Senin, 01 Desember 2014

Riset di Bidang Energi Terbarukan: Catatan dari Sebuah Opini



Ahad lalu, 30 November, saya sempat mengikuti diskusi online yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) bekerja sama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) yang bertemakan perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Diskusi yang dikemas dalam acara Lingkar Inspirasi PPI Belanda ini mengambil judul “Energi Terbarukan Solusi Ketimpangan Energi”. Bagi saya, isu energi termasuk hal yang menarik untuk diikuti, walaupun sebenarnya saya bukan pemerhati masalah ini. Saya juga tidak sedang mendalami atau meneliti teknologi yang berkaitan dengan energi atau pembangkitannya. Ketertarikan saya tentang energi lebih karena interest masa lalu saya saat mengambil program S1 teknik mesin di UGM. Konsentrasi studi dan penelitian tugas akhir (skripsi) saya saat itu bersentuhan dengan bidang energi, tepatnya mekanika fluida. Mata kuliah seperti termodinamika dan teknik pembakaran menjadi santapan wajib di tahun-tahun akhir masa studi S1 saya waktu itu.

(Gambar: http://ureport.news.viva.co.id)
Nah, kembali ke masalah diskusi virtual PPI Belanda tadi. Yang ingin saya tuliskan di sini bukanlah tentang energi terbarukan itu sendiri. Namun, sesuatu yang berkaitan dengan concern saya tentang dunia riset, yang kebetulan disinggung oleh narasumber dalam diskusi ini. Ada dua narasumber dalam diskusi yang berjalan hampir dua jam ini, yakni Dr. Muhamad Reza, seorang  keyplayer I-4 untuk klaster energi, dan Robert de Groot dari Hivos, semacam organisasi internasional yang bergerak di bidang energi terbarukan dan sudah bekerja di beberapa daerah di Indonesia. 

Sebuah pertanyaan menarik sempat dilontarkan oleh seorang audien. Mengapa pemerintah Indonesia terlihat kurang yakin untuk berinvestasi di bidang riset energi terbarukan? Padahal, ada sebuah universitas di Belanda yang justru tertarik dan rela menggelontorkan dana untuk proyek riset energi terbarukan di Indonesia. Riset mereka pun sudah memberikan hasil. Selain itu, apakah riset tentang energi terbarukan ini juga kurang menarik di lingkungan akademik di Indonesia, sehingga tidak banyak mahasiswa yang mau terlibat di dalamnya?

Dr. M. Reza tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Namun, ia berpendapat bahwa ada baiknya universitas-universitas di Indonesia membangun proyek-proyek riset dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisi proyek-proyek riset yang dijalankan oleh para peneliti yang bekerja dengan teori (atau, kalau boleh saya perjelas: riset fundamental). Riset-riset semacam ini memang bernilai tinggi, namun memerlukan waktu yang panjang untuk menuntaskannya. Sementara, kelompok kedua berisi proyek-proyek riset yang sederhana dan cepat menunjukkan hasil. Riset-riset sederhana ini sangat membantu akademisi untuk mendapatkan bantuan penelitian yang sering dikucurkan pemerintah dalam bentuk dana tahunan. Dengan cara seperti ini, proyek-proyek riset energi terbarukan dapat terus berjalan dan didanai. Sayangnya, proyek-proyek riset sederhana seperti ini sering disepelekan, bahkan dikritik. Meski demikian, Dr. M. Reza menyarankan agar kritik-kritik itu dibiarkan saja, agar proyek sederhana yang diyakini bermanfaat itu tetap berjalan dan akhirnya membuahkan hasil.

Sementara itu, Robert de Groot membenarkan bahwa pemerintah Belanda tidak segan memberikan dana besar untuk penelitian di bidang energi terbarukan. Hal ini didorong oleh sifat pemerintah Belanda yang menghargai dunia akademik sebagai engine for economic growth, mesin pertumbuhan ekonomi. Dana besar yang digelontorkan untuk riset harus mampu memberikan imbal balik berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi negeri kincir ini. Atas dasar inilah, maka investasi pemerintah Belanda pada riset, termasuk energi terbarukan, boleh dikata besar karena sektor energi jelas akan berdampak pada perekonomian negara tersebut. Selain itu, kemudahan pemerintah Belanda mengucurkan investasi dana riset untuk energi terbarukan juga disebabkan oleh politik yang berlaku saat ini. Beberapa anggota kabinet pemerintahan Belanda adalah para bekas aktivis green-peace, sehingga relatif tidak sulit untuk menelurkan kebijakan untuk membantu pengembangan energi terbarukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar