Minggu, 29 September 2019

Selipan Ilmu Parenting dalam Film Ant-Man


Mengikuti film-film superhero Marvel memang mengasyikkan. Memang, di film-film tersebut banyak hal yang terasa irrasional. Ya pantas saja, karena hanyalah film-film fiksi. Namun, bagi saya ada banyak pesan moral yang tersampaikan, meski hanya sepotong-sepotong. The Ant-Man and The Wasp, adalah sekuel film Ant-Man, yang tayang pada medio 2018. Film superhero yang menurut saya paling kocak dibandingkan film-film Marvel lainnya ini ternyata juga menyajikan pesan moral. Singkat cerita, di akhir film The Ant-Man dan The Wasp, terselip sebuah dialong antara Hope “The Wasp” van Dyne dengan Cassie, gadis cilik anak semata wayang Scott “Ant-Man” Lang. Hope melontarkan sebuah pertanyaan sederhana, kira-kira begini, “Cassie, apa cita-citamu kelak ketika dewasa?” Spontan, Cassie kecil itu menjawab, “Aku ingin menolong orang seperti ayah.” Itu saja.

Sumber Gambar: Wikipedia
Dua hal yang saya anggap menarik dari jawaban Cassie. Pertama, adalah tentang cita-cita. Cassie menyatakan cita-citanya dalam bentuk sebuah kata kerja. Kata kerja. Bukan kata benda, misalnya dokter, profesor, insinyur, pengacara hingga presiden. Kita, disadari atau tidak, selalu menjawab hal demikian bila ditanya cita-cita. Cita-cita adalah sebuah kata benda, sebuah profesi, dari dokter hingga apoteker, dari insinyur hingga ambassador, dari pengacara hingga saudagar kaya, dan seterusnya. Tidak salah sebenarnya. Namun, ketika cita-cita hanya dimaknai sebagai sebuah profesi, maka tak ubahnya kita kehilangan ruh dari cita-cita itu sendiri. Hingga kadangkala, untuk menggapainya kita menjadi terlalu memaksakan diri, dan melupakan hal-hal lain yang lebih esensial dan menjadi tugas manusia yang sebenarnya di bumi. Yakni, tugas menjadi manusia sebagai makhluk yang mengelola bumi, hehehe… Yang terjadi justru seringkali sebaliknya. Misal, kita mengejar mimpi kita namun seringkali malah menyikut dan menyingkirkan orang-orang di sekitar kita. 

Boleh jadi kita memimpikan atau bercita-cita tentang sebuah profesi, tetapi sebenarnya urusan tergapainya cita-cita tersebut adalah urusan Yang Maha Kuasa. Ruh dari segala macam profesi kita sebenarnya cukup dengan kata kerja seperti yang diungkapkan Cassie. Bukankah menjadi dokter itu menolong orang lain? Bukankah menjadi insinyur itu menolong orang lain? Bukankah menjadi pengacara itu menolong orang lain? Dan seterusnya. Intinya adalah kita menjadi orang yang bermanfaat, bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain hingga lingkungan kita, apapun profesi kita nantinya. Dengan demikian, pemaksaan diri, atau bahkan pemaksaan suatu profesi kepada anak kita sendiri, hingga sikut-sikutan dengan orang-orang yang dianggap menghalangi cita-cita kita  dapat dihindarkan. 

Kedua, yang menarik dari jawaban Cassie atas pertanyaan Hope adalah, bahwa ia ingin menolong orang lain seperti ayahnya. Ayah. Figur sentral dalam keluarga. Namun, seringkali kita abaikan ketika peran sebagai ayah itu sedang kita kerjakan. Ayah adalah contoh, teladan. Menjadi ayah adalah sebuah tanggung jawab. Bahkan, konon dalam berbagai bacaan, ayah sebenarnya punya seni tersendiri dalam mendidik anak. Bukan lewat kata-kata seperti halnya ibu, yang memang punya kemampuan verbal lebih baik sebagai seorang perempuan dibanding ayah. Ayah adalah lelaki, yang konon kemampuan verbalnya secara umum di bawah ibu yang seorang perempuan. Namun, ayah punya sesuatu. Ia punya segudang modal untuk menjadi teladan, figur contoh bagi seorang anak. Yang kedua ini adalah semacam tamparan bagi saya.


Rabu, 25 September 2019

Kesan

Rabu pagi. 25 Oktober 2017. Rasa dag-dig-dug itu masih saja saya coba kendalikan. Mungkin sama rasanya dengan sidang-sidang pendadaran yang pernah saya lalui di 2008 dan 2005 silam. Kadang jemari tangan berkeringat dingin, pikiran semacam terbebani oleh predikat ‘lulus’ atau malah tidak. Jarum jam sudah menunjuk jam sembilan pagi lebih beberapa menit. Berarti beberapa menit lagi, acara besar bagi saya itu akan dimulai. Istri saya pun bercerita belakangan ini, bahwa ada rasa dag-dig-dug yang juga menderanya menjelang dan selama berlangsungnya acara itu. 


Tak dinyana, datang seorang pria yang sudah cukup sepuh penampilannya. Sorot matanya tajam, sama tajamnya seperti ketika saya menemuinya berkali-kali di ruang kerjanya. Rasa-rasanya, pria ini adalah salah satu orang paling kritis yang pernah saya temui sepanjang hidup saya selama ini. Sambil terengah-engah ia menghampiri saya yang tengah berbincang dengan seorang ibu yang akan menjadi semacam pemandu acara besar ini. Ia, pria tadi, berjaket merah, sesekali mengusap keringatnya yang masih menempel di dahinya. Seperti biasanya, ia hampir selalu bersepeda kemanapun ia pergi, termasuk mendatangi Aula Congresscentrum tempat saya akan diuji hari itu. Bahkan, beberapa kali pertemuan dengannya, ia bercerita tentang hobinya bersepeda, melintasi kota-kota di Belanda. Jujur saja, bila saya bertanding balap sepeda dengannya, sangat mungkin saya kalah telak. Perawakannya memang sudah tidak muda, tetapi fisiknya cukup kuat lantaran terlatihnya ia bersepeda. Pria itu adalah Professor Frans van der Helm, promotor saya. 

Ia datang, tak menampakkan gaya formalnya. Masih bercelana panjang jins dan berjaket merah seperti pada foto di atas. Saya tahu, bahwa sebentar lagi ia akan berganti penampilan dengan jubah kebesarannya sebagai Hoogleraar, guru besar yang menjadikan saya sebagai aktor utama dalam sidang terbuka yang sebentar lagi akan dimulai itu.

Frans. Begitu saja saya memanggilnya. Tidak ada prefiks ‘Prof.’ atau ‘Profesor’ yang saya sebut ketika saya memanggilnya. Wah, tidak sopan ya tampaknya. Ternyata tidak. Bukan berarti saya tidak menghormatinya, tetapi mungkin karena budaya yang sudah terbentuk di sana, di tempat saya berguru kepadanya, sehingga saya cukup memanggil namanya saja. Ada sebuah cerita tentang awal pertemuan saya dengannya. Sebulan setelah kedatangan saya di kampus tempat Frans bekerja, saya merasa ada yang kurang semenjak kaki ini menginjak tanah di kampus tersebut. Sebulan lebih saya belum pernah bertemu dengan Frans. Selama itu pula, saya lebih banyak berinteraksi dengan pembimbing harian saya, tidak dengan Frans. Frans memang bertindak sebagai promotor, namun dia bukanlah project holder, si empunya proyek penelitian yang saya lakukan. Frans ‘dipinjam’ oleh pembimbing saya dari grup lain dalam departemen, lantaran di grup riset saya saat itu belum ada satupun profesor yang bisa didaulat untuk menjadi promotor bagi seorang promovendus. Singkat cerita, akhirnya saya beranikan diri menemui Frans, yang ruang kerjanya hanya di balik sekat pembatas tempat saya dan kawan-kawan mahasiswa lainnya bekerja. 

Pintu ruangannya saya ketuk. Setelah dipersilakan masuk, saya dapati beliau. Saya perkenalkan diri. Semula saya panggil ‘Prof. Frans’. Tetapi ternyata justru saya menangkap rasa aneh di wajahnya. Entah. Hingga saya pamit undur diri pun saya tak tahu kenapa wajah Frans menjadi seperti salah tingkah ketika saya memanggilnya seperti itu. Ah, sudahlah. Saya tak berpikir panjang. Hingga akhirnya saya sedikit demi sedikit memahami, bahwa kultur di sana ya seperti itu. Sebenarnya, saya pun tidak bisa menjeneralisir. Bisa jadi memang ini hal spesifik yang saya alami. Bisa jadi hal ini tidak terjadi di kampus lain, atau bahkan di departemen lain walaupun masih satu kampus di Belanda sana. Tetapi, lambat laun saya nyaman dengan kultur ini. Ada beberapa hal yang Frans ajarkan kepada saya secara tidak langsung dari caranya ia berinteraksi dengan saya. Soal panggilan namanya itu, adalah yang pertama. 

Kedua, Frans mengajarkan saya tentang bagaimana duduk bersama mahasiswanya. Side-by-side. Duduk berdampingan, membahas kemajuan studi saya hingga membahas tulisan-tulisan dalam disertasi saya. Bahkan dengan duduk bersama itulah cerita-cerita tentang petualangannya bersepeda saya dapatkan. Ia ajarkan bahwa tidak selalu interaksi antara promotor dengan mahasiswanya berlangsung formal, sepanjang etika sopan-santun akademik tetap dipegang. Ia juga pernah tak segan mengambilkan segelas kopi untuk saya dari mesin, sesaat sebelum meeting reguler dimulai. Seperti dalam foto, beberapa menit sebelum sidang saya dimulai, ia pun datang dengan kostum hariannya, memastikan dulu apakah saya dan semua hal terkait sidang saya baik-baik saja, sebelum akhirnya ia mempersiapkan dirinya sendiri untuk acara defense tersebut.  

Ketiga, seperti saya sebut sebelumnya, Frans inilah mungkin salah satu figur paling kritis yang pernah saya temui. Ia tak segan mempertanyakan temuan-temuan riset saya, yang biasanya sudah saya rapikan sebelum hari-H meeting dengannya. Pernah suatu ketika, apa yang sudah saya susun rapi untuk didiskusikan dengannya, di-‘obrak-abrik’ oleh pertanyaan-pertanyaannya. Hingga akhirnya membuat saya termenung, berpikir keras lagi. Salah satu pesannya kepada saya yang terus terngiang di telinga saya hingga sekarang adalah, bahwa kamu (Budi) harus bersikap skeptis dengan data yang kamu punya. Jadilah kritikus temuan-temuanmu sendiri, meragukan data-data yang diperoleh, hingga kadang kita menjadi bimbang terhadap apa-apa yang kita temukan. Dari situlah, kita akan terpancing untuk memastikan kebenaran dari temuan-temuan kita tadi. Pesan yang sungguh berat, tetapi di situlah rasanya jiwa seorang peneliti yang curious, penuh rasa ingin tahu dan bersemangat menggali kebenaran ilmiah itu ditumbuhkan. 

Sehari setelah sidang terbuka saya berlangsung, saya temui Frans lagi. Sekadar mengucap terima kasih sambil berpamitan, lantaran beberapa hari setelahnya saya bertolak kembali ke Indonesia dan entah kapan lagi bisa kembali menemuinya. Singkat cerita, satu lagi pesan Frans yang secara tidak langsung ia sampaikan ke saya. Kira-kira begini, “Budi, kamu harus lebih keras lagi menyanggah pertanyaan-pertanyaan dan ‘serangan’ para pengujimu kemarin.” Hah.. sesaat saya bengong. Saya merasa sudah berjibaku bertahan dengan kekuatan maksimal saya menghadapi para penguji. Ya, memang ada satu dua pertanyaan yang saya luput menjawabnya. Tetapi, Frans menilai saya masih kurang maksimal. Demikianlah, mungkin saya memang harus belajar juga tentang pesan Frans yang satu ini. Menurut Frans, di forum defense seperti itu, sudah sepatutnya bahwa mahasiswa promovendus justru harus berani dalam menyanggah komentar dan pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan para penguji. Bukan manut begitu saja. Tentu saja, berani karena ada landasan berpikir yang matang; hasil-hasil pemikiran yang didukung data-data riset yang dilakukan dengan metode yang tepat. 

Ya, itulah kesan. Kesan yang saya tangkap. Hampir dua tahun sudah saya tidak berjumpa lagi dengan beliau. Pun, pengalaman berinteraksi dengannya pun tidak selalu manis. Pernah ada kisah frustasi, ketika beliau tak kunjung membalas e-mail saya selama hampir enam bulan setelah saya kembali ke Indonesia dan menunggu hasil review beliau pada draft disertasi yang saya tulis. Rasa frustasi tadi akhirnya hilang, lantaran saya pun akhirnya memahami ucapan maaf beliau karena memang sibuk bukan main dengan aktivitas-aktivitasnya.

Rabu, 07 Agustus 2019

Andaikan Publikasi Ilmiah itu Semenarik Alur Cerita Superhero Marvel

Barangkali menarik kalau saja rangkaian publikasi ilmiah seorang peneliti atau grup riset di jurnal-jurnal itu bercerita layaknya alur cerita superhero Marvel. Dalam cerita Marvel, ada kisah tentang Iron Man, Thor, Captain America, Hulk, Doctor Strange, Black Panther hingga Thanos, yang pada awalnya cerita mereka berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing dari film mereka mempunyai plot yang dibangun secara mandiri. Hingga akhirnya dirilislah film Avengers pertama (2012), yang bercerita berkumpulnya semua superhero-superhero itu dalam satu alur plot cerita. 
Sumber gambar: www.entertainmentblog.paytm.com
Para penggemar pastinya tahu bahwa ternyata film superhero Marvel satu dengan yang lainnya adalah satu rentetan cerita panjang. Kalaupun tidak, sekali-kali tontonlah film-film Marvel hingga selesai sampai tuntas. Post-credit scene yang tertayang setelah film berakhir selalu mengarahkan penonton untuk berpikir tentang kelanjutan dan interkoneksi film tersebut dengan film yang lain. Dan benar. cerita dalam film yang usai kita tonton itu bersambung pada film berikutnya, walaupun berbeda judul dan superheronya.

Nah, pastinya menarik kalau saja sebuah ide besar tentang riset atau inovasi bisa kita tulis dalam banyak artikel atau publikasi di jurnal seperti jalan cerita film-film Marvel. Sebutlah, satu artikel yang kita tulis itu adalah sebuah film lepas, yang bercerita tentang satu kisah riset yang baru saja keluar dari dapur laboratorium kita. Ia berdiri sendiri dan punya nilai kebaruan yang tinggi. Namun, sebenarnya ia tersambung dengan artikel-artikel lain yang kita tulis sebelum atau setelahnya. Sehingga, apabila semua artikel itu dihubungkan, akan tercermin sebuah alur panjang tentang cerita riset besar kita. Mungkin menarik.

Minggu, 07 Juli 2019

Pesan Moral Film “Spiderman: Far from Home”

Spiderman kembali menggebrak dunia perfilman superhero dunia di medio 2019 ini. Kali ini, kisah manusia laba-laba ini mengangkat subjudul: Far from Home, yang menurut saya unik lantaran kata ‘home’ di dalamnya dapat menunjukkan ketersambungan film ini dengan film sebelumnya: Homecoming. Namun, yang jelas, seperti pada edisi perdananya “Homecoming”, kisah Spiderman dalam Far from Home kali ini juga sarat pesan moral yang menarik untuk disimak. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang pesan moral dalam film Spiderman: Homecoming dalam tautan berikut ini.

Spiderman: Far from Home sebenarnya tidak tersambung langsung dengan Homecoming yang dirilis pada tahun 2017. Di antara keduanya terselip dua film besar besutan Marvel Cinematic Universe (MCU), yakni The Avengers: Infinity War dan The Avengers: Endgame. Kedua film terakhir ini menjadi semacam titik simpul kisah-kisah superhero Marvel, termasuk kematian Tony “Iron Man” Stark dan pensiunnya Steve “Captain America” Rogers. Alhasil, dalam film Far from Home, Peter “Spiderman” Parker masih dibayangi kematian Tony Stark yang sangat ia kagumi dan ia jadikan figur inspirasi akan superhero yang seharusnya.

Ada dua hal yang sekiranya menurut saya dapat kita petik sebagai pelajaran dalam Spiderman: Far from Home. Pertama, adalah efek bumerang teknologi informasi sangat pesat perkembangannya dan fenomena media framing yang di era modern seperti saat ini. Dikisahkan, pada detik-detik sang tokoh antagonis, Quentin “Mysterio” Beck, dikalahkan oleh Spiderman melalui sebuah pertempuran di atas London, Beck sempat merekam dirinya sambil berceloteh dalam keadaan terluka parah dengan latar kaki Spiderman yang sebetulnya juga tengah terluka. Dalam post-credit scene film tersebut, Beck mengumumkan bahwa ia, yang sebenarnya tengah punya nama baik di hadapan publik, dibunuh oleh Spiderman karena ambilsi sang manusia laba-laba tersebut untuk menggantikan peran Tony Stark sebagai pimpinan Avengers. Padahal, sejatinya Peter Parker justru tidak pernah merasa mampu menggantikan Tony Stark. Bahkan saking tidak pede-nya, ia menyerahkan kacamata “EDITH” yang dipakai Stark kepada Beck secara cuma-cuma. Kacamata tersebut merupakan salah satu kunci sistem senjata pamungkas yang dirancang dan dibuat Stark sebelum ia mangkat. Di tangan Beck, EDITH dipakai untuk mengusik ketengangan dunia, dengan skenario fiktif tentang musuh alien bernama Elementals. Orang-orang kepercayaan Beck lalu mengunggah video Beck lewat siaran berita pada publik, mengesankan bahwa Spiderman itu licik nan picik. Selanjutnya, mungkin patut kita tunggu terusan film Spiderman ini. Namun, inilah media framing. Kita sering tertipu, terkecoh oleh suatu informasi lantaran informasi yang disampaikan tersebut telah dikemas sedemikian rupa oleh media. Ada bagian informasi atau rekaman yang dipotong, di-edit atau direkayasa, sehingga yang seharusnya buruk menjadi baik, atau sebaliknya.
Kedua, adalah pelajaran tentang percaya pada kekuatan diri sendiri. Mungkin mirip dengan tulisan saya sebelumnya tentang Spiderman: Homecoming. Di tengah perjuangannya melawan Beck alias Mysterio yang memainkan skenario fiktif dan penuh dengan tipuan mata, Spiderman akhirnya kembali mempercayai nalurinya. Keyakinannya akan kekuatannya sendiri mengantarnya bisa melewati tipuan-tipuan yang dibuat oleh Beck dan timnya. Ya, pelajaran inilah yang saya suka dari Spiderman. Bahwa, kalaulah kita emas pastilah tetap emas, sekalipun kita tertimbun dalam comberan atau tanah yang kelam atau dikemas sedemikian rupa. Sama seperti dalam film Homecoming, Peter Parker pernah menolak menerima kostum Spiderman yang lebih keren dan powerful rancangan Tony Stark. Ia lebih percaya pada kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, meskipun hanya berkostum manusia laba-laba yang primitif dan minus teknologi mutakhir.

Sabtu, 06 Juli 2019

CIMEDs, Satu Dasawarsa Berkarya


Bulan Juni mungkin adalah bulan yang cukup monumental bagi saya. Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya medio Juni 2009, bersama beberapa kawan seperjuangan di kampus, saya memformalkan grup riset kami, tepatnya beberapa jam sebelum satu manuskrip perdana hasil penelitian kami dikirimkan untuk sebuah konferensi di Surabaya. Center for Innovation of Medical Equipment and Devices, begitu kami beri nama. Kami singkat dengan nama yang mudah diingat: CIMEDs
Lambang CIMEDs dicetuskan tidak lama setelah kelahirannya di tahun 2009
CIMEDs bermula dari sekedar aktivitas ber-‘main-main’, keisengan dan saling belajar dan mengajari tentang riset dan segala aktivitas pendukungnya yang saya geluti bersama teman-teman saya itu. Saat itu ada Pak Suyitno, Pak Muslim Mahardika, (alm.) dr. Punto Dewo dan Pak Urip Agus Salim, yang semuanya adalah dosen-dosen muda di UGM. Awal perjalanan kami hanyalah sebuah diskusi-diskusi biasa, tidak formal, yang biasa terjadi di selasar kampus, di laboratorium, ruangan-ruangan kecil kami atau dimanapun saat kami bertemu. 
Brosur pertama informasi tentang aktivitas CIMEDs di tahun 2009
Ya, kami buknlah makhluk-makhluk formal yang harus selalu berdiskusi di ruangan sejuk ber-AC dan berbau wangi parfum ala ruang kantoran. Justru, diskusi sering kami dilakukan di laboratorium material dan manufaktur yang pengap, berbau oli, bahkan bising, di kampus. Tetapi kami tak sekedar berdiskusi, kami juga bermimpi dan menulis untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Mimpi kami mengerucut menjadi satu di saat itu: ingin menjadi bagian dari para peneliti dunia yang berkontribusi di bidang yang kami geluti lewat grup riset ini. Untuk mewujudkannya, proposal-proposal penelitian kami tulis, untuk mendapatkan dana hibah sehingga aktivitas-aktivitas kami terhidupi. Sementara, aktivitas eksperimen, perancangan dan fabrikasi produk-produk hasil penelitian serta penulis manuskrip untuk publikasi di jurnal terus dilakukan. Tak peduli dengan situasi dan keterbatasan yang ada; alhamdulillah semua karena karunia energi dan motivasi yang disisipkan olehNya lewat mimpi kami tadi.

Satu dasawarsa telah terlalui. CIMEDs tumbuh melewati pasang-surut kehidupannya. Di awal, kami hanya bermodalkan alat-alat buatan sendiri dan mesin-mesin perkakas yang tidak baru untuk berkarya. Tak berselang lama, muncullah produk-produk hasil riset pertama kami: seperangkat plat-plat osteosintesis yang dipakai untuk membantu proses penyambungan kembali dan rekonstruksi tulang patah. Lalu, kami menulis artikel demi artikel, mulai dari hanya sekedar untuk konferensi atau seminar hingga jurnal di level internasional. Di tahun 2011, kami akhirnya berhasil mendobrak ketidakpercayaan pada diri kami tentang sulitnya menembus publikasi di jurnal internasional yang mapan dengan hasil riset dalam negeri dan formasi all Indonesian authors. Kami bisa, bahkan tulisan inipun hingga kini masih menjadi rujukan dan disitasi banyak publikasi para peneliti selanjutnya. Kemudian, inovasi tentang peralatan riset dan produksi piranti kesehatan juga terus bergulir. Paten demi paten pun kami ajukan.
Liputan tentang CIMEDs dan produknya di Majalah Gatra, November 2010
Satu dasawarsa mungkin belumlah apa-apa, belumlah ada kontribusi yang sangat nyata. Pada prinsipnya, mungkin kami bukanlah orang-orang yang harus selalu formal dan di-‘formal’-kan. CIMEDs lahir dan tumbuh dari sesuatu yang tidak formal, yakni dari hati yang akhirnya mewujud ke perbuatan kami saja. Publisitas kami di media tidak banyak, karena kami sengaja dan memang tidak terlalu suka mempublikasikan diri kami secara besar-besaran dan bombastis. Biarlah pikiran dan perbuatan kami ini saja yang -semoga- selalu diberi kekuatan olehNya untuk terus berkarya, sesuai dengan fitrah manusia untuk memberikan manfaat bagi sesama dan kehidupan.

Satu dasawarsa CIMEDs. Semoga kami tetap istiqomah.

***
Tulisan ini secara khusus didedikasikan untuk Alm. Dr. dr. Punto Dewo, Sp.OT. salah satu inisiator CIMEDs yang tak pernah lelah membesarkan grup ini hingga beliau berpulang beberapa tahun yang lalu.

Kamis, 06 Juni 2019

Lebaran: Far from Home

Momen lebaran adalah momen sukacita, momen bertemu kembali dengan orang tua, keluarga, kerabat hingga kawan lama. Bagi kita yang hidup di negeri merah putih ini, lebaran juga menjadi momentum bermaaf-maafan dengan sesama; meskipun sebenarnya maaf-maafan ini hanyalah sebuah tradisi. Sebuah tradisi baik yang tidak ada salahnya untuk tetap dilestarikan, sebagaimana santapan opor ayam dan ketupat yang selalu menyertai perayaan lebaran yang istimewa tersebut.

Namun, tak semua orang ternyata bisa merayakan lebaran bersama orang tua dan keluarga besarnya. Tak semua orang mendapatkan kesempatan bersua dengan kerabat di kampung halamannya. Ada sebagian dari mereka yang mesti harus bertahan di tempat perantauannya. Bahkan, di tempat rantau yang terbilang jauh, yang hanya bisa dicapai dengan menyeberangi samudera dan melintasi benua. Mereka tak bisa pulang; umumnya lantaran biaya yang harus mereka tebus terlampau cukup besar, hingga tak cukup untuk membawanya pulang. Akhirnya, mereka memilih menunda waktu untuk pulang dan berlebaran di tanah rantau.

Tetapi, apakah mereka yang tak berkesempatan berlebaran bersama keluarga dan kerabat tadi adalah orang-orang yang tak beruntung? Ataukah, orang-orang yang harus tertahan dan berlebaran di negeri orang itu mengalami kesunyian? Jawabannya bergantung pada sudut yang kita ambil dalam memandangnya.

Ternyata, adalah tetap menyenangkan berlebaran di negeri orang. Tetap khidmat, tetap ada kenikmatan, bahkan banyak hal yang menyentuh sisi ruhani yang akhirnya membawa kesyukuran tiada tara. Bahkan, ada momen-momen indah saat lebaran di negeri orang yang sulit dilupakan, bahkan dirindu manakala jasad dan jiwa ini sudah pulang dari perantauan.

Ketika malam sebelum lebaran tiba, sahut-sahutan suara takbir menggema di hampir setiap kota di negeri merah putih ini. Takbir menggelora, menyisip di antara deru kendaraan mudik, dan akhirnya menyusup dalam hati sanubari. Namun, di negeri orang, di Belanda misalnya, takbir belumlah menggema sekencang itu. Hanya dalam hati dan saat bersama keluarga serta kawan-kawan seperantauan saja mungkin takbir itu bisa kita nikmati. Sekira sembilan tahun lalu, seorang kawan tiba-tiba pernah meletupkan ide waktu itu, yakni memutar video takbiran dari kanal Youtube. Sontak, kami yang semula tak punya ide semacam itu menyambut gembira. Lebaran-lebaran berikutnya di negeri yang sama kami putar lagi video takbiran di Youtube, sembari menyiapkan masakan untuk makan bersama keesokan harinya. Meski hanya lewat rekaman video, gema takbir seperti ini tetap saja menggugah hati. Terasa khusyuk, masyuk saat mendengarnya, karena mungkin kami merasa benar-benar menyandar kepadaNya, sementara di kanan kiri lingkungan kami suasana lebaran itu hampir-hampir tidak ada.

Keesokan harinya, kami harus bangun sesegera mungkin, karena tempat sholat Ied bukanlah di tanah lapang kampung sebelah. Tetapi, sholat Ied bisa jadi dilaksanakan di kota sebelah, di sebuah tempat yang berhasil disewa oleh kawan-kawan dari pemerintah setempat. Tempat itu umumnya berupa gedung olahraga, yang harus kami set ulang menjadi tempat sholat Ied dan acara ramah tamah seusainya. Namanya saja sewa, kami pun harus patungan membayar sewanya. Pemerintah setempat biasanya juga tidak memberi toleransi atas kebersihan tempat seusai digunakan. 

Jadilah, kami, relawan dan panitia sholat Ied harus siap dengan konsekuensi untuk bersih-bersih hingga lantai gedung kembali kinclong tak menyisakan seonggok nasi atau makanan yang tumpah selama acara berlangsung, meskipun para jamaah sudah beranjak pulang. Repot? Pasti iya. Tetapi, di sinilah nikmatnya. Kami serasa bersaudara, bahu membahu menuntaskan tanggung jawab kami menyewa gedung dan merapikannya kembali seusai acara. Meski hari lebaran itu bukanlah hari libur, tetap saja hari itu menggembirakan, penuh canda tawa yang sering menyelip di antara usapan-usapan kain pel yang membasuh lantai gedung olahraga itu.

Acara ramah tamah yang digelar seusai sholat Ied pun tak lepas dari kesan indah yang tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Ada cerita, ada saling mengenal, bahkan sekedar basa-basi dan nostalgi makanan tanah air yang disajikan dengan model potluck oleh para hadirin dalam pesta lebaran itu. Di situlah kesunyian tinggal di negeri orang itu terobati.

Tentunya masih banyak lagi kisah yang teramat panjang bila diurai satu per satu. Namun setidaknya ingatan-ingatan random tentangnya bisa menjadikan kami bersyukur atas aneka rupa pengalaman indah selama berlebaran di negeri orang itu.

Selasa, 04 Juni 2019

Selepas Engkau Pergi


Aku memang tidak khusyuk, pikiranku selalu saja berjalan dan berlarian ke sana kemari manakala aku menghadapNya. Terlampau sering aku lalai dan tak sadar, ternyata mudah sekali perhatianku teralihkan oleh awang-awang dunia meskipun aku sedang bersimpuh di hadapanNya. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya selepas Isya’ itu, untuk berlutut di hadapanNya, barang hanya setengah jam saja.

Aku memang tidak kuat menahan lapar. Seringkali pikiranku memberontak tatkala dahaga itu muncul di siang yang terik itu. Sering pula keroncong perut ini membuatku lemas, tak bersemangat menghadapi hidup. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya untuk terus menahan diri hingga adzan Maghrib tiba. Menahan diri dari rasa lapar dan dahaga yang sebenarnya sungguh manusiawi. Hingga akhirnya aku tak sadar, bahwa lemasku itu mampu membuatku sedikit mampu mengatur jiwaku.

Aku memang emosional, tak jarang diliput iri, dengki dan amarah. Bahkan, kemarahan hatiku sering berujung pada serapah yang membuat hatiku ini terasa panas dan sempit. Namun, engkau mampu mengajakku untuk meredamnya, melatihku untuk kuat menahannya. Karena sesungguhnya orang yang kuat itu adalah mereka yang mampu menahan amarahnya.

Aku memang pelit. Seringkali kehati-hatian ini menjadikanku enggan mengeluarkan sepeser rupiah saja untuk dikembalikan di jalanNya. Sikap perhitunganku menjadikanku urung menyambut dengan gembira dan tangan terbuka untuk berderma manakala kotak-kotak sedekah itu mendekat. Namun, engkau mampu memaksaku, melepas yang seharusnya menjadi milik yang berhak.

Dan, pada akhirnya, aku memang masih rindu. Rindu akan kesunyian itu. Kesunyian yang berbalut ketentraman. Yang mungkin semakin terasa menghentak di malam-malam terakhir menjelang engkau pergi.

Selepas engkau pergi, aku berharap terus bisa mengingatmu, menjalankan apa yang kau ajarkan kepadaku. Dan semoga, aku masih diberikan umur untuk bertemu denganmu, tahun depan nanti. Terima kasih, Ramadhanku.

Selasa, 28 Mei 2019

Catatan untuk Lebaran Kita


Lebaran sebentar lagi tiba, tinggal menghitung hari. Yang pasti, ia akan hadir menjadi momen berkumpul, reuni dan bersilaturrahim dengan kerabat, tetangga hingga kawan yang sudah sekian lama tak berjumpa. Pastilah menggembirakan, penuh untaian senyum dan uraian kegembiraan. Saling bertanya kabar dan seterusnya, sambil menyantap ketupat dan opor ayam yang tampaknya sudah sudah menjadi menu tradisi yang nikmat.

Namun, di antara keceriaan lebaran dan selipan tanya tentang kabar, barangkali kita juga harus ingat, bahwa ada beberapa pertanyaan kita kepada sanak saudara, tetangga maupun kawan yang seharusnya tak begitu saja terucap. Barangkali kita menganggap pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal biasa, sudah menjadi basa-basi yang wajar, bahkan sudah membudaya dan mandarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, mungkin tak seharusnya lantas kita dengan mudah menanyakan hal-hal yang sebetulnya sensitif itu kepada mereka. Apa sajakah pertanyaan itu?

Pertama, soal pekerjaan. Disadari atau tidak, kita sering kepo, sering ingin tahu urusan orang lain, termasuk urusan pekerjaan. Bagi sebagian orang tidak masalah ia ditanyai urusan pekerjaan, apalagi mereka yang secara kebetulan mempunyai pekerjaan yang terpandang di mata masyarakat umum. Tetapi, tidak semua orang berada di posisi itu. Rasanya menyakitkan kalau kita ditanya seperti ini: “Kamu ‘kan sarjana, kenapa tidak bekerja ini, itu atau di situ?” Tidak semua orang berkenan dan mau ditanya tentang pekerjaannya, apalagi sampai menelisik tentang penghasilannya. Bukankah pekerjaan dan penghasilan itu hal pribadi? ‘Kan hanya yang bersangkutan saja yang menjalani pekerjaan itu, lalu apa urusan kita menanyakan pekerjaan mereka?

Kedua, soal jodoh. Sudah biasa tampaknya, di sela-sela silaturrahim, terselip sebuah pertanyaan: mana pendampingnya, mana mas-nya, mana mbak-nya, dan seterusnya. Sekali lagi, barangkali bagi sebagian orang dicecar pertanyaan seperti itu tidak akan bergeming. “Santai aja, Bro!” mungkin itu celetuk mereka. Tetapi, bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu adalah hal sensitif. Terlebih saat kita semakin usil bertanya dan mengulik lebih jauh saat yang bersangkutan menjawab, “Belum ada”. Bahkan kita berkomentar lagi hingga mengaitkan antara jodoh dan usia. Cobalah kita berada di posisi mereka, pastilah menyakitkan. Ya, apa urusan kita menanyakan perihal jodoh orang? Bukankah urusan jodoh itu urusan masing-masing individu?

Ketiga, ketika jodoh seseorang sudah resmi berada di sisinya, seringkali kita bertanya lagi tentang sesuatu yang sensitif. Ya, apalagi kalau bukan tentang keturunan. Barangkali sebagian pasangan suami-istri akan biasa-biasa saja dan santai menanggapinya. Tetapi bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu mungkin bagaikan anak panah yang menancap dan mencabik-cabik harga diri mereka, terutama pada saat sang buah hati yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang menghampiri kehidupan mereka. Lalu, kita bertanya lagi, “Kenapa kok belum?” Bukannya menghibur, pertanyaan itu justru sangat menyakitkan bagi pasangan yang belum dikaruniai buah hati tadi. Bukankah urusan anak atau keturunan itu sudah berada dalam zona pribadi setiap pasangan suami-istri? Kapan ia datang adalah kehendakNya; bisa setahun, dua tahun, empat tahun bahkan bertahun-tahun lamanya. Tetapi itu semua, tentu bukan urusan kita!

Maka dari itu, ber-empati-lah. Rasanya bijak bagi kita untuk mengurangi kekepoan akan hal-hal yang teramat privat atau pribadi bagi orang lain. Memang, sejauh mana sebuah urusan itu termasuk hal pribadi orang sangatlah tergantung pada masing-masing individu. Tetapi, sebagai individu, kita pun tidak bisa men-generalisir, menerka bahwa ini urusan yang pribadi atau bukan bagi orang lain. Jadi, lebih amannya, kurangi saja kita bertanya tentang, setidaknya, hal-hal di atas. Tidak hanya di momen lebaran saja, tetapi di setiap momen pertemuan. Seharusnya momen-momen indah seperti itu adalah saat memperbarui semangat persahabatan dan persaudaraan, bukan momen yang membuka luka dan rasa tersinggung. Lalu, bagaimana kalau kita ingin sekedar menyapa atau berbasa-basi untuk menyambung pembicaraan? Ya, bicarakan saja hal-hal yang netral. Apa saja, mulai dari kemacetan lalu lintas, harga sembako, atau cuaca, layaknya basa-basinya orang Belanda. Pastinya kita akan mendapatkan topik pembicaraan yang netral, asal kita mau.

Senin, 27 Mei 2019

Sisi Manusiawi Para Superhero Marvel dalam Avengers: Endgame

Tak bisa dipungkiri, sepuluh tahun belakangan, cerita para superhero Marvel mungkin merupakan sebuah fenomena tersendiri. Bagaimana tidak? Dimulai dari cerita The Incredible Hulk yang sempat saya tonton di layar lebar dan Iron Man di tahun 2008, hingga yang terakhir ini, Avengers: Endgame di tahun 2019. 

Awalnya, saya hanya berpikir, cerita tentang Hulk dan Iron Man, lalu diteruskan Captain America, Thor, Spiderman dan sebagainya hanyalah potongan-potongan cerita superhero yang tak berhubungan satu dengan yang lainnya. Hingga kemunculan film Avengers yang pertama dan kedua, serta Captain America: Civil War, barulah saya sadar bahwa Marvel Studio tengah meramu sebuah cerita panjang tentang para superhero mereka itu. Jalan cerita yang disusun pun menarik, terhubung dari satu film ke film yang lain. Bahkan, tidak selalu menggunakan plot cerita yang maju. Ada plot cerita yang harus mundur sejenak, menceritakan awal mula kemunculan satu atau beberapa superhero-nya.
Selain plot cerita yang menarik, Marvel Studio juga membungkus ceritanya dengan sisi-sisi manusiawi para superheronya sendiri, misalnya, bahwa sang superhero bukanlah seorang tokoh yang selalu menang dalam pertempuran. Ia juga seperti layaknya manusia biasa, yang mempunyai kehidupan yang sama peliknya dengan kehidupan manusia biasa, hingga kadangkala terjebak dalam berbagai masalah pribadi hingga kekonyolannya sendiri. Namun, dari situlah lahir kearifan dan kebijaksanaan dari sang superhero, serta munculnya pesan-pesan moral yang bisa dipetik oleh para penonton. Ambil contoh, cerita Spiderman: Homecoming yang pernah saya tulis satu setengah tahun silam (lihat tautan ini).
Avengers: Endgame adalah film terakhir, setidaknya sampai tulisan saya ini dibuat, yang dirilis Marvel Studio. Ya, konon film ini menyedot perhatian dunia. Semua superhero Marvel bersatu lagi, bertarung melawan musuh besar mereka, Thanos, yang menang pada film sebelumnya, Avengers: Infinity War. Tanpa bermaksud menceritakan plot film tersebut, saya hanya ingin mencuplik beberapa kisah yang saya pikir sangat manusiawi dan menarik dari film tersebut.
Cerita manusiawi yang paling kentara tentunya adalah akhir hidup dari Tony Stark, sang Iron Man, di akhir cerita. Bagaimanapun juga, Tony Stark atau Iron Man adalah tokoh sentral dalam film-film superhero Marvel. Dalam setiap kemunculannya bersama tim Avengers, ia adalah tokoh yang mendominasi. Menurut saya, ketokohan Iron Man hanya bisa diimbangi oleh Steve Rogers alias Captain America. Keduanya mempunyai karakter kuat, kekuatan super yang lumayan logis bila dicerna otak kita, serta sikap memimpin yang menonjol. Saking kuatnya karakter keduanya, maka tak heran, perselisihan di antara keduanya muncul dan memuncak menjadi sebuah pertempuran pada film Captain America: Civil War. Dalam Avengers: Endgame, cerita tentang Iron Man dipungkasi dengan apik. Konon, dalam Robert Downey Jr., sang pemeran pun juga memutuskan tidak akan mengambil peran lagi dalam cerita-cerita superhero Marvel selanjutnya. Jadilah, pemungkasan cerita Iron Man menjadi apik. Bahwa superhero ada titik akhirnya juga. Namun, kematian Stark bukan karena kalah melawan sang musuh besar, tetapi setelah ia melakukan ‘jurus kunci’ yang menyelamatkan semua kawan-kawannya dalam tim Avengers dan bumi.
Selain kematian Iron Man, sisi manusiawi dari tokoh ini adalah, bahwa ia yang awalnya adalah karakter yang lumayan sombong, mbagusi (istilah Jawanya), namun cerdas bukan main, ternyata telah memilih jalan hidup untuk berkeluarga bersama Pepper Pots, yang sebelumnya adalah sekretaris di perusahaannya, Stark Industries. Bersama Pots, diceritakan dalam Avengers: Endgame, Stark pun mempunyai satu anak perempuan yang masih berusia sekitar empat tahun. Keadaan ini membuat Stark sebenarnya urung, ragu dan tidak mau terlibat dalam Avengers lagi, yang mengajaknya berjuang kembali mengembalikan orang-orang Bumi yang sempat dibinasakan oleh Thanos menjadi debu. Pertikaian batin dalam diri Stark sangat jelas dalam salah satu titik cerita film ini, tatkala Captain America, Black Widow dan Ant-Man datang ke rumah Stark yang sengaja dibangun jauh dari keramaian, lalu mengajaknya untuk berjuang kembali melawan Thanos.
Tentang kehidupan keluarga, jangan lupakan juga tentang tokoh Clint Barton, atau Hawkeye, si pemanah ulung dalam tim Avengers.  Sejak di film Avengers sebelumnya, Barton memutuskan untuk berhenti menjadi superhero dan memilih hidup bersama keluarganya di suatu tempat yang juga jauh dari keramaian. Hawkeye muncul kembali dalam Civil War, dan bergabung di pihak Captain America pada saat perseteruan dengan kelompok pimpinan Iron Man berlangsung dalam film ini. Di awal cerita Endgame, digambarkan kehidupan Hawkeye cukup bahagia bersama keluarganya. Namun, sesaat kemudian Hawkeye berubah menjadi frustasi, lantaran kehilangan anak dan istrinya yang juga berubah menjadi debu terkena efek petikan jari Thanos yang terjadi di akhir film Infinity War. Lalu, berubahlah Hawkeye menjadi pendekar jalanan, memusnahkan siapa saja yang berbuat kejahatan, dan bergabung kembali dengan Avengers untuk melawan Thanos.
Thanos, sang musuh besar the Avengers pun juga digambarkan mempunyai niatan baik untuk memperbaiki tatanan jagad raya. Namun, caranya yang kejam, dengan mengubah setengah populasi orang-orang di Bumi menjadi debu, mungkin yang menjadikannya menjadi tokoh antagonis. Thanos, setelah menang dalam film Infinity War, digambarkan mengasingkan diri di suatu planet. Ia hidup dan melepas jubah perangnya, makan buah-buahan dan hasil pertanian, namun akhirnya berhasil dibunuh oleh The Avengers di awal cerita Endgame.
Thor, salah satu tokoh sentral dalam Avengers, bahkan juga digambarkan cukup manusiawi. Frustasi dengan kekalahan dari Thanos dalam Infinity War serta kehilangan hampir seluruh rakyat Asgard yang dipimpinnya, menjadikan Thor layaknya dewa mabuk bertubuh gemuk yang sering kehilangan akal sehatnya tatkala dihadapkan pada masalah pelik. Dengan kata lain, Thor, yang sering mengaku anggota Avengers paling kuat, ternyata tidak cukup kuat mengendalikan dirinya. Namun, ia pun kembali ke kesadaran penuhnya serta kekuatan supernya saat berperang dalam pertempuran pungkasan Endgame.
Yang terakhir, tanpa mengecilkan cerita-cerita manusiawi para superhero Marvel yang lain, adalah Sang Captain America sendiri. Tokoh Steve Rogers atau Captain America, yang merupakan superhero yang terhibernasi selama 70 tahun sejak akhir Perang Dunia 2, harus diakhiri kisahnya dalam Endgame. Captain America muncul sebagai superhero masa kini dengan penampakan yang relatif muda nan lincah dibandingkan usia dan keadaannya yang sebenarnya. Namun, kisah heroik Sang Captain dipungkasi dalam Endgame dengan pilihannya untuk pergi ke jalan ‘pulang’, yakni dengan menjadi figur sesuai dengan usianya di masa ini. Ia menjadi tua. Bahkan, dalam ending cerita Avengers: Endgame ini, ia pergi melalui mesin waktu untuk menemui kekasihnya, Peggy Carter, yang terus ia rindukan sejak ia menjadi superhero di tahun 40an.