Kualitas suatu produk ditentukan oleh mutu tiap detail. (B.J. Habibie)
Akhirnya
saya temukan juga sebuah quote yang kurang lebih sama dengan apa yang
pernah terbesit dalam pikiran saya. Tidak tanggung-tanggung, quote
tersebut diucapkan oleh Pak Habibie, inspirator saya sejak masa remaja dulu.
Quote
Pak Habibie ini saya temukan dalam buku beliau yang berjudul “Tak Boleh Lelah
dan Kalah”. Sekedar info, buku terbitan tahun 2013 ini menurut saya cukup
menarik, karena di dalamnya terangkum tulisan-tulisan hasil pemikiran Pak
Habibie tentang ilmu pengetahuan, teknologi, nasionalisme dan pembangunan
Indonesia.
Melihat
gaya tulisannya, sebenarnya tampak bahwa Pak Habibie ini bukanlah seorang motivator
seperti mereka-mereka yang sering muncul di layar televisi. Tutur kata Pak Habibie mencerminkan karakter beliau yang
teliti dalam melihat sesuatu dan runtut dalam memaparkan cerita dan
pendapatnya. Ingin lebih tahu tentang gaya tulisan beliau, silakan simak juga
penuturan beliau dalam buku-buku yang sudah lebih dahulu diterbitkan, seperti “Detik-detik
yang Menentukan” (2006) dan otobiografi “Habibie dan Ainun” (2011).
Kembali ke masalah detail. Mohon maaf, saya terlanjur sering
menuliskan 'detail' dengan kata 'detil' saja. Meski demikian, maknanya sama. Lalu,
ada apa dengan detil? Mengapa ia begitu penting, setidaknya bagi Pak Habibie
dan saya?
Bagi pembaca maupun saya yang mengenyam pendidikan ilmu
teknik seperti Pak Habibie, sepertinya tidak terlalu sulit mengartikan quote
beliau. Gambarannya begini, sebuah mesin yang terdiri dari beberapa hingga
ribuan komponen, pasti akan bekerja dengan baik apabila setiap komponen
penyusunnya juga bekerja dengan baik. Satu saja komponen rusak, bisa dipastikan
produk tadi akan bermasalah. Manusia saja tidak akan dapat bekerja optimal
apabila ada bagian tubuhnya yang sedang sakit atau terluka. Dengan demikian,
jika masing-masing komponen atau detil dari suatu produk bisa dijamin
kualitasnya, maka tidak mustahil produk akhir yang tersusun oleh
komponen-komponen tadi juga akan berkualitas. Hal yang sama juga berlaku untuk
sebuah produk yang dibuat melalui serangkaian urutan proses produksi. Bila masing-masing proses dapat dioptimalkan, maka
terciptalah produk yang optimal pula performanya.
Bisa
dibayangkan, jika Pak Habibie beserta tim yang membangun pesawat N-250
Gatotkaca dua dekade silam tidak memperhatikan tiap detil komponen pesawat yang
terpasang, pastilah pesawat tersebut benar-benar tidak jadi terbang. Bahkan,
kemungkinan terburuknya -Alhamdulillah
tidak terjadi- pesawat itu jatuh berkeping-keping. Jika setiap komponen roda
pendarat tidak dirancang dan diuji dengan baik, tidak menutup kemungkinan
pesawat tiba-tiba bermasalah saat akan mendarat karena roda-rodanya tidak mau dikeluarkan.
Juga, bila para insinyur dalam tim tersebut mengabaikan retak sebesar beberapa
mikron di sayap pesawat, maka bisa dipastikan umur pesawat tersebut akan pendek,
lantaran retak sekecil itu bisa melebar dan menjalar setelah pesawat
dioperasikan. Namun, Pak Habibie dan timnya ternyata cukup teliti dalam mempersiapkan
semuanya. Setiap komponen yang ada dirancang sebaik mungkin. Setelah semuanya
dirakit dan digabungkan, dicek lagi seteliti mungkin untuk meminimalkan resiko.
Jadilah Sang Gatotkaca yang terbang perdana di hadapan publik, tanggal 10
Agustus 1995. Suatu hari yang kemudian
dikenal dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.
Tidak
hanya insinyur, kebiasaan memperhatikan detil harus dimiliki pula oleh seorang
peneliti. Kalau boleh saya sebut, selalu memperhatikan detil dengan teliti
adalah bagian dari sikap kritis yang harus dipunyai. Namanya saja peneliti.
Bagi
seorang mahasiswa S3, atau bahasa kerennya kandidat doktor, sikap peka terhadap
detil semacam ini harus diasah, karena ia sejatinya sedang belajar menjadi
seorang peneliti yang sesungguhnya. Selain itu, hanya dengan sikap seperti ini,
maka menjadi lebih mudah bagi dirinya mengangkat sebuah permasalahan sebagai
bahan atau topik penelitiannya. Umumnya, kesulitan yang dihadapi oleh banyak
mahasiswa S3 adalah menemukan permasalahan spesifik yang bisa diangkat dan
diajukan untuk penelitiannya. Sulit, karena menemukan permasalahan yang layak
diteliti secara ilmiah bisa diumpamakan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Bisa jadi kita tertarik pada suatu topik, namun setelah mencoba browsing
di mesin pencari literatur, ternyata sudah banyak sekali peneliti lain yang
mempublikasikan temuan-temuannya di bidang yang menarik tadi. Bahkan, tidak
jarang apa yang kita baru pikirkan, ternyata sudah dipublikasikan oleh orang
lain. Pada tahap pendidikan inilah kita dilatih mengasah kepekaan kita dalam
melihat celah-celah permasalahan yang masih bisa diteliti, walaupun melakukan itu
tentunya tidak mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar