Jumat, 10 April 2020

Distance Learning


Wabah Covid-19 yang menjadi pandemi di dunia saat ini mengharuskan umat manusia mengubah beberapa cara dalam menunjang aktivitas hidupnya. Tak terkecuali masyarakat akademik. Dunia pendidikan terkena imbasnya. Proses belajar mengajar kini tak bisa secara langsung. Tatap muka tak memungkinkan. Sebagai gantinya, model pembelajaran jarak jauh atau distance learning diterapkan, demi menghambat dan memutus mata rantai penularan virus Corona yang sangat gesit nan cepat menyebar itu.

Sumber gambar: Long-distance learning with Ecocert Expert Consulting
Masyarakat pun dihimbau bekerja dari rumah. Work from Home. Itu jargonnya. Akibatnya, internet, laptop serta gadget pastilah menjadi vital keberadaannya. Ditambah lagi slogan physical distancing atau jaga jarak antar individu untuk mencegah penularan Covid-19, menjadikan alat-alat itu sebagai piranti teknologi informasi ini semakin terasa sekali manfaatnya.

Work from Home dengan segala tantangannya mengingatkan saya 14 tahun lalu. Program S2 yang saya ikuti pada rentang tahun 2006 sampai dengan 2008 menggunakan dua metode. Unik memang. Pertama, kuliah konvensional, dengan dosen dan ruang di alam nyata seperti sekolah pada umumnya. Yang kedua, kuliah jarak jauh dengan ruang virtual dan dosen lintas negara.

Yang kedua ini cukup menantang. Ketika kuliah jarak jauh, jauhnya tak tanggung-tanggung, sampai lintas benua, yang tentunya berselisih waktunya. Pesertanya bukan hanya mahasiswa dan dosen dari Jogja dan Bandung, tetapi juga dari Groningen (Belanda), Ghent (Belgia), Leeds (Inggris) dan Delhi (India). Jadi kalau perkuliahan diajar oleh dosen dari Belanda, maka para dosen itu biasanya memulai kuliahnya masih dalam keadaan segar karena masih jam 9 pagi. Tetapi, mahasiswa-mahasiswinya yang di Bandung dan Jogja sudah kuyu keadaannya, lantaran sudah pukul 14 siang. Sudah lelah dengan kuliah di dunia nyata di pagi harinya.

Kendala bahasa dan kultur juga pastilah ada. Masih ingat, betapa amburadulnya Bahasa Inggris saya ketika itu. Hahahaa... Kultur kerja, sosial dan akademik orang Asia dan Eropa juga "dibenturkan", dan lagi-lagi tidak sama. Mahasiswa dari Eropa cenderung aktif, sementara mahasiswa dari Asia (baca Indonesia) tampak kalem-kalem saja, tidak sering acungkan jari untuk bertanya. Belum lagi beda kultur dan pola pikir antara orang medis dan teknik yang cukup kentara, sebab saya kuliah di program studi yang masih fresh saat itu: biomedical engineering.

Yang juga menantang adalah masih terbatasnya platform dan kemampuan jaringan internet untuk kuliah jarak jauh kala itu. Masih segar dalam ingatan, platform andalan waktu itu adalah Yahoo Messenger. Skype masih merupakan barang baru. Dan video call sulitnya minta ampun, lantaran kecepatan internet di negeri ini yang masih amat terbatas. Jadilah, chat meet via Yahoo Messenger sering menjadi solusinya.

Belum lagi ketika tugas-tugas kuliah harus dilembur, tak mungkin dikerjakan di kampus. Di era sekarang, dunia seperti dalam genggaman, lantaran handphone kita ini kelewat canggih dan hampir selama 7 hari 24 jam terkoneksi dengan internet. Lancar pula. Empat belas tahun silam, jangankan di rumah, online dengan fasilitas di warnet (baca: warung internet) yang konon paling joss saja tidak menjamin bagus koneksinya. Pergi malam-malam jelang dini hari ke warnet hanya untuk mengirim tugas via email adalah hal yang biasa waktu itu. Belajar dari channel Youtube? Alamak.. lelet sekali internet di jaman itu. Sering buffering dan menghabiskan 'jam main' internet di warnet.

Namun, di tengah tantangan nan deras itu, akhirnya masa-masa itu selesai juga dan bisa dilalui. Terlampaui juga, setelah hampir dua tahun bergumul dengan dengan model kuliah jarak jauh semacam ini. Impressive, isn't it.

Ketika booming kuliah jarak jauh terjadi akibat pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi, masih saja muncul keluh kesah. Kuliah online itu tidak menyenangkan, susah, tidak interaktif, tidak maksimal, membuat mati kutu di depan layar monitor, menyedot banyak kuota internet dan sebagainya. Juga para dosen mengeluh tak bisa memastikan mahasiswanya itu aktif atau tidak, belajar atau tidak, paham atau tidak di kelas virtual. Ya memang benar begitulah. Dalam beberapa kesempatan saya pun menemui permasalahan itu. Namun, memang tidak ada cara lain di tengah situasi yang tidak kondusif seperti ini.

Mungkin kita perlu ambil nilai positifnya. Bahwa kuliah jarak jauh itu menuntut tanggung jawab pribadi masing-masing dosen/guru dan mahasiswa/siswa untuk belajar. Keberhasilan menguasai materi sangat tergantung pada upaya dan keaktifan masing-masing dalam belajar. Dosen atau guru membuat mata pelajaran atau mata kuliah yang mudah dipahami dan memudahkan peserta didik untuk belajar, meski ada jarak fisik yang terpaut jauh. Sementara, siswa atau mahasiswa ya yang pro-aktif, bertanggung jawab atas apa yang harus ia lakukan atau pelajari.

Kalau saja pengajar dan siswa sama-sama bersemangat mencari ilmu, atas nama rasa ingin tahu, ya pastilah kendala-kendala distance learning yang tersebut di atas bisa diminimalkan. Semua sama-sama punya bahan bakar untuk belajar, suka akan hal baru, sehingga seberat apapun medannya kita akan terus berusaha untuk menguasai materi yang dipelajari. Memang, urusan kecepatan mahasiswa atau siswa untuk paham harus sedikit kita tinjau ulang. Karena belajar mandiri itu tetap perlu waktu yang biasanya lebih panjang daripada siswa atau mahasiswa yang “diceramahi” atau bahkan “didoktrin” di kelas. Ya, tetapi poin pentingnya 'kan tetap belajar. Apapun hasilnya, yang terpenting adalah proses. Proses belajar, yang kalau dijalani serius dan benar insyaAlloh akan membuahkan hasil yang berkah dan bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar