Wabah Covid-19 yang menjadi
pandemi di dunia saat ini mengharuskan umat manusia mengubah beberapa cara
dalam menunjang aktivitas hidupnya. Tak terkecuali masyarakat akademik. Dunia
pendidikan terkena imbasnya. Proses belajar mengajar kini tak bisa secara
langsung. Tatap muka tak memungkinkan. Sebagai gantinya, model pembelajaran
jarak jauh atau distance learning diterapkan, demi menghambat dan
memutus mata rantai penularan virus Corona yang sangat gesit nan cepat menyebar
itu.
Sumber gambar: Long-distance learning with Ecocert Expert Consulting |
Masyarakat pun dihimbau bekerja
dari rumah. Work from Home. Itu jargonnya. Akibatnya, internet, laptop
serta gadget pastilah menjadi vital keberadaannya. Ditambah lagi slogan physical
distancing atau jaga jarak antar individu untuk mencegah penularan
Covid-19, menjadikan alat-alat itu sebagai piranti teknologi informasi ini
semakin terasa sekali manfaatnya.
Work from Home dengan
segala tantangannya mengingatkan saya 14 tahun lalu. Program S2 yang saya ikuti
pada rentang tahun 2006 sampai dengan 2008 menggunakan dua metode. Unik memang.
Pertama, kuliah konvensional, dengan dosen dan ruang di alam nyata seperti
sekolah pada umumnya. Yang kedua, kuliah jarak jauh dengan ruang virtual dan
dosen lintas negara.
Yang kedua ini cukup menantang.
Ketika kuliah jarak jauh, jauhnya tak tanggung-tanggung, sampai lintas benua,
yang tentunya berselisih waktunya. Pesertanya bukan hanya mahasiswa dan dosen
dari Jogja dan Bandung, tetapi juga dari Groningen (Belanda), Ghent (Belgia),
Leeds (Inggris) dan Delhi (India). Jadi kalau perkuliahan diajar oleh dosen
dari Belanda, maka para dosen itu biasanya memulai kuliahnya masih dalam
keadaan segar karena masih jam 9 pagi. Tetapi, mahasiswa-mahasiswinya yang di
Bandung dan Jogja sudah kuyu keadaannya, lantaran sudah pukul 14 siang. Sudah
lelah dengan kuliah di dunia nyata di pagi harinya.
Kendala bahasa dan kultur juga
pastilah ada. Masih ingat, betapa amburadulnya Bahasa Inggris saya ketika itu. Hahahaa...
Kultur kerja, sosial dan akademik orang Asia dan Eropa juga
"dibenturkan", dan lagi-lagi tidak sama. Mahasiswa dari Eropa
cenderung aktif, sementara mahasiswa dari Asia (baca Indonesia) tampak
kalem-kalem saja, tidak sering acungkan jari untuk bertanya. Belum lagi beda
kultur dan pola pikir antara orang medis dan teknik yang cukup kentara, sebab
saya kuliah di program studi yang masih fresh saat itu: biomedical
engineering.
Yang juga menantang adalah masih
terbatasnya platform dan kemampuan jaringan internet untuk kuliah jarak jauh
kala itu. Masih segar dalam ingatan, platform andalan waktu itu adalah Yahoo
Messenger. Skype masih merupakan barang baru. Dan video call sulitnya
minta ampun, lantaran kecepatan internet di negeri ini yang masih amat
terbatas. Jadilah, chat meet via Yahoo Messenger sering menjadi
solusinya.
Belum lagi ketika tugas-tugas
kuliah harus dilembur, tak mungkin dikerjakan di kampus. Di era sekarang, dunia
seperti dalam genggaman, lantaran handphone kita ini kelewat canggih dan
hampir selama 7 hari 24 jam terkoneksi dengan internet. Lancar pula. Empat
belas tahun silam, jangankan di rumah, online dengan fasilitas di warnet
(baca: warung internet) yang konon paling joss saja tidak menjamin bagus
koneksinya. Pergi malam-malam jelang dini hari ke warnet hanya untuk mengirim
tugas via email adalah hal yang biasa waktu itu. Belajar dari channel Youtube?
Alamak.. lelet sekali internet di jaman itu. Sering buffering dan
menghabiskan 'jam main' internet di warnet.
Namun, di tengah tantangan nan
deras itu, akhirnya masa-masa itu selesai juga dan bisa dilalui. Terlampaui
juga, setelah hampir dua tahun bergumul dengan dengan model kuliah jarak jauh
semacam ini. Impressive, isn't it.
Ketika booming kuliah
jarak jauh terjadi akibat pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi, masih saja muncul
keluh kesah. Kuliah online itu tidak menyenangkan, susah, tidak
interaktif, tidak maksimal, membuat mati kutu di depan layar monitor, menyedot
banyak kuota internet dan sebagainya. Juga para dosen mengeluh tak bisa memastikan
mahasiswanya itu aktif atau tidak, belajar atau tidak, paham atau tidak di
kelas virtual. Ya memang benar begitulah. Dalam beberapa kesempatan saya pun
menemui permasalahan itu. Namun, memang tidak ada cara lain di tengah situasi
yang tidak kondusif seperti ini.
Mungkin kita perlu ambil nilai
positifnya. Bahwa kuliah jarak jauh itu menuntut tanggung jawab pribadi
masing-masing dosen/guru dan mahasiswa/siswa untuk belajar. Keberhasilan
menguasai materi sangat tergantung pada upaya dan keaktifan masing-masing dalam
belajar. Dosen atau guru membuat mata pelajaran atau mata kuliah yang mudah dipahami dan memudahkan peserta didik untuk belajar, meski ada jarak fisik yang terpaut jauh. Sementara, siswa atau mahasiswa ya yang pro-aktif, bertanggung jawab atas apa yang harus ia lakukan atau pelajari.
Kalau saja pengajar dan siswa
sama-sama bersemangat mencari ilmu, atas nama rasa ingin tahu, ya pastilah
kendala-kendala distance learning yang tersebut di atas bisa
diminimalkan. Semua sama-sama punya bahan bakar untuk belajar, suka akan hal
baru, sehingga seberat apapun medannya kita akan terus berusaha untuk menguasai
materi yang dipelajari. Memang, urusan kecepatan mahasiswa atau siswa untuk paham
harus sedikit kita tinjau ulang. Karena belajar mandiri itu tetap perlu waktu yang
biasanya lebih panjang daripada siswa atau mahasiswa yang “diceramahi” atau
bahkan “didoktrin” di kelas. Ya, tetapi poin pentingnya 'kan tetap
belajar. Apapun hasilnya, yang terpenting adalah proses. Proses belajar, yang
kalau dijalani serius dan benar insyaAlloh akan membuahkan hasil yang
berkah dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar