Selasa, 09 Desember 2014

Coretan-coretan Sarat Makna

Bagi sebagian dari kita yang sedang menjalani proses menulis artikel ilmiah atau tesis, mendapati naskah tulisan kita penuh dengan coretan-coretan hasil koreksi dari dosen pembimbing atau supervisor barangkali adalah momen yang spesial. Bisa jadi kita langsung emosi, galau, malas menanggapinya, hingga berpikir bahwa dunia ini tidak adil, hehehe… Pun, jika kita salah menyikapinya, coretan-coretan tadi kerap membuat kita berprasangka buruk kepada dosen pembimbing. “Mungkin dosen itu memang tidak suka denganku.” pikir kita. Ujung-ujungnya, muncul dakwaan dosen pembimbing ini killer. Tetapi cobalah, sesekali kita berpindah ke kursi yang lain, sehingga pandangan ini juga bergeser pada sudut yang lain.

Setelah satu dekade hampir selalu bersinggungan dengan kejadian unik seperti ini, baik dengan dosen pembimbing, mentor maupun adik-adik mahasiswa yang pernah saya bimbing, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya coretan-coretan dari dosen pembimbing pada naskah tesis (juga skripsi dan disertasi) atau artikel untuk publikasi ilmiah kita itu sarat akan makna. Ya, coretan-coreatan itu sarat makna. Mau tahu? Coba deh renungkan hal-hal berikut.

(Gambar: http://www.phdcomics.com)

1. Bagaimanapun juga kita ini sedang belajar 
Bagaimanapun juga kita sedang dalam proses belajar. Bukankah tujuan kita sekolah adalah untuk belajar? Belajar memahami sesuatu, menganalisisnya hingga akhirnya menyampaikan argumen atau hasil-hasil analisis yang kita buat melalui tulisan dalam sebuah tesis atau artikel. Menulis itu memang sulit! Ia hanya bisa ditaklukkan oleh waktu dan kemauan. Seiring dengan waktu dan kemauan keras untuk belajar, kemampuan kita menulis pun terasah. Namun, dari mana kita tahu kemampuan kita terasah atau belum? Tentunya kita butuh ‘cermin’ yang memberikan feedback atau masukan. Lalu, siapakah pemberi masukan yang paling yahud tentang apa yang diteliti atau dikaji dalam tulisan kita? Tidak lain adalah seorang yang ahli di bidangnya atau kawan dalam komunitas keilmuan yang kita dalami. Nah, dosen pembimbing ini sebenarnya adalah peer-reviewer atau ‘kawan’ terdekat kita yang kompeten untuk dimintai masukan. Pembimbing yang baik pasti tahu dan paham dengan apa yang kita pelajari. Bahkan, bila menemui sesuatu yang baru dalam tulisan kita, pembimbing yang baik pasti berkeinginan juga untuk mempelajarinya. Ia akan mencari tahu, hingga rela seharian ‘mengaduk-aduk’ folder di komputernya atau mesin pencari untuk mendapatkan literatur yang bisa membantu memperbaiki tulisan kita tadi. Kita ini juga sedang belajar bagaimana merumuskan tulisan kita dengan struktur yang benar. Pembimbing kita tentunya sudah beberapa bahkan puluhan tahun bergelut dengan bidang tulis menulis ilmiah, kecuali mereka yang tidak pernah membuat karya tulis ilmiah.

2. Bentuk perhatian dari dosen pembimbing
Dosen pembimbing yang menaruh perhatian kepada mahasiswa bimbingannya tentu tidak akan membiarkan naskah tulisan mahasiswanya tadi tergeletak tanpa ‘sentuhan’. Ia berusaha membantu sang mahasiswa dalam menulis sehingga naskah yang ditulisnya menjadi lebih baik, layak dibaca dan mudah dipahami oleh audiens-nya. Ia rela meluangkan waktunya untuk membaca dan memahami tulisan kita dengan teliti. Padahal, tulisan kita tadi sungguh sulit dipahami, kacau struktur dan bahasanya. Bahkan, tidak jarang, isinya tidak berbobot sama sekali. Saya pribadi justru merasa kurang diperhatikan apabila pembimbing tidak menorehkan pesan apapun dalam naskah tulisan saya. Ada yang kurang bila hal ini terjadi. Memang bisa dipahami, tidak semua waktu dosen pembimbing tercurah kepada kita dan proyek penelitian yang kita kerjakan. Namun, tetap saja, coretan-coretan koreksian yang keluar dari pena dosen pembimbing adalah bentuk sebuah perhatian secara akademik kepada mahasiswanya.

3. Tanggung jawab dari pembimbing
Bagi yang sedang menulis naskah artikel ilmiah untuk dipublikasikan, biasanya ada kewajiban menuliskan nama dosen pembimbing di naskah tersebut. Seorang dosen pembimbing yang banyak menuliskan koreksinya pada naskah kita tadi sebenarnya sudah menunjukkan sikapnya yang turut bertanggung jawab atas isi naskah tersebut. Dosen pembimbing yang baik pasti melakukan ini. Ia tidak mau hanya sekedar sumbang nama dan numpang beken lewat tulisan mahasiswanya. Inilah etika akademik yang benar.

4. Lebih baik sekarang daripada nanti
Mendapati naskah penuh dengan coretan-coretan hasil koreksi dosen pembimbing masih lebih baik daripada koreksi yang diberikan oleh penguji tesis atau peer-reviewer yang menilai naskah artikel publikasi kita. Rasanya lebih malu bila kesalahan pada naskah tesis ditemukan oleh penguji, dibandingkan dosen pembimbing. Selain itu, kesalahan pada naskah yang ditemukan oleh penguji akan membuka pertanyaan yang –mungkin- menyulitkan kita saat sidang pendadaran. Demikian halnya dalam proses review naskah artikel untuk publikasi di jurnal ilmiah. Setelah kita mendapatkan feedback berupa major/minor revision dari reviewer, kita diwajibkan merevisi naskah tadi dan mengirimkannya kembali kepada reviewer lewat dewan editor jurnal tersebut. Proses ini memakan waktu lama. Bahkan, tidak jarang editor baru akan menyampaikan tanggapan reviewer setelah tiga bulan sejak naskah tersebut kita kirim kembali. Proses yang sama akan berulang hingga akhirnya reviewer puas dan naskah tadi diterima untuk dipublikasikan. Tidak demikian bila dengan dosen pembimbing, proses ini bisa dilakukan setiap hari, karena dosen tersebut bekerja di sebelah ruang kerja kita, atau setidaknya bisa dihubungi dalam waktu yang relatif fleksibel. Koreksi yang diberikan oleh dosen pembimbing sebelum naskah dikirimkan pada jurnal dapat meminimalkan peluang reviewer menemukan kesalahan-kesalahan kita. Dengan cara ini, harapannya proses review naskah kita hingga diterima untuk dipublikasikan menjadi tidak terlalu lama.

5. Kesempatan belajar cara membimbing mahasiswa dengan baik
Kesempatan studi lanjut, terutama di universitas luar negeri, tidak hanya sekedar kesempatan untuk meraup ilmu pengetahuan yang kita minati. Tetapi, ini juga kesempatan untuk belajar tentang kehidupan, kultur dan perilaku bangsa lain, termasuk dosen-dosen pembimbing kita yang umumnya mempunyai metode membimbing yang lebih baik. Ini adalah kesempatan baik untuk belajar bagaimana caranya membimbing mahasiswa, terutama bagi kita yang sudah atau ingin berprofesi sebagai dosen maupun peneliti nantinya. Biasanya, coretan-coretan yang banyak lebih mudah meninggalkan kesan dan pelajaran bagi kita.

6. Pembimbing juga manusia
Pembimbing juga manusia. Ia memiliki keterbatasan, termasuk keterampilan menggunakan gadget atau aplikasi di komputer dalam mengkoreksi agar naskah tulisan kita tampak lebih bersahabat dan tidak menyeramkan karena penuh dengan coretan-coretan. Tidak sedikit dosen pembimbing yang hanya memiliki style atau gaya konvensional dalam mengkoreksi tulisan mahasiswanya, yakni lewat goresan penanya. Namun, jangan salah, dosen-dosen pembimbing seperti ini justru memberikan masukan yang berbobot. Ia tidak mau terlalu fokus dan menghabiskan waktu untuk meng-update cara mengkoreksi tulisan mahasiswanya. Tetapi ia fokus pada isi tulisannya. Dengan mencoret-coret di atas kertas naskah kita tadi, ia juga lebih mudah dan cepat bergerak, secepat keluarnya komentar kritis dari pikirannya karena keahlian yang dimiliki.

7. Kebanggaan kita di kemudian hari
Siapa sih yang tidak bangga setelah lulus dari ‘kawah candradimuka’ di sebuah padepokan yang dipimpin oleh seorang dosen pembimbing yang hebat? Siapapun pasti bangga. Tetapi, tentu tidak mudah melewati ujian-ujian yang menganga, termasuk dalam menanggapi masukan-masukan dosen pembimbing yang tidak mengenakkan. Perjuangan ekstra berat, bahkan mungkin ‘berdarah-darah’, harus dilakukan. Adalah wajar untuk panik, galau dan mungkin kecewa dengan coretan-coretan hasil koreksi dari dosen pembimbing. Apalagi setelah kita sudah bersusah payah berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk menyusun naskah tulisan tadi. Namun, berpandangan positif bahwa suatu saat pekerjaan kita ini akan membanggakan kita di kemudian hari rasanya jauh lebih baik daripada sekedar menggerutu atas coretan-coretan dari dosen pembimbing kita tadi.

So, mari kita terima saja coretan-coretan sarat makna dari dosen pembimbing kita tadi dengan lapang dada. Kita nikmati selalu sisi positifnya. Kelak, semua itu pasti ada manfaatnya.