perjalanan panjang dari Belanda selatan sampailah kami bertiga lagi di Groningen yang berada di ujung utara negeri itu. Ada sebuah kelegaan, ada sebuah kepuasan, ketika sebuah janji terpenuhi, terlebih janji untuk orang-orang yang ada di hati. 

Rabu, 29 Juli 2015

Museumkaart, Kartu Sakti untuk Jelajah Museum di Belanda

Konon Belanda adalah salah satu di antara sekian negara yang ‘hobi’ membangun museum. Benar atau tidak faktanya, saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas, museum memang menjadi daya tarik tersendiri bila berkunjung ke Belanda. Tidak hanya museum bernuansa art, seni budaya dan sejarah, negeri kincir ini juga menawarkan museum beraroma teknologi, misalnya museum penerbangan Aviodrome yang pernah saya ceritakan dalam posting saya dua tahun silam. Selain koleksinya yang terawat, umumnya museum di Belanda juga digarap serius. Maksudnya, tata letak, pencahayaan serta kebersihannya sangat diperhatikan oleh pengelola museum, sehingga jalan-jalan ke museum menjadi nyaman dan jauh dari kesan bau barang-barang kuno dan angker

Lalu, bagaimana dengan harga tiket masuknya? Tentu saja, semua kerapihan tadi wajar bila ditebus dengan harga tiket yang cukup mahal untuk sekali masuk. Rata-rata, museum di Belanda mematok harga tiket sebesar 11 sampai dengan 17 Euro. Silakan cek di website resmi masing-masing museum untuk informasi detilnya. Walau demikian, bukan Belanda namanya kalau tidak ada opsi paket hemat, termasuk tiket masuk museum. 


Adalah museumkaart, atau museumcard, alias kartu museum yang bisa dijadikan ‘alat’ yang meringankan anggaran kita untuk masuk ke museum-museum di Belanda. Dengan kartu sakti ini, calon pengunjung museum bisa mendapatkan potongan harga yang lumayan besar, atau bahkan gratis tanpa bayar sepeser pun untuk masuk ke dalamnya. Bagi penggemar museum, kartu ini layak dimiliki. Tentu untuk mendapatkannya tidaklah gratis, melainkan harus membayar semacam abonemen selama setahun dan mendaftarkan diri secara online melalui website resmi museumkaart. Tarif abonemen setahun untuk dewasa dipatok dengan harga sekitar 60 Euro, termasuk 4,5 Euro untuk biaya pendaftaran. Sedangkan untuk anak atau remaja di bawah 18 tahun, tarifnya hanya sekitar 32,5 Euro saja, termasuk biaya yang sama untuk pendaftaran. Memang sepintas tampak mahal. Uang 60 Euro bagi saya bisa untuk hidup bersama keluarga kecil saya selama seminggu hingga 10 hari di Belanda. Namun, mengingat mahalnya harga tiket masuk museum dan kegemaran saya sekeluarga untuk jalan-jalan selama di Eropa saat ini, membayar sejumlah uang tarif abonemen sebesar rasanya cukup sepadan. Paling tidak, saat ingin berkunjung ke museum, saya hanya perlu merogoh biaya perjalanannya saja, tanpa pusing memperhitungkan ongkos masuk ke dalamnya.

Minggu, 19 Juli 2015

Cerita Lebaran Kami di Delft (2): Ada Lontong, Kebersamaan dan Rasa Syukur

Bulan Ramadhan memang sudah berlalu. Meski demikian, dampak dari puasa dan ibadah-ibadah lain selama bulan istimewa tersebut hendaknya tetap membekas dan dapat dirasakan baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat.


Demikian inti khotbah yang disampaikan oleh khotib Dr. Makky Jaya seusai sholat Ied di Hari Raya Idul FItri 1436 yang diselenggarakan oleh Keluarga Muslim Delft (KMD) di Gymzaal Slauerhofflaan, Delft, Jumat 17 Juli lalu. Pak Makky, demikian sapaan akrab beliau, menambahkan bahwa seluruh ibadah di bulan Ramadhan lalu setidaknya memberikan tiga efek yang luar biasa dalam kehidupan. 


Pertama, ibadah-ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan pada akhirnya mampu menghadirkan kekuatan taqwa dalam diri kita, yakni kemampuan untuk bertahan dari mengerjakan hal-hal yang negatif. Kekuatan ini hanya bisa diraih dengan latihan yang terus menerus dan berulang-ulang sebagaimana puasa di bulan Ramadhan, sehingga muncul kebiasaan untuk selalu berbuat baik dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan negatif. Efek dari kekuatan taqwa pada diri seseorang bisa dilihat dari ringannya ia dalam bersedekah, ringannya ia dalam memaafkan dan meminta maaf kepada orang lain, serta ringannya ia dalam menyadari kesalahannya dan selanjutnya mohon ampun kepada Alloh Swt. 

Kedua, ibadah-ibadah di bulan Ramadhan menghadirkan kekuatan dalam diri kita untuk berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Inilah indahnya Islam. Ia tidak memberikan manfaat kepada individu semata, tetapi juga kepada masyarakat. Anjuran dan kewajiban untuk bersedekah dan berzakat adalah contoh cara Alloh Swt. mendidik dan melatih diri kita untuk berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan dengan orang-orang di sekeliling kita.

Ketiga, ibadah-ibadah di bulan Ramadahan pada akhirnya juga melatih diri kita untuk menjadi orang kuat yang sebenarnya. Bagaimanapun juga, Alloh Swt. lebih mencintai hambanya yang kuat, yakni hamba-Nya yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain dan hamba-Nya yang senantiasa berharap kepada-Nya saja dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. 


Untuk merayakan Idul Fitri tahun 2015 ini, KMD sebagai wadah kegiatan keislaman para pelajar dan keluarga Indonesia di Kota Delft, Belanda, menyelenggarakan serangkaian acara lebaran bersama yang diikuti oleh para pelajar dan warga muslim di Kota Delft. Rangkaian acara ini dimulai pukul 9 pagi, diawali dengan takbir bersama di gedung olahraga (gymzaal) Slauerhofflaan, Delft. Kurang lebih setengah jam kemudian, sholat Ied dimulai dan dilanjutkan dengan khotbah Ied, silaturrahim dan makan bersama. Aneka hidangan khas Indonesia seperti lontong sayur, sambel goreng, rendang hingga ayam bakar disajikan memeriahkan suasana lebaran kota barat daya Belanda ini. Acara ini tentu saja menjadi penawar kesunyian saat lebaran, terutama bagi para pelajar dan warga Indonesia di Delft yang belum diberikan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga untuk merayakan Idul Fitri di tanah air. Kebersamaan yang hadir di dalamnya memberikan kenangan indah dan tetap menggugah rasa syukur atas kesempatan yang diberikan-Nya untuk merayakan Idul Fitri meskipun jauh dari sanak keluarga. Kurang lebih pukul satu siang, acara ini pun berakhir. 

Akhir kata, selamat Idul Fitri 1436H. Taqabbalallahu minna wa minkum. Taqabbal yaa kariim. Semoga puasa dan ibadah kita di bulan Ramadhan lalu diterima dan diridhoi oleh Alloh Swt. Mohon maaf lahir dan batin.

*Simak juga liputan Sholat Ied Keluarga Muslim Delft (KMD) tahun 2013 di sini.

Jumat, 19 Juni 2015

Refleksi Ramadhan (2): Terima kasih, Kawan.

Namanya Gerwin, seorang Belanda tulen yang dua tahun lalu berhasil menyabet gelar doktor dari TU Delft di bidang prosthetic engineering. Sewaktu saya datang untuk studi di universitas tersebut, saya ditempatkan di salah satu sudut ruang kerja yang tidak jauh dari meja kerja Gerwin. Dari situlah, saya mengenal Gerwin, bercakap-cakap dan saling bertanya tentang Indonesia maupun Belanda. Awalnya saya menilai Gerwin sebagai seorang yang sangat serius hingga jarang berbicara. Maklum, setiap kali datang ke kampus, Gerwin sudah asyik dengan komputer dan pekerjaannya. Namun ternyata tebakan saya tidak sepenuhnya benar. Gerwin memang serius, tetapi ia cukup menyenangkan bila diajak bicara, apalagi berdiskusi yang agak-agak serius. Tentang Indonesia, ternyata Gerwin tahu banyak. Ia tahu Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto hingga yang terakhir terpilihnya Presiden Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Indonesia Oktober tahun lalu. Kadangkala, di sela-sela kesibukan kami masing-masing, Gerwin mengajak ngobrol tentang berita tentang Indonesia yang ia tonton di televisi. Dua tahun yang lalu, setelah ujian mempertahankan disertasinya, Gerwin memilih berlibur ke Indonesia, mengunjungi Jakarta, Jogja, Bali dan sebagainya. Usut punya usut, Gerwin memang tertarik dengan Indonesia, karena kakeknya dulu pernah bertugas di Indonesia semasa perang kemerdekaan. Apa yang dilakukan kakeknya di Indonesia saat perang tersebut, saya rasa tidak penting untuk dibahas. Yang jelas, Gerwin adalah salah satu teman baik dari Belanda yang pernah saya kenal.
 
Sehari sebelum Ramadhan tahun ini, saya sempat berjumpa dengan Gerwin yang kini sudah berbeda ruang dengan saya. Hari sudah mulai sore. Gerwin yang sekarang sedang post-doc di TU Delft sudah menggendong tas punggungnya untuk pulang. Sementara, saya masih harus membereskan pekerjaan sebelum akhirnya pulang juga. Seperti biasa, saya dan Gerwin saling sapa. Have a good evening. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan bertanya sesuatu kepada saya. “Aku dengar besok mulai Ramadhan ya?” tanyanya. Saya pun menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya sambil menjawab iya. Pembicaraan pun mengalir, hingga ia akhirnya menyalami saya, semoga sukses Ramadhan-mu yang mungkin terasa berat karena ada di puncak musim panas. Waktu siang hari menjadi sangat panjang. Ada rasa senang ketika seorang kawan seperti Gerwin ternyata cukup perhatian dengan apa yang saya lakukan sebagai seorang muslim, termasuk menjalankan puasa Ramadhan. Meski begitu, kami bisa saling bercerita tanpa menyentuh sisi akidah atau keyakinan masing-masing. Kami bisa saling menghormati dengan apa yang kami yakni masing-masing. Namun, lewat pembicaraan seperti tadi, kami saling mengetahui sisi religi dan budaya dari negeri masing-masing. Dengan begitu, hubungan interpersonal menjadi lebih baik, lingkungan kerja pun menjadi akrab dan nyaman.

Ada Gerwin, ada pula Sander yang juga asli Belanda. Sander adalah satu-satunya teknisi di grup riset tempat saya menjalankan penelitian S3 saya di TU Delft. Sama seperti Gerwin, Sander ternyata juga mempunyai ‘keterkaitan’ dengan Indonesia. Neneknya pernah tinggal di Indonesia dalam kurun waktu yang lama, tepatnya di Belitung. Sander sering bercerita tentang Indonesia. Ia kadang merasa malu ketika pembicaraan saya dengannya sedikit menyinggung masa kelam era kolonialisme Belanda di Indonesia. Ia juga sering berkelakar tentang bagaimana membuat sate ayam dan bumbunya, atau masakan Indonesia lain yang tidak asing di mulut saya. Sander pun adalah salah satu orang di kampus ini yang mengerti tentang ritual agama yang selalu saya lakukan. Ia tahu kebiasaan saya mengambil break sekitar jam 1 atau 2 siang atau sore hari untuk Sholat Dhuhur dan Ashar di sebuah mushola kecil di fakultas sebelah. Di hari Jumat, ia tahu bahwa saya harus mengerjakan Sholat Jumat, sehingga ia tidak akan mengagendakan suatu pekerjaan di laboratorium bersama saya di waktu-waktu sholat tersebut. 

Setelah Gerwin dan Sander, ada pula Helene. Gadis asli Prancis ini juga telah menyabet gelar doktor dari TU Delft sekitar setahun yang lalu di bidang instrumentasi medis. Sama seperti Gerwin, saya mengenal Helene karena meja kerja saya yang tak jauh dari meja kerjanya di masa awal studi di kampus ini. Suatu ketika, menjelang hari raya Idul Adha di tahun 2013, Helene menyapa saya dan bercerita bahwa ia menemukan sebuah artikel di salah satu surat kabar Prancis tentang perayaan hari raya ini. Helene rupanya penasaran apa itu Idul Adha, lalu ibadah haji yang dikerjakan di Mekkah di waktu yang bersamaan. Karena waktu itu Helene adalah inisiator program internationalpresentation di departemen tempat saya studi, ia meminta saya untuk mencoba bercerita di depan teman-teman lain tentang Idul Adha di acara tersebut. Saya pun mengiyakan. Tentu, di sini saya tidak bercerita tentang agama yang saya peluk ini secara mendalam. Saya hanya menunjukkan adalah apa yang dilakukan oleh umat Islam dalam Idul Adha, seperti halnya menjelaskan ritual suatu budaya tanpa menyinggung sisi-sisi keyakinan. Yang lebih penting lagi adalah menyampaikan makna di balik perayaan hari raya Idul Adha maupun haji, sehingga orang-orang seperti Helene, Gerwin dan Sander melihat sisi-sisi manusiawi dari Islam. 

Alhamdulillah. Di hari kedua Ramadhan kali ini, saya teringat pada mereka bertiga. Terima kasih atas perhatianmu, kawan.