Tulisan ini saya angkat sebagai sekuel tulisan
saya terdahulu dengan judul yang sama. Mengapa negara yang 50 tahun lalu masih bermusuhan
dengan negeri kita ini saya jadikan tujuan mengambil studi lanjut. Sekali lagi,
tulisan ini adalah murni pendapat subjektif saya, sehingga para pembaca bebas
untuk memilih setuju atau tidak dengan saya. Meski begitu, saya berharap
setidaknya tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana sistem
pendidikan di Belanda, terutama jenjang doktoralnya. Hingga akhirnya, saya pun
tertarik untuk memilih Negeri Tulip ini sebagai tempat tujuan studi.
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya,
Belanda mempunyai kultur edukasi yang khas, berbeda dengan negara-negara di
Asia, bahkan dengan beberapa negara Eropa yang lain. Salah satunya adalah
tentang budaya membaca dan menulis. Sependek pengalaman saya hidup di negara ini,
budaya orang Belanda mungkin tidak seperti yang ada di Jepang, dimana orang-orang
di Negeri Sakura itu tampak gemar sekali membaca. Bahkan, yang pernah saya
dengar dari kawan maupun media (karena saya belum pernah sekalipun berkunjung ke
Jepang), saat menunggu sesuatu atau berada di kereta orang Jepang pasti sudah asyik
dengan buku atau koran yang dibacanya. Di Belanda ternyata tidak demikian. Saya
tidak selalu menemui semua orang yang khusyuk membaca buku atau koran di dalam
kereta, walaupun satu atau dua orang tetap saja ada yang melakukannya. Mereka
justru tampak sering ngobrol, atau memainkan
gadget mereka di dalam kereta. Lho, lalu budaya membaca dan menulisnya
dimana?
Budaya membaca dan menulis di Belanda tampaknya
tersirat dalam sistem edukasinya. Ini yang saya tangkap setelah mulai terbiasa
dengan ritme kehidupan di salah satu kampus di Belanda. Sistem pendidikan
tinggi di negeri ini mengajarkan mahasiswa untuk belajar sendiri, sementara
dosen hanya memberikan kuliah pada bagian-bagian pentingnya saja. Tugas akan
diberikan oleh dosen dan selanjutnya dikerjakan oleh mahasiswa baik secara
individu maupun berkelompok. Buku, paper dan informasi dari dunia maya
selalu menjadi rujukan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sering saya
jumpai di kampus TU Delft, terutama saat menjelang ujian, selasar kampus
menjadi padat oleh mahasiswa bachelor
dan master yang belajar bersama.
Demikian juga di perpustakaan. Cara belajar yang sama juga pernah saya alami
saat menjalani kuliah jarak jauh (distance
learning) dengan beberapa dosen dari University of Groningen beberapa tahun
silam. Kemandirian dalam menyelesaikan tugas sangat dilatih. Dan, sekali lagi,
kemampuan membaca juga diasah. Jika tidak, maka tugas tidak akan dapat
diselesaikan dengan baik.
Keterampilan membaca juga dibutuhkan saat seseorang menjalani studi
doktoral (S3) di Belanda. Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya,
sang promovendus dibiarkan menyusun
sendiri proyek penelitiannya, sehingga akhirnya ia dapat menuntaskannya dalam
waktu empat tahun. Tentunya, konsekuensi dari menuntut dan melatih para
mahasiswanya untuk belajar mandiri dengan cara membaca sudah disadari oleh
pihak universitas di Belanda dengan memberikan fasilitas yang memadai. Perpustakaan yang lengkap, dengan
buku, akses ke jurnal internasional, internet cepat hingga majalah-majalah
keilmuan populer sudah tersedia. Begitu juga dengan fasilitas meja kursi baca
yang ergonomis, meskipun jumlahnya seringkali tidak mencukupi jika peak season jelang ujian tiba.
Yang kedua adalah menulis. Jelas kiranya, salah
satu jalan terbaik untuk memberikan laporan dari tugas yang diberikan kepada
dosen pengampu kuliah atau pembimbing adalah dengan membuatnya tertulis, baik
dalam bentuk laporan singkat, seperti jawaban mengerjakan soal-soal, maupun
laporan yang lebih lengkap, seperti paper
maupun tesis. Bagi mahasiswa doktoral, satu hal yang menarik dan menjadikan
saya ingin belajar dari sistem edukasi di negeri ini adalah keterampilan menulis
paper atau artikel untuk
dipublikasikan dalam jurnal internasional.
Ada hal yang menarik dari fakta-fakta seputar
dunia publikasi ilmiah di Belanda. Sebelum membahasnya lebih dalam, ada baiknya
mencermati tabel yang saya cuplik dari www.scimago.com berikut. Scimago merupakan
salah satu website yang sering
dirujuk untuk melihat ‘prestasi’ negara-negara di dunia dalam produktivitasnya
mempublikasikan temuan atau karya-karyanya melalui jurnal ilmiah internasional.
Angka-angka yang disajikan dalam website
tersebut diperoleh dari karya tulis ilmiah di jurnal-jurnal yang diakui
reputasinya di forum internasional. Yang saya hadirkan di sini adalah data-data
sejak tahun 1996 hingga 2013.
Jika kita cermati, Belanda berada di urutan
ke-14 dalam hal jumlah rata-rata dokumen atau artikel yang dihasilkan (kolom 1) dalam
rentang tahun 1996 hingga 2013. Lalu hebatnya dimana dong, Pak? ‘kan jelas masih kalah dari Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Inggris, Jerman
bahkan China. Betul. Bagi
saya, peringkat 14 tidak buruk-buruk amat, bahkan pendapat subjektif saya
berkata, sebenarnya sudah cukup bergengsi berada di posisi 25 besar. Hal yang
membuat saya jatuh hati dan mantap dengan negara ini adalah angka tentang
jumlah rerata sitasi per dokumen atau artikel (Citation per document) (kolom 5). Sitasi, bagi saya, merupakan salah satu
indikator penting yang menunjukkan seberapa manfaat karya kita yang berbentuk
artikel tersebut pada komunitas keilmuan kita. Lebih jelasnya, silakan simak lagi tulisan saya yang terdahulu.
Belanda cukup percaya diri dengan angka 23,03, melampaui 13 negara di
atasnya, termasuk Amerika Serikat yang bertengger dengan angka 22,02. Jika diperhatikan,
hanya beberapa negara yang melampaui angka 23,03 ini, seperti Switzerland (24,53), Denmark (23,38), Iceland
(25,76), Panama (32,74) dan Guinea-Bissau (24,26). Namun, dalam jumlah artikel
yang dihasilkan, negara-negara tersebut masih di bawah Belanda. Hanya
Switzerland dan Denmark yang hampir bisa mengejar peringkat Belanda, keduanya berada pada
peringkat 17 dan 25.
Kombinasi antara jumlah rerata artikel atau dokumen yang dihasilkan dan angka rerata sitasi per dokumen yang dimiliki Belanda rasanya pas, cukup ideal menurut saya. Bagi saya, keduanya menunjukkan produktivitas dan kualitas. Produktivitas tercermin dari jumlah dokumen atau artikel yang dihasilkan, sedangkan kualitas -yang menunjukkan kebermanfaatan- suatu karya tulis terukur dari angka sitasi per dokumennya. Semakin tinggi angka sitasi, berarti semakin tinggi frekuensi dokumen dirujuk dalam dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh para peneliti yang lain.
Kombinasi antara jumlah rerata artikel atau dokumen yang dihasilkan dan angka rerata sitasi per dokumen yang dimiliki Belanda rasanya pas, cukup ideal menurut saya. Bagi saya, keduanya menunjukkan produktivitas dan kualitas. Produktivitas tercermin dari jumlah dokumen atau artikel yang dihasilkan, sedangkan kualitas -yang menunjukkan kebermanfaatan- suatu karya tulis terukur dari angka sitasi per dokumennya. Semakin tinggi angka sitasi, berarti semakin tinggi frekuensi dokumen dirujuk dalam dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh para peneliti yang lain.
Dua hal inilah yang menjadi pertimbangan saya. Bila
dipetakan pada kebutuhan untuk dunia edukasi dan riset di Indonesia tercinta,
produktivitas dan kualitas karya tulis ilmiah rasanya adalah dua hal yang masih
harus digenjot agar negeri kita ini juga mampu menunjukkan tajinya di forum
ilmiah internasional. Lihat saja dari data yang disajikan Scimago. Indonesia
masih terpuruk di peringkat 61 dalam produktivitas karya tulis ilmiah dengan
angka rerata sitasi per dokumen hanya sebesar 11,86 saja. So, inilah alasan mengapa saya akhirnya memutuskan untuk memilih Belanda sebagai tempat belajar lagi.