Kamis, 28 Desember 2017

Petuah Master Yoda

Akhir tahun 2017 ini, saya sempat meluangkan waktu untuk menonton Star Wars: The Last Jedi di sebuah bioskop di Jogja. Meski tergolong film lepas, Star Wars ternyata tak ubahnya sebuah serial, yang ceritanya saling bersambung dari satu episode dengan episode film yang lainnya. Tercatat sejak rilis pertamanya di tahun 1970an hingga akhir tahun 2017 ini, serial Star Wars sudah mengantongi delapan episode, plus satu tambahan film ‘sisipan’ yang rilis tahun 2016 lalu, Rogue One. Episode yang terakhir: The Last Jedi adalah episode kedelapan, yang baru saja dirilis pertengahan Desember tahun ini. Konon, Star Wars adalah sebuah fenomena, yang tidak saja menjadi gebrakan dalam industri perfilman dunia, tetapi juga menggerakkan perekonomian. Lihat saja, berbagai merchandise film ini ramai diserbu para penggemar cerita fiksi ini di seluruh dunia.
Bagi saya, Star Wars memang berkesan. Film ini pertama kali saya tonton di stasiun televisi TVRI saat masih tduduk di bangku sekolah dasar awal tahun 90an. Di hari film itu diputar, saya relakan tidur malam. Toh, malam itu juga hari Sabtu, sehingga saya libur sekolah keesokan harinya. Saya begitu terpukau melihat adegan demi adegan pertempuran di ruang angkasa dalam film Star Wars. Saat itu, saya pikir film Star Wars ya cuma satu film lepas saja, tidak berseri. Belakangan, setelah saya dewasa, saya baru tahu albahwa film yang saya tonton semasa kecil dulu adalah Star Wars Episode IV: A New Hope; walaupun ia dirilis paling awal sebelum episode-episode lainnya.
Singkatnya, The Last Jedi, yang saya tonton di penghujung 2017 ini, bercerita tentang kembalinya salah satu tokoh utama serial Star Wars, yakni Luke Skywalker. Ia kembali untuk membantu dan menyelamatkan para pemberontak (resistance) yang menjadi figur-figur protagonis dalam serial ini. Sebenarnya, Luke sudah tidak ingin kembali menggunakan kekuatannya untuk melawan kekaisaran yang berupaya menindas para penghuni planet di seluruh galaksi; sebagaimana ia diceritakan dulu di Episode IV hingga VI. Namun, setelah konflik batin yang ia alami, ia memutuskan untuk pergi membantu para resistance yang tersisa melawan armada kekaisaran yang dipimpin keponakannya sendiri, Ben Solo.
Seperti kebanyakan film-film yang saya apresiasi karena pesan moralnya, Star Wars Episode VIII kali ini juga menyampaikan petuah yang saya pikir layak untuk direnungkan. Ada dialog menarik yang terjadi antara Luke dengan ‘bayangan’ gurunya, Master Yoda, saat Luke berkeinginan untuk membakar semua buku-buku tentang Jedi yang tersimpan di tempatnya tinggal. Master Yoda menyampaikan satu hal penting kepada Luke. Tentang kegagalan. Bahwa kegagalan adalah guru terbaik. Dan, semestinya kegagalan juga diajarkan kepada para murid. Begitu petuah Master Yoda.
Memang benar. Kegagalan itu berat, sulit dan menyakitkan. Namun, ternyata kegagalan adalah guru yang terbaik. Ia adalah bagian dari pengalaman hidup seseorang. Banyak orang berujar bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun, ungkapan ini rasanya kurang lengkap. Pengalaman yang mana? Pengalaman yang tentang kesuksesan atau tentang yang baik-baik saja? Pasti, kita bisa belajar dan mau belajar darinya. Ketika seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan, atau ia sukses meraih sesuatu, pastilah itulah sebuah pengalaman yang dianggap baik, lalu bisa diceritakan hingga orang lain pun terinspirasi. Lidah seakan mudah bergeliat hingga kita gampang berkata manis dan bijaksana bila pelajaran itu adalah pengalaman baik. Bila demikian, benarlah, bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Lalu, bagaimana bila pengalaman tersebut adalah pengalaman pahit, pengalaman tentang gagal, yang tentu saja menyakitkan, berat dan sulit dijalani. Pastilah lidah ini kelu, hati ini ciut, keberanian untuk menceritakannya ini laksana terbenam, atau kata-kata manis nan bijak itu terasa berat untuk diucap. Justru sebaliknya, kadangkala sumpah serapah, umpatan dan celaan atas situasi yang mendera yang terucap. Frustasi kita akan sebuah kegagalan seringkali membuat kita enggan belajar darinya. Padahal, konon, kegagalan itulah guru yang paling baik. Setidaknya, Master Yoda mengklaim begitu, hehehee… Karena lewat kegagalanlah kita seharusnya belajar agar kita hendaknya seperti ini, atau seperti itu, sesuai dengan jalan cerita yang telah disusunNya untuk kita, meski kita tidak pernah tahu alurnya. So, mungkin kita perlu merenungkannya juga. Tentang kegagalan yang akan menjadi sebenar-benar guru yang terbaik. Pasti, namun mungkin kita perlu berkompromi dengan makhluk yang bernama waktu. Waktulah yang memberi kesempatan, hingga pada akhirnya kita bisa mengambil pelajaran yang teramat berharga dari sang guru yang bernama kegagalan.

Kamis, 21 Desember 2017

Kamera DSLR Pertama

Bulan Desember selalu mengingatkan saya akan banyak hal. Salah satunya adalah momen ketika saya diberikan kelonggaran rizki untuk membeli sebuah kamera DSLR (digital single-lens reflex) pertama saya. Benar, kamera ini adalah kamera DSLR saya yang pertama, padahal booming kamera DSLR sebenarnya sudah terjadi pada tahun 2010-an. Saya ingat betul, di masa itu banyak kawan saya yang sudah menlakukan aksi jepret sana, jepret sini, mengambil foto dengan kamera hitam di tangannya. Demam DSLR seakan menjadi wabah yang menjangkiti banyak rekan mahasiswa di kala itu. Bahkan, seorang kawan sempat berseloroh; DSLR itu semacam virus, virus yang bisa mewabah menjangkiti siapa saja. Lalu, setiap orang berkeinginan untuk memiliki atau membelinya, meski harus dengan cara menabung dan mengatur uang saku dari beasiswanya seketat-ketatnya. Acara berburu foto bersama pun menjadi tren baru di kalangan teman-teman mahasiswa di sekitar saya saat itu.
Di masa itu, saya masih mengandalkan sebuah kamera saku, Sony S650. Jujur, saya belum mampu membeli kamera DSLR, meski keinginan memilikinya sudah ada, karena terjangkiti ‘wabah’ yang saya sebut tadi, hehehe… Tentu saja, kemampuan kamera saku yang saya punya tadi sangatlah terbatas, apalagi bagi orang yang ingin serius menekuni fotografi. Namun, tetap saja kamera Sony mungil berwarna perak ini berkesan bagi saya, karena saya membelinya dengan usaha dan keringat sendiri. Semua uang tunjangan lebaran yang saya terima dari kantor di tahun 2007 saya alokasikan semuanya untuk membeli kamera tersebut.
Tahun 2011 hingga 2015, saya beralih ke kamera point and shot, sebuah kamera Canon Powershot SX20IS. Kamera ini berjasa banyak karena membantu melatih skill saya dalam memotret. Meski kemampuannya yahud, terutama untuk memotret jarak jauh, dan ukuran body-nya yang hampir sebesar kamera DSLR, kamera ini menurut saya masih kurang memadai untuk belajar tentang mengoperasikan kamera secara manual. Oh ya, dan waktu itu, status kamera ini masih sebenarnya masih sebagai pinjaman, hehehe…
Barulah di bulan Desember 2015, saya mendapat angin segar. Tunjangan akhir tahun dari kampus tempat saya belajar waktu itu bagaikan durian jatuh. Saat itulah saya benar-benar merasa mendapat kucuran dana bebas yang jumlahnya sedikit lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah dibagi-bagi untuk alokasi kebutuhan yang lebih penting, tersisalah sejumput uang. Dan, terbukalah peluang saya membeli sebuah kamera DSLR yang selama ini hanya sebatas angan-angan.
Menjatuhkan Pilihan
Sore hari, 23 Desember 2015, diliput dingin jelang winter tahun itu, berangkatlah saya dengan keyakinan penuh ke sebuah supermarket elektronik di kota sebelah. Namun, sesampainya di sana, bingunglah saya. Tiba-tiba saja saya disergap kegalauan, kebingungan untuk menentukan satu di antara sekian pilihan kamera yang ada di etalase saat itu. Tengok sana, tengok sini, lihat kardus kemasan kamera ini dan itu, ternyata banyak pilihan, tentang merek, performa hingga harga. Semuanya serba menarik dan ‘menyilaukann mata’. Tetapi, saya harus memilih satu di antaranya. Tentu saja dari sekian banyak kriteria, masalah harga adalah pertimbangan utama saya, hehehe…
Ada pula pilihan kamera-kamera terbaru, yang berjenis mirrorless. Tetapi waktu itu saya enggan memilihnya -walaupun pada akhirnya sampai juga saya pada titik menyesali keengganan ini. Alasan saya simpel, meski kamera mirrorless merupakan kamera generasi yang lebih baru daripada DSLR, saya meragukan kekuatan batereinya yang lekas habis, karena kinerja kamera ini mengandalkan hampir 100% energi listrik dari baterei. Berbeda dengan kamera DSLR, yang beberapa komponennya bekerja secara mekanik dan optik.
Nikon dan Canon. Dua merek kamera yang sedari awal ada di kepala saya. Keduanya juga dikenal handal memproduksi kamera-kamera tipe DSLR. Akhirnya, jatuhlah pilihan pada sebuah kotak besar yang berisi satu set kamera Canon 1200D beserta lensa kit 18 – 55 mm. Harganya murah, belum lagi ditambah bonus sebuah lensa tele 70-300 mm. Bonus lensa ini terus terang memang menawan hati saya, meski pada akhirnya saya juga agak menyesal, lantaran kedua lensa yang disertakan dalam box kamera tadi tidak mempunyai fitur image stabilizer (IS), sehingga rentan terhadap goyangan saat mengambil foto.
Lensa Prime EF 50 mm
Penyesalan akan lensa yang kurang maksimal performanya membuat saya penasaran dan berkeinginan membeli lensa lain yang lebih baik performanya. Tetapi, membeli lensa kamera itu juga harus bertaruh dengan isi dompet, apalagi dompet seorang mahasiswa di kala itu, hahahaa… Semua itu membuat saya rajin membaca ulasan tentang berbagai lensa untuk kamera Canon. Dan, akhirnya muncul satu lensa yang berhasil menambat hati saya -tentu karena harganya yang relatif murah, ialah Canon EF-50 mm 1.8! Orang menyebutnya Nifty Fifty, sebuah lensa prime, panjang fokus tetap (yakni 50 mm) sehingga tidak mempunyai kemampuan zoom. Hebatnya, lensa ringan ini dikenal sebagai salah satu yang legendaris milik Canon, meski ia tidak mempunyai fitur image stabilizer untuk meredam getaran. Menurut berbagai review, lensa ini konon bisa menghasilkan foto-foto yang tajam dan efek bokeh -atau efek blur pada latar belakang sebuah objek. Pertanyaan selanjutnya, dimana saya dapat membelinya dengan dana yang tersedia di kantong saya? Harga satu buah lensa 50 mm tadi bisa sekitar 120 Euro atau sekitar 1,5 hingga 2 jutaan rupiah. Belum lagi beberapa asesoris pentingnya, seperti filter dan lens hood-nya.
Canon EOS 1200D dengan lensa prime EF-50 mm 1.8 "Nifty Fifty"
Peluang mengakuisisi lensa mungil itu hadir tatkala sebuah lensa bekas ditawarkan di sebuah laman Facebook yang berisi jualan barang-barang bekas mahasiswa di kampus saya waktu itu. Kondisi masih bagus. Begitu deskripsi dari penjualnya. Karena bekas pakai, harga jualnya pun separuh dari harga barunya. Tanpa berpikir panjang, saya kontak si penjual tadi. Secepat mungkin, karena biasanya barang-barang yang berhubungan dengan kamera yang dijual dengan harga murah cepat sekali lakunya. Dan, alhamdulillah, deal. Sang penjual yang juga seorang mahasiswa di fakultas sebelah, melepas lensa tersebut dengan harga sesuai yang ia tawarkan, ditambah sebuah lens hood yang masih sangat bagus. Wah, nikmat yang tiada duanya.
Awal menggunakan lensa 50 mm merupakan masa adaptasi yang lumayan melelahkan. Pasalnya, selama ini saya terbiasa menggunakan lensa zoom, dimana frame foto bisa saya atur sedemikian rupa tanpa bersusah payah maju dan mundur. Namun, konon inilah seninya memotret dengan lensa prime. Fotografer dilatih menguasai teknik dan sense memotret, tidak asal mengambil foto saja. Setelah terbiasa, jadilah duet Canon 1200D dan lensa EF-50 mm 1.8 ini sebagai konfigurasi standar bagi kamera saya yang satu ini. Canon 1200D bolehlah disebut kamera untuk para pemula, yang fiturnya terbatas dan tidak canggih. Tetapi, saya yakin bisa mengoperasikannya lebih dari itu. Dipadu dengan lensa yang berkualitas meski tak berharga mahal.

Minggu, 12 November 2017

Sensasi Klasik dalam Foto Bidikan Kamera Analog Fujifilm MDL-9

Demam fotografi analog sepertinya mulai menggejala dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya hal ini terungkap bila kita membaca beberapa artikel di media elektronik, baik berupa ulasan, liputan, website maupun tulisan di blog para penggemarnya. Di tengah gelombang fotografi digital yang semakin menjadi-jadi, ditambah aneka varian kamera digital yang kian canggih, banyak penggemar dan pehobi fotografi justru berbalik menggunakan kembali teknologi yang telah disebut usang oleh banyak orang, yakni kamera analog atau kamera film. 

Dibanding hasil jepretan dengan kamera digital, bagi orang awam, hasil bidikan dengan kamera analog mungkin tidaklah dramatis, atau bahkan  kurang menarik dan banyak kekurangannya. Namun, bagi mereka yang kini gandrung dengan fotografi analog, boleh dikata hasil jepretan dengan kamera yang harus diisi dengan sebuah rol film ini bernilai seni yang cukup tinggi. Bahkan, saking tingginya, sulit diucapkan dengan kata-kata. Cukuplah foto-foto itu saja yang bercerita tentang nilai seni mereka sendiri. Hehehe...

Awalnya, saya pun tidak menyadari bahwa ada sisi-sisi yang menarik dari fotografi analog maupun hasilnya, setelah begitu lama terjerembab dalam hingar bingar dunia fotografi digital. Yang jelas, ada sensasi klasik pada foto-foto yang didapat dari rol film yang telah selesai dipakai dan dicuci ini. Postingan saya kali ini berkisah tentang pengalaman saya memulai lagi hobi fotografi analog sejak tahun 2016 lalu.

Jujur saja, kamera analog yang saya pakai ini bukanlah yang canggih di eranya. Saya hanya menggunakan kamera saku Fujifilm MDL-9; yang tampaknya memang cukup populer di Indonesia di pertengahan tahun 90an. Kamera fokus tetap ini, bagi saya, mempunyai kenangan tersendiri. Saya tidak membelinya baru-baru ini. Kamera ini adalah pemberian orang tua saya sekitar tahun 1997. 
Kejutan! Sebuah kamera analog Fujifilm MDL-9 dari bapak dan ibu 20 tahun silam. Ditemukan kembali di antara tumpukan barang-barang yang usang. Semakin menyenangkan lagi saat menemukan 2 rol film yang masih baru di laci meja, masih terbungkus rapi dalam kardusnya. Setelah diutak-atik sebentar, kamera dan rol film sepertinya mau diajak bekerja sama, merekam dunia seperti dulu lagi. Mungkin ini saatnya istirahat sebentar dengan kamera digital, beraksi dengan si analog yang sederhana, namun sangat dibatasi jumlah foto yang dibidik dan harus ekstra sabar menanti hasilnya.
Konon, kamera MDL-9 inilah yang terjangkau oleh finansial keluarga saya saat itu, mengingat bapak atau ibu saya bukanlah penggandrung fotografi, sehingga kamera ala kadarnya rasanya sudah cukup. Sejak itu hingga awal tahun 2000an, kamera itu saya gunakan untuk beberapa kali aktivitas jepret di lapangan. Tidak sering memang, karena harga satu rol film waktu itu -kalau tidak salah Rp. 8.000,00- tetap saja mahal bagi saya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Setelah pemakaian terakhir di tahun 2001, kamera itu raib entah kemana; mungkin terselip di antara tumpukan barang-barang di rumah.

Lima belas tahun kemudian, sekitar akhir tahun 2016, ketika sedang membongkar barang-barang di rumah, ibu menemukan kamera pertama keluarga kami tersebut. Ibu segera memberikannya ke saya, lantaran paham akan kesukaan saya jepret sana-sini dengan kamera sejak dulu, bahkan agak menjadi-jadi di beberapa tahun terakhir dengan kamera digital saya. 

Kejutan buat saya. Waktu itu, terbetik rasa bahwa fotografi analog yang saat itu hanya saya nikmati lewat membaca tulisan-tulisan di website dan blog akan segera menjadi sebuah aksi yang nyata. Kocek saya memang terbatas, sehingga saat itu membeli kamera analog bekas belum terlintas di benak saya. Tunjangan liburan yang saya terima dari kampus di Barat sono sudah saya habiskan untuk membeli kamera DSLR saya waktu itu. Hey, saat itu sudah tahun 2015, dan saya baru memiliki kamera DSLR, itupun hanya sebuah Canon EOS 1200D dan lensa kit-nya yang sungguh terbatas fitur-fiturnya, karena memang diperuntukkan bagi para pemula, hahahaa... Tak apalah, yang penting saya membelinya dengan hasil keringat sendiri. 

Kejutan berupa Fujifilm MDL-9 ternyata menyisakan masalah. Dari mana saya bisa mendapatkan film-nya? Saya tidak tahu harus ke mana untuk membeli rol-rol film yang bisa dipakai untuk kamera ringan tersebut saat ini. Tiba-tiba saja saya merasa mendapat kejutan lagi, ketika saya ingat bahwa masih ada dua rol film Fujicolor 200 yang tersimpan di laci meja belajar saya sejak tahun 2009 lalu. Di tahun itu, saya sengaja membeli 4 atau 5 rol film untuk memotret mikrostruktur logam dengan mikroskop optik di lab kampus saya. Jadilah, tanpa pikir panjang, satu dari dua rol Fujicolor 200 yang sudah kadaluarsa sejak tahun 2009 itu, segera saya pasang dalam kamera. Selanjutnya, sambil berburu foto di sana-sini dengan kamera analog itu, saya mencari info yang tidak kalah penting: dimanakah lab tempat mencuci film dan men-scan-nya sehingga dapat diperoleh foto-foto yang siap diunggah dan dinikmati dengan media digital saat ini?

Penelusuran kemana saya harus melakukan finalisasi berupa cuci dan scan berakhir saat saya temukan website komunitas fotografi analog di Jogja. Lengkap sudah infonya setelah saya mendapat konfirmasi dari seorang kawan yang juga gandrung akan fotografi, termasuk yang analog seperti ini. Aktivitas jepret sana-sini untuk menghabiskan satu rol film ternyata memakan waktu berbulan-bulan karena waktu yang sering tidak mengizinkan saya bereksplorasi dengan kamera analog ini. Akhirnya, di awal November 2017 ini, satu rol film dicuci dan di-scan. Lab yang saya tuju adalah Central Foto yang terletak di Jalan Urip Soemoharjo, Yogyakarta. Berikut ini saya hadirkan kepada para pembaca sekalian dua foto eksperimen pertama saya dengan Fujifilm MDL-9 yang dipadu dengan film Fujicolor 200. Sebagian besar sisa fotonya memang tidak sempurna; umumnya terdapat garis-garis yang seakan membakar film. Namun, dua foto yang saya buat dalam format panorama ini cukup memberi rasa puas bagi saya.
Foto 1: It feels like in the mid of 90s, doesn't it? Oh wait, but you may see a Toyota Rush passing through the left side of Tugu Jogja. Yes, it was 2016 when this photo was taken. My first shot with Fujifilm MDL-9 analog camera, after it disappeared for 16 years. Surprisingly, the expired Fujicolor 200 film still worked well for taking this photo.
Pada foto yang pertama (Foto 1), tampak suasana klasik di sekitar Tugu Jogja di dalam foto ini, seakan kita berada di era tahun 80 atau 90an. Namun, ternyata bukan. Kita berada di tahun 2010 ke atas, terlihat dari mobil Toyota Rush dan Avanza yang melenggang di dalamnya, hehehee.. Foto Tugu sendiri kurang begitu jelas, kemungkinan akibat cahaya yang terlalu banyak, mengingat foto diambil saat jelang tengah hari, saat mentari sedang terik-teriknya.

Foto 2: Taken with Fujifilm MDL-9 analog camera and an expired Fujicolor 200 film. No filter was used.
Foto 2 memberikan hasil yang lebih memuaskan bagi saya, sekalipun cerita yang saya angkat cukup sederhana saja, yakni tentang lalu lalang becak di seputaran Pasar Ngasem; salah satu pasar tradisional yang paling terkenal di Jogja. Foto ini diambil di suatu pagi, sekitar pukul 9, sehingga intensitas cahaya yang masuk ke kamera tidak terlalu kuat. Pepohonan yang cukup rimbun juga sangat memperbaiki kontras dari foto ini. Efek klasik, vintage dan kekunoan bisa muncul dari foto ini.

Dua foto di atas barulah permulaan. Saya masih harus belajar banyak lagi, khususnya belajar memahami karakteristik kamera analog yang saya punyai ini. But, it's all about fun. Ya, fotografi itu menyenangkan dan harus dijalani dengan menyenangkan pula. Jangan lupa untuk menambahkan bumbu-bumbu ketertarikan, keingintahuan serta keseriusan di dalamnya.

Rabu, 11 Oktober 2017

Pesan Moral Film "Spider-Man: Homecoming"

Film Spider-Man: Homecoming boleh dikata adalah salah satu dari segelintir film superhero ala negeri Paman Sam yang berhasil membuat saya mengacungkan jempol. Film ini tidak hanya menyodorkan plot cerita yang sedikit beda dengan film-film superhero sejenis, tetapi juga pesan moral yang menurut saya bermanfaat untuk kehidupan. 
Spider-Man: Homecoming (Gambar: Wikipedia)
Dalam penerbangan trans-benua dari Jogja menuju Amsterdam belum lama ini, saya tidak menyiakan waktu memanfaatkan fasilitas in-flight entertainment yang ditawarkan maskapai Garuda Indonesia yang saya tunggangi. Spider-Man: Homecoming, adalah film yang langsung saya putar begitu pesawat sudah tenang mengudara.

Dalam film Spider-Man kali ini, Peter Parker, diperankan oleh Tom Holland, seorang anak SMU, dengan segala tingkahnya sebagai anak muda. Singkat cerita, dalam film ini Peter berusaha membuktikan dirinya pantas mengenakan kostum Spider-Man yang dirancang Tony "Iron Man" Stark (diperankan oleh Robert Downey Jr.), sang pemimpin The Avengers. Kostum rancangan Stark ini mengadopsi teknologi layaknya kostum Iron Man; ada navigator yang menuntun sang superhero saat beraksi, sebagaimana tokoh Jarvis dalam film Iron Man. Selain itu, kostum ini dilengkapi dengan robot laba-laba yang membantu Spider-Man mengintai situasi yang berada di luar jangkauannya.

Namun, Peter harus menelan pil kekecewaan, lantaran Stark mengambil kembali kostum super tersebut dengan alasan bahwa Peter tak bisa memanfaatkan kostum tadi dengan benar. Jadilah, di aksi berikutnya, Peter mengenakan kostum rancangannya sendiri yang masih sangatlah primitive: serupa kaos biasa dengan topeng merah dan 'kacamata google'. Kostum ini mengingatkan saya pada Spider-Man era tahun 70an, yang dulu pernah diputar di salah satu televisi swasta di Indonesia pada tahun 90an. Peter mampu membuktikan, bahwa ia memang tetap bisa berbuat kebaikan dengan kekuatannya sendiri, tidak bergantung pada peralatan dan kostum canggih pemberian Stark.

Stark puas. Di akhir cerita, setelah musuh berhasil dikalahkan oleh Peter -dengan tanpa membunuh-, Stark memberikan kembali kostum Spider-Man rancangannya kepada Peter serta menawarinya sebagai anggota The Avengers. Namun, Peter menolak. Parker tidak ingin menjadi bagian dari The Avengers yang memang sudah dikenal sebagai superhero elit di dunia. Peter memilih menjadi Spider-Man seperti apa adanya, Spiderman yang menjaga lingkungan dan melindungi rakyat kecil. Inilah pesan bijak Parker yang belia kepada Stark yang jauh lebih tua dan dewasa dibanding dirinya. 
Dialog di akhir film antara Peter Parker (kiri) dan Tony Stark (kanan), yang sarat dengan pesan moral.
Potongan cerita di atas, menurut saya, adalah pesan moral yang cukup baik dari film ini. Pelajaran pertama, Peter percaya pada kekuatannya sendiri, bukan atribut artifisial seperti kostum Spider-Man berteknologi canggih pemberian Tony Stark. Peter berhasil menunjukkan siapa dirinya, bahwa ia memang superhero sejati. Meski demikian, pesan yang keduanya, nuraninya menuntun tindakannya, bahwa menjadi superhero tak harus menjadi seorang yang elit, eksklusif dan terkenal. Ia memilih jalan menjadi apa adanya dan tetap rendah hati.

Senin, 09 Oktober 2017

LangitMu

Ya Rabb, ya Tuhanku,
hanya atas izinMu, aku ada di tengah awan-awanMu,
hanya atas ridhoMu, aku melayang di udara setinggi ini, di langitMu
hanya atas karuniaMu, aku berjalan menuju negeri-negeri yang sejatinya asing bagiku.
Tuhanku,
secuil diriku merasa, ketika berada di tengah hamparan angkasaMu,
lemah diriku tak berdaya, tatkala Kau singkap dan tunjukkan langit kekuasaanMu,
tak tegak lagi langkahku, tergetar saat terhembus tiupan angin turbulensiMu
tak kuasa diriku, bila pada masa itu tetiba saja Kau putuskan kehendakMu atas jiwaku.

Tuhanku, maafkan aku, tuntunlah aku, lindungilah aku.
Sungguh, bait-bait salahku pastilah panjang berbondong, menutupi mata hatiku,
hingga sombonglah diriku, congkaklah diriku, arogannya diriku.
Namun, aku masih berharap, tentang ampunan dan pelukanMu.

-Jelang fajar, di atas langit Munster-

Selasa, 03 Oktober 2017

Seratus

Beberapa pertanyaan yang sering terlontar dalam benak saya hampir setiap saat membuka blog yang saya buat empat tahun silam ini: Bisakah saya merawat blog ini? Bisakah saya aktif menulis sesuatu yang berbobot untuk diunggah dalam blog ini? Pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya memang sulit untuk dijawab. 

Salah satu kegemaran saya adalah menulis. Namun ternyata ada kalanya waktu tidak mengizinkan saya leluasa menulis. Saya bukan termasuk penulis yang mudah menuangkan begitu saja gagasan-gagasan yang berkecamuk di pikiran ke dalam bahasa tulis, hingga siap dinikmati oleh para pembaca dalam sekali waktu menulis saja, tanpa editing yang berulang-ulang, tanpa berpikir terlalu lama dan panjang tentang bagaimana 'rasa' dan makna dari setiap kalimat yang saya susun. Akibatnya, proses menulis di hampir semua artikel saya di blog ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seringkali harus berjam-jam, bahkan berhari-hari, serta tak jarang berulang kali saya menyimpan dan mendiamkan sebuah draft tulisan untuk sementara waktu dalam laptop maupun ipad saya. 

Blog ini pun pernah beberapa kali vakum, tidak ada tulisan yang saya unggah selama beberapa bulan lamanya karena kesibukan yang mendera bertubi-tubi. Namun, saya tetap punya komitmen, bahwa blog ini harus tetap terisi oleh tulisan-tulisan yang baik, syukur-syukur berbobot dan membawa manfaat, yang itu semua jelas tidak bisa serampangan dalam menyusunnya.

Empat tahun lalu, saya mengawali blog ini termotivasi oleh sebuah kata inspirasi dari seorang kawan saya saat studi di Delft. Ujarnya, bahwa blog-lah tempat kita menuliskan pemikiran kita dengan sebebas-bebasnya, meski kebebasan itu tetap ada batasannya. Namun, menulis di blog itu tidak dibatasi oleh aturan-aturan tertentu seperti halnya dalam jurnal ilmiah maupun buku. Pun, menulis di dalamnya juga tidak dibatasi oleh kehangatan isu seperti halnya pada surat kabar, majalah maupun media massa yang lain.

Melihat ke belakang, tulisan-tulisan yang saya hadirkan dalam blog ini ternyata topiknya cukup variatif. Namun, mayoritas berisi tentang masalah studi, riset dan menulis publikasi ilmiah; hal-hal yang sampai saat ini -alhamdulillah- masih bisa saya tekuni dan pertahankan konsistensinya dalam menjalaninya. Juga, hal-hal yang memang menjadi kegemaran saya, seperti dunia penerbangan, ilmu material dan fotografi. Saya masih berpegang pada prinsip yang saya anut saat mengawali blog ini, yakni membuktikan dulu baru berbicara (atau menuliskannya). 

Akhir kata, di artikel saya yang ke seratus dalam blog pribadi ini, teriring doa semoga blog ini tetap membawa manfaat, walaupun tulisan-tulisan di dalamnya tidaklah sebaik tulisan para blogger maupun penulis kawakan yang telah malang melintang di negeri ini dengan segudang pemikiran hebatnya. 

Minggu, 01 Oktober 2017

Aktivitas Menyambut Pagi


Inilah salah satu foto yang pernah saya bidik pada saat yang istimewa: blue hours. Pun, saya mengambilnya lantaran merasa ada cerita yang ingin saya sampaikan di balik foto tersebut. Aktivitas menyambut pagi di Depo Lokomotif Yogyakarta, yang lokasinya berada di salah satu sudut kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta. Pengambilan foto dilakukan bakda Subuh, menjelang jam 5 pagi. Saat itu, hari Minggu, dan saya baru saja sampai di Stasiun Tugu setelah menempuh perjalanan hampir 8 jam dari Bandung. Alih-alih langsung keluar stasiun setelah sholat Subuh, saya memanfaatkan momen jelang matahari terbit untuk mengambil beberapa foto tentang kereta api dan stasiun. Jadilah foto ini. Saya ambil dengan kamera DSLR Canon 1200D dipadu dengan lensa kit-nya EF 18-55 mm, yang saya set pada fokus 50 mm, bukaan lensa f/5.6 serta ISO 1600.
Aktivitas Menyambut Pagi
Awalnya, sempat terpikir di benak saya untuk mengikutsertakan foto ini pada lomba fotografi 150 tahun kereta api Indonesia. Namun, niat tersebut tinggallah sebuah niat dalam hati saja. Saya urung mengirimkannya, karena tidak teliti membaca tertib administrasi lombanya. Beberapa hari belakangan, keputusan saya untuk tidak mengirimkan foto tersebut serasa dibenarkan. Saya tidak pede melihat foto-foto peserta lain yang luar biasa kereeeen dipajang di salah satu sudut ruang tunggu Stasiun Gubeng Surabaya di akhir September lalu. Hahaa... Ya sudah, akhirnya foto tersebut saya upload di akun facebook saya saja.

Sabtu, 30 September 2017

Mulai Dari Mana?

Beberapa kali saya mendapat pertanyaan. Intinya begini: dari bagian mana sebaiknya kita mulai menulis artikel untuk publikasi ilmiah (baik jurnal internasional, nasional ataupun makalah untuk seminar)? Jawaban saya: tidak ada aturan seseorang harus mengawali menulis artikel ilmiah dari satu bagian tertentu. 

Kita bisa mulai menulis dari bagian mana saja dalam suatu artikel ilmiah, asalkan ada data-data hasil penelitian yang sudah siap ditulis. Asal data sudah ada, sudah diolah dan sudah dianalisis, maka akan lebih baik untuk segera menulis dari bagian mana saja yang kita mau. Menulis konklusi atau kesimpulan dulu pun tidak haram, karena bisa jadi pemikiran kita sudah mengerucut dan mampu menyimpulkan sesuatu pada saat kita mengolah dan menganalisis data hasil eksperimen. Tentunya kesimpulan yang ditulis di sini masih bersifat tentatif, atau sebatas draft yang masih fleksibel dan bisa diubah-ubah seiring dengan perjalanan kita menulis dan menyelesaikan manuskrip artikel kita tersebut.

Namun, menurut saya, ada pola menulis artikel yang cukup efisien bila diterapkan, yakni memulainya dari bagian metodologi penelitian. Di jurnal-jurnal ilmiah bidang teknik yang saya ikuti, bagian ini selalu disusun setelah pendahuluan atau introduction. Biasanya, bagian metodologi penelitian ini ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Materials and Methods, Experimental Work, Methodology, dan sejenisnya.

Bagian Materials and Methods, secara garis besar, memuat dua hal penting, sebagaimana nama bagian ini mengindikasikannya. Pertama, tentang Materials, yakni tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian, khususnya sampel dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk mempersiapkannya. Juga, harus ditulis di dalam bagian ini tentang berbagai peralatan yang dipakai untuk melakukan pengujian sampel serta analisis data yang diperoleh. Kedua, tentang Methods, atau metode atau cara-cara yang kita pakai selama eksperimen atau penelitian. Di sub-bagian ini, kita menguraikan apa saja yang kita lakukan secara ringkas dan padat, namun tetap harus jelas dan mudah dipahami pembaca, termasuk persamaan matematika, model, pendekatan serta perhitungan statistik yang dipakai dalam penelitian. Penjelasan mengenai penggunaan peralatan ini dan itu, beserta teknik-teknik khususnya (bila ada) menjadi hal yang tak terpisahkan dalam sub-bagian ini. 

Nah, mengapa menurut saya mengawali menulis manuskrip ilmiah itu bisa dilakukan dengan  mengerjakan bagian Materials and Methods terlebih dahulu? Jawabannya simpel: karena sub-bagian ini adalah yang paling siap untuk ditulis secara lengkap, walaupun ruang-ruang perubahan masih harus tetap kita berikan di dalamnya. Sambil mengambil, mengolah dan menganalisis data, kita sudah bisa menulis tentang bahan, alat serta metode dalam penelitian yang kita angkat dalam artikel tersebut.  Merumuskan dan menuliskan Materials and Methods tak ubahnya seperti kita membuat liputan tertulis atas apa saja yang kita kerjakan selama penelitian. Oleh karenanya, jangan lupa menggunakan bentuk lampau (past tense) di bagian ini, bila artikel ditulis dalam bahasa Inggris. 

Secara teori, mudah bukan? Kenyataannya menulis artikel ilmiah yang baik memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Dan, strategi untuk melakukannya sangat diperlukan, agar menulis artikel ilmiah itu mengasyikan dan efisien.

Senin, 04 September 2017

Menyajikan Hasil Penelitian dan Pembahasannya dalam Tulisan Ilmiah

Tanpa mengabaikan peran bagian yang lain, hasil penelitian dan pembahasan merupakan dua hal yang paling utama dalam struktur sebuah tulisan ilmiah, baik skripsi, tesis maupun artikel di jurnal ilmiah. Dua bagian ini ibarat jantung dan pembuluh darah dalam sistem kardiovaskular manusia. Mereka saling bertalian satu sama lain. Tanpa penyajian hasil penelitian yang baik, sebuah artikel ilmiah tidak akan berarti apa-apa, mungkin malah membingungkan pembacanya. Dan, akan teramat sulit bagi kita untuk menganalisis dan membahasnya. Demikian pula bila hasil-hasil penelitian tersebut tidak dibahas dengan baik dan dengan struktur yang benar serta rapi, maka sebuah tulisan ilmiah tadi tidak akan terasa menggigit, tidak tampak kualitasnya atau terasa kurang terasa kontribusinya di bidang ilmu yang diteliti. Dalam bahasa Inggris, hasil penelitian biasanya ditulis dengan “Results”, sedangkan pembahasannya ditranslasikan dengan kata “Discussion”.
Bagi pembaca yang jeli mencermati sistematika artikel di jurnal ilmiah, terutama di jurnal internasional, ada sebagian artikel yang memisahkan dengan jelas antara hasil penelitian dan pembahasannya. Namun, sebagian jurnal yang lain menerapkan sistem berbeda; yakni dengan menggabungkan hasil penelitian dan pembahasan menjadi satu bagian. Mana yang lebih baik? Sebelum saya beranjak lebih lanjut menjawab pertanyaan ini, saya ingin menguraikan dulu apakah perbedaan antara hasil penelitian dan pembahasan.
***
Hasil penelitian. Sebagaimana namanya, maka bagian ini berisi paparan hasil-hasil atau data-data olahan dari aktivitas penelitian yang telah kita lakukan. Di sini, hasil atau data olahan dapat dan boleh disajikan dalam bentuk angka, grafik, gambar maupun tabel. Pada bagian ini, seyogyanya kita tidak berkomentar dulu atas data-data tersebut. Cukup kita sampaikan, bahwa Gambar xxx adalah grafik hubungan antara variabel ini dan variabel itu yang diperoleh dari pengujian A; atau, tabel xxx menyajikan data tentang korelasi antara ini dan itu; dan sebagainya. Di bagian ini, kita seolah bercerita tentang apa yang kita lihat dari data-data yang diperoleh. Bersabarlah dulu untuk tidak memberikan komentar atas data-data kita peroleh tadi, sekalipun di kepala kita sudah berkecamuk berbagai opini berdasar hasil analisis dari data-data tersebut.
Satu hal yang penting, dan mungkin akan membuat penyajian hasil penelitian kita menarik, adalah cara kita yang runtut dalam menyajikan data-data hasil penelitian kita di bagian ini. Sewajarnya, dalam melakukan penelitian, kita melakukan serangkaian pengujian dengan urutan tertentu. Bila urutan tersebut dilanggar, bisa jadi penelitian kita menjadi berantakan, data-data yang diperoleh menjadi sulit untuk dianalisis, hingga hasil penelitian kita menjadi bias. Oleh karenanya, urutan penyampaian data pun menjadi penting, sepenting urutan kita mengerjakan eksperimen atau aktivitas-aktivitas pengambilan data dalam penelitian. Bagian hasil penelitian yang kita tulis akan tampak anggun, menarik untuk dibaca, dan mudah dipahami apabila disampaikan secara runtut. Barangkali, hal ini merupakan cerminan sifat alamiah otak manusia; yang akan lebih mudah mencerna sesuatu bila tersusun berdasarkan logika dan urutan yang benar serta jelas.
***
Lalu bagaimana dengan bagian pembahasan hasil penelitian? Boleh dibilang, pembahasan adalah bagian yang paling tidak mudah untuk dikerjakan dalam naskah untuk publikasi di jurnal ilmiah atau skripsi dan tesis. Di bagian ini, kita ditantang untuk menuliskan hasil analisis kita berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Di bagian inilah, kita diizinkan, bahkan harus, berkomentar atas data-data yang telah kita sajikan pada bagian hasil penelitian. Ada empat kata kunci yang bisa kita pegang dalam menyusun bagian pembahasan hasil penelitian, yakni (1) mengaitkan, (2) menjelaskan, (3) mengonfirmasi dan (4) menyintesis.
Pertama, di bagian ini kita dituntut untuk bisa mengaitkan data-data kita satu dengan yang lainnya; baik yang berupa angka, grafik, gambar maupun tabel. Pastilah di antara data-data tersebut ada yang bersifat komplementer, saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Misalnya saja, Gambar yyy yang diperoleh dari eksperimen dengan alat B mendukung grafik pada Gambar xxx yang diperoleh dengan alat A. Kaitkan keduanya, sehingga kita memperoleh alasan yang kuat untuk berargumen dan memberikan komentar atas fenomena yang ditemui berangkat dari data-data kita tadi. Bila tidak saling mendukung, mungkin saja ada bagian-bagian dari data yang merupakan pengecualian atau salah. Hal yang terakhir kadangkala menuntut kita untuk meninjau atau mengulang kembali eksperimen atau penelitian kita, agar lebih jelas dimana letak kesalahan metode penelitian yang dipakai.
Kedua, di bagian ini pula kita dituntut untuk menjelaskan fenomena yang terjadi berdasarkan data-data atau hasil-hasil yang telah diperoleh selama penelitian berlangsung. Kita diwajibkan untuk menjelaskan apa dan bagaimana keterkaitan antar data tersebut, mekanisme apa yang melatarbelakangi kejadian yang kita temui dalam eksperimen berdasarkan data-data yang diperoleh. Sangat boleh bila kita menjelaskan sesuatu atau mekanisme tertentu berdasarkan teori yang telah dikemukakan peneliti lain di literatur, bila di antaranya terdapat kesamaan fenomena. Oleh karenanya, kemampuan kita memahami dan menelaah literatur, baik berupa buku teks maupun artikel ilmiah, diuji di bagian ini. Bila kita paham dengan kandungan beberapa artikel yang telah kita baca untuk melandasi penelitian ini, maka menuliskan bagian pembahasan menjadi lebih mudah.
Ketiga, kita juga diwajibkan mengonfirmasi hasil-hasil atau temuan kita dalam penelitian dengan hasil-hasil yang telah diperoleh dan dilaporkan dalam literatur oleh peneliti lain. Konfirmasi semacam ini akan memberikan gambaran kepada audens pembaca tulisan kita, bahwa penelitian yang kita lakukan itu tidak mengada-ada, tetapi berada dalam alur penelitian yang telah dibangun bersama-sama, bahkan oleh para peneliti di seluruh dunia. Konfirmasi inilah yang akan memberikan impresi bahwa penelitian yang kita lakukan juga memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan bidang ilmu yang kita teliti.
Keempat, yang terakhir dari tugas kita dalam bagian pembahasan ini, adalah menyintesis data-data atau hasil-hasil penelitian yang kita peroleh, kaitkan, jelaskan serta konfirmasi dengan penelitian lain, menjadi sebuah teori atau gagasan-gagasan baru. Teori atau gagasan baru ini pada akhirnya akan menjadi tonggak kecil yang menandai bahwa penelitian di bidang yang yang kita tekuni sudah sampai di sini, sampai di tulisan kita ini. Di sinilah kemampuan kita membuat men-generalisasi temuan kita menjadi penting.
***
Kembali ke pertanyaan di bagian awal tulisan ini: manakah yang lebih baik, menuliskan hasil penelitian dan pembahasan dalam bentuk terpisah atau satu kesatuan? Menurut saya, kita harus melihat situasinya. Bila dalam sebuah jurnal tidak membatasi jumlah halaman, maka memisahkan antara hasil penelitian dan pembahasan adalah pilihan yang tepat. Dengan cara ini, kita menjadi leluasa menuliskan isi kedua bagian tadi. Lagipula, cara ini juga memudahkan audiens atau pembaca dalam menikmati tulisan kita. Tulisan tentang hasil penelitian maupun pembahasan menjadi tidak terlalu panjang dan dipisahkan secara jelas. Memisahkan antara hasil penelitian dan pembahasan juga tepat untuk diterapkan dalam skripsi maupun tesis, mengingat jumlah halaman tidak dibatasi dalam publikasi ilmiah semacam ini.
Situasi bisa berbeda bila ternyata sebuah jurnal mensyaratkan jumlah halaman tertentu pada setiap artikel yang akan dipublikasikan. Bahkan, beberapa jurnal, yang umumnya berbentuk letter atau short communication, mewajibkan penulisnya untuk membuat tulisan yang pendek, sehingga jumlah halaman dapat dipangkas menjadi empat halaman saja! Jika ketentuan ini dilanggar, maka editor jurnal tersebut langsung akan menolak (reject) naskah yang kita kirimkan.  
Demikian. Apa dan bagaimana tentang hasil penelitian dan pembahasan. Bila kedua bagian ini dapat dirumuskan dan disusun dengan baik, jelas serta rapi, maka boleh dikata 70% tulisan ilmiah kita sudah terselesaikan. Ups.. angka ini adalah penilaian subjektif berangkat dari pengalaman saya selama menulis artikel di jurnal ilmiah. Kebenarannya juga bisa bersifat subjektif. Bila pembaca mempunyai pendapat lain, saya persilakan, hehehee…

Selasa, 29 Agustus 2017

Ada Apa di Antara Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Kesimpulan?

Dalam kesempatan menjadi penguji di sidang pendadaran mahasiswa di kampus, saya sering menemukan beberapa hal yang janggal dalam naskah skripsi mahasiswa yang tengah diuji. Salah satunya adalah ketidak-sinkronan antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan yang disajikan dalam naskah skripsi mahasiswa tersebut. Akibatnya, tulisan dalam naskah skripsi menjadi kurang ‘greget’, atau kurang ‘renyah’.
Rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan adalah tiga elemen penting dalam sistematika sebuah skripsi -atau tesis, disertasi maupun artikel ilmiah- yang baik. Bagi saya, ketiganya adalah kunci untuk memastikan apakah sebuah naskah skripsi, tesis atau artikel ilmiah telah disusun berdasarkan logika dan urutan berpikir yang benar. Kesinkronan antara ketiga elemen tadi bisa menggambarkan kemampuan dan kekonsistenan mahasiswa atau penulis dalam menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam ujian pendadaran, alih-alih membaca dari awal sebendel naskah skripsi dan mengecek gaya penulisan maupun gramatikalnya, saya lebih suka langsung menuju pada bagian rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan akhir skripsi tersebut. Mengapa demikian? Mari kita kupas sebentar satu per satu.
Rumusan masalah. Sebuah penelitian tidak akan bisa dilakukan tanpa ada masalah yang melatarbelakanginya. Tanpa perumusan masalah yang benar dan jelas, maka tak ubahnya kita mengada-ada dan tidak serius dalam menjalankan sebuah proyek penelitian. Di bab pertama sebuah skripsi -juga tesis untuk mahasiswa pasca sarjana-, ada satu sub-bab yang secara khusus digunakan untuk menyajikan rumusan masalah yang ditemui oleh penulis. Rumusan masalah ini nantinya dipecahkan melalui penelitian yang dilakukan. Masalah yang dimaksud di sini berangkat dari hasil kajian literatur yang telah dilakukan secara serius oleh penulis; yang bisa juga dikuatkan dengan hasil observasi atau studi awal (preliminary study). Jadi, bukan masalah yang tiba-tiba muncul sesaat setelah mengonsumsi minuman berenergi, hehehe…
Bila seorang mahasiswa atau penulis sanggup merumuskan dengan jelas dan dengan bahasa yang tepat, maka kemungkinan besar ia tidak akan lagi bingung ketika harus berdebat atau menjawab pertanyaan mengapa ia harus melakukan penelitian. Secara teknis, rumusan masalah memang tidak selalu dituliskan dalam sebuah sub-bab khusus. Bisa jadi, ia hanya dituliskan dalam sebuah paragraf di akhir uraian hasil kajian literatur yang menguatkan latar belakang penelitian di bab pertama sebuah skripsi, tesis atau artikel ilmiah.
Tujuan penelitian. Setelah masalah dirumuskan, logikanya kita akan berinisiatif untuk menyelesaikan masalah yang ditemui tadi. Inilah saatnya kita rumuskan tujuan kita, berangkat dari masalah yang telah dihadirkan tadi. Namanya saja tujuan, berarti apa yang kita rumuskan di dalamnya akan menjadi arah selama kita melakukan penelitian.
Misalnya, berangkat dari sebuah masalah ketiadaan informasi tentang kekuatan suatu logam setelah diproses dengan teknik tertentu. Maka, dalam merumuskan tujuan penelitiannya, bisa saja kita tulis, bahwa kita ingin mendapatkan mengetahui kekuatan logam setelah diproses dengan teknik yang disebutkan tadi. Biasanya, bila ternyata hanya ada cara tertentu yang bisa dipakai untuk mengukur kekuatan logam tersebut, boleh juga kita lengkapi pernyataan tujuan kita tadi hingga menjadi lebih spesifik. Semakin jelas tujuan penelitian, semakin jelas pula kemana arah kita akan meneliti.
Terakhir, kesimpulan penelitian. Kesimpulan penelitian selalu diletakkan di bagian akhir sebuah skripsi, tesis atau artikel ilmiah. Namanya saja kesimpulan, ya berarti ia akan berfungsi memberikan benang merah, semacam generalisasi dari temuan-temuan yang kita dapatkan selama melakukan penelitian. Singkatnya, kesimpulan ini adalah jawaban dari tujuan penelitian kita telah kita rumuskan di depan tadi. Bila kita berikan tiga tujuan penelitian, maka hendaknya ada tiga kesimpulan yang kita tuliskan, yang masing-masing dalam dua elemen tersebut saling berkaitan. Dengan begitu, seorang pembaca atau penikmat tulisan ilmiah akan mudah mendapatkan gambaran atas apa yang kita teliti dan tuliskan dalam skripsi, tesis maupun artikel ilmiah kita.
Rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan adalah semacam rantai yang saling bertautan dalam sebuah skripsi, tesis maupun artikel ilmiah. Dari rumusan masalah, kita definisikan tujuan penelitian. Dan dari tujuan penelitian tadi, kita rumuskan kesimpulan. Ketiadaan atau ketidaktepatan dalam merumuskan salah satu di antara tiga elemen tadi membuat skripsi, tesis atau artikel ilmiah menjadi kurang sedap dinikmati. Bagi dosen penguji pendadaran, memahami keterkaitan antara tiga elemen tersebut setidaknya bisa mempermudah mereka untuk mendapatkan gambaran isi skripsi yang ditulis oleh mahasiswa. Karena, memahami skripsi mahasiswa itu… tidak mudah! Hehehee…

Kamis, 27 Juli 2017

Top Gun

Bila pembaca menggemari film-film aksi militer ala Holywood, pembaca setidaknya pernah mendengar film yang begitu populer di era tahun 80an. Top Gun. Film yang dirilis tahun 1986 itu dibintangi oleh aktor Tom Cruise semasa mudanya. Film ini berkisah tentang pilot Angkatan Laut Amerika Serikat dengan call-sign ‘Maverick’ (diperankan oleh Tom Cruise) dan rekan-rekannya yang tengah bersaing ketat dalam adu kelincahan menerbangkan F-14 Tomcat. Singkat cerita, Maverick harus kehilangan partner-nya, Goose, yang meregang nyawa saat menjalani sebuah sesi latihan tempur. Kejadian ini membuatnya labil. Hingga suatu ketika, ia akhirnya bisa menerima kepergian Goose, dan kembali lagi menunjukkan prestasinya berlaga dalam pertempuran udara.

Film yang diproduseri oleh Jerry Bruckheimer dan Don Simpson ini konon cukup memukau para penontonnya di masa itu. Sebenarnya alur ceritanya tidaklah terlalu mengesankan, bahkan cenderung biasa saja, dan berbau khas film-film militer ala Holywood, yang selalu menebar kebanggaan dan propaganda akan kehebatan Amerika Serikat. Yang mengesankan dari film ini barangkali adalah aksi Si Tomcat, yang mempertontonkan manuver-manuver lincahnya saat beradu dengan pesawat lawan di udara- walaupun beberapa adegan tentunya diperankan oleh pesawat model. Di film itu, F-14 Tomcat yang berbadan tambun cukup manis dan garang dalam beradu dengan pesawat-pesawat lain yang lebih kecil dan menjadi lawan mainnya, seperti A-4 Skyhawk yang berperan sebagai pesawat aggressor serta F-5 Tiger yang berperan sebagai MiG-28.

Film Top Gun tak ayal menjadi semacam pemantik kemunculan film-film Holywood yang bertema serupa. Sebutlah Iron Eagle, Flight of the Intruder, hingga Stealth di era tahun 2000an. Di Prancis sana, sekitar tahun 2005, dirilis sebuah film bertitel Sky Fighter, yang konon menurut beberapa kawan merupakan adaptasi film dan komik lama: Tanguy and Laverdure. Film ini berkisah tentang pilot-pilot Angkatan Udara Prancis dengan tunggangan andalannya, Mirage 2000. Secara umum, jalan ceritanya pun biasa saja, bahkan malah terkesan rumit dan sulit dicerna dengan hanya sekali menonton saja. Namun, aksi panggung Mirage 2000C dan Mirage 2000D sungguh mengundang decak kagum. Kelincahan pesawat-pesawat bersayap delta ini, berpadu dengan indahnya panorama langit dan pegunungan Eropa yang menjadi latar belakangnya, membuat saya tidak bosan memutar film ini beberapa kali. Di belahan Asia, sekira tahun 2012 lalu, dirilis film Return to Base, yang mengisahkan pilot-pilot Korea Selatan beradu manuver dengan pesawat F-15K Eagle-nya.

Bila ditilik, sebenarnya ada yang menarik dari kemunculan film-film laga udara tadi. Adalah sangat mungkin bahwa film-film ini tidak hanya menjual akting para aktor dan aktrisnya semata, melainkan juga berupaya mempromosikan produk-produk pesawat militernya kepada dunia. Memang, konsumen pesawat tempur bukanlah perorangan, melainkan angkatan bersenjata di suatu negara. Namun, kemunculan pesawat-pesawat tempur itu dalam film, lengkap dengan segala manuver andalannya, setidaknya membuat para penonton terbuai, hingga muncul pikiran bawah sadar penonton betapa hebatnya negara itu (baca: si empunya dan pembuat pesawat itu). Negara tersebut tidak hanya mempunyai pilot-pilot jempolan, tetapi mampu membuat sendiri pesawat-pesawat tempur yang luar biasa kerennya. Hingga, bisa saja, opini publik akan terbentuk dan suatu saat akan ikut menentukan pilihan pemerintahnya dalam memilih suatu jenis pesawat tempur.

Lihat saja, film-film bergenre pesawat tempur besutan Amerika Serikat tidak akan lepas dari sang bintang utama, yang tentu saja adalah produk lokal negara tersebut. Sebut saja, F-14 Tomcat buatan Grumman dan F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics (sekarang Lockheed Martin), yang sudah malang melintang di berbagai film. Siapa yang tak kenal F-16? Orang awam pun banyak yang masih menganggap pesawat tempur itu ya F-16. Juga, kemenangan gemilang F-14 atas MiG-28 dalam akhir film Top Gun seolah mengesankan bahwa pesawat tempur produk Soviet tidak lebih unggul dari produk Amerika; sebuah ciri khas perang media di era Perang Dingin. Belum lama ini, pesawat anyar F-22 Raptor dan F-35 Lightning garapan Lockheed pun sudah tampil dalam beberapa cuil adegan dalam film-film baru, semacam Die Hard 4 dan Transformers. Prancis tak mau ketinggalan. Lewat Sky Fighter, Mirage 2000 gencar ia promosikan. Film Return to Base garapan Korea Selatan memang menggunakan F-15K buatan Boeing, Amerika Serikat, sebagai bintang utama. Tetapi, ada beberapa adegan yang mempertontonkan kejelitaan T-50 Golden Eagle, yang merupakan produk industri lokal Korea Selatan.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Film drama romantis Habibie dan Ainun setidaknya telah menyuguhkan pesawat impian kita dua puluh tahun silam, N-250 yang digarap oleh IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) di Bandung kala itu. Walau berakhir pilu, adegan sejenak tentang pesawat itu rasanya dapat dijadikan media untuk menunjukkan bahwa ada produk pesawat buatan negeri kita sendiri kepada anak muda generasi saat ini. Hmm… ada lagi sebenarnya. Film drama yang disutradarai oleh Norman Benny yang rilis di tahun 1991: Perwira dan Ksatria. Film yang berlatar kehidupan perwira TNI Angkatan Udara ini dibintangi oleh aktor Dede Yusuf semasa mudanya. Dan, dengan bintang tamu sebuah pesawat latih Hawk Mk.53, yang saat itu tergolong baru saja dimiliki oleh Indonesia. Ya, tetapi bagaimanapun juga, unsur promosi pesawat tempur buatan negeri sendiri sebagaimana dalam film Top Gun, Iron Eagle, Sky Fighter maupun Return to Base nampaknya nihil dalam film ini. Sederhana saja alasannya: belum ada produk pesawat tempur yang bisa kita pamerkan dan promosikan. Hingga sekarang, hehehe…

BAe Hawk Mk.53, mantan penghuni Skadron Udara 15 TNI AU. Dulunya pernah berakting dalam film Perwira dan Ksatria.

Selasa, 25 Juli 2017

Peristirahatan Sang Macan

Macan, begitu ia berjuluk. Selalu tampil perkasa dengan taring-taringnya yang lancip di langit nusantara sejak awal dekade 80-an. Ialah sang legenda, yang menggantikan legenda yang lain. Legenda para pencegat di angkasa negeri merah putih. Begitulah cerita Sang Macan, F-5E/F Tiger II. Sejak dilepas dari kandangnya di era tahun 60an, ia menjadi salah satu armada yang kenyang pengalaman bertempur di langit Vietnam. Tak hanya itu, konon ia laku bak kacang goreng di berbagai sudut dunia, meskipun masih tak selaris keluarga MiG-21 Fishbed, pendahulunya di satuan yang sama di republik ini. Bahkan, penerusnya pun saat itu disiapkan, bersalin kode menjadi F-20 dan berjuluk Tigershark. Sayang, jalan takdir tak membuat sang penerus ini langgeng. Namun, auman dan kiprah Sang Macan di langit nusantara selama lebih dari 30 tahun itu konon sulit dilupakan para penerbangnya.
Peristirahatan Sang Legenda, F-5E Tiger II, di salah satu shelter yang dibangun di pelataran Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala, Yogyakarta
Dari 16 Macan yang menjadi pengawal langit nusantara sejak 30 silam, Macan bernomor TS-0503 adalah yang beruntung mendapatkan fasilitas peristirahatan layak. Kemanakah yang lain? Semoga saja tetap disimpan dan dirawat sebaik-baiknya. 
Konon, Skadron Udara 14 adalah sarang para pencegat hebat di tanah air. Mulai dari MiG-21 Fishbed yang melegenda di tahun 60an tetapi berumur teramat pendek, F-86 Avon Sabre di era tahun 70an tetapi teknologinya mundur ke era tahun 50an, hingga akhirnya F-5E/F Tiger II. Entah siapa pengganti Sang Macan, pastinya telah dipertimbangkan bahwa sang pengganti haruslah yang terbaik di waktu ini dan di republik ini sebagaimana para pendahulunya di eranya masing-masing.
Tetapi, usia tak pernah berbohong. Sang Macan harus menemui takdirnya, menjadi armada yang renta dan harus diistirahatkan. Seekor Macan dengan nomor TS-0503 kini telah beristirahat dalam hening di salah satu sudut pelataran Museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.

Minggu, 16 Juli 2017

Bilik-bilik Hati

Ia tersembunyi, jauh di dalam hati. Dimana di tempat itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kuberharap mampu menyimpannya dengan rapih, meski di antaranya ada yang usang dan berdebu, lantaran sang waktu.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kuberharap, dengan sangat, untuk sesekali waktu membukanya, sekedar menuang senyum atau mengurai air mata. Namun, aku sadar, bahwa tak akan ada banyak waktu lagi untuk khusyuk masyuk membacanya lembar demi lembar, hingga bait-bait terakhirnya.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Ia berwarna, beraksara hingga bermakna, walau untuk mencerna dan memahami makna-makna itu butuh waktu yang lama. Bahkan, tak jarang makna-makna itu terlampau sukar, teramat sukar bagiku untuk memahaminya. Hingga tak jarang, berpuluh arang telah patah dan sulit untuk menyambungkannya kembali.

Di bilik-bilik hati itu, kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu tersimpan. Kutemukan, lalu kusimpan berderet teratur hingga berpuluh kitab. Namun, tak sedikit yang isinya tak semakna, tak searah, tak sejalan, tak senada dan tak berujung pada satu jawaban yang kucari, hingga hembusan nafas terakhir pada detik ini. Aku pun tak pernah tahu, bilamana jawaban itu akan hadir, memuaskan tanya di hatiku.

Di bilik-bilik hati itu, bertahun aku berikhtiar, untuk menyimpan sebaik-baiknya kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu. Walau aku pun sadar, tak sedikit kitab yang hilang, lenyap entah kemana. Tak jarang, semua itu akibat kealpaanku, yang lupa untuk menjaga dan gagal mengingat dimana keberadaannya. Lalu, semua itu tertebus pada tak lengkapnya pemahamanku, atas persoalan hidup dan kerumitannya. 

Di bilik-bilik hati itu, kurasa hanya di saat menjelang pagi, saat angin dingin nan sejuk mulai berhembus, barulah aku bisa bertanya. Bertanya dengan leluasa, kepada Sang Penulis isi kitab-kitab itu. Atas kebingunganku, perihal ketidaktahuanku. Sungguh, aku sungguh mengharapkanNya, kehadiranNya, rengkuhanNya. 

Di bilik-bilik hati itu, sekali waktu aku ingin duduk di dalamnya, membersamai kitab-kitab tentang perjalanan hidup itu. Lalu, memohon kepadaMu, wahai Sang Pemilik Hidup, agar tetap lurus di jalanMu. Juga, agar terjatuh di genggamanku, sebijih kasih sayangMu dan sedebu pertolonganMu. Sekecil itu, pastilah cukup, kerana itu dariMu.

Sabtu, 15 Juli 2017

Tentang Kuliah dan Persiapannya

Jujur saja, bagi saya, mengajar itu bukan perkara mudah. Dua belas tahun silam, saya memutuskan untuk memilih profesi sebagai seorang akademisi. Alasannya simpel, saya ingin bebas dalam berpikir, bebas bergelut dalam lautan gagasan, tulisan maupun karya. Itu saja. "Sesuatu yang rasanya akan langka bila saya terjun di dunia industri," pikir saya waktu itu -walaupun saya tidak yakin pendapat saya ini benar dan pasti bisa disanggah. Saya tahu konsekuensinya. Bekerja di lingkungan akademik tidak akan bisa lepas dengan aktivitas mengajar, yang bagi sebagian orang -termasuk saya- ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Ada alasan tersendiri bagi saya, mengapa mengajar itu tidak mudah. Alasan yang paling mendasar adalah beban moril yang harus ditanggung oleh seorang pengajar. Bagi saya, mengajarkan sesuatu itu harus benar-benar total. Maksudnya, seorang pengajar itu tidak boleh -istilah orang Jawa- jarkoni. Iso ngajar neng ora iso nglakoni. Bisa mengajarkan tetapi tidak bisa melakukannya. Sang pengajar itu harus konsekuen dengan apa-apa yang disampaikannya. Misalnya, bila ia mengajarkan tentang penelitian dan publikasi ilmiah, maka seharusnya ia sudah mempunyai rekam jejak penelitian dan publikasi yang cukup dan baik.
"Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, ..."
Kedua, mengajar itu butuh persiapan yang luar biasa berat. Persiapan pertamanya adalah pemahaman atas materi yang akan diajarkan. Sang pengajar haruslah paham betul apa yang ia sampaikan kepada para audiens atau peserta didiknya. Kalau seorang pengajar hanya tahu 'kulit' dari ilmu yang diajarkannya, rasanya sulit untuk total dalam menyampaikannya, sehingga audiens atau mahasiswa benar-benar teryakinkan bahwa apa yang kita sampaikan itu adalah sebuah kebenaran.

Namun, selain dua hal di atas, yang tak kalah beratnya dalam mengajar sebenarnya adalah persiapan membawakan materi pelajarannya sendiri. Untuk yang satu ini, mental adalah satu hal utama yang harus dipersiapkan. Rasa percaya diri saat tampil sebagai pusat perhatian di depan kelas itu haruslah ada. Lalu, kesiapan mental bila sewaktu-waktu ada pertanyaan tak terduga dari mahasiswa atau peserta kuliah juga harus dipunyai. Tak jarang, kita telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari materi, gaya bicara hingga gesture atau bahasa tubuh yang meyakinkan. Namun, serta merta semuanya itu bisa berantakan, hanya karena seorang mahasiswa menyanggah apa yang kita sampaikan dengan nada yang sedikit ketus.

Rasa gugup atau grogi saat memulai perkuliahan atau pelajaran di kelas sebenarnya adalah hal biasa, yang bisa menjangkiti siapa saja, mulai dari seorang pengajar baru hingga profesor sekalipun. Tak jarang, keringat dingin selalu menyertai dalam situasi yang memang kurang nyaman seperti ini. Namun, sebenarnya dengan persiapan terbaik setidaknya semua itu bisa dikendalikan. Rasa gugup, grogi bahkan takut saat mengajar mungkin akan bisa diredam bila persiapan matang telah kita lakukan.

Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri dalam mempersiapkan diri untuk mengajar. Tidak ada yang hebat pada diri seseorang yang bisa mempersiapkan diri dengan kilat, karena proses persiapan itu melekat pada karakter dan kemampuan masing-masing pengajar. Saya termasuk orang yang tidak setuju bila ada yang berkata bahwa mengajar esok hari bisa disiapkan malam nanti, pakai sistem kebut semalam (sks), sementara pengalaman mengajar mata kuliah yang harus diajarkan itu masih nihil. Persiapan yang asal-asalan sama saja tidak mencerminkan sifat pembelajar sejati, yang sudah seyogyanya harus dimiliki oleh seorang pengajar.

Akhir kata, selamat menikmati proses menyiapkan kuliah, pelajaran atau apapun yang akan pembaca sampaikan kepada mahasiswa, peserta didik atau siapapun audiens Anda. Saya yakin, persiapan yang baik yang didahului dengan proses penyiapan yang tidak instan akan selalu berbuah pada keberkahan dari ilmu atau apapun yang kita sampaikan.

Minggu, 02 Juli 2017

Perihal Motivasi Menulis

Masih tentang sebuah dongeng, yang sempat saya ceritakan dalam pelatihan menulis artikel untuk jurnal internasional di awal bulan Mei 2017 lalu, di Program Pasca-sarjana Teknik Mesin UGM. 

Sebelumnya, salah satu bagian dari rangkaian dongeng dalam pelatihan tadi pernah saya angkat dalam sebuah tulisan di blog ini. Yakni, tentang kiat menembus publikasi di jurnal internasional. Simak tulisannya di sini.

Berbagi cerita dalam pelatihan menulis publikasi internasional, Keluarga Mahasiswa Pasca-Sarjana Teknik Mesin UGM, Mei 2017 (Foto: Dr. Muslim Mahardika)
Kali ini, saya ingin mundur sedikit, mengulas tentang motivasi menulis artikel di jurnal internasional. Ialah motivasi, yang menjadi setumpuk alasan mengapa kita akhirnya harus berjibaku dan berikhtiar, serta berdoa dengan penuh harap, agar manuskrip kita lolos dan dapat dipublikasikan di jurnal internasional.

Bila kita telisik, setidaknya ada sembilan hal yang bisa kita gunakan untuk memantik semangat kita dalam menulis sebuah artikel di jurnal internasional.

Pertama, membagi ilmu dan temuan kita kepada khalayak atau rekan sejawat di lingkup dunia internasional
Barangkali inilah motivasi paling luhur yang bisa kita jadikan pemantik semangat untuk menulis artikel di jurnal internasional. Setelah kita bergulat dengan riset, eksperimen dan akhirnya menemukan sesuatu serta mendapatkan suatu ilmu darinya, maka hendaknya ilmu yang kita peroleh itu dibagikan. Sang Pemilik Alam pun menyuruh kita demikian. Agar ilmu itu berkah, agar ilmu itu berkembang dan membawa kemanfaatan dan rahmat bagi sekalian alam, maka membagikannya adalah suatu tindakan yang teramat mulia. Menuliskan hasil-hasil penelitian dan analisis kita hingga menjadi sebuah artikel di jurnal internasional barangkali adalah upaya menerjemahkan perintah dari Sang Pemilik Ilmu itu. Meraih keberkahan dari suatu ilmu, tentu saja harus diiringi sebuah keyakinan, bahwa ilmu itu haruslah dapat berkembang terus. Dan, satu-satunya jalan agar ia berkembang, maka ia harus menjadi bahan bakar untuk mesin-mesin riset lain yang bersesuaian. Adalah para audiens atau rekan sejawat kita sendiri yang menjadi metafor mesin-mesin di atas; yakni mereka yang sebidang, mereka yang mempunyai research interest yang sama, mereka yang secara berlanjut akan mengonsumsi temuan-temuan kita, lalu menggunakannya kembali sebagai rujukan untuk penelitian kita selanjutnya. Dan, tentu saja, semakin luas audiens artikel kita, semakin besar peluang ilmu yang berasal dari temuan-temuan kita tadi dapat dimanfaatkan.

Kedua, kontribusi pada perkembangan suatu ilmu
Publikasi ilmiah merupakan salah satu tonggak penanda sampai dimana perkembangan suatu bidang ilmu telah dicapai. Ia adalah sebuah catatan ilmiah, rekam jejak yang terstruktur, yang nantinya menjadi warisan ilmu bagi generasi mendatang. Bayangkan, bila sama sekali tak ada catatan ilmiah tentang suatu ilmu. Bayangkan, sebagai contoh, bila Issac Newton dulu tak menulis tentang konsep mekanika hasil pemikiran, eksperimen dan analisisnya. Tentu sulit bagi para ilmuwan, peneliti bahkan para insinyur hingga guru dan siswa di zaman sekarang untuk belajar tentang alam dan ilmu fisika. Setiap dari mereka lantas harus memulai lagi, belajar lagi dari awal, tentang fisika dan mekanika; yang itu semua membutuhkan waktu lama dan momen-momen pendukung yang belum tentu berulang. Apel yang jatuh di kepala Issac Newton beberapa abad yang lalu mungkin saja bisa berulang di kepala kita. Tetapi belum tentu dari kepala kita meletup pertanyaan tentang gravitasi, sebagaimana yang Newton pikirkan. Bahkan, kalaupun terpikirkan, mungkin analisis kita tidaklah sebaik Newton, yang memang telah ditakdirkan olehNya sebagai jalan turunnya ilmu tentang gravitasi. Sejurus dengan itu, lewat publikasi ilmiah, kontribusi nyata para ilmuwan manapun pada perkembangan sains dan teknologi itu dihadirkan. Kini bukan lagi berbentuk catatan dan coretan-coretan yang memang bisa berujung pada sebuah teori, sebagaimana yang ada pada log-book atau sejenisnya. Melainkan, kini, berbentuk sebuah artikel yang terstruktur, hingga pembaca tidak kesulitan mencerna dan mempergunakan isinya untuk mengembangkan bidang ilmu yang sedang ditekuni. Dan, sekali lagi, ketika kita bisa mempublikasikan temuan-temuan kita tadi, berarti kitapun telah menjadi kontributor dalam pengembangan ilmu yang kita tekuni.

Ketiga, mengangkat nama Indonesia dalam kancah keilmuan di tingkat internasional
Suka atau tidak, publikasi internasional saat ini ternyata telah menjadi salah satu tolok ukur penguasaan iptek dan kesuksesan akademik di suatu negara di kancah internasional. Sebagai gambaran, silakan tengok situs Scimago, yang berisi data tentang jumlah publikasi ilmiah internasional negara-negara di dunia. Tampak di sana,  negara-negara yang produktif dalam menghasilkan artikel ilmiah internasional adalah mereka yang selama ini kita anggap maju ipteknya; hingga akhirnya menjadi tujuan kita untuk melanjutkan studi, seperti Amerika Serikat, Jepang, negara-negara di Eropa Barat, dsb. Di negara-negara itu, pondasi kebijakan pengembangan ilmu pengetahuannya telah kokoh dan matang. Kultur akademiknya jelas, hingga para peneliti, ilmuwan maupun mahasiswa dihargai eksistensinya. Bagaimana dengan posisi Indonesia? Tengok saja di situs tersebut. Saya pernah menulis sebuah catatan pendek tentang posisi Indonesia dalam daftar yang dirilis Scimago di blog ini lima tahun silam. Silakan pembaca mengunjunginya melalui tautan berikut ini

Keempat, menaikkan indeks sitasi
Indeks sitasi adalah salah satu indikator riil kebermanfaatan dari sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam suatu jurnal. Semakin tinggi indeks sitasi kita berarti semakin banyak artikel kita yang dirujuk oleh artikel-artikel lain yang ditulis peneliti lain. Sehingga, simpelnya, semakin banyak dan berbobot publikasi internasional kita, semakin banyak peneliti lain yang menjadikan tulisan-tulisan kita tadi sebagai rujukan. Akhirnya, berimbas pula pada kenaikan indeks sitasi kita.

Kelima, syarat mendapatkan hibah penelitian dan insentif
Beberapa tahun terakhir, publikasi ilmiah di jurnal internasional telah dijadikan syarat untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian. Konon, DIKTI telah mensyaratkan indeks sitasi minimum (yang dinyatakan dalam H-indeks) untuk mendapatkan hibah atau insentif penelitian dengan dana negara. Mengingat publikasi di jurnal internasional adalah cara jitu untuk mendongkrak indeks sitasi, maka syarat mendapatkan hibah atau insentif ini juga dapat dijadikan motivasi untuk menulis artikel di jurnal internasional. Perihal lain, pada saat mengirimkan sebuah proposal penelitian, melampirkan daftar publikasi ilmiah yang membentuk serangkaian 'alur cerita' tentang topik penelitian yang relevan akan lebih meyakinkan reviewer. Dengan cara ini, reviewer menjadi tahu keseriusan dan kekonsistenan kita dalam meneliti. Apalagi, bila itu semua dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional yang memang sudah mempunyai reputasi baik di bidang penelitian yang bersangkutan.

Keenam, bekal untuk studi lanjut
Studi lanjut, terutama ke jenjang doktoral atau S3, sangat menekankan pada kemampuan mahasiswanya untuk melakukan penelitian. Meski ada dosen pembimbing, di jenjang ini, mahasiswa dilatih melakukan penelitian mandiri, bekerja dengan gagasan-gagasannya sendiri hingga akhirnya berbuah pada publikasi ilmiah di jurnal-jurnal yang berkualitas sebagai output-nya. Meski tidak disyaratkan, belajar menjalankan suatu proyek penelitian dan menuliskan hasil-hasilnya menjadi sebuah publikasi ilmiah sebelum studi lanjut di tingkat doktoral akan sangat membantu calon mahasiswa yang bersangkutan. Tidak hanya pada saat menjalani kehidupan akademik sebagai kandidat doktor, tetapi juga pada saat melamar program doktoral di suatu universitas dan/atau beasiswa yang dipakai untuk membiayai studi nantinya. Publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa kita memang serius ingin melanjutkan studi doktoral. Kita juga satu langkah lebih awal; setidaknya telah mengerti bagaimana sistematika sebuah artikel di jurnal internasional. Tentang hal ini, saya juga pernah menulis pengalaman saya sendiri dalam tulisan berikut.

Ketujuh, memenuhi syarat untuk lulus 
Seperti yang telah disinggung dalam motivasi nomor enam, bahwa publikasi ilmiah adalah output atau luaran riil dari sebuah rangkaian aktivitas akademik seorang mahasiswa doktoral. Di universitas-universitas besar di dunia, publikasi di jurnal internasional adalah suatu keharusan bila sang mahasiswa ingin lulus. Bahkan, beberapa universitas di Indonesia pun mulai menerapkan aturan seperti ini. Sementara itu, berapa jumlah minimum artikel yang harus dipublikasikan di jurnal internasional bergantung pada kebijakan masing-masing universitas atau dosen pembimbing penelitian dan disertasi. 

Kedelapan, memenuhi aturan kenpangkatan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan kepangkatan profesi dosen (atau mungkin juga peneliti) di Indonesia mensyaratkan publikasi ilmiah sebagai salah satu komponen yang diperhitungkan dalam proses kenaikan pangkat seorang dosen atau peneliti. Konon, menurut beberapa kawan, pemerintah melalui DIKTI menetapkan bahwa publikasi di jurnal internasional di jurnal bereputasi baik kini mendapatkan porsi penilaian yang cukup besar. Bagi pembaca yang tertarik mendalami tentang aturan kepangkatan dan publikasi ilmiah, silakan menengok kembali aturan-aturan DIKTI tentang hal ini.

Kesembilan, kepuasan diri
Rasanya tidak ada motivasi yang paling personal dalam menulis publikasi internasional selain kepuasan diri. Ketika motivasi ini menyeruak, tidak ada lagi alasan kita merasa lelah dan kecewa berlarut-larut tatkala berulang kali naskah publikasi kita ditolak oleh editor di suatu jurnal internasional. Percaya saja, menulis di jurnal internasional itu memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Dan, bila nantinya naskah kita diterima dan akhirnya dipublikasikan, rasa lelah itu seketika sirna, berganti dengan kelegaan dan kepuasan. Bagi yang baru pertama kali mendapatkan naskahnya dipublikasikan, ada perasaan berhasil menjebol tembok besar yang selama ini bergambar mural bernada pesimistis, seakan berkata bahwa kita tak akan mampu menembus publikasi di jurnal internasional. Namun, seketika itu juga, tembok itu bisa jebol setelah artikel kita diterbitkan di jurnal internasional untuk pertama kalinya. Ada rasa puas. Tentang hal ini, saya juga pernah menuliskan pengalaman saya lewat tautan berikut ini.

Epilog. Demikan, saya cukupkan sampai di sini sembilan motivasi menulis publikasi di jurnal internasional. Tentu, pembaca masih dapat menggali lebih banyak motivasi, yang tentunya lebih sesuai dengan diri pembaca sendiri.