Kamis, 25 Desember 2014

Libur Telah Tiba, Libur Telah Tiba… Horee!!!



Judul di atas adalah bagian dari lirik sebuah lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh Tasya, seorang penyanyi cilik era akhir tahun 90an. Lagu tersebut rasanya relevan di penghujung bulan Desember ini. Ya, libur telah tiba. Seperti halnya saat Idul Fitri di Indonesia, hari-hari menjelang Natal (Christmas) dan tahun baru Masehi di negara-negara Eropa juga diisi dengan libur panjang. Tak terkecuali kampus-kampus perguruan tinggi di seantero Belanda. Tentu saja, momen ini adalah kesempatan emas untuk berhenti sejenak dari rutinitas pekerjaan sehari-hari di kampus atau kantor. Kesempatan untuk meng-adem-kan kepala lagi setelah panas berlari kencang mengejar target-target yang harus tercapai. 

Diakui atau tidak, libur adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tua muda, pria wanita, semuanya pasti suka dengan momen liburan. Saking gembiranya dengan hari liburnya, putri saya beberapa kali bertanya kepada saya dan istri saat bangun tidur.

 “Hari ini libur ya?” tanyanya. 
 “Iya.” jawab kami. 
 Ia lantas bertanya lagi, “Kalau besok (libur) juga?”
 Kami pun menjawab, “Iya, masih libur, Sayang.”

Dengan girangnya, ia lalu berlari keluar kamar tidur menghampiri kotak mainannya. Lucunya, keesokan paginya ia bertanya hal yang sama. Kejadian ini terus berulang selama beberapa hari, walaupun tidak setiap hari. Putri kami tadi memang gembira menyambut dan menikmati liburan, meski kami belum menjanjikan apa-apa untuk mengisi liburannya. Baginya, rasanya sayang bila masa liburan itu habis. Hehehe…

Liburan juga menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga secara lebih intensif. Dalam sayup-sayup, saya pernah mendengar pembicaraan promotor saya dengan koleganya dua tahun lalu. Intinya, profesor asli Belanda ini berujar bahwa liburan adalah waktu untuk keluarga. “It’s family time!”, katanya. Waktu itu liburan Natal dan Tahun Baru 2013 baru saja usai. Dan, ‘malangnya’ saya tidak bisa mengambil ‘liburan’! Keadaan finansial belum memungkinkan liburan bagi saya yang masih harus menjalani LDR dengan keluarga kecil saya di Indonesia. Saya tidak bisa pulang ke Indonesia, untuk benar-benar liburan dan berkumpul bersama keluarga. Jadilah, saya sebagai salah satu manusia yang kesepian di waktu itu. Hehehe… rasain!

Sebenarnya, kalaupun saya paksa untuk tetap bekerja, tetap saja tidak efektif, karena laboratorium tempat saya bereksperimen tidak bisa sepenuhnya diakses dan kampus ditutup pada hari-hari tertentu, seperti hari-H Natal, hari-H tahun baru dan hari-hari yang kejepit antara dua hari tersebut dengan weekend. Salju dan hawa dingin yang menggigit di kala itu membuat saya tidak begitu berselera untuk keluar dari apartemen. Huhuuu… Hati saya selalu bergumam, “Alangkah indahnya bila punya ‘pintu kemana saja’ seperti kepunyaan Doraemon. Dalam sekejap bisa pulang ke Jogja. Gratis lagi!”

Sejak saat itu, saya kapok! Saya bertekad pulang ke Indonesia untuk berkumpul bersama keluarga di waktu liburan panjang Natal dan Tahun Baru selanjutnya. Benar saja, doa saya mungkin diamini malaikat dan dikabulkan olehNya. Akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 saya bisa berada di Jogja, berkumpul bersama keluarga, untuk liburan! 

Mendekati ujung Desember 2014, liburan sudah menghampiri lagi. Kampus sudah mulai sepi. Para mahasiswa, terutama bachelor dan master, sudah berangsur meninggalkan kampus untuk pulang ke rumah orang tuanya, pulang ke negara asalnya, atau malah liburan ke negara yang lain. Tempat parkir sepeda di kampus pun menjadi lengang. Pikiran saya pun mulai terkontaminasi oleh hasrat untuk liburan. Alhamdulillah, sejak awal minggu ini, izin dari dosen pembimbing saya untuk liburan sudah ada di genggaman. Bahkan, beliau pun malah menganjurkan saya untuk menikmati liburan ini, tak usah memikirkan riset dan pekerjaan saya di kampus dulu. “Enjoy it with your family!”, ucapnya. Ouwwkeee.. kalau begitu, inilah saatnya liburan!
 
Tempat parkir sepeda di depan kampus yang lengang di masa libur Natal 2014 dan Tahun Baru 2015
Barangkali para pembaca sudah banyak yang tahu tentang manfaat liburan. Jika belum, tengok saja lewat mbah Google dengan keywords: manfaat+liburan. Pasti para pembaca langsung ketemu dengan seabrek tulisan tentang liburan dan manfaatnya, mulai dari sarana me-refresh kembali pikiran, kesehatan hingga hubungan kekeluargaan dan sosial kita. Bahkan, pengalaman membuktikan, bisa liburan dengan total membuat bekerja lebih efektif dan gesit berpikir setelah kembali ke kampus atau kantor. Jadi, syukurilah bila kita mendapatkan kesempatan untuk libur dan pergunakanlah dengan baik sebagai cara untuk mensyukurinya. Bila kita sedikit jeli melihat keadaan di sekitar kita, atau di tempat lain, mungkin rasa syukur kita akan bertambah. Tidak sedikit saudara setanah air dan di belahan bumi yang lain yang tidak dapat menikmati dan menggunakan waktu liburnya, sekalipun ia sudah dihampiri tanggal merah agar berhenti bekerja sejenak. Bukan lantaran ia workaholic, namun karena ada tanggungan yang harus ia penuhi nafkahnya. Ia tidak bisa meninggalkan rutinitas pekerjaannya, karena keluarganya akan kelaparan atau anaknya yang sakit tidak bisa berobat bila ia berhenti bekerja. Ada pula saudara kita yang tidak bisa liburan lantaran masih dirundung musibah bencana alam di tempat tinggalnya atau peperangan. 


So, menutup tulisan ini, marilah kita isi waktu liburan ini sebaik-baiknya. Kita pergunakan dengan leluasa agar kita rileks dan bebas dari belenggu batin yang mendera akibat rutinitas dan pekerjaan. Namun, tetaplah ingat bahwa karuniaNya berupa liburan ini tetaplah harus disyukuri dengan apapun caranya.


Senin, 22 Desember 2014

Mengapa Belanda? (Bagian 2)

Tulisan ini saya angkat sebagai sekuel tulisan saya terdahulu dengan judul yang sama. Mengapa negara yang 50 tahun lalu masih bermusuhan dengan negeri kita ini saya jadikan tujuan mengambil studi lanjut. Sekali lagi, tulisan ini adalah murni pendapat subjektif saya, sehingga para pembaca bebas untuk memilih setuju atau tidak dengan saya. Meski begitu, saya berharap setidaknya tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana sistem pendidikan di Belanda, terutama jenjang doktoralnya. Hingga akhirnya, saya pun tertarik untuk memilih Negeri Tulip ini sebagai tempat tujuan studi.


Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, Belanda mempunyai kultur edukasi yang khas, berbeda dengan negara-negara di Asia, bahkan dengan beberapa negara Eropa yang lain. Salah satunya adalah tentang budaya membaca dan menulis. Sependek pengalaman saya hidup di negara ini, budaya orang Belanda mungkin tidak seperti yang ada di Jepang, dimana orang-orang di Negeri Sakura itu tampak gemar sekali membaca. Bahkan, yang pernah saya dengar dari kawan maupun media (karena saya belum pernah sekalipun berkunjung ke Jepang), saat menunggu sesuatu atau berada di kereta orang Jepang pasti sudah asyik dengan buku atau koran yang dibacanya. Di Belanda ternyata tidak demikian. Saya tidak selalu menemui semua orang yang khusyuk membaca buku atau koran di dalam kereta, walaupun satu atau dua orang tetap saja ada yang melakukannya. Mereka justru tampak sering ngobrol, atau memainkan gadget mereka di dalam kereta. Lho, lalu budaya membaca dan menulisnya dimana?

Budaya membaca dan menulis di Belanda tampaknya tersirat dalam sistem edukasinya. Ini yang saya tangkap setelah mulai terbiasa dengan ritme kehidupan di salah satu kampus di Belanda. Sistem pendidikan tinggi di negeri ini mengajarkan mahasiswa untuk belajar sendiri, sementara dosen hanya memberikan kuliah pada bagian-bagian pentingnya saja. Tugas akan diberikan oleh dosen dan selanjutnya dikerjakan oleh mahasiswa baik secara individu maupun berkelompok. Buku, paper dan informasi dari dunia maya selalu menjadi rujukan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sering saya jumpai di kampus TU Delft, terutama saat menjelang ujian, selasar kampus menjadi padat oleh mahasiswa bachelor dan master yang belajar bersama. Demikian juga di perpustakaan. Cara belajar yang sama juga pernah saya alami saat menjalani kuliah jarak jauh (distance learning) dengan beberapa dosen dari University of Groningen beberapa tahun silam. Kemandirian dalam menyelesaikan tugas sangat dilatih. Dan, sekali lagi, kemampuan membaca juga diasah. Jika tidak, maka tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik.

Keterampilan membaca juga dibutuhkan saat seseorang menjalani studi doktoral (S3) di Belanda. Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, sang promovendus dibiarkan menyusun sendiri proyek penelitiannya, sehingga akhirnya ia dapat menuntaskannya dalam waktu empat tahun. Tentunya, konsekuensi dari menuntut dan melatih para mahasiswanya untuk belajar mandiri dengan cara membaca sudah disadari oleh pihak universitas di Belanda dengan memberikan fasilitas yang memadai. Perpustakaan yang lengkap, dengan buku, akses ke jurnal internasional, internet cepat hingga majalah-majalah keilmuan populer sudah tersedia. Begitu juga dengan fasilitas meja kursi baca yang ergonomis, meskipun jumlahnya seringkali tidak mencukupi jika peak season jelang ujian tiba.

Yang kedua adalah menulis. Jelas kiranya, salah satu jalan terbaik untuk memberikan laporan dari tugas yang diberikan kepada dosen pengampu kuliah atau pembimbing adalah dengan membuatnya tertulis, baik dalam bentuk laporan singkat, seperti jawaban mengerjakan soal-soal, maupun laporan yang lebih lengkap, seperti paper maupun tesis. Bagi mahasiswa doktoral, satu hal yang menarik dan menjadikan saya ingin belajar dari sistem edukasi di negeri ini adalah keterampilan menulis paper atau artikel untuk dipublikasikan dalam jurnal internasional.

Ada hal yang menarik dari fakta-fakta seputar dunia publikasi ilmiah di Belanda. Sebelum membahasnya lebih dalam, ada baiknya mencermati tabel yang saya cuplik dari www.scimago.com berikut. Scimago merupakan salah satu website yang sering dirujuk untuk melihat ‘prestasi’ negara-negara di dunia dalam produktivitasnya mempublikasikan temuan atau karya-karyanya melalui jurnal ilmiah internasional. Angka-angka yang disajikan dalam website tersebut diperoleh dari karya tulis ilmiah di jurnal-jurnal yang diakui reputasinya di forum internasional. Yang saya hadirkan di sini adalah data-data sejak tahun 1996 hingga 2013.
 
(Gambar: http://www.scimagojr.com/countryrank.php)
Jika kita cermati, Belanda berada di urutan ke-14 dalam hal jumlah rata-rata dokumen atau artikel yang dihasilkan (kolom 1) dalam rentang tahun 1996 hingga 2013. Lalu hebatnya dimana dong, Pak? ‘kan jelas masih kalah dari Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Inggris, Jerman bahkan China. Betul. Bagi saya, peringkat 14 tidak buruk-buruk amat, bahkan pendapat subjektif saya berkata, sebenarnya sudah cukup bergengsi berada di posisi 25 besar. Hal yang membuat saya jatuh hati dan mantap dengan negara ini adalah angka tentang jumlah rerata sitasi per dokumen atau artikel (Citation per document) (kolom 5). Sitasi, bagi saya, merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan seberapa manfaat karya kita yang berbentuk artikel tersebut pada komunitas keilmuan kita. Lebih jelasnya, silakan simak lagi tulisan saya yang terdahulu.

Belanda cukup percaya diri dengan angka 23,03, melampaui 13 negara di atasnya, termasuk Amerika Serikat yang bertengger dengan angka 22,02. Jika diperhatikan, hanya beberapa negara yang melampaui angka 23,03 ini, seperti Switzerland (24,53), Denmark (23,38), Iceland (25,76), Panama (32,74) dan Guinea-Bissau (24,26). Namun, dalam jumlah artikel yang dihasilkan, negara-negara tersebut masih di bawah Belanda. Hanya Switzerland dan Denmark yang hampir bisa mengejar peringkat Belanda, keduanya berada pada peringkat 17 dan 25.  

Kombinasi antara jumlah rerata artikel atau dokumen yang dihasilkan dan angka rerata sitasi per dokumen yang dimiliki Belanda rasanya pas, cukup ideal menurut saya. Bagi saya, keduanya menunjukkan produktivitas dan kualitas. Produktivitas tercermin dari jumlah dokumen atau artikel yang dihasilkan, sedangkan kualitas -yang menunjukkan kebermanfaatan- suatu karya tulis terukur dari angka sitasi per dokumennya. Semakin tinggi angka sitasi, berarti semakin tinggi frekuensi dokumen dirujuk dalam dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh para peneliti yang lain.

Dua hal inilah yang menjadi pertimbangan saya. Bila dipetakan pada kebutuhan untuk dunia edukasi dan riset di Indonesia tercinta, produktivitas dan kualitas karya tulis ilmiah rasanya adalah dua hal yang masih harus digenjot agar negeri kita ini juga mampu menunjukkan tajinya di forum ilmiah internasional. Lihat saja dari data yang disajikan Scimago. Indonesia masih terpuruk di peringkat 61 dalam produktivitas karya tulis ilmiah dengan angka rerata sitasi per dokumen hanya sebesar 11,86 saja. So, inilah alasan mengapa saya akhirnya memutuskan untuk memilih Belanda sebagai tempat belajar lagi.

Kamis, 18 Desember 2014

Di Balik Cerita Sukses Jerman Menjadi Raksasa Industri Manufaktur



The Wall Street Journal memuat sebuah artikel menarik berjudul Behind Germany’s Success Story in Manufacturing pada 1 Juni 2014 lalu. Tulisan reporter Chase Gummer di Frankfurt ini mengangkat kisah singkat tentang rahasia di balik kesuksesan Jerman menjadi salah satu raksasa industri manufaktur dunia, meskipun negara pemenang Piala Dunia 2014 ini sempat hancur lebur 70 tahun lalu, dibombardir oleh Sekutu dalam Perang Dunia II. Tulisan singkat berikut menyadur dan mengisahkan kembali artikel tersebut.

“Di Jerman, lembaga-lembaga riset berperan mendorong ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi.”

Cerita kesuksesan Jerman membangun industri manufakturnya sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran jejaring lembaga-lembaga atau institut penelitian (research institutions) di negara ini. Salah satunya adalah Frauhofer Society. Jaringan lembaga riset dan inovasi ini telah banyak membantu Jerman hingga menjadikannya eksportir terdepan produk-produk manufaktur berteknologi tinggi, walaupun upah tenaga kerja dan regulasi di negara ini termasuk tinggi dan ketat.
 
Lembaga-lembaga riset yang tergabung dalam jaringan Fraunhofer memainkan peran penting dalam rantai proses inovasi produk di Jerman. Mereka menterjemahkan hasil-hasil riset dasar –yang biasanya ditelurkan oleh universitas- di Jerman ke dalam berbagai terapan yang layak untuk kepentingan bisnis. Produk format audio MP3 adalah salah satu produk inovasi paling terkenal dari jaringan Fraunhofer, dimana dari produk ini lahirlah ribuan paten.
 
Berbagai inovasi yang dilakukan oleh jaringan Fraunhofer ini sanggup menghidupi perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah (small and medium-size companies) di Jerman. Perlu untuk diketahui bahwa perusahaan kecil dan menengah selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Jerman. Lewat strategi semacam ini, perusahaan kecil dan menengah di Jerman dapat ‘bermain’ dan bersaing dalam skala global, walaupun barang tetap diproduksi secara lokal. Hingga pada akhirnya, ekonomi negara ini stabil, bahkan meningkat pertumbuhannya (baca tulisan saya terdahulu di sini). 
(Gambar: http://www.iof.fraunhofer.de/en.html)
Dicontohkan, sebuah perusahaan di Kota St. Augustin, Jerman bekerja sama dengan Fraunhofer Institute for Applied Information Technology untuk mengembangkan perangkat (tools) baru untuk mengelola data dan teknologi scanning untuk aplikasi skala molekuler. Di Stuttgart, perusahaan-perusahaan konstruksi menggandeng Fraunhofer’s Institute for Building Physics untuk mengembangkan bahan-bahan khusus yang dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan (noise-canceling materials). Bersama lembaga ini, beberapa perusahan juga tengah mempelajari bagaimana merancang bangunan yang lebih efisien dengan mempertimbangkan faktor perambatan panas dan uap air dalam struktur bangunan tersebut.

Jejaring penelitian semacam Fraunhofer juga menyokong perekonomian suatu wilayah. Misalnya saja yang terjadi di Jena, sebuah kota di sudut tenggara Jerman yang selama ratusan tahun masyarakatnya dikenal dengan keahliannya dalam membuat peralatan optik. Setelah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990, Fraunhofer mendirikan Institute for Applied Optics and Precision Engineering di kota ini. Menggandeng perusahaan-perusahaan swasta seperti Carl Zeiss AG, lembaga ini fokus mengembangkan dan memproduksi lensa optik dan teknologi pemotongan presisi (precision cutting). Tercatat selama 20 tahun terakhir, Fraunhofer berhasil mengembangkan teknologi cahaya dan laser untuk berbagai aplikasi, seperti pengukuran dan telekomunikasi. Tidak mengherankan bila kemudian keberadaan Fraunhofer menjadikan Kota Jena sebagai rumah bagi lebih dari 40 perusahaan yang bergerak di bidang teknologi optik dan laser.

(Gambar: http://www.wsj.com/articles/behind-germanys-success-story-in-manufacturing-1401473946)
Diceritakan pula, Mahr GmbH, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan instrumen untuk pengukuran presisi, pernah meminta bantuan Fraunhofer di Kota Jena ini untuk mengembangkan produk-produk barunya di tahun 2012. Dengan keahliannya di bidang laser, lembaga riset ini berhasil mengembangkan peralatan untuk mengukur objek 3-dimensi dengan cepat. Mahr lalu memborong lisensi atas produk yang kini menjadi andalan dari perusahaan tersebut.

“Pemerintah Jerman mempunyai kontribusi sebesar hampir 2/3 dari budget tahunan yang digunakan untuk menghidupi Fraunhofer. Sementara, sisanya ditanggung oleh industri swasta.”
Yang menarik, hampir 2/3 dari total biaya tahunan dari jaringan lembaga riset Fraunhofer ini, yakni 2,75 milyar dollar, ditanggung oleh pemerintah. Sementara, sisanya disokong oleh kontrak-kontrak kerja yang dibuat bersama industri swasta.

Jaringan lembaga riset Frauhofer mempekerjakan para profesor di bidang rekayasa atau engineering, yang telah memiliki pengalaman kerja di industri selama bertahun-tahun. Selain itu, sekitar 30% dari total 22.000 karyawan di Fraunhofer adalah mahasiswa doktoral (Ph.D.). Pada akhirnya, banyak di antara mereka menempati posisi-posisi manajemen di beberapa perusahaan terkemuka, seperti Audi dan Porsche. Tidak sedikit pula yang memilih untuk mendirikan perusahaannya sendiri setelah keluar dari lembaga ini.