Bagi sebagian dari
kita yang sedang menjalani proses menulis artikel ilmiah atau tesis, mendapati naskah
tulisan kita penuh dengan coretan-coretan hasil koreksi dari dosen pembimbing
atau supervisor barangkali adalah momen
yang spesial. Bisa jadi kita langsung emosi, galau, malas menanggapinya, hingga
berpikir bahwa dunia ini tidak adil, hehehe…
Pun, jika kita salah menyikapinya, coretan-coretan tadi kerap membuat kita berprasangka
buruk kepada dosen pembimbing. “Mungkin dosen itu memang tidak suka denganku.” pikir
kita. Ujung-ujungnya, muncul dakwaan dosen pembimbing ini killer. Tetapi cobalah, sesekali kita berpindah ke kursi yang lain,
sehingga pandangan ini juga bergeser pada sudut yang lain.
Setelah satu dekade hampir
selalu bersinggungan dengan kejadian unik seperti ini, baik dengan dosen pembimbing,
mentor maupun adik-adik mahasiswa
yang pernah saya bimbing, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya coretan-coretan
dari dosen pembimbing pada naskah tesis (juga skripsi dan disertasi) atau artikel untuk publikasi ilmiah
kita itu sarat akan makna. Ya,
coretan-coreatan itu sarat makna. Mau tahu? Coba deh renungkan hal-hal berikut.
![]() |
(Gambar: http://www.phdcomics.com) |
1. Bagaimanapun juga kita ini sedang
belajar
Bagaimanapun juga kita sedang dalam proses
belajar. Bukankah tujuan kita sekolah adalah untuk belajar? Belajar memahami
sesuatu, menganalisisnya hingga akhirnya menyampaikan argumen atau hasil-hasil
analisis yang kita buat melalui tulisan dalam sebuah tesis atau artikel. Menulis
itu memang sulit! Ia hanya bisa ditaklukkan oleh waktu dan kemauan. Seiring dengan waktu dan kemauan keras untuk
belajar, kemampuan kita menulis pun terasah. Namun, dari mana kita tahu kemampuan kita
terasah atau belum? Tentunya kita
butuh ‘cermin’ yang memberikan feedback atau masukan. Lalu, siapakah
pemberi masukan yang paling yahud
tentang apa yang diteliti atau dikaji dalam tulisan kita? Tidak lain adalah seorang
yang ahli di bidangnya atau kawan dalam komunitas keilmuan yang kita dalami. Nah, dosen pembimbing ini sebenarnya adalah
peer-reviewer atau ‘kawan’ terdekat kita
yang kompeten untuk dimintai masukan. Pembimbing yang baik pasti tahu dan paham
dengan apa yang kita pelajari. Bahkan, bila menemui sesuatu yang baru dalam
tulisan kita, pembimbing yang baik pasti berkeinginan juga untuk mempelajarinya.
Ia akan mencari tahu, hingga rela seharian ‘mengaduk-aduk’ folder di komputernya atau mesin pencari untuk mendapatkan
literatur yang bisa membantu memperbaiki tulisan kita tadi. Kita ini juga
sedang belajar bagaimana merumuskan tulisan kita dengan struktur yang benar. Pembimbing
kita tentunya sudah beberapa bahkan puluhan tahun bergelut dengan bidang tulis
menulis ilmiah, kecuali mereka yang tidak pernah membuat karya tulis ilmiah.
2. Bentuk perhatian dari dosen pembimbing
Dosen pembimbing yang
menaruh perhatian kepada mahasiswa bimbingannya tentu tidak akan membiarkan naskah
tulisan mahasiswanya tadi tergeletak tanpa ‘sentuhan’. Ia berusaha membantu
sang mahasiswa dalam menulis sehingga naskah yang ditulisnya menjadi lebih
baik, layak dibaca dan mudah dipahami oleh audiens-nya. Ia rela meluangkan
waktunya untuk membaca dan memahami tulisan kita dengan teliti. Padahal,
tulisan kita tadi sungguh sulit dipahami, kacau struktur dan bahasanya. Bahkan, tidak jarang,
isinya tidak berbobot sama sekali. Saya pribadi justru merasa kurang
diperhatikan apabila pembimbing tidak menorehkan pesan apapun dalam naskah
tulisan saya. Ada yang kurang bila hal ini terjadi. Memang bisa dipahami, tidak
semua waktu dosen pembimbing tercurah kepada kita dan proyek penelitian yang
kita kerjakan. Namun, tetap saja, coretan-coretan koreksian yang keluar dari
pena dosen pembimbing adalah bentuk sebuah perhatian secara akademik kepada
mahasiswanya.
3. Tanggung jawab dari pembimbing
Bagi yang sedang
menulis naskah artikel ilmiah untuk dipublikasikan, biasanya ada kewajiban menuliskan
nama dosen pembimbing di naskah tersebut. Seorang dosen pembimbing yang banyak
menuliskan koreksinya pada naskah kita tadi sebenarnya sudah menunjukkan
sikapnya yang turut bertanggung jawab atas isi naskah tersebut. Dosen pembimbing
yang baik pasti melakukan ini. Ia tidak mau hanya sekedar sumbang nama dan
numpang beken lewat tulisan
mahasiswanya. Inilah etika akademik yang benar.
4. Lebih baik sekarang daripada nanti
Mendapati naskah
penuh dengan coretan-coretan hasil koreksi dosen pembimbing masih lebih baik
daripada koreksi yang diberikan oleh penguji tesis atau peer-reviewer yang menilai naskah artikel publikasi kita. Rasanya
lebih malu bila kesalahan pada naskah tesis ditemukan
oleh penguji, dibandingkan dosen pembimbing. Selain itu, kesalahan pada naskah
yang ditemukan oleh penguji akan membuka pertanyaan yang –mungkin- menyulitkan
kita saat sidang pendadaran. Demikian halnya dalam proses review naskah artikel untuk publikasi di jurnal ilmiah. Setelah
kita mendapatkan feedback berupa major/minor revision dari reviewer, kita diwajibkan merevisi
naskah tadi dan mengirimkannya kembali kepada reviewer lewat dewan editor jurnal tersebut. Proses ini memakan
waktu lama. Bahkan, tidak jarang editor baru akan menyampaikan tanggapan reviewer setelah tiga bulan sejak naskah
tersebut kita kirim kembali. Proses yang sama akan berulang hingga akhirnya reviewer puas dan naskah tadi diterima
untuk dipublikasikan. Tidak demikian bila dengan dosen pembimbing, proses ini
bisa dilakukan setiap hari, karena dosen tersebut bekerja di sebelah ruang
kerja kita, atau setidaknya bisa dihubungi dalam waktu yang relatif fleksibel.
Koreksi yang diberikan oleh dosen pembimbing sebelum naskah dikirimkan pada
jurnal dapat meminimalkan peluang reviewer
menemukan kesalahan-kesalahan kita. Dengan cara ini, harapannya proses review naskah kita hingga diterima untuk
dipublikasikan menjadi tidak terlalu lama.
5. Kesempatan belajar cara membimbing
mahasiswa dengan baik
Kesempatan studi
lanjut, terutama di universitas luar negeri, tidak hanya sekedar kesempatan
untuk meraup ilmu pengetahuan yang kita minati. Tetapi, ini juga kesempatan
untuk belajar tentang kehidupan, kultur dan perilaku bangsa lain, termasuk
dosen-dosen pembimbing kita yang umumnya mempunyai metode membimbing yang lebih
baik. Ini adalah kesempatan baik untuk belajar bagaimana caranya membimbing
mahasiswa, terutama bagi kita yang sudah atau ingin berprofesi sebagai dosen
maupun peneliti nantinya. Biasanya, coretan-coretan yang banyak lebih mudah
meninggalkan kesan dan pelajaran bagi kita.
6.
Pembimbing juga manusia
Pembimbing juga
manusia. Ia memiliki keterbatasan, termasuk keterampilan menggunakan gadget atau aplikasi di komputer dalam
mengkoreksi agar naskah tulisan kita tampak lebih bersahabat dan tidak
menyeramkan karena penuh dengan coretan-coretan. Tidak sedikit dosen pembimbing
yang hanya memiliki style atau gaya konvensional
dalam mengkoreksi tulisan mahasiswanya, yakni lewat goresan penanya. Namun,
jangan salah, dosen-dosen pembimbing seperti ini justru memberikan masukan yang
berbobot. Ia tidak mau terlalu fokus dan menghabiskan waktu untuk meng-update cara mengkoreksi tulisan
mahasiswanya. Tetapi ia fokus pada isi tulisannya. Dengan mencoret-coret di
atas kertas naskah kita tadi, ia juga lebih mudah dan cepat bergerak, secepat keluarnya
komentar kritis dari pikirannya karena keahlian yang dimiliki.
7. Kebanggaan kita di kemudian hari
Siapa sih yang tidak bangga setelah lulus dari ‘kawah candradimuka’ di sebuah
padepokan yang dipimpin oleh seorang dosen pembimbing yang hebat? Siapapun pasti bangga.
Tetapi, tentu tidak mudah melewati ujian-ujian yang menganga, termasuk dalam menanggapi masukan-masukan dosen pembimbing yang tidak mengenakkan. Perjuangan
ekstra berat, bahkan mungkin ‘berdarah-darah’, harus dilakukan. Adalah wajar
untuk panik, galau dan mungkin kecewa dengan coretan-coretan hasil koreksi dari
dosen pembimbing. Apalagi setelah kita sudah bersusah payah berhari-hari bahkan
berbulan-bulan untuk menyusun naskah tulisan tadi. Namun, berpandangan positif bahwa
suatu saat pekerjaan kita ini akan membanggakan kita di kemudian hari rasanya jauh
lebih baik daripada sekedar menggerutu atas coretan-coretan dari dosen
pembimbing kita tadi.
So, mari kita terima saja coretan-coretan sarat makna
dari dosen pembimbing kita tadi dengan lapang dada. Kita nikmati selalu sisi
positifnya. Kelak, semua itu pasti ada manfaatnya.