Rabu, 30 September 2020

Ford v Ferrari

Tak mengherankan jika kemudian film "Ford v Ferrari" menjadi salah satu film terbaik tahun 2019. Dua penghargaan Oscar diraih, untuk kategori film dan sound editing terbaik. Namun, ada yang lebih dari itu.
 

Ending cerita film ini berkisah tentang kebesaran hati legenda balap mobil Ken Miles yang rela laju mobilnya dikurangi agar dapat membersamai dua rekan setimnya menyentuh garis finis. Kala itu, Ken Miles sudah berada di atas angin, tak terkejar lagi dalam ajang balap Le Mans tahun 1966 bersama tim Ford. Ia bahkan mengalahkan Ferrari yang selalu menjadi pemenang di era itu. 

Usai menyentuh garis finis, piala sebagai pemenang ternyata tidak jatuh kepada Miles, namun kepada rekan setimnya yang ia bersamai di akhir lintasan balap. Usut punya usut, ternyata permintaan memperlambat laju mobil ini hanyalah "tipuan"  dari manajer balap Ford, yang memang tidak suka dengan kehadiran Miles. 

Kecewa. Jengkel. Tentu saja. Raut emosi Miles pun digambarkan seperti itu dalam ending film tersebut. Sudah berbaik hati, namun ditikam dari belakang. Miles pada akhirnya bisa menguasai emosi dirinya. Tidak semua orang bisa berbesar hati dan dapat menerima hal semacam ini. Namun, yang jelas, emas tetaplah emas, sekalipun ia dikubur dalam-dalam, ditutup-tutupi serapat-rapatnya. Ia tetaplah cemerlang.

Kamis, 17 September 2020

Overhaul!

Hingga sejauh ini, barangkali upaya merestorasi mobil setengah tua saya yang paling menguras isi dompet adalah pada saat Si SimplyCity, panggilan saya pada mobil ini, harus di-overhaul transmisi matiknya. Episode ini terjadi di awal tahun 2020. Tidak hanya menguras sebagian besar isi tabungan, tetapi juga mengagetkan lantaran saya tak pernah menduga, apalagi merencanakan, untuk melakukan ‘turun mesin’ pada mobil yang baru satu setengah bulan membersamai langkah saya waktu itu.

Awal ceritanya begini. Suatu pagi, mobil ini masih tampak sehat-sehat saja. Bahkan, saya pun sangat merasa percaya diri dengan kondisi Si City ini. Apalagi setelah membaca sebuah ulasan di internet, bahwa Si City Type Z ini punya tenaga sebesar 115 HP, terbesar di kelasnya. Kalaupun diadu dengan mobil-mobil baru saat ini, masih cukup bertaji. Dalam perjalanan, saya pun sempat menggeber mesinnya hingga 80 km/jam. Kecepatan segini bagi para racer mungkin belumlah seberapa, tapi bagi saya adalah sebuah capaian. Inilah pertama kali ‘ngebut’ dengan mobil, hehehe… Masalah muncul bukan pada saat memacu mobil pada kecepatan itu, melainkan pada saat mobil akan dijalankan lagi setelah diparkir sesampainya di tempat tujuan.

Mekanik sedang membongkar transmisi matik Si City

Sekira pukul setengah Sembilan pagi, mobil tak mau berjalan maju sama sekali. Mesin sudah digeber, hingga sampai putaran cukup tinggi. Tetapi, tidak ada energi yang kunjung tersalurkan pada roda-rodanya. Si City sempat saya matikan sebentar mesinnya. Akhirnya, ia mau berjalan dan melaju ke depan. Entahlah apa penyebabnya, ketika itu saya tak bisa menemukan jawabnya. Mesin Si City ini rasanya sehat-sehat saja, tak pernah saya temui ada gejala raungannya tidak normal. Tak berpikir panjang, saya langsung membawanya ke bengkel. Alhamdulillah, Si City sempat kooperatif hingga tinggal beberapa kilometer saja dari lokasi bengkel. Ia sempat mogok lagi, tetapi dengan trik saya matikan mesin terlebih dahulu, ia pun mau bergegas berjalan lagi. 

Jeroan transmisi matik Si City

Sesampai di bengkel, tim mekanik pun sebenarnya tak langsung tahu problem yang mendera Si SimplyCity. Mobil ini hanya dicek dan dibersihkan bagian-bagian mesinnya. Hampir tiga jam saya tunggui, hingga akhirnya saya bawa Si City ini keluar bengkel lagi dan dinyatakan sudah baik. Keadaan memang membaik, namun ternyata tak berlangsung lama. Ia kehilangan traksi lagi saat digeber melaju. Saya putuskan kembali ke bengkel seusai Sholat Jumat di hari itu. 

Kali ini, mungkin mekanik bengkel tidak mau ‘kecolongan’ lagi. Test-driver bengkel pun turun tangan. Ia mengajak saya menguji dan membuktikan problem yang mendera mobil ini. Si City digeber dengan kecepatan tinggi. Awalnya ia biasa-biasa saja. Namun akhirnya ia ketahuan juga sikap tak kooperatifnya, bahkan ia sempat mogok dan harus restart agar bisa berjalan lagi. Test-drive ini berhasil menguak bahwa masalah Si City ternyata ada pada sektor transmisi matiknya, terindikasi dari gejala-gejalanya itu, terutama kehilangan traksi beberapa kali walaupun sudah digas hingga putaran tinggi. Solusi satu-satunya adalah overhaul transmisi matiknya tersebut. Ya, turun mesin!

Jujur, mendengar kata turun mesin dan perkiraan biayanya, saya terkejut bukan main. Tanpa menyebut harga, bila ditotal, biaya overhaul ini mencapai hampir seperempat harga Si City. Tapi tidak ada solusi lain. Saya tetap harus merelakan kocek tabungan saya lagi. Proses reparasi transmisi ini pun tidak sebentar, butuh waktu hingga satu bulan! Cukup lama bagi saya yang masih sangat menikmati mengendarai Si City, mobil impian say aitu.

Satu bulan kemudian, reparasi Si City pun selesai. Saya datang ke bengkel untuk menjemputnya. Ada rasa haru juga begitu melihat Si City mulai menampakkan diri di sela-sela mobil-mobil muda yang tengah diservis di bengkel. Penantian yang cukup lama, at least bagi saya sebulan tak bertemu mobil saya ini rasanya lama. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa merawat mobil tua itu perlu kesabaran, bukan hanya dana tetapi juga waktu. Namun, di balik beragam kerusakan, proses reparasi dan restorasinya, saya menjadi paham tentang seluk beluk permobilan, baik mesin, konstruksi maupun printilan-printilan kecilnya. Lain halnya, mungkin, bila saya mengadopsi mobil yang sama sekali baru; bisa jadi saya masih hanya menikmati mengendarainya saja, sementara tidak terlalu banyak tahu masalah-masalah atau sistem-sistem mekanik maupun elektrik yang ada pada sebuah kendaraan beroda empat ini.

Sabtu, 01 Agustus 2020

Catatan Ringan Tentang Toy Photography

Genre toy photography atau fotografi mainan barangkali bisa dijadikan pilihan alternatif bagi kita yang tangannya sudah gatal untuk menekan tombol shutter dan memotret objek, namun terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk hunting dengan jalan-jalan atau traveling ke luar rumah akibat pandemi Covid-19 saat ini. Genre ini tidak mensyaratkan kita berinteraksi secara intens dengan orang lain sebagai objek fotonya. Namun, cukup dengan mainan saja yang kita atur sedemikian rupa sehingga dapat difoto dan diperoleh hasil jepretan yang dramatis. Genre toy photography mungkin juga bagai dua sisi mata uang dengan genre miniature photography. Bedanya? Ya hanya di objeknya saja. Menyebut mainan pastinya tidak jauh-jauh dari anak-anak. Tetapi, menyebut miniatur, pastinya kita tahu bahwa ia bukan benda kecil seperti mainan biasa, melainkan sebuah bentuk mini dari benda riilnya dengan dibuat dengan sangat detil dan tentu saja: harganya (bisa jadi) mahal, hahahaa…


Sejak awal pandemi lalu, saya sudah beberapa kali mencoba genre fotografi mainan untuk sekadar mendapatkan pelampiasan bermain dengan kamera di rumah. Objek yang saya foto umumnya masih berupa mobil-mobilan die-cast, yang bentuknya lumayan bagus dan mendekati aslinya. Mobil-mobilan ini sempat saya beli di saat-saat santai ketika masih sekolah dulu, kurang lebih sejak sepuluh tahun yang lalu. Setelah bergulat dengan sejumlah cara untuk mendapatkan foto yang ciamik -setidaknya ciamik menurut citarasa saya, hehehe…- ada tiga hal utama yang bisa saya catat dalam tulisan ini.

Pertama, kita harus pintar-pintar menemukan sudut pandang yang menarik sebelum menekan tombol shutter. Karena objeknya kecil, maka perlu dicari sudut pandang atau angle yang membuat objek seolah-olah riil atau seperti nyata. Memposisikan kamera sejajar atau sedikit di bawah garis tengah atau lebih rendah dari objek bisa jadi salah satu solusi untuk mendapatkan pandangan yang menarik, karena objek menjadi terlihat lebih gagah. Namun, sekali lagi, urusan sudut pandang itu soal rasa pembidiknya, meskipun secara umum bisa dipelajari dan ada aturan umumnya. Dengan kata lain, menjadikan objek enak dipandang itu juga amat tergantung pada cita rasa pemotretnya.

Kedua, perhatikan intensitas dan arah cahaya. Bagaimanapun juga, cahaya adalah faktor terpenting dalam fotografi. Meski kita membidik objek hanya dengan kamera ponsel, foto yang kita beroleh akan ciamik dan keren bila kita tepat menempatkan objek di tempat yang mempunyai pencahayaan yang baik dari segi intensitas maupun arahnya. Mendapatkan tempat yang terekspos cahaya yang terang dan cukup, bahkan mampu memendarkan bagian-bagian penting dari objek, sangat bermanfaat untuk menjadikan objek sedap dipandang. Memanfaatkan cahaya untuk membuat foto silhouette hitam putih dari mainan bisa juga menjadi pilihan menggiurkan untuk dicoba.

Ketiga, mencarikan panggung yang menarik untuk objek. Ukuran mainan atau miniatur yang kecil membuat kita harus cerdik mencarikan atau bahkan membuat panggung untuk latar belakang objek yang kita bidik. Dan inilah proses yang paling kreatif selain mencari sudut pandang dalam fotografi mainan. Bisa jadi kita pilih tanah bebatuan untuk sebuah mobil-mobilan jip, hingga tercitra suasana off-road. Bisa juga kita tempatkan objek mainan di dekat genangan air hingga kita dapatkan efek refleksi. Pun tidak harus genangan air, lantai keramik biasa pun bisa memantulkan bayangan objek dengan baik bila tersiram cahaya yang cukup.

Lalu, bagaimana dengan kameranya? Menurut saya lho ya, tidak ada aturan pakem soal kamera. Tidak harus kamera mahal. Kamera ponsel pun sudah cukup, tinggal kreativitas kita menyiasati keterbatasan-keterbatasan yang ada. Akan lebih menarik bila kita dapatkan foto dengan kamera berlensa makro, sehingga detil objek bisa kita peroleh. Namun, sekali lagi, tidak ada aturan yang pakem, tinggal bagaimana kita bermain dan menikmati sepuas-puasnya mainan dan, tentunya, kamera kita. Selamat mencoba.

Sabtu, 11 Juli 2020

Getaran Kabin dan Masalah pada Engine-mounting


Sebagaimana cerita saya sebelumnya, upaya restorasi terhadap mobil tua bin bekas milik saya berawal dari general check-up mobil tersebut di sebuah bengkel resmi. Dari pemeriksaan awal itu, terurailah beberapa penyakit yang sebenarnya didera oleh mobil saya. Salah satu problem yang cukup kentara dan mudah dikenali saat itu adalah: getaran yang cukup keras hingga masuk ke dalam kabin. Hal ini memaksa saya harus memposisikan shifter transmisi pada posisi neutral sekalipun mobil hanya berhenti sesaat dengan mesin hidup; tidak betah berlama-lama bila berada pada posisi drive atau D sembari menginjak rem saja. Bila tidak, maka bisa dipastikan getaran akan merambat membuat kepala tidak nyaman. Dari hasil analisis bengkel, ternyata getaran ini bersumber dari rusaknya engine-mounting yang mengikat mesin pada dudukan bodi mobil.

Komponen engine-mounting dan timing belt yang telah rusak

Sebenarnya daftar agenda restorasi cukup banyak setelah terungkap dari hasil general check-up, antara lain: engine-mounting, timing belt dan tensiometer-nya, kaki-kaki, serta washer kaca dan motornya yang mati. Selain itu, dari fisik mobil, saya pun tetap mengagendakan restorasi bodi, lantaran karat sudah timbul di beberapa tempat dan cat yang sudah mengelupas.  Tentu saja, banyak agenda yang harus dilakukan berarti banyak juga dana yang harus dipersiapkan. Ada pesan dari ayah saya ketika saya masih belia dulu: ketika kamu membeli mobil bekas, jangan dihabiskan uangnya hanya untuk membeli mobilnya saja. Tetapi alokasikan juga untuk perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Karenanya prioritas saya susun, mengagendakan restorasi secara berurutan dari yang paling penting untuk kelangsungan hidup mobil saya ini. 


Meski sudah tergolong tua, mobil ini saya daulat menjadi mobil harian saya. Ya, karena satu-satunya mobil yang saya punya, hahahaa… Untuk itu, prioritas utama restorasi dan perbaikan adalah sektor mesin. Untuk urusan bodi, saya berkeyakinan insyaAlloh karat-karat yang ada masih tidak terlalu mengganggu konstruksi mobil. Sementara sektor kaki-kaki mobil, juga saya putuskan untuk ditunda dulu sepanjang saya tetap kalem dalam mengendarainya, tidak main ‘off-road’, sebisa mungkin memilih jalan rata selama perjalanan. Toh, ini juga mobil sedan, jalan rata adalah peruntukannya. Hehehe..

Engine-mounting dan lokasinya (Sumber: https://keenparts.com)
Tak berselang lama, agenda mengganti engine-mounting dieksekusi sekaligus timing belt mobil ini. Saya pesan langsung komponen engine-mounting yang orisinil dari bengkel resmi. O ya, engine-mounting ini posisinya ada di antara mesin dan bodi mobil; menyambungkan mesin pada bodi mobil. Ia terbuat dari karet yang dilingkupi logam di beberapa titik-titik yang menghubungkan mesin dengan bodi mobil. Oleh karenanya, kalau saja komponen ini rusak atau karetnya getas, aus atau sobek, maka tidak mustahil getaran mesin akan tertransmisikan masuk ke bodi mobil dan akhirnya getaran masuk ke kabin tanpa bisa diredam oleh karet tersebut. Sementara, timing belt dan tensiometer juga saya pesan yang orisinil dari bengkel resmi. Komponen ini juga krusial. Saya memutuskan untuk mengganti baru, karena saya tidak tahu riwayat komponen lawas ini; tidak diketahui sudah berapa tahun ia terpasang tanpa penggantian. Daripada beresiko putusnya belt ini di tengah jalan karena aus, lebih baik saya menggantinya sekalian.


Proses penggantian engine-mounting, timing belt dan tensiometer ini mengharuskan mobil menginap sehari semalam di bengkel. Singkat cerita, mobil keluar dari bengkel dalam keadaan yang sudah jauh lebih tenang ketimbang hari-hari sebelumnya. Kabin terasa lebih nyaman lantaran getaran yang teredam. Sesuai prosedur, bengkel memberikan kembali komponen-komponen engine-mounting yang rusak. Saya telisik lebih detil lagi. Benar, bahwa engine-mounting sudah dalam keadaan getas dan keras, karetnya sudah sobek di sana-sini. Ya, ilmu baru. Dari semula saya yang buta terhadap permobilan, ada sepercik ilmu tentang engine-mounting yang mengawali saya memahami mesin mobil secara praktis dan memadukannya dengan pemahaman teoritis yang saya peroleh sebelumnya. Asyiknya merawat mobil tua itu ya di situ. Kita jadi tahu komponen, bahkan termasuk harga dan jasa penggantiannya, karena ada saja rusak dan harus diganti.

Minggu, 28 Juni 2020

Kaca Film atau Film Kaca?

Bahasa aslinya: automotive window film. Kalau diterjemahkan, simpelnya: lapisan tipis jendela mobil. Kata 'lapisan tipis' mungkin lebih keren dan ringkas bila tetap ditulis dengan kata 'film'. Nah, entah bagaimana terjemahan window film menjadi kaca film? Bukannya kata benda dan subjeknya adalah kata 'film', bukan 'kaca'? Tetapi, ya sudahlah, memang banyak terjemahan istilah yang tidak tepat di bahasa kita sehari-hari. Hehehe..


Tentang film kaca, agenda saya selanjutnya berkaitan dengan restorasi mobil tua harian saya adalah penggantian lapisan tipis ini. Selama enam bulan lebih mengoperasikan mobil ini, kabin terasa panas di siang hari. Usut punya usut, ya karena efek rumah kaca, dimana radiasi sinar matahari dengan mudahnya masuk dan memanasi kabin, tetapi panas ini lalu terperangkap dan tidak bisa menembus dinding dan kaca mobil. Menghidupkan AC langsung pada saat situasi yang pengap itu rasanya terlalu berat bebannya. Pernah suatu ketika, saya coba mencari tirai penutup untuk meredakan tingginya temperatur kabin di siang hari. Namun, setelah berpikir ulang, saya urungkan membeli barang ini.

Akhirnya, solusi penggantian film kaca ini saya pilih, setelah tentunya menabung dulu karena harga yang lumayan menguras kantong. Pertimbangan lain adalah, film kaca ini mempengaruhi visibilitas atau pandangan saya saat mengemudi mobil. Film kaca yang terpasang selama ini sudah bisa dikatakan usang. Banyak lekukan-lekukan karena terkelupas, terutama di bagian windshield atau kaca jendela depan. Akibatnya, pandangan sering terganggu. Demikian pula usangnya film ini membuat silau karena tak mampu mereduksi pendaran sorot lampu kendaraan lain di malam hari.


Tibalah saat penggantian film kaca. Secara umumnya sederhana. Film kaca lama dilepas, lalu kaca dibersihkan. Kemudian, film baru dipasang. Kalau lancar, mungkin prosesnya hanya dua jam saja, perkiraan saya lho ya... Hanya saja, kesulitan bisa ditemui saat melepas film lama akibat film yang terlalu tua, sehingga teramat lengket pada kaca. 

Ya, ada juga yang bilang, film kaca ini pilihan masing-masing pemilik mobil. Bahkan, ada pula yang tidak menghendaki mobilnya dipasangi film kaca, sehingga tampak detil interiornya. Ada pula yang memasangnya, namun alakadarnya. Ada pula yang mengejar gengsi merek tertentu. Namun, apapun itu, semua kembali pada pilihan masing-masing pemilik mobil, termasuk pertimbangan budget atau ketersediaan dana. Bukankah mobil itu adalah representasi pemiliknya sendiri?

Selasa, 16 Juni 2020

Throwback 2019 (2): Ritech Expo 2019


Melanjutkan cerita perdana Throwback 2019 yang lalu, di tulisan ini saya hadirkan judul Ritech Expo 2019. Ritech Expo 2019 adalah sebuah perhelatan pameran akbar tahunan yang digelar oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). Tahun 2019, Ritech mengambil tempat di Lapangan Renon, Denpasar, Bali. Karena ketua grup riset kami, Pak Suyitno, sedang berhalangan hingga tidak bisa menghadiri pameran tersebut, jadilah saya yang berangkat membawa bendera grup riset CIMEDs kami ke Denpasar. 


Jujur saja, ini pengalaman saya pertama kali mengikuti perhelatan pameran. Saya sempat berujar ke Pak Yitno, bahwa saya ada rasa tidak pede, gugup untuk datang membawa bendera CIMEDs di pameran tingkat nasional seperti ini. Tapi, Pak Yitno selalu meyakinkan saya: bisa, Bud!

Pameran ini digelar selama empat hari, sejak 25 hingga 28 Agustus 2019. Namun, saya hanya bisa datang dan berada di stan pameran di hari pertama saja, karena pada hari berikutnya saya harus segera bertolak ke Bandar Lampung untuk mewakili CIMEDs sebagai keynote speaker di sebuah seminar internasional.


Hari pertama pameran memang cukup ramai. Banyak hal baru yang saya temui, termasuk bertemu dengan beberapa rekan yang mempunyai stan dengan konten mirip-mirip dengan CIMEDs. Ya, bidang teknologi kedokteran memang sedang naik daun dan beberapa universitas dan Lembaga riset ikut meramaikan bidang ini. Lumayan menghibur, karena dengannya bisa sedikit banyak saling bercerita tentang aktivitas riset yang dilakukan. 

Pengunjung Ritech 2019 ini memang beragam. Kebanyakan orang awam. Apalagi di hari pertama, hari Minggu, Lapangan Renon menjadi salah satu destinasi tempat olahraga masyarakat Denpasar. Setelah berolahraga di pagi harinya, banyak dari mereka yang menyempatkan diri berkunjung ke stan-stan pameran. Karena heterogenitas latar belakang pengunjung inilah, kemampuan berkomunikasi dengan orang awam tentang hasil-hasil riset yang umumnya sangat akademis nuansanya menjadi penting. Di sinilah saya belajar langsung mempraktikkan model komunikasi untuk awam. Ada pengunjung yang biasa-biasa saja responnya, bahkan malah tampak takut kalau saya dekati untuk menjelaskan, hahaha… Namun, banyak pula yang antusias, termasuk seorang wartawan media cetak nasional yang sangat menyenangkan dan cair ketika saya mengajaknya berdiskusi. 


Ya, Ritech 2019 inilah salah satu kenangan manis saya. Membawa bendera CIMEDs ke kancah nasional. Meski di kandang sendiri mungkin CIMEDs tidak begitu didengar, tetapi berupaya sebaik-baiknya agar grup ini bermanfaat dan akhirnya bisa melambai benderanya di kancah yang lebih besar, mungkin adalah suatu hal yang tetap harus disyukuri.

Sabtu, 30 Mei 2020

Pak Subagio dalam Kenangan


Siang itu, akhir tahun 2005. Santap siang di warung makan Kopma UGM kala itu terasa nikmat sekali. Maklum, lapar. Di warung itu, harga sepiring nasi dan lauk untuk makan siang cukup bersahabat bagi kantong seorang mahasiswa era awal millennium. Murah dan banyak pula pilihan menu makanan yang disediakan. Meski saya sudah berstatus bukan mahasiswa lagi sejak lulus tiga bulan sebelumnya, warung makan Kopma UGM di belakang BNI UGM ini masih saja menjadi tempat tujuan saya untuk makan siang. Apalagi saat itu tugas sebagai asisten laboratorium di kampus tempat saya kuliah empat tahun terakhir masih tersematkan.

Tengah asyik berbincang sambil makan siang bersama pacar saya -alhamdulillah kini adalah istri saya- tiba-tiba handphone Siemens dekil saya berdering. Suara khas nada panggil telepon terdengar dari ponsel yang belum mempunyai fitur aplikasi semacam Whatsapp waktu itu. Panggilan telepon berasal dari nomor yang belum saya kenal saat itu. Saya angkat. Tiba-tiba suara seorang bapak-bapak terdengar, “Mas Budi, segera ke kampus. Ini ada rapat jurusan.” Saya mencoba mengenali suara itu dengan cepat, secepat saya harus mengiyakan permintaan bapak tersebut. Benar, saya mengenali suara itu. Itu suara Pak Subagio, dosen saya yang sudah tergolong sepuh di teknik mesin UGM di masa itu. 


Jujur saja, saya sebenarnya berada dalam keadaan setengah bingung. Saya harus segera memutuskan permintaan Pak Bagio, begitu saya sapa beliau, di tengah ketidaksiapan saya untuk sebuah rapat yang saya anggap sangat formal bagi saya. Ketika itu, rapat inilah sebuah rapat yang mengawali periode saya bekerja secara profesional. Saya canggung, saya tahu diri bahwa saya tidak pintar berkomunikasi di depan orang banyak, apalagi dengan kostum minimalis yang saya kenakan saat itu: hanya sepasang sepatu butut warna putih yang sudah pudar, sobek di beberapa bagian, plus jaket bonus pembelian sepeda motor bapak saya. Saya pun akhirnya datang, dengan wajah dan rasa tak percaya diri yang berusaha saya sembunyikan. Saya lawan rasa tidak pede itu ketika masuk ruang sidang, tempat rapat diselenggarakan. Saya duduk di pojok dan mulai mencoba memperkenalkan diri secara personal dengan bapak ibu dosen yang lain.


Saya ikut rapat. Rapat dosen untuk pertama kalinya. Ya, sekira awal November 2005 itu menjadi hari yang bersejarah bagi saya. Meski sudah tidak lagi menjadi ketua jurusan di teknik mesin, Pak Bagio-lah yang memperkenalkan saya di forum. Inilah salah satu momen paling berkesan bagi saya dengan beliau. 


Sebenarnya, perjumpaan saya pertama kali dengan Pak Bagio bisa ditarik sekitar empat tahun beberapa bulan sebelumnya. Yakni ketika saya baru seminggu duduk secara resmi sebagai mahasiswa S1 teknik mesin UGM. Cukup menggelikan momennya, namun tetap berkesan bagi saya. Hari itu Rabu pagi, kuliah perdana Menggambar Teknik bagi mahasiswa semester satu yang diampu oleh Pak Bagio. saya termasuk mahasiswa beliau di kelas tersebut. Awal cerita, saya sudah berangkat cukup pagi dari rumah, berharap pukul tujuh tepat sudah sampai di kelas untuk mengikuti kuliah. Namun, takdir berkata lain. 


Di perempatan Jetis, insiden itu terjadi. Gegara saya ingin mengambil jalan pintas agar cepat sampai kampus, saya menerobos divider jalan, mengambil sedikit jalan di lajur yang berlawanan. Priitt… tiba-tiba suara peluit menggelegar, bersamaan dengan datangnya seorang polisi. Ya, Pak Polisi menghampiri untuk menilang saya. Saya panik. Seumur-umur baru saat itulah saya ditilang. Lantaran harus mengurus surat-surat tilang, jadilah kuliah saya terlambat. Terlambatnya bukan hanya lima atau sepuluh menit, tetapi hanya menyisakan sepuluh menit saja dari keseluruhan jam kuliah pagi itu. Saya mencoba tenang dan tetap masuk ke kelas. Kuliah Pak Bagio tinggal menyisakan waktu bagi beliau untuk meng-absen semua mahasiswanya. Saya tetap masuk kelas dan memohon maaf atas keterlambatan yang teramat parah itu. Saya pasrah, kalaupun dimarahi, ya sudah, tidak apa-apa. Namun, ternyata Pak Bagio tetap tersenyum dan mempersilakan saya untuk duduk. Beliau pun tetap menganggap saya masuk dalam daftar presensi. Barangkali Pak Bagio maklum, anak baru, masih kinyis-kinyis, baru lulus SMA, ikut kuliah telat. Dimaklumi saja, hahahaa…


Selang beberapa tahun di semester-semester akhir masa kuliah S1 saya, pengalaman unik juga saya alami saat berinteraksi dengan Pak Bagio. Pembawaan Pak Bagio sejak dulu saya anggap berwibawa di hadapan para mahasiswa. Ada rasa sungkan. Termasuk dalam peristiwa ketika saya ‘usil’ membuka dan melihat daftar kehadiran dosen di ruang tata usaha, memastikan apakah kuliah yang diajarkan oleh salah satu dosen hari itu isi atau kosong. Tiba-tiba Pak Bagio masuk ke ruangan itu, dan menegur saya. Ujar beliau, saya tidak berhak tahu kehadiran dosen. Kaget sekali saya ditegur. Sambil meminta maaf saya pun undur diri dari handapan beliau. Tetapi setelah saya pikir panjang, akhirnya saya sadar, bahwa sayalah yang salah. Kadangkala karena ingin tahu sesuatu, kita mengambil jalan yang tidak semestinya kita tempuh, tidak benar secara prosedur. Apa haknya seorang mahasiswa tanpa seizin dosen melihat kehadiran dosen yang bersangkutan. Bukankah presensi itu sebenarnya adalah perkara privat yang hanya boleh diakses oleh yang bersangkutan dan pemeriksanya? Pak Bagio mengajarkan saya tentang ini.


Perjalanan hidup membawa saya menjadi lebih sering berinteraksi dengan Pak Bagio di tahun 2006 hingga 2011. Selepas diterima menjadi dosen di teknik mesin, saya ditunjuk menjadi anggota tim yang dipimpin Pak Bagio sendiri untuk merevisi kurikulum teknik mesin UGM. Dari sinilah saya sekali lagi mengenal sosok Pak Bagio dan belajar beberapa hal dari beliau. Misal, tentang visi beliau tentang pendidikan teknik mesin yang seharusnya. Pak Bagio yang merancang grand-design kurikulum, sementara para dosen yang lain hanya melengkapi dan mengkoreksi apabila ada yang kurang. 


Interaksi berlanjut ketika saya akhirnya kecemplung masuk di program rekayasa biomedis, Sekolah Pasca Sarjana UGM untuk menempuh S2. Pak Bagio adalah salah satu founding figures program yang sama sekali gress, sangat baru ini di UGM. Beliaulah tokoh di balik program ini dan saya menjadi salah satu mahasiswa pertama, pilot student, ‘kelinci percobaan’ selain dua kawan saya dari fakultas kedokteran dan kedokteran gigi. Banyak ketidakpastian di program yang berlangsung selama tahun 2006-2008 ini. Namun, Pak Bagio bersama tiga dosen utama lainnya tampaknya cukup gigih mempertahankan program ini agar berhasil. Di masa perdana ini, program pasca sarjana rekayasa biomedis dicangklongkan dengan program serupa yang dipunggawai enam universitas Asia dan Eropa. Ada Ghent University (Belgia), University of Groningen (Belanda), Leeds University (Inggris), Indian Institute of Technology (India), ITB dan UGM (Indonesia). Pada episode inilah saya lebih banyak berinteraksi dengan Pak Bagio, sekalipun interaksi itu masih layaknya dosen dan mahasiswanya, senior dan juniornya. Saya menghormati beliau, sebagai dosen saya, sebagai senior saya. Meski begitu, di episode inilah saya menjadi lebih banyak tahu tentang sisi-sisi humor dalam kehidupan beliau. Seingat saya, beberapa kali tim dosen di kampus bingung dengan apa yang harus mereka lakukan dalam mengelola program S2 baru yang saya ikuti. Banyak kali, Pak Bagio tampil sebagai problem solver-nya. Tidak dengan wajah tegang, tetapi dengan cara beliau sendiri yang sering lucu dan membuat orang tertawa. Tepatnya, mungkin kalau boleh saya sebut Pak Bagio punya jurus “menggampangkan masalah” untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Tetapi uniknya, ternyata solusi yang ditawarkan Pak Bagio seringkali berhasil! Agustus 2008, program S2 dengan skema program kerjasama internasional enam universitas pun berakhir dan ditutup di Delhi, India. Alhamdulillah, saya pun mampu menyelesaikan program ini tanpa meninggalkan sisa tugas yang harus disusulkan. Ada raut senang yang saya tangkap dari Pak Bagio, mengetahui juniornya bisa membereskan tugas sebagai pilot student ini tepat pada waktunya.


Waktu terus berlalu, membawa saya di era tahun 2009 hingga 2011. Yang teringat di tahun 2009 adalah, sebuah “pembelaan” dari Pak Bagio dalam sebuah forum di kampus. Cerita berawal dari sebuah diskusi untuk memetakan potensi dan kelanjutan studi staf pengajar di kampus. Saya, ketika itu, masih belum kunjung juga mendapatkan beasiswa untuk lanjut studi S3. Dalam forum, sempat dibahas, bagaimana apabila para dosen muda ini diminta segera sekolah, walaupun di kampus sendiri. Jujur, sejak berjibaku sebagai mahasiswa S2, saya merasa tidak terlalu nyaman ‘sekolah di kandang sendiri’. Saya ingin merantau ke negeri lain, hingga saya bisa belajar banyak di luar sana. Sangat tidak nyaman perasaan saya ketika mengikuti forum diskusi itu. Namun, Pak Bagio tampil di forum itu. Tanpa ada diskusi awal dengan saya, seolah beliau tahu isi hati saya. “Saya kira, untuk Mas Budi biarkan saja mencari sekolah sendiri dulu. Dia masih muda, masih banyak waktu.” begitu kira-kira kata-kata Pak Bagio yang saya ingat. Sebuah pembelaan bagi saya, hehehe… 


Jika pembaca sempat mengikuti kisah saya di tahun 2010-2011, ada perjalanan hidup yang berkesan bagi saya. Ceritanya bisa disimak di link ini. Singkat cerita, saya pulang kembali ke Indonesia setelah tidak berhasil melanjutkan program S3 saya di University of Groningen. Saya pulang dan kembali ke kampus tanpa membawa hasil atau capaian akademik sesuai harapan pada awal April 2011. Ya, kepulangan saya pun mungkin mengawali masa yang sedikit sulit hingga tiga bulan ke depannya. Saya tidak punya jadwal mengajar, karena saya datang tidak di awal semesteran. Praktis tidak ada kegiatan yang wajib saya lakukan di kampus ketika itu. Namun, saya masih punya tim riset yang menjadi tempat saya berkreasi kembali di masa yang relatif sulit itu. Saya jalankan agenda riset saya yang sempat tertunda karena studi tak selesai saya di tahun 2010 di Belanda. Selebihnya, tidak ada kegiatan lain. Di tengah situasi ini, tiba-tiba saja sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya. Dari Pak Bagio. Sebuah permintaan untuk menggantikan jam mengajar beliau tentang sistematika desain. Pak Bagio memberikan ‘jatah’ mengajar beliau ke saya, hingga saya pun bisa masuk dan mengajar di kelas. Ketika saya konfirmasi permintaan beliau ini secara langsung, ada semburat kepercayaan beliau kepada saya untuk mengampu kuliah ini. Inilah jiwa besar Pak Bagio yang saya rasakan bagi saya. Beliau percaya kepada saya, lantaran beliaulah saksi bahwa saya dulu pernah mengambil dan menyelesaikan kuliah sistematika desain ketika S2 lalu.


30 November 2019. Tanggal inilah yang saya ingat sebagai momen terakhir bertemu Pak Bagio. Pertemuan tak sengaja di jalan menuju parkiran motor dan mobil pada acara resepsi kawan yang sedang digelar. Saya bersalaman, saling tersenyum menanyakan kabar masing-masing. Sejak itu, kami tak pernah bersua lagi. Hingga tersiar kabar Alloh Yang Maha Kuasa memanggilnya kembali ke haribaanNya pada 17 Mei 2020 silam. Cerita yang lumayan panjang ini lalu meletup seusai sholat tarawih malam hari itu, teringat masa-masa bersama beliau. Semoga Pak Bagio kembali dalam kedamaian, mendapatkan ampunan dan rahmat dari Alloh Swt, serta mendapatkan balasan atas semua kebaikan-kebaikan yang pernah beliau lakukan. Mungkin, cerita ini subjektif, berangkat murni dari pengalaman saya bersama beliau. Tetapi, semoga saja cerita ini adalah salah satu saksi atas kebaikan-kebaikan beliau. Selamat jalan, Pak Bagio…

Minggu, 19 April 2020

Reparasi Sistem Power Window


Penggunaan sistem elektrik untuk membuka tutup kaca jendela pada pintu mobil sudah bukan barang baru lagi saat ini. Orang menyebutnya: power window. Prinsipnya, membuka dan menutup kaca jendela tidak perlu lagi mengayuh engkol secara manual dengan tangan, tetapi cukup hanya dengan menekan tombol untuk mengaktifkan sistem elektrik yang akan menggerakkan regulator dan menaikturunkan kaca jendela. Secara umum, prinsip kerjanya seperti pada gambar berikut.
Sistem power window. Prinsip kerjanya, arus listrik yang dialirkan pada motor akan menstimulasi gerakan regulator, sehingga kaca jendela dapat naik turun cukup dengan menekan tombol. Sumber gambar: www.kcautorepairshop.com
Suatu petang, kaca jendela sisi pengemudi si City bermasalah. Awal cerita, saya hanya ingin membuka jendela untuk membantu pengamatan saya ke belakang saat memutar arah mobil. Maklum, mobil ini driven by feeling, not by sensor, hehehe… Selesai berputar saya mencoba menaikkan kembali kaca tersebut. Tetapi, glek… tidak bisa! Saya coba turunkan dan naikkan lagi. Ternyata gerakan kaca berhenti hingga hanya menutup hampir separuh jendela. Jadilah, petang itu saya parkir si City dengan keadaan kaca setengah terbuka. Sempat agak panik, namun alhamdulillah masih saya syukuri bahwa saya parkir di kompleks rumah orang tua saya dan hari sedang tidak turun hujan.

Esok harinya, saya segera mencari bengkel yang bisa memperbaiki masalah sistem power window si City. Awalnya, saya ingin menuju bengkel resmi. Tetapi, saya berpikir ulang. Bengkel resmi pastinya bisa memperbaiki masalah ini. Hanya saja, karena si City ini adalah mobil tua, ketersediaan spare-part bisa menjadi masalah tambahan. Spare-part untuk sistem power window ini tidak selalu ada karena usia si City yang sudah tidak muda lagi. Dan, kalaupun ada, mungkin saya harus menunggu agak lama untuk proses pemesanan, karena bisa jadi harus dipesan dulu hingga ke bengkel Honda pusat di Jakarta. Akhirnya saya putuskan menuju bengkel yang relatif lebih kecil, tetapi mengklaim sebagai spesialis pintu mobil di seputaran Jogja. Sebut saja namanya ya; bengkel ini adalah Rio Servis, yang alamatnya di Jalan Pramuka; cukup mudah bagi saya untuk menemukan lokasinya. Bengkel ini saya temukan juga setelah browsing lewat Google.
Roda gigi regulator yang telah rusak

Singkat cerita, pintu sebelah kanan depan si City dibongkar, diurai dan diperbaiki bagian yang rusak. Ada dua bagian yang ditemui sudah tidak berfungsi dengan baik: roda gigi regulator dan karet sil kaca bagian bawah. Roda gigi regulator kaca jendela si City ini memang sudah rusak parah. Karat sudah menyelubungi hampir semua bagian komponen ini. Beberapa gigi pun sudah rompal alias aus dan meruncing. Sementara itu, sil karet - di gambar pertama disebut window channel - yang menjadi alur bergerak kaca saat dinaikturunkan, ditemui dalam keadaan mengering, getas dan aus di permukaannya, sehingga mengganggu pergerakan kaca saat dinaikturunkan oleh regulator.
Sil karet kaca jendela yang telah aus

Nah, tebakan saya, kombinasi roda gigi regulator yang berkarat dan getasnya karet sil kaca inilah penyebab macetnya kaca jendela si City. Ketika karet sil getas, ia menjadi kaku, sehingga menyulitkan kaca untuk bergerak naik turun secara lancar. Seringkali, agar kaca tetap bisa naik turun, pergerakan kaca ini dibantu secara paksa oleh tangan yang menarik atau menekan kaca untuk bergerak. Gerakan karena dipaksa inilah yang -mungkin- berimbas pada rompalnya roda gigi regulator. Apalagi keadaan komponen ini y;ang sudah berkarat semakin memudahkan gigi mudah hancur karena material regulator sudah tidak sekuat komponen yang baru.

Regulator pengganti yang sudah siap diinstal pada sistem power window si City
Sebagai solusi, bengkel saya minta untuk mengganti komponen roda gigi regulator. Juga, karet sil bagian bawah yang berada di balik pintu mobil juga diganti. Oh ya, onderdil pengganti roda gigi regulator ini sebenarnya adalah barang bekas, yang menjadi inventaris bengkel. Meski demikian, perlu sedikit modifikasi pada komponen regulator secara keseluruhan agar part pengganti tersebut bisa dipasangkan. Dan, alhamdulillah, reparasi sistem buka tutup kaca jendela si City sudah selesai dilakukan. Sistem kaca jendela sudah berfungsi normal kembali. Saya cukup membayar uang 350 ribu rupiah saja untuk servis dan reparasi power window si City ini.

Jumat, 17 April 2020

Throwback 2019 (1): Mengawal Kelahiran JMDT!


Tahun 2019 sepertinya menjadi salah satu periode yang paling berkesan bagi saya. Setelah hampir dua tahun saya merasa harus mencari “kehidupan” saya lagi, yakni sejak pulang dari Delft pada 2016, di tahun 2019 inilah ada momen-momen yang membuat saya seakan mengisi bahan bakar lagi untuk melanjutkan kehidupan yang fana di dunia ini. Oleh karenanya, tulisan ini mengawali beberapa tulisan sederhana yang sengaja saya beri titel besar: Throwback 2019, sekedar mengingatkan saya kembali akan pelajaran-pelajaran yang bisa saya petik.

Sampul edisi pertama JMDT
Salah satu momen penting bagi saya di tahun 2019 adalah kelahiran Journal of Mechanical Design and Testing. Melahirkan sebuah jurnal berarti menancapkan sebuah komitmen. Sebuah komitmen untuk memberi ruang kepada masyarakat ilmiah, para peneliti dan penulis di bidang tertentu, agar ilmu yang dititipkan pada mereka tersalurkan sebaik-baiknya dan memberi manfaat kepada komunitas mereka secara khusus dan dunia secara umumnya. Mengawal sebuah jurnal sama artinya melepas sejenak ego untuk menampilkan diri, atau narsis lewat karya-karya yang ditulis. Bukan. Tidak untuk maksud-maksud yang seperti itu, melainkan bekerja di balik layar dengan segala urusan keterbatasan dari karya-karya yang dikirimkan. Tetapi, barangkali inilah salah satu jalan memberikan sejumput manfaat untuk dunia. Welcome to the Earth, Journal of Mechanical Design and Testing. Singkatnya, ia dipanggil JMDT.


JMDT dapat diakses melalui website berikut: https://jurnal.ugm.ac.id/jmdt/index. Demikian juga deskripsi lengkap dan prosedur bagaimana mengirimkan manuskrip ke jurnal ini. Saat ini, JMDT masih berstatus jurnal nasional. Namun, saya dan teman-teman di CIMEDs yang menggawanginya, mempunyai mimpi dan komitmen membawanya menjadi salah satu jurnal internasional bereputasi di bidang teknik mesin. Kami sematkan nama berbahasa Inggris, sebagai pengingat sekaligus penanda mimpi kami itu. Jurnal ini bersifat open-access, sehingga bisa diakses oleh siapapun tanpa harus membayar untuk menjadi subscriber terlebih dahulu. So, silakan akses dan kirimkan manuskrip Anda yang sesuai dengan lingkup bidang junral ini.

Selasa, 14 April 2020

Kisah Isaac Newton di Tengah Masa Lockdown

Judul di atas bukanlah lelucon di tengah masa karantina akibat wabah COVID-19 yang terjadi pada saat ini. Tetapi memang benar adanya. Beberapa waktu lalu, di awal-awal booming tentang wabah virus Corona ini, saya membaca sejumlah tulisan tentang Isaac Newton, ilmuwan kesohor dari negeri Britania Raya yang juga pernah mengalami periode kelam saat wabah mendera negeri itu. Terinspirasi cerita ini, saya lekas membuka koleksi perpustakaan pribadi yang ternyata juga menyimpan dua buah buku tentang Isaac Newton. 

Salah satu buku yang saya simpan berjudul: Isaac Newton, karya Michael White; merupakan bagian dari seri buku ilmuwan yang mengubah dunia terbitan PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1992. Buku aslinya diterbitkan di Inggris oleh Exley Publications Ltd. tahun 1991. Saya mendapatkan buku ini sekira tahun 1996 di sebuah toko buku di Jogja.

Sampul buku "Isaac Newton", karya Michael White
Newton adalah salah satu orang hebat yang pernah lahir di muka bumi ini. Kalau tidak salah, seorang penulis buku -saya lupa namanya dan judul buku yang ia tulis- menobatkan Sir Isaac Newton sebagai tokoh kedua yang paling berpengaruh di dunia, di bawah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Lewat Newton, tercetus banyak hukum-hukum fisika yang mendasari ilmu mekanika dan revolusi industri di masa-masa selanjutnya. Konon, sebelum kemunculan Albert Einstein dengan teori relativitasnya, teori-teori mekanika dari Newton adalah yang paling berpengaruh, sehingga teori mekanika Newton banyak yang menyebutnya sebagai mekanika klasik.

Di buku yang saya koleksi ini, ada cerita menarik tentang Newton di tengah masa lockdown akibat wabah yang mendera Kota London dan sekitarnya. Wabah tersebut menyebar hingga sampai ke Cambridge, tempat kuliah Newton, dan kota-kota lain di Inggris. Daripada saya bercerita panjang lebar, mungkin lebih baik saya tulis ulang teks dalam buku itu, terutama pada bagian yang bercerita tentang bencana wabah tersebut. Oke, saya tulis seperti di bawah ini ya.

***

Mengungsi dari Bencana Wabah

Newton telah menghasilkan temuan-temuan besar ini ketika ia masih mahasiswa. Akan tetapi dalam bulan April 1664, sesudah belajar selama tiga tahun, ia berhasil memperoleh beasiswa. Ia dibebaskan dari status sebagai mahasiswa subsizar, sehingga tidak lagi harus mengerjakan tugas-tugas kasar yang diwajibkan kepada seorang mahasiswa miskin. Setahun kemudian, tahun 1665, ia berhak menyandang gelar Bachelor of Arts, sebuah gelar ayng dengan sendirinya diberikan setelah menyelesaikan kurikulum empat tahun di universitas. Ini berarti bahwa ia dapat tinggal empat tahun lagi di Trinity College, unutk terus menggali ilmu dan pengetahuan yang disukainya. 

Newtan langsung tenggelam dalam pengembangan gagasan-gagasannya tentag bagaimana cahaya berperilaku dan pada waktu yang sama emulai penelitiannya terhapdap gravitasi dan bagaimana planet-planet beredar dalam lintasan masing-masing.

Meskipun demikian, awal kegiatan eksperimen resminya di Cambridge terpaksa terhenti. Dalam musim panas 1665 sebuah malapetaka besar mengancam seluruh negeri. Tak seorang pun mampu mencegahnya dan hampir tak seorang pun akan mampu bertahan terhadap serangannya. Wabah penyakit yang luar biasa sudah pasti dan seegra akan menyerang.

Wabah dimulai di London tempat orang tinggal dalam lingkungan yang berhimpitan dan kondisi yang sangat tidak sehat. Dalam waktu singkat wabah itu memporakporandakan kota London. Ribuan orang tewas sesudah mengalami penderitaan yang hebat. Setiap korban mengalami demam yang sangat tinggi serta tubunya penuh dengan binitil-bintil merah yang menjijikkan, dan dalam waktu tidak begitu lama nyawanya terenggut sesudah mederita kesakitan. Mayat-mayat dikumpulkan dan diangkut dengan kereta-kereta besar, kemudian dikuburkan secara massal di tempat yang jauh dari kawasan penduduk. Di beberapa wilayah jumlah korban yang tewas lebih besar dari yang selamat. Selanjutnya, dalam bulan-bulan pyang panas tahun 1665, wabah mulai menyebar ke luar dari ibukota. Orang-orang yang keluar dari London membawa serta bibit penyakit yang menakutkan itu ke kota-kota lain dan menulari penduduk yang masih sehat. Pada bulan Juni 1665, Cambridge dianggap sudah terlalu berbahaya untuk dihuni, karena itu universitas sengaja ditutup. Bersama para mahasiswa lain, Newton meninggalkan Cambridge. Ia kembali ke Lincolnshire tempat ia bisa melanjutkan penelitiannya di rumah besar warisan ayahnya.

Kembali ke Rumah

Selama setahun terakhir di Trinity, Newton telah bekerja ekstra keras. Sesudah meraih gelarnya, ia mempunyai waktu lebih banyak untuk mengembangkan perelitiannya sendiri. Kendala pertama yang harus diatasi dalam pengembangan gagasan-gagasannya adalah kurangnya dasar matematika yang dimilikinya. Walaupun matematika merupakan salah satu mata kuliah yang penting dalam studinya, saat itu sedikit sekali pakar matematika di dunia yang telah mengembangkan teknik-teknik tingkat tinggi seperti yang dibutuhkannya. Karena sedikit bukan berarti tidak ada, maka ia mumutuskan untuk melacak karya tulis orang-orang langka itu di perpustakaan pusat Cambridge. 

Setelah mencari kesana dan ke mari, akhirnya Newton menemukan hasil karya seorang filsuf dan matematikawan Prancis yang tersohor, Rene Descartes, dan filsuf INggris, Henry More. Mereka adalah dua orang di antara para tokoh Gerakan “New Science”, sebuah Gerakan kalangan pemikir yang pengaruhnya menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan ini berusaha mendobrak dinding batas antara sains modern dan matematika. 

Isaac Newton, yang ketika itu baru berusia dua puluh tiga tahun, pastilah akan terkejut andaikata ada orang dari zaman kini yang memberitahukannya bahwa beberapa tahun lagi saja ia sendiri akan menjadi slah satu anggota terkemuka klub eksklusif ini. 

Selama awal tahun 1665, masih di Cambridge, Newton membaca semua catatan yang dibuat oleh para pemikir agung tersebut, dan ketika akhirnya ia tidak menemukan yang dibutuhkannya untuk mendukung cikal bakal teori-teorinya tentang cahaya dan mekanika, hanya asatu yang dapat diperbuatnya – menciptakan sendiri matematikanya.

Maka, ketika tiba saatnya Cambridge terlalu berbahaya untuk ditinggali akibat penyebaran wabah, ia telah melakukan beberapa langkah awal yang mendukung pemecahan maslah dalam pengembangan teori-teorinya. Suasana damai dan kesendiriannya di Lincolnshire kebetulan juga menunjang proses daya ciptanya.

Di akhir musim panas, terobosan besar itu terjadi, berkat buah apel yang jatuh menimpa kepalanya. Pada saat itiulah Newton mulai mendapatkan titik terang dalam upaya memecahkan teori gravitasinya.

***

Demikianlah kisah Newton di masa lockdown akibat wabah. Kita semua mungkin tidak sekelas dan secemerlang Newton, yang di balik kesunyiannya menelurkan teori-teori fisika yang berpengaruh bagi dunia. Tetapi, apa yang bisa kita petik dari penggalan cerita di atas adalah: whoever you are, please do your best in spending your time during this Covid-19 crisis. Wabah Covid-19 ini memang membelenggu. Kita harus tinggal dan bekerja di rumah, stay and work from home, demi membantu para dokter dan tenaga kesehatan yang sedang berjibaku mengatasi cepatnya penyebaran wabah ini. Tidak mudah memang, karena kemampuan bekerja kita bisa jadi tidak maksimal lantaran tidak terbiasa dan bertambah banyaknya urusan yang harus dikerjakan saat di rumah. Tetapi, mudah-mudahan kita masih tetap menjadi hamba yang bersyukur, yang bisa terus berkarya sebaik mungkin dalam menjalani masa-masa krisis ini. 

Senin, 13 April 2020

Insiden Suatu Pagi


Suatu pagi, insiden itu terjadi. Berangkat ke kantor mengendarai si City dengan santai. Sambil menikmati cerahnya cuaca pagi itu dan siaran radio yang menghibur. Apalagi si City baru saja opname sebulan, gegara overhaul sistem transmisinya yang telah aus. Jalanan memang sedikit ramai, tetapi masih lancar. Hingga di sebuah perempatan insiden itu terjadi. 

Dukk... Kira-kira begitu suara terdengar. Saya tak menyana, mobil tua ini sebenarnya sudah meluncur pelan, sambil bersiap belok kiri yang memang dibolehkan untuk jalan terus. Namun, ternyata ada sebuah mobil pick-up yang nyelonong, tiba-tiba masuk lewat sela-sela mobil saya dan barisan motor serta mobil yang sedang mau berjalan begitu lampu hijau menyala.

Ya, mobil pick-up itu mencederai fender depan kanan si City. Baret. Lumayan kelihatan defeknya. Alhamdulillah tidak merusak bagian yang lain. Spion kanan sempat tertekuk, tapi ke dalam, dan alhamdulillah tidak rusak sama sekali. Tetapi, geram juga sebenarnya batin saya. Kenapa hanya demi mengejar lampu hijau, orang lain dirugikan. Tapi ya sudahlah. Insiden itu telah terjadi. 

Nah, fase selanjutnya yang harus dipikir. Bagaimanapun adanya defek di salah satu bagian sebuah barang klangenan (baca: peliharaan) rasanya mengganjal juga. Tak perlu menunggu lama, akhirnya channel Youtube segera saya buka; saya cari solusi ringan, cepat dan bisa dilakukan sendiri untuk mengatasi defek pada mobil saya itu. Dan tentu saja, saya mencari solusi yang murah. Sudah terbayang sebelumnya, pastilah cukup menyedot anggaran bila harus menggunakan jasa bengkel cat, meski saya pun sebenarnya punya agenda untuk mengecat mobil tua ini di kemudian hari.

Defek atau baret yang lumayan terlihat jelas pada fender sisi sebelah kanan depan si City
Akhirnya, solusi yang berhasil saya dapatkan adalah dengan menggunakan kompon (compound); benda kimia yang berupa pasta untuk memoles bagian defek tadi. Kompon saya beli di sebuah toko cat mobil, dengan asumsi urusan meluruskan bodi mobil pastilah toko cat seperti ini menjual produk-produk yang berkualitas.

Benar saja. Saya dapatkan kompon yang bisa dipakai untuk poles defek pada bodi mobil di toko tersebut. Sebut merek saja ya.  Saya beli kompon merek Farecla. Tidak lupa kain halus yang dipakai untuk memoles bagian yang defek.

Operasi poles pun berlangsung sore harinya. Berbekal ilmu dari Youtube. Pertama, bagian yang defek dibersihkan terlebih dahulu. Saya memilih menyiramkan dan meratakan air bersih pada permukaan daerah defek tersebut.
Pengolesan kompon dan penggosokan defek atau baret secara perlahan 
Langkah kedua, oleskan kompon di permukaan defek secukupnya. Lalu gosok perlahan defek tadi dengan kain halus hingga perlahan defek akan hilang. Jangan lupa gunakan sarung tangan untuk tangan kita yang memolesnya. Bila ternyata defek masih bersisa, tambahkan lagi olesan kompon dan gosok lagi hingga permukaan bodi yang defek menjadi bersih.
Meski penggunaan kompon ini bisa saya sebut berhasil, ada beberapa catatan yang bisa saya paparkan. Pertama, teknik oles kompon dan gosok memang terbukti bisa menghilangkan defek atau baret pada bodi mobil. Tetapi, teknik ini hanya berlaku untuk defek atau baret yang dangkal, goresan ringan yang tidak dalam. Lain halnya bila ternyata baret itu cukup dalam. Dioles dan digosok dengan kompon sampai kapanpun tak akan mempan. Malahan, cat pada permukaan di sekitar defek atau baret menjadi ikut pudar.
Hasil akhir: defek atau baret yang tidak terlalu dalam tidak tampak lagi. Namun, defek yang dalam tidak dapat dihilangkan dengan teknik penggunaan kompon seperti ini
Kedua, seperti yang saya sebut di atas, bahwa ternyata kompon ini memudarkan cat mobil. Penggunaanya yang berlebihan dapat memudarkan cat. Sehingga bila defek tak kunjung sirna, sementara kita sudah berulang kali menambah olesan kompon dan menggosoknya, lebih baik hentikan saja teknik ini. Akan lebih aman bila kita perbaiki di bengkel reparasi bodi mobil. Di sana ada para teknisi yang memang ahli memperbaiki kerusakan bodi mobil. Ya, tentu saja kita harus tetap sediakan dana extra untuknya.

Jumat, 10 April 2020

Distance Learning


Wabah Covid-19 yang menjadi pandemi di dunia saat ini mengharuskan umat manusia mengubah beberapa cara dalam menunjang aktivitas hidupnya. Tak terkecuali masyarakat akademik. Dunia pendidikan terkena imbasnya. Proses belajar mengajar kini tak bisa secara langsung. Tatap muka tak memungkinkan. Sebagai gantinya, model pembelajaran jarak jauh atau distance learning diterapkan, demi menghambat dan memutus mata rantai penularan virus Corona yang sangat gesit nan cepat menyebar itu.

Sumber gambar: Long-distance learning with Ecocert Expert Consulting
Masyarakat pun dihimbau bekerja dari rumah. Work from Home. Itu jargonnya. Akibatnya, internet, laptop serta gadget pastilah menjadi vital keberadaannya. Ditambah lagi slogan physical distancing atau jaga jarak antar individu untuk mencegah penularan Covid-19, menjadikan alat-alat itu sebagai piranti teknologi informasi ini semakin terasa sekali manfaatnya.

Work from Home dengan segala tantangannya mengingatkan saya 14 tahun lalu. Program S2 yang saya ikuti pada rentang tahun 2006 sampai dengan 2008 menggunakan dua metode. Unik memang. Pertama, kuliah konvensional, dengan dosen dan ruang di alam nyata seperti sekolah pada umumnya. Yang kedua, kuliah jarak jauh dengan ruang virtual dan dosen lintas negara.

Yang kedua ini cukup menantang. Ketika kuliah jarak jauh, jauhnya tak tanggung-tanggung, sampai lintas benua, yang tentunya berselisih waktunya. Pesertanya bukan hanya mahasiswa dan dosen dari Jogja dan Bandung, tetapi juga dari Groningen (Belanda), Ghent (Belgia), Leeds (Inggris) dan Delhi (India). Jadi kalau perkuliahan diajar oleh dosen dari Belanda, maka para dosen itu biasanya memulai kuliahnya masih dalam keadaan segar karena masih jam 9 pagi. Tetapi, mahasiswa-mahasiswinya yang di Bandung dan Jogja sudah kuyu keadaannya, lantaran sudah pukul 14 siang. Sudah lelah dengan kuliah di dunia nyata di pagi harinya.

Kendala bahasa dan kultur juga pastilah ada. Masih ingat, betapa amburadulnya Bahasa Inggris saya ketika itu. Hahahaa... Kultur kerja, sosial dan akademik orang Asia dan Eropa juga "dibenturkan", dan lagi-lagi tidak sama. Mahasiswa dari Eropa cenderung aktif, sementara mahasiswa dari Asia (baca Indonesia) tampak kalem-kalem saja, tidak sering acungkan jari untuk bertanya. Belum lagi beda kultur dan pola pikir antara orang medis dan teknik yang cukup kentara, sebab saya kuliah di program studi yang masih fresh saat itu: biomedical engineering.

Yang juga menantang adalah masih terbatasnya platform dan kemampuan jaringan internet untuk kuliah jarak jauh kala itu. Masih segar dalam ingatan, platform andalan waktu itu adalah Yahoo Messenger. Skype masih merupakan barang baru. Dan video call sulitnya minta ampun, lantaran kecepatan internet di negeri ini yang masih amat terbatas. Jadilah, chat meet via Yahoo Messenger sering menjadi solusinya.

Belum lagi ketika tugas-tugas kuliah harus dilembur, tak mungkin dikerjakan di kampus. Di era sekarang, dunia seperti dalam genggaman, lantaran handphone kita ini kelewat canggih dan hampir selama 7 hari 24 jam terkoneksi dengan internet. Lancar pula. Empat belas tahun silam, jangankan di rumah, online dengan fasilitas di warnet (baca: warung internet) yang konon paling joss saja tidak menjamin bagus koneksinya. Pergi malam-malam jelang dini hari ke warnet hanya untuk mengirim tugas via email adalah hal yang biasa waktu itu. Belajar dari channel Youtube? Alamak.. lelet sekali internet di jaman itu. Sering buffering dan menghabiskan 'jam main' internet di warnet.

Namun, di tengah tantangan nan deras itu, akhirnya masa-masa itu selesai juga dan bisa dilalui. Terlampaui juga, setelah hampir dua tahun bergumul dengan dengan model kuliah jarak jauh semacam ini. Impressive, isn't it.

Ketika booming kuliah jarak jauh terjadi akibat pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi, masih saja muncul keluh kesah. Kuliah online itu tidak menyenangkan, susah, tidak interaktif, tidak maksimal, membuat mati kutu di depan layar monitor, menyedot banyak kuota internet dan sebagainya. Juga para dosen mengeluh tak bisa memastikan mahasiswanya itu aktif atau tidak, belajar atau tidak, paham atau tidak di kelas virtual. Ya memang benar begitulah. Dalam beberapa kesempatan saya pun menemui permasalahan itu. Namun, memang tidak ada cara lain di tengah situasi yang tidak kondusif seperti ini.

Mungkin kita perlu ambil nilai positifnya. Bahwa kuliah jarak jauh itu menuntut tanggung jawab pribadi masing-masing dosen/guru dan mahasiswa/siswa untuk belajar. Keberhasilan menguasai materi sangat tergantung pada upaya dan keaktifan masing-masing dalam belajar. Dosen atau guru membuat mata pelajaran atau mata kuliah yang mudah dipahami dan memudahkan peserta didik untuk belajar, meski ada jarak fisik yang terpaut jauh. Sementara, siswa atau mahasiswa ya yang pro-aktif, bertanggung jawab atas apa yang harus ia lakukan atau pelajari.

Kalau saja pengajar dan siswa sama-sama bersemangat mencari ilmu, atas nama rasa ingin tahu, ya pastilah kendala-kendala distance learning yang tersebut di atas bisa diminimalkan. Semua sama-sama punya bahan bakar untuk belajar, suka akan hal baru, sehingga seberat apapun medannya kita akan terus berusaha untuk menguasai materi yang dipelajari. Memang, urusan kecepatan mahasiswa atau siswa untuk paham harus sedikit kita tinjau ulang. Karena belajar mandiri itu tetap perlu waktu yang biasanya lebih panjang daripada siswa atau mahasiswa yang “diceramahi” atau bahkan “didoktrin” di kelas. Ya, tetapi poin pentingnya 'kan tetap belajar. Apapun hasilnya, yang terpenting adalah proses. Proses belajar, yang kalau dijalani serius dan benar insyaAlloh akan membuahkan hasil yang berkah dan bermanfaat.

Kamis, 09 April 2020

Yeeaa, Sudah Resmi!


Agenda lanjutan begitu mobil tua nan bekas ini lunas saya beli, adalah menjadikannya resmi secara administratif sebagai barang milik saya. Biarpun tua dan menjadikan saya sebagai orang ketiga yang memilikinya, saya tidak mau jika surat-suratnya masih atas nama pemilik sebelumnya dalam jangka lama. Kenapa? Entah, mungkin karena kebiasaan saya saja. Sebisa mungkin menggunakan barang itu ya milik sendiri, termasuk legal aspect kepemilikannya. 

Akhirnya, meski batas waktu pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahunan masih terpaut tujuh bulan, saya putuskan untuk segera balik nama STNK dan BPKB mobil tua saya ini.

Sama seperti posting saya sebelumnya, segala tentang mobil tua saya ini adalah hal baru bagi saya. Urusan perawatan, bengkel, hingga surat-surat kepolisian. Namun, keuntungan era internet dan kemudahan informasi seperti saat ini, adalah bahwa kita bisa dengan mudahnya mendapatkan info-info berkaitan dengan urusan surat-surat kendaraan. 

Meski bekal info dari dunia maya sudah cukup, suatu ketika saya putuskan untuk mampir sejenak di Kantor Samsat, tempat mengurus surat-surat nomor kendaraan. Sekedar iseng menanyakan persyaratan dan biaya balik nama mobil saya. Alhamdulillah, info yang diperoleh tidak berbeda dengan apa yang saya dapat di internet. Segera saya luangkan waktu sehari penuh, sekedar berjaga-jaga apabila proses balik nama tersebut butuh waktu yang lama. 

Bekal yang saya bawa adalah surat-surat penting mobil saya, yakni STNK dan BPKB. Kuitansi pembayaran juga tak lupa dibawa, karena kuitansi inilah yang menjadi bukti kepemilikan atas mobil kita tersebut secara sah.

Proses ganti nama pemilik mobil saya lakukan di kantor Samsat. Saya diuntungkan oleh status mobil saya yang sebelumnya juga berplat nomor kota yang sama dengan tempat domisili saya, sehingga proses balik nama tidak perlu mencabut berkas-berkas mobil saya ini di Kantor Samsat kota atau kabupaten yang lain.

Sebenarnya urutan prosedur yang harus saya lakukan untuk balik nama di kantor samsat ini tidak saya ingat dengan baik. Ada prosedur yang mengharuskan saya bolak balik dari satu ruangan ke ruangan yang lain, melengkapi surat atau blangko dengan stempel dan pengesahan. Jadilah, bingung juga jika mau menuliskan satu per satu urutannya. Hehehehee.. Meski demikian, yang pasti saya ingat, adalah dilakukannya pengecekan nomor mesin kendaraan, yang dikerjakan di ruang khusus  yang disediakan untuk mobil maupun  motor.

Singkat cerita, proses mengurus balik nama kepemilikan mobil saya ini membutuhkan waktu sekitar satu jam saja. Ya, cukup cepat dan di luar dugaan saya. Salah satu faktornya mungkin karena saya memilih di awal hari, yakni sekitar jam 8 pagi, sehingga antrian belum mengular. Di akhir proses, saya diminta untuk datang ke kantor Samsat satu minggu dan dua minggu kemudian untuk menerima BPKB dan STNK baru. Dan, mereka pun tepat waktu: kedua dokumen tersebut sudah di tangan saya di waktu yang telah dijanjikan. 

Untuk mobil sedan setengah tua berusia 20 tahun, biaya yang saya keluarkan sekitar 1,3 juta rupiah saja. Angka ini hanya untuk biaya balik nama, tidak termasuk pajak tahunan. Pajak tahunan masih harus saya bayarkan beberapa bulan setelah pengurusan balik nama STNK dan ganti kepemilikan mobil ini telah selesai. Yeeaaa... sudah resmi sedan tua ini milik saya pribadi..

Rabu, 01 April 2020

Check-up Pertama


Ya namanya mobil tua, bekas lagi. Pastilah pada umumnya jeroannya tidaklah sesehat mobil baru. Yang namanya debu, kotoran dan karat pastilah juga ada dimana-mana. Belum lagi komponen-komponen yang aus lantaran usianya yang tak lagi muda. Sekalipun ketika membeli mobil tersebut kita mendapatkan jaminan dari penjual bahwa tidak ada PR, pekerjaan rumah, yang harus kita selesaikan, tetap saja kita perlu sedia dana tambahan untuk melakukan perbaikan atau pembenahan pada mobil tersebut.
Can you point out the oldest car in this photo?
Melanjutkan cerita sebelumnya, si City -panggilan mobil tua saya- saya beli dengan tanpa ba bi bu, tanpa diskusi yang panjang lebar selama berjam-jam, bahkan berhari-hari dengan pemilik sebelumnya. Proses tawar menawarnya cukup singkat, mungkin kurang dari sejam. Mungkin karena saya tidak terlalu suka menawar pada saat membeli barang, sehingga apabila barang yang saya lihat benar-benar sudah sreg di hati, sudah sesuai dengan kemauan saya, ya akan saya beli. Saya pun datang hanya berdua bersama istri saya untuk melakukan transaksi pembelian mobil ini, tanpa didampingi kawan atau orang yang cukup tahu tentang mesin atau permobilan. Nekad? Iya kali ya. Hingga saya dan istri merasa terkenang sekali dengan peristiwa ini. Hihihii..

Alhamdulillah, bak gayung bersambut, pemilik mobil tersebut adalah orang yang baik dan jujur, menceritakan apa adanya keadaan mobil. Tentang harga bagaimana? Ya, cukup beberapa menit saja kami berdiskusi dan akhirnya deal di angka 50an juta rupiah saja. Harga yang saya lihat sesuai dengan harga pasaran, jadi ya sudah, mau bagaimana lagi. Pengecekan fisik dan mesin mobil tetap saya lakukan, berbekal ilmu yang saya peroleh lewat video Youtube di channel Mas Wahid. Hehehee.. banyak ilmu permobilan yang saya dapat dari channel Mas Wahid, termasuk bagaimana mengendarai mobil matik yang sama sekali tidak saya kuasai sebelumnya. Dan, alhamdulillah tidak ada masalah umum yang cukup parah di calon mobil saya itu. Setelah akad jual beli dan pembayaran secara transfer telah lunas dan selesai, mobil bekas inipun beralih ke tangan saya. 


Tibalah agenda saya selanjutnya. Bagaimanapun juga saya tetap perlu memeriksakan kondisi mobil saya ini. Bekas, dan berusia 20 tahun; pastinya ada hal-hal yang tak terlihat oleh saya yang perlu diperiksa dan diperbaiki. 


Bagi saya yang teramat awam secara praktek soal memelihara mobil ini, mencari bengkel yang tepat dan nge-klik di hati pastinya tidak mudah. Tak berpikir panjang, saya akhirnya memilih bengkel resmi merek mobil saya sebagai tempat tujuan. Alasannya mungkin kelewat personal. Selain alasan keawaman saya di atas, saya juga berkeyakinan, bengkel resmi pastinya akan memberikan jaminan penuh atas pelayanan dan servisnya. Pasti dan seharusnya begitu, karena dia membawa nama baik perusahaan produsen mobil yang bersangkutan. Kedua, saya berkeyakinan akan lengkapnya peralatan di bengkel resmi seperti ini. Ya pastilah, mana mungkin bengkel resmi bertaruh nama dalam soal perbaikan mobil-mobil dengan merek yang dipegangnya. Tentu saja, harga servis pastinya lebih mahal dibandingkan jasa yang diberikan oleh bengkel-bengkel non-resmi.


Alhasil, langkah saya menuju salah satu bengkel resmi Honda di Jogja sama sekali tak diliput keraguan. Masuk ke bengkel tersebut rupanya adalah kali pertama saya. Sempat kikuk karena saya tak pernah punya pengalaman sama sekali menuju bengkel mobil. Ada sedikit kebingungan begitu moncong mobil masuk ke pelataran depan bengkel. Untungnya, petugas security sigap membantu dan mengarahkan kemana mobil saya harus masuk. 


Pemeriksaan pertama adalah kondisi roda, yang prosesnya relatif cepat karena cukup menggunakan sensor di lorong koridor masuk bengkel. Hasilnya langsung jadi dan disampaikan saat saya mendaftarkan mobil untuk diservis. Hasil pemeriksaan ban mobil saya membuat saya memutuskan untuk mengganti ban depan sebelah kiri yang memang sudah tampak lebih aus daripada ketiga ban lainnya.


Proses servis keseluruhan membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam. Cukup lama. Namun, kebosanan bisa teralihkan dengan adanya ruang tunggu yang lumayan nyaman di bengkel. Perhatian saya banyak tertuju pada dinding kaca ruang tunggu yang memungkinkan pelanggan bengkel menengok situasi bengkel, bagaimana para operator bekerja dan menilik dari kejauhan mobil masing-masing. Saya pun memanfaatkan kesempatan ini sepuas-puasnya, menatapi berbagai mobil keluaran Honda di Indonesia yang sedang dalam perbaikan. Ada rasa suka, lantaran membuka ingatan tentang kegandrungan saya dengan mobil di masa kecil. Sedikit cerita, seingat saya mobil-mobilan adalah mainan terbanyak saya ketika kecil. Bahkan saya masih ingat, ada berbagai mobil die-cast yang bentuknya benar-benar mirip pemberian orang tua saya. Seperti anak-anak era ’80 dan ‘90an, saya pun gandrung dengan film seri TV Knight Rider, yang tokoh utamanya adalah sebuah supercar hitam legam nan cantik dan superkeren. Beranjak remaja, saya pun mulai membaca tabloid atau majalah mobil, misal Otomotif. Meski banyak istilah yang sebenarnya saya tak begitu paham, tetapi saya menikmati tiap gambar maupun tulisan di media-media tersebut. Bahkan, akibat sering membaca tabloid Otomotif, saya sempat bermimpi ingin membeli mobil dengan uang saya sendiri. Impian saya waktu itu adalah sebuah sedan Honda Accord Executive yang dirilis tahun ‘80an. Meski pada tahun ‘97an mobil ini sudah tergolong tua, entah kenapa saya suka dengan sedan bongsor tersebut. 


Yang jelas, sembari menunggu proses pemeriksaan dan perbaikan mobil selesai, diam-diam mata saya selalu tertuju pada mobil saya. Mobil tua berwarna silver itu memang tampak berbeda dari mobil-mobil lainnya. Ketika itu, saya sama sekali tak menemukan mobil-mobil Honda yang seangkatan dengan mobil saya. Mayoritas didominasi oleh Honda Brio, Mobilio, HR-V, dan segelintir mobil mahal keluaran Honda seperti Civic dan CR-V yang rilis di tahun-tahun belakangan. No problem, you are old but gold. Ada bisikan saya yang terlantur ketika menatap mobil tua saya. Ya, punya mobil tua atau setidaknya beranjak tua, kadangkala bisa membuat orang melirik. Suatu ketika, dalam kesempatan lain berkunjung ke bengkel Honda itu, sayup-sayup istri saya mendengar seorang ibu sepuh berkata pada suaminya yang baru saja memarkir mobil baru mereka untuk diservis, “Pak, mobil seperti ini kok masih jalan ya. Tahun berapa ya (keluaran mobil ini)?” Hehehee… 


Dua setengah jam berlalu. Pemeriksaan dan perbaikan mobil saya pun berakhir. Secara umum, mobil masih dalam keadaan sehat wal afiat. Mesin masih cukup baik. Meski demikian, terkuak juga beberapa PR yang menjadi nilai minus dari mobil tua saya ini. Sektor kaki-kaki perlu perbaikan, bahkan penggantian, meskipun masih bisa ditunda selama beberapa waktu. Ya, saya baca di beberapa sumber, bahwa kelemahan mobil keluaran Honda yang paling dikenal adalah kaki-kaki. Kedua, mobil saya ini ternyata cukup keras getarannya. Ketika dalam keadaan idle sekalipun, getaran mesin cukup terasa, mungkin sekeras bus kota jaman saya sekolah dulu. Benar saja, engine-mounting si City ini harus diganti, Materialnya sudah terlampau getas, sehingga getaran mesin masuk ke dalam kabin. Mungkin saja, komponen ini belum pernah diganti sama sekali selama 20 tahun. Bagaimana cerita pengalaman saya menyelesaikan PR tersebut? Tunggu saja tulisan saya selanjutnya.