Senin, 22 Desember 2014

Mengapa Belanda? (Bagian 2)

Tulisan ini saya angkat sebagai sekuel tulisan saya terdahulu dengan judul yang sama. Mengapa negara yang 50 tahun lalu masih bermusuhan dengan negeri kita ini saya jadikan tujuan mengambil studi lanjut. Sekali lagi, tulisan ini adalah murni pendapat subjektif saya, sehingga para pembaca bebas untuk memilih setuju atau tidak dengan saya. Meski begitu, saya berharap setidaknya tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana sistem pendidikan di Belanda, terutama jenjang doktoralnya. Hingga akhirnya, saya pun tertarik untuk memilih Negeri Tulip ini sebagai tempat tujuan studi.


Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, Belanda mempunyai kultur edukasi yang khas, berbeda dengan negara-negara di Asia, bahkan dengan beberapa negara Eropa yang lain. Salah satunya adalah tentang budaya membaca dan menulis. Sependek pengalaman saya hidup di negara ini, budaya orang Belanda mungkin tidak seperti yang ada di Jepang, dimana orang-orang di Negeri Sakura itu tampak gemar sekali membaca. Bahkan, yang pernah saya dengar dari kawan maupun media (karena saya belum pernah sekalipun berkunjung ke Jepang), saat menunggu sesuatu atau berada di kereta orang Jepang pasti sudah asyik dengan buku atau koran yang dibacanya. Di Belanda ternyata tidak demikian. Saya tidak selalu menemui semua orang yang khusyuk membaca buku atau koran di dalam kereta, walaupun satu atau dua orang tetap saja ada yang melakukannya. Mereka justru tampak sering ngobrol, atau memainkan gadget mereka di dalam kereta. Lho, lalu budaya membaca dan menulisnya dimana?

Budaya membaca dan menulis di Belanda tampaknya tersirat dalam sistem edukasinya. Ini yang saya tangkap setelah mulai terbiasa dengan ritme kehidupan di salah satu kampus di Belanda. Sistem pendidikan tinggi di negeri ini mengajarkan mahasiswa untuk belajar sendiri, sementara dosen hanya memberikan kuliah pada bagian-bagian pentingnya saja. Tugas akan diberikan oleh dosen dan selanjutnya dikerjakan oleh mahasiswa baik secara individu maupun berkelompok. Buku, paper dan informasi dari dunia maya selalu menjadi rujukan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sering saya jumpai di kampus TU Delft, terutama saat menjelang ujian, selasar kampus menjadi padat oleh mahasiswa bachelor dan master yang belajar bersama. Demikian juga di perpustakaan. Cara belajar yang sama juga pernah saya alami saat menjalani kuliah jarak jauh (distance learning) dengan beberapa dosen dari University of Groningen beberapa tahun silam. Kemandirian dalam menyelesaikan tugas sangat dilatih. Dan, sekali lagi, kemampuan membaca juga diasah. Jika tidak, maka tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik.

Keterampilan membaca juga dibutuhkan saat seseorang menjalani studi doktoral (S3) di Belanda. Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, sang promovendus dibiarkan menyusun sendiri proyek penelitiannya, sehingga akhirnya ia dapat menuntaskannya dalam waktu empat tahun. Tentunya, konsekuensi dari menuntut dan melatih para mahasiswanya untuk belajar mandiri dengan cara membaca sudah disadari oleh pihak universitas di Belanda dengan memberikan fasilitas yang memadai. Perpustakaan yang lengkap, dengan buku, akses ke jurnal internasional, internet cepat hingga majalah-majalah keilmuan populer sudah tersedia. Begitu juga dengan fasilitas meja kursi baca yang ergonomis, meskipun jumlahnya seringkali tidak mencukupi jika peak season jelang ujian tiba.

Yang kedua adalah menulis. Jelas kiranya, salah satu jalan terbaik untuk memberikan laporan dari tugas yang diberikan kepada dosen pengampu kuliah atau pembimbing adalah dengan membuatnya tertulis, baik dalam bentuk laporan singkat, seperti jawaban mengerjakan soal-soal, maupun laporan yang lebih lengkap, seperti paper maupun tesis. Bagi mahasiswa doktoral, satu hal yang menarik dan menjadikan saya ingin belajar dari sistem edukasi di negeri ini adalah keterampilan menulis paper atau artikel untuk dipublikasikan dalam jurnal internasional.

Ada hal yang menarik dari fakta-fakta seputar dunia publikasi ilmiah di Belanda. Sebelum membahasnya lebih dalam, ada baiknya mencermati tabel yang saya cuplik dari www.scimago.com berikut. Scimago merupakan salah satu website yang sering dirujuk untuk melihat ‘prestasi’ negara-negara di dunia dalam produktivitasnya mempublikasikan temuan atau karya-karyanya melalui jurnal ilmiah internasional. Angka-angka yang disajikan dalam website tersebut diperoleh dari karya tulis ilmiah di jurnal-jurnal yang diakui reputasinya di forum internasional. Yang saya hadirkan di sini adalah data-data sejak tahun 1996 hingga 2013.
 
(Gambar: http://www.scimagojr.com/countryrank.php)
Jika kita cermati, Belanda berada di urutan ke-14 dalam hal jumlah rata-rata dokumen atau artikel yang dihasilkan (kolom 1) dalam rentang tahun 1996 hingga 2013. Lalu hebatnya dimana dong, Pak? ‘kan jelas masih kalah dari Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Inggris, Jerman bahkan China. Betul. Bagi saya, peringkat 14 tidak buruk-buruk amat, bahkan pendapat subjektif saya berkata, sebenarnya sudah cukup bergengsi berada di posisi 25 besar. Hal yang membuat saya jatuh hati dan mantap dengan negara ini adalah angka tentang jumlah rerata sitasi per dokumen atau artikel (Citation per document) (kolom 5). Sitasi, bagi saya, merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan seberapa manfaat karya kita yang berbentuk artikel tersebut pada komunitas keilmuan kita. Lebih jelasnya, silakan simak lagi tulisan saya yang terdahulu.

Belanda cukup percaya diri dengan angka 23,03, melampaui 13 negara di atasnya, termasuk Amerika Serikat yang bertengger dengan angka 22,02. Jika diperhatikan, hanya beberapa negara yang melampaui angka 23,03 ini, seperti Switzerland (24,53), Denmark (23,38), Iceland (25,76), Panama (32,74) dan Guinea-Bissau (24,26). Namun, dalam jumlah artikel yang dihasilkan, negara-negara tersebut masih di bawah Belanda. Hanya Switzerland dan Denmark yang hampir bisa mengejar peringkat Belanda, keduanya berada pada peringkat 17 dan 25.  

Kombinasi antara jumlah rerata artikel atau dokumen yang dihasilkan dan angka rerata sitasi per dokumen yang dimiliki Belanda rasanya pas, cukup ideal menurut saya. Bagi saya, keduanya menunjukkan produktivitas dan kualitas. Produktivitas tercermin dari jumlah dokumen atau artikel yang dihasilkan, sedangkan kualitas -yang menunjukkan kebermanfaatan- suatu karya tulis terukur dari angka sitasi per dokumennya. Semakin tinggi angka sitasi, berarti semakin tinggi frekuensi dokumen dirujuk dalam dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh para peneliti yang lain.

Dua hal inilah yang menjadi pertimbangan saya. Bila dipetakan pada kebutuhan untuk dunia edukasi dan riset di Indonesia tercinta, produktivitas dan kualitas karya tulis ilmiah rasanya adalah dua hal yang masih harus digenjot agar negeri kita ini juga mampu menunjukkan tajinya di forum ilmiah internasional. Lihat saja dari data yang disajikan Scimago. Indonesia masih terpuruk di peringkat 61 dalam produktivitas karya tulis ilmiah dengan angka rerata sitasi per dokumen hanya sebesar 11,86 saja. So, inilah alasan mengapa saya akhirnya memutuskan untuk memilih Belanda sebagai tempat belajar lagi.