Kamis, 04 Desember 2014

Memperhatikan Detail


Kualitas suatu produk ditentukan oleh mutu tiap detail. (B.J. Habibie)

Akhirnya saya temukan juga sebuah quote yang kurang lebih sama dengan apa yang pernah terbesit dalam pikiran saya. Tidak tanggung-tanggung, quote tersebut diucapkan oleh Pak Habibie, inspirator saya sejak masa remaja dulu.

Quote Pak Habibie ini saya temukan dalam buku beliau yang berjudul “Tak Boleh Lelah dan Kalah”. Sekedar info, buku terbitan tahun 2013 ini menurut saya cukup menarik, karena di dalamnya terangkum tulisan-tulisan hasil pemikiran Pak Habibie tentang ilmu pengetahuan, teknologi, nasionalisme dan pembangunan Indonesia.

Melihat gaya tulisannya, sebenarnya tampak bahwa Pak Habibie ini bukanlah seorang motivator seperti mereka-mereka yang sering muncul di layar televisi. Tutur kata Pak Habibie mencerminkan karakter beliau yang teliti dalam melihat sesuatu dan runtut dalam memaparkan cerita dan pendapatnya. Ingin lebih tahu tentang gaya tulisan beliau, silakan simak juga penuturan beliau dalam buku-buku yang sudah lebih dahulu diterbitkan, seperti “Detik-detik yang Menentukan” (2006) dan otobiografi “Habibie dan Ainun” (2011).

Kembali ke masalah detail. Mohon maaf, saya terlanjur sering menuliskan 'detail' dengan kata 'detil' saja. Meski demikian, maknanya sama. Lalu, ada apa dengan detil? Mengapa ia begitu penting, setidaknya bagi Pak Habibie dan saya?

Bagi pembaca maupun saya yang mengenyam pendidikan ilmu teknik seperti Pak Habibie, sepertinya tidak terlalu sulit mengartikan quote beliau. Gambarannya begini, sebuah mesin yang terdiri dari beberapa hingga ribuan komponen, pasti akan bekerja dengan baik apabila setiap komponen penyusunnya juga bekerja dengan baik. Satu saja komponen rusak, bisa dipastikan produk tadi akan bermasalah. Manusia saja tidak akan dapat bekerja optimal apabila ada bagian tubuhnya yang sedang sakit atau terluka. Dengan demikian, jika masing-masing komponen atau detil dari suatu produk bisa dijamin kualitasnya, maka tidak mustahil produk akhir yang tersusun oleh komponen-komponen tadi juga akan berkualitas. Hal yang sama juga berlaku untuk sebuah produk yang dibuat melalui serangkaian urutan proses produksi. Bila masing-masing proses dapat dioptimalkan, maka terciptalah produk yang optimal pula performanya.
Roll-out pesawat N-250 di tahun 1995 silam. (Sumber gambar: Majalah Angkasa)

Bisa dibayangkan, jika Pak Habibie beserta tim yang membangun pesawat N-250 Gatotkaca dua dekade silam tidak memperhatikan tiap detil komponen pesawat yang terpasang, pastilah pesawat tersebut benar-benar tidak jadi terbang. Bahkan, kemungkinan terburuknya -Alhamdulillah tidak terjadi- pesawat itu jatuh berkeping-keping. Jika setiap komponen roda pendarat tidak dirancang dan diuji dengan baik, tidak menutup kemungkinan pesawat tiba-tiba bermasalah saat akan mendarat karena roda-rodanya tidak mau dikeluarkan. Juga, bila para insinyur dalam tim tersebut mengabaikan retak sebesar beberapa mikron di sayap pesawat, maka bisa dipastikan umur pesawat tersebut akan pendek, lantaran retak sekecil itu bisa melebar dan menjalar setelah pesawat dioperasikan. Namun, Pak Habibie dan timnya ternyata cukup teliti dalam mempersiapkan semuanya. Setiap komponen yang ada dirancang sebaik mungkin. Setelah semuanya dirakit dan digabungkan, dicek lagi seteliti mungkin untuk meminimalkan resiko. Jadilah Sang Gatotkaca yang terbang perdana di hadapan publik, tanggal 10 Agustus 1995. Suatu hari yang kemudian dikenal dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.

Tidak hanya insinyur, kebiasaan memperhatikan detil harus dimiliki pula oleh seorang peneliti. Kalau boleh saya sebut, selalu memperhatikan detil dengan teliti adalah bagian dari sikap kritis yang harus dipunyai. Namanya saja peneliti.

Bagi seorang mahasiswa S3, atau bahasa kerennya kandidat doktor, sikap peka terhadap detil semacam ini harus diasah, karena ia sejatinya sedang belajar menjadi seorang peneliti yang sesungguhnya. Selain itu, hanya dengan sikap seperti ini, maka menjadi lebih mudah bagi dirinya mengangkat sebuah permasalahan sebagai bahan atau topik penelitiannya. Umumnya, kesulitan yang dihadapi oleh banyak mahasiswa S3 adalah menemukan permasalahan spesifik yang bisa diangkat dan diajukan untuk penelitiannya. Sulit, karena menemukan permasalahan yang layak diteliti secara ilmiah bisa diumpamakan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bisa jadi kita tertarik pada suatu topik, namun setelah mencoba browsing di mesin pencari literatur, ternyata sudah banyak sekali peneliti lain yang mempublikasikan temuan-temuannya di bidang yang menarik tadi. Bahkan, tidak jarang apa yang kita baru pikirkan, ternyata sudah dipublikasikan oleh orang lain. Pada tahap pendidikan inilah kita dilatih mengasah kepekaan kita dalam melihat celah-celah permasalahan yang masih bisa diteliti, walaupun melakukan itu tentunya tidak mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar