“Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Mie
instan saja butuh waktu untuk memasaknya, hingga siap untuk disantap.”
Saya rasa
ungkapan tersebut benar. Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Semua
membutuhkan proses. Apakah proses tersebut panjang atau pendek, lama atau
sebentar, berliku atau lurus, sulit atau mudah, yang jelas semuanya adalah
proses. Pun demikian dengan menulis. Menulis adalah sebuah proses, yang
membutuhkan kesabaran, keuletan, sikap pantang menyerah, terbuka dan
sebagainya. Saya yakin penulis-penulis besar yang kerap kita kagumi itu pasti
telah melalui sebuah proses. Yang
membedakan adalah jalan dari proses yang ditempuh masing-masing individu, yang
tentunya tidak ada yang pernah sama. Kalaupun ada
kemiripan, hal itu bukanlah berarti sama.
Setelah tiga dekade usia saya, akhirnya saya
temukan bahwa menulis adalah salah satu aktivitas yang saya sukai, walaupun dalam
praktiknya, lingkup topik yang sanggup saya tulis cukup spesifik nan terbatas,
serta dengan gaya penulisan cenderung kaku dan tidak setiap orang bisa akrab
dengannya. Saya masih ingat di sekitar tahun 2003, seorang kawan memberitahu
tentang komentar salah satu editor penerbit di kota tempat tinggal saya. Pada
saat itu, saya bersama beberapa kawan sedang menjalankan sebuah proyek membuat
buku inovatif panduan pariwisata Kota Jogja. Terpilihlah saya menjadi penulis
utamanya, dengan tugas membuat tulisan untuk mendeskripsikan tempat-tempat
menarik di Jogja untuk disajikan dalam buku bertema traveling itu. Tidak susah bagi saya menyelesaikan
tugas tersebut. Namun, Anda mau tahu komentar sang editor? Menurutnya, gaya
tulisan saya lebih cocok untuk skripsi, bukan buku-buku untuk panduan wisata! Sejak
itulah, saya seperti tertampar untuk sadar akan gaya menulis saya sendiri.
Melihat ke
belakang, kemampuan menulis saya meningkat setahap demi setahap, dimulai dari
kondisi sama sekali tidak bisa menulis, sering mengalami blocking dan kehabisan
ide dan ujung-ujungnya sering sekali harus menyetor remasan kertas ke tong
sampah. Tetapi itulah awal cerita panjang saya untuk mampu menulis. Di bangku
sekolah dasar (SD), saya justru tidak suka pelajaran mengarang. Saat Tes Hasil
Belajar (THB), sebutan ujian semester di jaman saya SD, saya selalu panik jika
dihadapkan pada soal mengarang. Bingung. Harus mulai dari mana? Lalu menulis
apa? Mungkin itulah yang bisa menggambarkan suasana hati saya saat itu. Terus
terang, pada masa itu saya lebih suka menggambar. Kalaupun harus mengarang
cerita, saya lebih suka membuat kartun parodi, bukan sebuah prosa apalagi
puisi. Tentu saja dalam membuat kartun parodi tetap dituntut untuk membuat
jalan cerita yang menarik dan lucu. Keasyikan dengan menggambar kartun membuat
saya tidak begitu bermasalah dengan hal itu, namun akhirnya merasa janggal juga
setelah membaca ulang cerita yang dibuat. Kembali, masuklah kertas-kertas
berisi kartun-kartun parodi itu ke tong sampah karena saya anggap ‘gagal’ dan
tidak lucu.
Tahun demi tahun berganti, kegemaran saya
membuat kartun pun sirna terbenam dalam kegemaran yang lain. Masih seputar
mengayunkan pena di atas kertas, namun bukan lagi cerita-cerita fiksi atau lucu
setelah saya sadar diri saya tidak pandai berfiksi ria dan melucu. Input bacaan yang sering saya lahap
saat itu juga mempengaruhi gaya saya menulis. Semenjak masa SMP dan SMA, komik
atau buku cerita bukan bacaan favorit saya. Saya lebih menyukai majalah penerbangan
dan buku-buku sejarah, biografi tokoh serta beberapa judul buku psikologi
populer. Jika ada yang beranggapan dengan banyak membaca buku-buku seperti itu
lalu langsung mahir menulis dengan tema non-fiksi dan ilmiah, ternyata itu tidak
terjadi pada saya. Saya ingat bagaimana rasanya pada masa orientasi SMA
dihinggapi bingung yang amat sangat berhadapan dengan tugas membuat makalah. Kata-kata
tentang abstraksi, latar belakang penelitian, metodologi penelitian dan hasil
penelitian sungguh terasa asing di telinga saya. Padahal di dalam kelas,
kakak-kakak anggota Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang memandu program karya
ilmiah siswa baru sepertinya sudah bersusah payah memberikan materi dan
penjelasannya berulang kali. Hasilnya, saat itupun saya tidak lolos seleksi menjadi
anggota KIR di SMA saya. Keanggotaan saya dalam KIR SMA lebih karena niat yang
dipandang positif oleh kakak-kakak pemandu, bukan lewat jalur kualifikasi
membuat karya ilmiah.
Debut saya
membuat tulisan yang terbilang lumayan ilmiah dimulai pada saat awal
keanggotaan KIR di SMA. Semua anggota baru diwajibkan membuat makalah atau
karya tulis ilmiah untuk lomba tingkat daerah. Hasil tulisan saya? Masih sama,
kacau! Tetapi, seiring berjalan dengan waktu, akhirnya saya mampu juga membuat
karya tulis sederhana untuk diikutsertakan dalam event lomba tingkat daerah
selanjutnya. Menjadi juara 2 dengan hadiah uang sebesar tujuh
ratus rupiah dan berhasil ‘mengungguli’ karya salah satu guru di SMA saya
adalah kebanggaan yang pernah saya rasakan dengan tulisan ilmiah saya saat
kelas 2 SMA. Tetapi, yang sebenarnya lebih penting dari itu dan tidak saya
sadari adalah perjuangan dan kerja keras untuk menghasilkan sebuah karya tulis
yang ‘mendekati’ benar. Saya masih ingat begitu membosankannya memandangi teks
manuskrip berkali-kali hanya untuk memeriksa apakah gagasan yang disampaikan
jelas dan bahasanya tidak terbelit-belit. Penyakit saya waktu itu adalah selalu
ingin menampilkan semua data atau informasi yang saya dapatkan tanpa melihat
tingkat pentingnya informasi. Namun, sekali lagi, itulah sebuah proses. Ketika sebuah
keberhasilan telah diraih, maka hal itu akan menjadi pemicu semangat untuk
berkarya lagi. Satu dua karya tulis lagi saya susun dan ikutsertakan dalam
lomba. Sayangnya, tidak pernah juara lagi!
Proses
belajar menulis terus berlanjut di tingkat mahasiswa. Hanya saja saya merasa
sedikit terbatasi karena tidak banyak lomba karya tulis ilmiah yang mengangkat
tema bidang teknik mesin yang saya tekuni selama kuliah. Mengambil resiko menulis
di bidang lain yang banyak menawarkan lomba menulis akhirnya menjadi pilihan
saya. Kali ini saya berhasil lagi. Saya adalah mahasiswa teknik mesin saat itu,
tetapi saya bisa meraih juara 1 lomba karya tulis tingkat propinsi bertemakan
tata kota pada saat duduk di semester 3. Saya diuntungkan dengan keberadaan
perpustakaan fakultas yang menyediakan buku-buku bertema tata lingkungan untuk
mahasiswa arsitektur. Peduli amat dengan jurusan kuliah saya, pikir saya waktu
itu, yang penting kegemaran tersalurkan, kemampuan menulis meningkat, percaya
diri muncul dan -yang lebih penting lagi- ada tambahan uang saku dari hasil
menulis. Termotivasi hal ini, saya semakin rajin mengkuti berbagai lomba karya
tulis ilmiah meski topiknya semakin ‘tidak nyambung’, tidak relevan, dengan
bidang ilmu teknik mesin yang saya pelajari. Akibatnya, saya lebih sering mendapatkan
predikat sebagai peserta saja, bukan sang juara. Dari sinilah saya belajar lagi,
bahwa ‘mengingkari’ minat studi saya dan ‘menjual kemampuan’ menulis hanya demi
predikat juara dan uang hadiahnya ternyata bukanlah jalan yang tepat untuk saya
tempuh. Tercatat hanya ada satu lomba yang mendekati bidang ilmu saya, yakni
tentang transportasi dan perhubungan, yang diselenggarakan secara nasional oleh
departemen perhubungan. Namun, tulisan tersebut hanya berbuah sertifikat
penghargaan sebagai peserta saja. Dengan pengalaman ini, saya pun akhirnya
menganggukkan sebuah pendapat bahwa menulis ilmiah itu adalah memaparkan sebuah
idealisme, gagasan dan pemikiran yang muncul dari lubuk hati terdalam. Prestasi
yang pernah saya raih pada saat menulis tentang tata kota memang sebuah
perkecualian. Adalah imajinasi saya setelah melihat gambar-gambar
indahnya kota-kota di Eropa di buku yang mendorong saya menulis dengan sepenuh hati
tentang konsep kota idaman. Imajinasi tersebut membawa saya seolah sedang
menulis di taman-taman kota-kota yang indah dan bersih di Eropa, yang dilengkapi
dengan fasilitas jalur sepeda dan pedestrian area-nya yang sungguh nyaman. Sangat
mudah mendeskripsikannya, karena saya merasa ‘berada’ di tempat tersebut. Sangat
berbeda dengan apa yang pernah saya tulis untuk tujuan hanya mendapatkan hadiah
uang sebagai imbalan juara, sementara tidak ada mimpi, imajinasi dan idealisme
tentang apa yang ditulis. Meski demikian, tetap tidak ada yang sia-sia. Gagal
dan gagal dalam pergulatan membuat tulisan ilmiah selama masa kuliah membuat
saya lebih mudah dalam menulis skripsi. Bahkan, atas saran dan bimbingan dosen
pemibimbing saya, skripsi sarjana saya bisa diterbitkan menjadi dua naskah publikasi
ilmiah di jurnal nasional. Suatu hal yang sangat memuaskan di akhir masa kuliah
S1 saya.
Aktivitas
menjadi staf pengajar junior dan melanjutkan studi S2 membuat saya semakin
keranjingan menulis makalah. Selain mencoba menulis makalah untuk presentasi
seminar nasional, saya mulai belajar menggunakan bahasa Inggris dalam menulis
makalah. Tentu, tidak sempurna di sana sini, entah pada cara menyampaikan gagasan,
memaparkan hasil dan penggunaan bahasa Inggris yang berasa aneh bila dibaca
pada saat ini.
Adalah peran
dari kawan senior di tempat saya bekerja yang sangat membantu dalam memperbaiki
tulisan-tulisan ilmiah saya. Jika sebelumnya struktur dalam makalah atau
tulisan saya boleh dibilang sering kabur dan tidak jelas, maka dengan bimbingan
kawan saya itu saya menjadi lebih paham dalam merumuskan isi suatu makalah atau
tulisan ilmiah. Lambat laun seiring dengan semakin banyaknya tulisan ilmiah
yang bisa saya selesaikan, semakin lancar pula dalam merumuskan gagasan,
mengkaitkan kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya
menjadi karya yang lebih enak dibaca dan dinikmati. Puncaknya adalah di tahun
2011, ketika untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya, tulisan ilmiah saya diterima
dan dipublikasikan di Materials Chemistry and Physics, sebuah jurnal internasional
dengan reputasi yang cukup baik di bidang ilmu material. Akhir tahun 2011, artikel
tersebut terpilih menjadi The Best International Publication pada Malam Penghargaan bagi Insan Berprestasi Universitas Gadjah Mada; menempatkan saya yang
masih bergelar S2 bersanding dan berdiri bersama dengan para senior yang sudah
menyandang gelar doktor maupun profesor.
 |
Saya (nomor 4 dari kanan) bersama Rektor UGM dan para penerima penghargaan pada Malam Penghargaan bagi Insan UGM Berprestasi 2011 (Foto kiriman dari seorang kawan di LPPM, UGM) |
Senang, bahagia dan puas rasanya setelah melalui sebuah perjuangan dan proses yang sangat panjang untuk bisa menulis.
Yang lebih memuaskan lagi adalah ketika melihat artikel publikasi internasional pertama yang saya tulis itu kini
telah menjadi rujukan atau di-sitasi oleh beberapa artikel yang ditulis para
peneliti lain di dunia. Semua itu semakin membuat saya bersemangat menulis yang
lebih baik lagi, bukan untuk uang maupun sanjungan, tetapi sebuah kepuasan yang tak tergantikan.